“Kenapa Ma? Bilang! Ada apa sebenarnya?”
“Hu hu hu hu… Papa kamu.”
“Bilang, Ma. Papa kenapa? Mama jangan cuma nangis. Saras gak tau ada apa kalau Mama enggak cerita.” Saraswati menatap hand phonenya.
“Papa kamu jantungnya kumat. Dia stres. Hu hu hu hu… Rumah kita diancam disita kalau papamu gak melunasi hutangnya ke Mr. Karl!” Seorang ibu separuh baya bertubuh agak gemuk bicara di hand phone dengan berurai air mata.
Saraswati terdiam.
“Saras?”
“Iya, Ma. Aku masih dengarin kok.”
“Mama di rumah sakit jantung. Papamu ada di lantai 5 kamar 503. Kamu minta izin ke Bossmu buat nengokin Papamu ya? Papamu butuh seseorang tempat dia bisa cerita. Selama ini dia menyimpan rahasia sampai stres sendiri.”
“Iya, Ma. Saras entar izin ke Boss dulu. Sore ini juga pasti Saras sudah sampe rumah sakit.”
Beberapa menit kemudian Saraswati menemui Bossnya dan minta izin.
“Saya paham. Kamu harus menengok Papamu. Tapi besok kamu masuk kerja lagi kan?” Lelaki separuh baya berambut setengah botak berwajah arif itu mengangguk ke Saraswati.
“Iya, Pak. Terima kasih atas izinnya. Besok saya pasti masuk kerja.”
Saraswati lega. Ia segera membereskan meja kerjanya. Lantas merapikan tasnya. Siap pulang.
Saraswati sedang menunggu taxi di depan kantornya kala hand phonenya berdering. Ia memeriksa hand phone melihat nomer yang masuk. Nama yang tertulis sebagai penelpon itu membuat Saras tersenyum kecil.
“Iya. Sayang. Tumben kamu nelpon jam segini? Kamu kan lagi kerja?” Saras berkata di hand phonenya.
“Aku di depan kantormu.” Suara lelaki menjawab dari seberang.
“Kamu di depan kantorku?” Saras heran. “Ini aku di depan kantor. Kamu dimana?”
“Lihat mobil hitam di bawah pohon di sebelah kananmu?”
Saras menoleh ke arah yang dimaksud si penelpon. Ia melihat sebuah mobil sedan berwarna hitam terparkir disitu.
“Iya. Aku lihat.”
“Kamu jalan ke mobil. Aku menunggumu.”
Penasaran menggelayuti benak Saras. Tumben lelaki itu menyuruhnya seperti ini. Saras berjalan menuju mobil sedan hitam di bawah pohon.
KLAK!
Pintu mobil terbuka kala Saras sudah mendekat.
Dari dalam mobil keluar seorang lelaki tampan, berkulit hitam manis. “Aku pinjam mobil kantor.” Lelaki itu tersenyum ke Saras. “Untung manajer administrasi yang mau minjamin mobilnya.”
“Pantesan aku gak kenal mobil ini.” Sahut Saras.
Lelaki itu melangkah mendekati Saras. Ternyata ia memegang sebuah kotak berwarna merah hati yang cukup besar. Senyum tersungging di bibir si lelaki yang berkumis sedang ini.
“Saras…”
“Iya, Sayang….”
“Aku ingin melamar kamu…” Lelaki itu tiba-tiba merundukkan tubuhnya. Kaki kanannya di posisi depan sementara kaki kirinya ditekuk ke belakang. Ia membungkuk dengan hormat di depan Saras. Kotak yang dipegangnya diangkat ke depan gadis itu.
“Rama…?” Saras kaget. Ia tak mengira pacarnya Rama akan melakukan hal ini.
“Aku serius melamarmu, Saras. Di dalam kotak ini sudah ada cincin buat kamu. Juga uang seratus juta buat biaya pernikahan kita.”
“Haahh?! Yang bener?”
“Iya. Ini lihat…” Rama membuka tutup kotak itu.
Saras terbelalak. Semua yang dikatakan Rama benar. Ada tumpukan uang lembaran seratus ribu di dalam kotak besar itu. Saras juga melihat sebuah wadah kecil berbentuk hati berwarna pink. Ada sebuah cincin berlian indah di wadah berbentuk hati itu.
“Wow.” Saras senang bercampur heran. “Dari mana kamu punya uang sebanyak ini? Kamu juga bisa membeli cincin mahal banget kayak gini?”
“Dari hasil menabung selama hampir 2 tahun.”
“Ini banyak sekali, Rama.”
“Melamarmu pasti butuh uang banyak. Kan Papamu selalu bilang begitu tiap kali ketemu aku.”
“Iya. Papaku emang gitu. Tapi ini hebat. Papaku pasti mau menerimamu sebagai menantunya dengan uang lamaran sebanyak ini.” Saraswati menatap lelaki di depannya sambil tersenyum.
“Aku harap begitu. Aku sangat ingin kamu mau menikahiku.”Lelaki tampan berkulit hitam manis ini balas tersenyum.
“Tentu. Aku sangat ingin jadi istrimu, Rama.”
Rama menutup kotak itu. Ia bangkit lantas memeluk Saras. “Terima kasih karena sudah menerima lamaranku.”
Saras balas memeluk kekasihnya. Ia tau, Rama lelaki yang baik. Ia nyaman berada di pelukan Rama. Tentu ia akan bahagia jadi istri Rama.
“Eh, aku lupa bilang ke kamu!” Jengit Saras .
“Kenapa?”
“Papaku mendadak masuk rumah sakit. Ini sebenarnya aku mau membesuk Papa.”
“Oh, kalau begitu aku temani kamu ke rumah sakit.”
*
Empat puluh lima menit kemudian Saras sudah berada di lobby rumah sakit yang luas dan besar. Maklumlah ini rumah sakit nasional.Banyak para pasien sakit jantung dari seluruh Indonesia dirawat disini.
Saras berjalan ke arah resepsionis. Hendak menanyakan arah ruangan 504 tempat Papanya dirawat. Rama sedang memarkirkan mobil di parkiran, ia berjanji akan bertemu Saras di lobby.
Dari arah samping muncul seorang lelaki bertubuh tegap dan besar. Ia buru-buru berjalan ke arah resepsionis.
BUUKK! Lelaki itu menabrak Saras. Saras terjatuh.
“Hei! Lihat-lihat kalau jalan!” Saras kesal.
“Maaf. Maafkan saya…. Saya sedang terburu-buru mau menengok teman Papa saya.” Lelaki itu menjawab sopan. Ia menatap mata Saras penuh rasa bersalah. “Mau kan kamu maafin saya? Saya lagi buru-buru mau ke resepsionis.”
“Oh, oke.” Saras tak tega mau marah lagi. “Saya maafin kamu.“ Maklumlah. Selain sopan lelaki ini bertubuh tampan dan tegap. Siapa yang tak bisa memaafkan lelaki setampan dia yang sudah meminta maaf dengan tulus.
“Terima kasih kamu mau maafin aku.”
“It’s OK. Bukan masalah besar kok. Lagian kamu gak sengaja nabrak aku.”
“Oh iya. kita belum kenalan.” Lelaki itu memajukan tangannya ke Saras. “Aku Aidan Argajaya.”
Saras menerima jabatan lelaki itu. Tangan lelaki itu terasa hangat dan kokoh kala menyentuh tangan Saras.
“Saraswati Danisa.” Saras balas menyebut nama.
“Oh, nama yang cantik. Secantik orangnya.” Aidan memuji.
Saraswati tersipu. Gombalan sederhana seperti ini rupanya masih bisa membuat semua wanita senang. Sayangnya Saraswati tak tergoda. Bukankah Ia sudah mempunya calon suami yang tampan dan baik hati.
“Aku mau nengokin Pak Yusuf, teman Papaku. Dia barusan masuk rumah sakit.” Aidan berkata lagi.
“Pak Yusuf?” Sudut mata Saras terangkat mendengar nama itu disebut.
“Iya. Yusuf Rahardi Winata lengkapnya. Dia teman papaku semasa kuliah dulu.”
“Oh. Yusuf Rahardi Winata itu nama papaku!” Saras tersenyum. “Ini aku juga baru mau menengoknya.”
“Wah, dunia ini sempit ya.”
“Kenapa kamu tiba-tiba bisa kemari? Tau dari mana Papaku masuk rumah sakit?”
“Papamu menyuruh Mamamu nelpon Papaku. Ngg……. Mama kamu bilang…” Aidan mendadak menahan kalimatnya.
“Mamaku bilang apa? Cerita aja? Aku gak masalah kok.” Saras penasaran.
“Mama kamu bilang mau pinjam uang ke Papaku buat melunasi hutang. Dia juga butuh uang buat bayar rumah sakit karena sudah gak punya uang.”
DEEGG!
Wajah Saras memerah.
Sebenarnya Saras malu mendengarnya. Tapi apa yang dikatakan Aidan benar. Mamanya tak berbohong. Memang Papanya banyak hutang. Dan memang tak ada uang buat bayar rumah sakit.
“Aku kesini disuruh papa bilang kalau uangnya bisa dipinjam. Dan untuk biaya rumah sakitnya nanti akan aku transfer!”
“Wah. Terima kasih banyak!” Serasa lepas sebagian beban yang menghimpit dada Saras mendengar omongan Aidan.
TUK. TUK.TUK.
Terdengar suara langkah kaki mendekat.
Saras dan Aidan menoleh karena langkah kaki itu mendekati mereka. Ternyata Rama yang datang.
“Oh, Rama. Kenalin ini Aidan. Anak teman papaku.” Saras tersenyum kepada Rama.
"Ini Rama, pacarku." Saras menatap Rama agar berkenalan dengan Aidan.
Tapi ada yang aneh. Kedua lelaki ini tak mau berkenalan. Mereka saling diam. Mata mereka beradu.
Saras melihat keduanya saling melotot.
Tiba-tiba… BUUKK! Rama melayangkan tinju ke wajah Aidan.
BERSAMBUNG…….
Hallo pembaca semua. Kita bertemu lagi di novel saya 'ISTRI YANG TERSIKSA'. Semoga suka dan terhibur dengan novel ini. Like, vote, serta kritik dan saran pembaca ditunggu biar novel ini semakin seru dan author semangat update bab terbaru. Buat teman penulis silakan tinggalkan jejak di komen bila ingin saling support karyanya. Oh ya, jangan lupa baca juga karya Fresh Nazar: 'TERPAKSA MENIKAHI BIG BOSS' yang seru, tegang dan lucu di Aplikasi Noveltoon. Big hug with love buat kalian semua.
Tinju Rama cukup telak menghantam wajah Aidan.
Lelaki itu kesakitan. Ia meringis memegangi wajahnya yang kena hantam.
“Setan kamu!” Rama masih geram. Ia meninju wajah Aidan lagi.
Tapi.. SRTTT! Aidan berkelit. Lantas dengan gesit ia menangkap tangan Rama dan menelikungnya.
DUUGG! Sebuah tinju dilancarkan Aidan ke wajah Rama! Pukulan ini telak menghajar wajah Rama. Ia mengaduh kesakitan. “Uuughh!”
Aidan tersenyum. Wajahnya seolah bilang, ‘Satu sama’. Aku juga sudah meninju wajahmu!
Rama melepaskan tangannya yang ditelikung Aidan. Kakinya memasang kuda-kuda bela diri. Posisinya siap berkelahi.
Aidan juga melakukan hal yang sama. Posisi kakinya dengan kuda-kuda yang kokoh menandakan ia jago bela diri.
“STOP…!!” Saras memalangkan tangannya lebar-lebar di depan keduanya. “Berhenti kalian berkelahi! Ini di rumah sakit!
Rama meradang. “Aku harus memberi setan ini pelajaran!”
“Hei! Kau yang setan! Aku gak ngapa-ngapain kamu main pukul?!”
Saras menatap Rama. “Kenapa juga kamu mukul dia duluan?! Emang dia salah apa ke kamu?!”
“Salahnya apa? Banyak sekali salah dia ke aku! Bapakku meninggal karena ulah dia dan Papanya.”
“Oh ya?” Saras kaget.
“Ya. Mereka menyita semua tanah Bapakku sampai Bapak stres karena kami harus tinggal di sebuah rumah kecil.”
“Kau jangan fitnah.” Aidan berkata santai. “Aku dan Papaku gak seperti yang kau bilang. Kami berbisnis dengan cara yang santun dan hormat. Bapakmu aja yang tidak menunaikan janji membayar hutangnya!”
“Benar. Bapakku gak bisa bayar hutang! Tapi kalian kelewatan menyita 20 hektar tanah dan kebun Bapakku. Itu yang membuat kami jatuh miskin..”
“Oh, sudahlah. Orang yang gak mau membayar hutang selalu punya cara untuk gak mau bayar hutang. Aku kesini gak ada urusan denganmu. Aku mau menengok Papanya Saras.”
“Saras pacarku. Kau gak usah menengok calon mertuaku!” Rama menatap jengkel ke Aidan.
Lelaki itu tertawa. “Baru calon mertua kamu sudah berani melarang aku?!”
“Bukan sekedar calon mertua! Aku sudah melamar Saras. Dan dia mau jadi istriku.”
“Oh, benarkah?” Aidan kaget juga. “Apa benar yang dia katakan Saras?” Aidan menatap gadis itu.
Saras mengangguk. “Iya. Dia melamarku. Dan aku menerimanya.”
“Nah, benar kan?” Rama merasa senang. Ia menatap sayang kepada Saras.
“Menyedihkan. Gadis secantik Saras mau dengan lelaki sepertimu.” Aidan tertawa kecil. “Saras berhak mendapatkan calon suami yang lebih baik!”
“Setan kau!” Rama sewot. Ia hendak meninju Aidan lagi.
“Sudah, Rama. Tahan.” Saras memegang tangan Rama. “Aidan kesini dengan niat baik. Dia mau menyelamatkan Papaku dari masalah berat yang membelit keluargaku.”
*
“Lebih baik mereka masuk satu persatu.” Retno Dimyati, Ibunya Saras berkata ke putrinya. Ia menatap kedua lelaki
yang datang bersama Saras. “Papamu masih kurang sehat untuk menerima tamu beberapa orang sekaligus.”
“Iya, Ma.” Saras lantas berbisik ke ibunya. “Lagian mereka berdua gak cocok. Tadi mereka ribut.”
Bu Retno menatap kedua lelaki yang tadi datang bersama Saras. Aidan ada di sebelah kanan ruangan. Rama ada di sebelah kiri. Keduanya saling acuh. Pura-pura tak melihat keberadaan yang lain.
“Mereka ribut? Bertengkar maksudmu?” Bu Retno bertanya ke Saras.
“Iya. Sampai adu jotos.” Saras memelankan suaranya.
“Kok bisa mereka sampai sengit begitu?” Bu Retno heran.
“Saras juga gak jelas kenapa mereka berantem. Sepertinya cuma salah paham, Ma.”
“Lelaki memang kadang seperti perempuan. Suka meributkan hal yang gak jelas.” Bu Retno tersenyum. Ia lantas menatap Saras. “Lebih baik Aidan masuk lebih dulu ditemani Mama. Soalnya dia membawa kabar baik untuk Papamu.”
Saras paham apa yang dimaksud Mamanya. Ia mengangguk setuju.
“Ayo, Aidan. Masuk.” Bu Retno tersenyum kepada Aidan.
Iya, Tante.” Aidan menyahut ramah. Lantas masuk ruangan bersama Bu retno.
Saras menatap Aidan yang sudah masuk ruangan bersama ibunya. Lantas ia menatap Rama. “Aidan ramah dan baik. Kok bisa kamu membenci orang baik seperti dia?”
Rama mendengus jengkel. “Kamu jangan tertipu luarnya. Aidan dan Papanya sifatnya sama. Kalau pertama bertemu mereka pasti kita menduga mereka ramah dan baik.”
Saras mendengarkan suara Rama. Ia juga memperhatikan ekspresi Rama saat bicara tentang Aidan. Saras seperti melihat sesuatu yang lain. Mungkinkah Rama cemburu karena ia bicara akrab dengan Aidan yang gagah dan tampan?
Ya. Pasti ini alasan kenapa Rama menjelek-jelekkan Aidan. Rama sudah melamar Saras dan yakin Saras segera menjadi istrinya. Ternyata ia melihat Saras ngobrol dengan Aidan yang ganteng, bertubuh besar dan gagah, juga kaya raya. Wajar kalau Rama cemburu.
“Kamu gak perlu cemburu dengan Aidan.” Saras memberi pengertian kepada Rama. “Aku sudah menerima lamaranmu. Jadi aku gak akan berpaling ke lelaki lain.”
“Terima kasih kamu sudah menerima lamaranku. Tapi aku bukan cemburu ke Aidan.” Tegas Rama. ”Aku Cuma bilang apa adanya. Aidan dan papanya sangat jahat. Sikap ramah dan baik mereka hanya kedok buat menutupi sifat asli mereka yang serakah dan kejam.’
“Jangan begitu sayang. Aku yakin Aidan memang ramah dan baik dari sononya.”
“Oke. Aku kasih tau ya.” Suara Rama menaik. “Ini cerita nyata di keluargaku. Waktu itu Bapakku punya usaha. Kebun dan sawah Bapakku masih luas. Tapi Bapak butuh modal buat usaha baru, jual beli kayu. Terus Bapakku pinjam uang ke Papanya Aidan. Sebelumnya mereka sudah kenal baik. Jadi kami kira Papanya Aidan memberi pinjaman karena memang mau menolong Papaku.”
“Terus?” Saras menyimak cerita Rama.
“Nah, tau-tau kelanjutannya banyak yang aneh dan gak masuk di akal. Kayu yang sudah dibeli Papaku tiba-tiba raib dicuri orang. Semua kayu itu hilang dicuri waktu Bapak dan Ibuku sedang menghadiri pesta di perusahaan Papanya Aidan. Gosipnya sih, pencuri itu orang suruhan Papa Aidan.”
“Kamu menjelek-jelekkan mereka terus.” Saras jengah juga karena nada suara Rama tetap minor menceritakan kejelekan keluarga Aidan. “Bisa saja pencurinya entah siapa. Dan dia memang gak ada hubungan sama sekali dengan papanya Aidan.”
“Iya sih.” Rama sedikit malu. “ Aku juga sebenarnya gak tau siapa pencurinya karena aku masih kuliah. Aku sibuk di kampus dan gak tau gimana kejadiannya. Tapi setelah pencurian kayu itu terjadi, Bapakku dililit hutang banyak.”
Suara Rama berubah sedih. “Kayu yang dibeli Bapak waktu itu banyak sekali. Baru sebagian yang dibayar dari uang pinjaman ke Papanya Aidan. Pemilik kayu ngamuk minta dilunasi. Bapak terpaksa mau pinjam uang lagi ke Papanya Aidan.”
“Dapat pinjamannya?”
Rama menggeleng cepat. “Enggak sama sekali. Mereka gak mau ngasih pinjaman. Malah mereka jadi galak. Tau-tau Aidan dan Papanya jadi sering ke rumah kami. Mereka bilang utang Bapakku sudah berlipat ganda dari yangmereka pinjami! Harus dibayar cepat kalau gak mau bunganya tambah banyak! Bapakku jadi stres kayak orang gila. Eh, Aidan dan Papanya malah menyita rumah dan kebun kami yang luas. Itu sebabnya rumah yang kutempati bersama ibu sekarang kecil dan sederhana.”
“Wah!” Saras kaget juga. “Kalau emang benar kejadiannya begitu? Kenapa kamu gak cerita dari dulu ke aku soal ini?”
“Buat apa aku cerita? Kalau aku bilang bapakku stres sebelum meninggal mungkin kamu gak mau menerima lamaran dari anak orang gila!”
Saras terdiam. Benar juga apa yang dikatakan Rama.
Pintu ruangan terbuka. Aidan keluar dari kamar bersama Bu Retno. Wajah Aidan dan Bu Retno tampak senang.
“Terima kasih banyak Aidan. Salam ya dari Tante buat Papamu.”
“Iya, Tante. Nanti Aidan sampaikan. Oh ya, Saras.” Aidan mendekati Saras sambil senyum lebar. “Kamu harus mengikuti omongan Papamu. Kamu gak perlu ragu karena aku benar-benar serius.”
“Kamu ngomong apa sih?” Ujung mata Saras terangkat.
“Nanti aja kamu dengar sendiri dari Papa dan Mama kamu. Karena mereka juga setuju. Oke, Saya pamit dulu Tante Retno, Saras….” Adam berkata ramah. Ia tak menyebut nama Rama. Menoleh ke Rama pun tidak.
Saras tau Rama melengos pura-pura tak melihat Aidan pamit. “Terima kasih kamu sudah membesuk Papa.” Saras melepas Aidan yang pamit dengan sopan.
Beberapa jenak kemudian Bu Retno, Saras dan Rama sudah masuk ke ruangan tempat ayah Saras dirawat. Yusuf Rahardi Winata, ayah Saras tampak senang.
“Papa kelihatan segar.” Saras menatap ayahnya yang banyak tersenyum.
“Tentu saja Papa kelihatan segar.” Pak Yusuf tersenyum lebar. “Aidan tadi bilang hutang Papa yang 500 juta ke Mr. Karl akan dia lunasi. Lalu semua biaya rumah sakit Papa akan ditanggungnya kalau kamu mau menikah dengannya!”
BERSAMBUNG…….
“APAA..?!” Saras dan Rama kaget mendengar ucapan Pak Yusuf. Mereka sampai berkata serempak.
“Betul yang dikatakan Papamu.” Bu Retno berkata dengan dingin. Ia tau Rama yang berada di sebelah Saras tak akan suka mendengar omongannya. “Aidan sudah tegaskan. Hutang Papa yang 500 juta ke Mr. Karl akan dia lunasi. Lalu semua biaya rumah sakit Papa akan ditanggungnya dengan satu syarat. Kamu harus mau menikah dengan Aidan!”
“Iya Saras.” Sambung Pak Yusuf. “Syarat itu mudah diikuti, makanya Papa dan Mama setuju kalau Aidan jadi suamimu.”
Saras jengkel. “Hei! Papa sama Mama gak bisa gitu. Yang bener aja mutusin hal penting gini tanpa persetujuan Saras?!”
Rama juga kesal. Merah padam wajah Rama mendengar itu.
“Omongan Saras benar. Om sama Tante gak bisa begitu.”
“Kenapa gak bisa?” Bu Retno sengit.
“Karena saya sudah lebih dulu melamar Saras. Dan Saras menerima lamaran saya!” Tegas Rama.
Pak Yusuf mengangkat kepalanya. “Apa benar?” Pak Yusuf menoleh ke Saras. “Lelaki ini sudah melamar kamu?”
“Iya Pa.” Sahut Saras. “Rama sudah melamar Saras dengan menyiapkan cincin berlian dan uang seratus juta. Saras setuju menerima lamaran Rama!”
"Haah..?! Kamu menerima lamaran dia yang cuma sanggup ngasih seratus juta?” Bu Retno sengit. Ia setengah hati melirik Rama. Lantas Bu Retno memegang tangan Saras. “Aidan itu bisa ngasih kita uang milyaran! Kamu harus pilih dia jadi suamimu!”
“Enggak!” Saras langsung berkata tegas. “Cinta bukan masalah uang, Ma. Saras mau menerima lamaran Rama karena dia baik dan sayang sama Saras.”
“Tapi dia Cuma sanggup ngasih kamu seratus juta.” Pak Yusuf jadi pusing. Ia memegangi dadanya yang tiba-tiba sesak. “Kita butuh uang jauh lebih banyak dari itu Saras….Hhh… Hhh…”
Nafas PakYusuf tiba-tiba berat. Ia memegangi dadanya. “Sakit… hhh…. Hhhh…” Eskpresi Pak Yusuf jelas menahan sakit yang luar biasa. Nafasnya memberat. Matanya tiba-tiba mendelik.
“Papa…” Bu Retno panik menatap suaminya.
“Papaa….!” Saras juga panik.
Rama kebingungan. Serba salah harus berbuat apa.
“Ini gara-gara kamu!” Bu Retno menatap Rama. “Suami saya gak suka kamu melamar Saras! Keluar kamu dari ruangan ini!”
*
BUUKK!
BUUKK!
BUUKK!
Tinju Rama mengenai batang pohon itu dengan keras. Rama kesakitan. Tapi dia gak perduli.
“Kamu gak bisa begitu Saras!” Ia lantas mendekati Saras yang terpaku bersender di samping mobil. “Masa kamu mau mencampakkan aku begitu aja?!”
Saras mau menangis. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. “Ini bukan keinginanku Rama. Ini aku lakukan supaya Papaku sehat. Supaya masalah hutang keluargaku teratasi.”
“Tapi kamu sekarang mau melupakan aku dengan gampang. Seolah aku sampah yang gak ada gunanya. Cuma karena setan itu bisa ngasih uang banyak ke keluarga kamu!” Rama menumpahkan unek-uneknya.
“Dia bukan setan. Kamu aja yang nganggap dia begitu.”
“Nah.” Rama makin kesal. “Sekarang kamu mulai belain dia! Kamu sudah mulai suka sama dia!”
“Aku bukan belain dia Aidan. Aku sekarang lagi belain Papaku yang kondisi jantungnya tambah memburuk. Aku pasti nyalahin diriku kalau sampai Papa meninggal karena marah sama aku. Dan yang pasti, aku gak mau Papaku meninggal….”
Rama terdiam. Ia menatap Saras seolah Saras bukan gadis yang sudah beberapa tahun ini mengisi hatinya.
Saras mematung. Menatap jauh ke depan ke arah belantara gedung-gedung bertingkat jakarta yang terlihat dari tempat parkir rumah sakit itu. Tapi sesungguhnya ia tak melihat kesana. Pikirannya sedang kemana-mana.
KLONTANG!
Sebuah kaleng minuman ringan yang tercecer dekat tempat sampah ditendang Rama dengan keras. Kaleng itu terpelanting menjauh.
Saras terganggu mendengar suara kaleng itu. “Kamu jangan bikin aku tambah pusing, Rama. Kamu harus ngertiin aku!”
“Oh gitu.” Rama sinis. “Sekarang aku disuruh ngertiin kamu. Tapi kamunya gak mau ngertiin aku! Iya?! Kamu egois sekarang. Mana janjimu yang bilang kamu gak akan berpaling ke orang lain karena kamu sudah nerima lamaran aku? MANAAA..??!!”
Saras tak menyahut.
Rama mendekati Saras. Ditariknya wajah Saras agar menghadap wajahnya. “Aidan itu sudah membuat Bapakku meninggal dalam kondisi stres. Dan sekarang dia juga merebut pacar yang sudah siap aku nikahi. Aku pasti dendam dengan orang sejahat dia!”
*
“Ha ha ha ha…” Tawa Pak Argajaya Wibowo, Papanya Aidan berderai.
Ia bersama Aidan, Saras, Bu Retno dan Pak Yusuf berada di halaman belakang sebuah rumah yang besar dan megah di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Halaman rumah itu luas dan asri. Mereka sedang minum teh dengan santai sambil menatap kejernihan air sebuah kolam renang yang ada disitu. Di meja tampak banyak makanan enak dan buah-buahan segar terhidang.
“Silakan… Silakan Saras, Bu Retno, Pak Yusuf . Silakan dinikmati hidangan ala kadarnya di gubuk kami.” Pak Argajaya merendah. Suaranya empuk dan ramah.
Saras membatin. Kalau rumah semegah dan seluas ini dibilang gubuk, tentu rumah papanya yang sederhana lebih pantas dibilang kotak peti kemas.
“Pak Argajaya ini dulu teman akrab Papa waktu masih kuliah. Dulu…. waktu masih sama-sama kere.” Pak Yusuf tertawa sambil bercerita ke Saras.
“Ah, sekarang juga masih kere. Biasa aja.” Pak Argajaya kembali merendah. “Kebetulan aja saya kebeli rumah di Pondok Indah.”
“Iya. Kebetulan juga perusahaannya maju. Mobilnya banyak. Rumahnya gak cuma satu. Punya vila keren. Punya kebun luas berhektar-hektar di Puncak.” Pak Yusuf menimpali. “Semua serba kebetulan ya, Pak?”
Semua orang itu ngakak. Tubuh Pak Argajaya yang gemuk sampai terguncang-guncang mendengar gurauan Pak Yusuf.
Saras melihat Papanya sangat gembira. Tampak segar dan bersemangat. Jauh berbeda dengan beberapa hari lalu saat kondisi jantung Papanya memburuk selama 2 hari. Setelah Saras berjanji akan mematuhi keinginan Papanya agar mau jadi istri Aidan. Tiba-tiba Pak Yusuf kembali segar seolah tak pernah sakit jantung.
“Nah, bagaimana Saras?” Pak Argajaya menatap Saras. “Om mengundang kalian kesini karena Om setuju Aidan menikah sama kamu.”
“Tapi Om. Saya sama Aidan baru kenal. Aneh aja tiba-tiba Aidan mau menjadikan saya istrinya?” Saras bicara jujur.
Aidan tersenyum. “Umurku sudah 33 tahun. Sudah capek putus melulu dengan perempuan cantik. Sekarang aku butuh perempuan yang gak cuma cantik. Aku butuh perempuan yang perhatian dan hatinya baik.”
Saras dan orang-orang disitu menyimak ucapan Aidan.
“Waktu kamu sibuk memikirkan Papamu.” Aidan menatap Saras. “Aku langsung punya feeeling bagus ke kamu. Kamu bukan sekedar cantik. Kamu gadis yang baik dan perhatian. Kamu pasti bakal jadi istri yang hebat.”
Saras tersanjung. Lelaki tampan, gagah dan kaya raya ini memujinya. Harus diakui Aidan makin mempesona di matanya. Ah, pasti Rama memang hanya kelewat benci karena Aidan lebih segala-galanya dibanding Rama.
“Jadi aku dengan tulus bilang ke kamu.” Aidan tiba-tiba menunduk. Kaki kanannya di depan sementara kaki kirinya lurus serata tanah. Ia mengeluarkan sebuah cincin yang berkilauan dari kantong bajunya. Diangsurkannya cincin itu ke dekat tangan Saras. “Maukah kamu jadi istriku Saraswati Danisa?”
Saras diam. Ia melihat Aidan berlutut di depannya. Ia melihat Papanya, Mamanya dan Pak Argajaya menunggu jawabannya.
Saras ingat. Rama melakukan hal yang sama beberapa hari lalu. Dan sekarang ada lelaki lain yang melamarnya. Ah, apakah ia tak menghianati Rama hanya karena Aidan lebih didukung Papa dan Mamanya?
“Bagaimana Saras? Apa kamu bersedia menerima lamaranku?” Aidan mengulang ucapannya.
Semua orang itu menatap Saras.
Saras rikuh. Ia tahu semua orang menunggu jawaban dari bibirnya.
BERSAMBUNG…….
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!