NovelToon NovelToon

Suamiku Bukan Gay!

Pertemuan Tiga Sahabat

Di luar sebuah gedung kampus ternama.

siang itu walaupun terasa menyengat tapi tak dihiraukan oleh Ana dan beberapa temannya yang sejak tadi tertawa serta beberapa kali berfoto, mereka terlihat sangat asik, karena mungkin nanti akan sangat sulit bagi mereka untuk berkumpul seperti ini lagi.

Hari ini adalah hari wisuda Ana, sebagai tanda dia telah lulus jenjang pendidikan strata satu.

Di sudut lain di tempat yang sama, ada keluarga besar yang sedang menunggu dengan sedikit gusar mungkin karena panas dan sesak dengan banyaknya orang yang lalu lalang.

"Na! Cepetan! Ini Salwa sudah merengek dari tadi, bisa-bisa gak jadi difoto nanti!" terdengar suara dari balik ponsel yang dipegang Ana, Ana menutup teleponnya sambil melihat ke arah keluarganya berkumpul, terlihat mata perempuan yang melotot menatapnya dari kejauhan. Kakaknya yang seperti kewalahan menggendong anak kecil dalam pangkuannya yang merengek sejak tadi, mungkin karena kepanasan atau mulai bosan.

Akhirnya Ana berpamitan kepada teman-temannya, dia memutuskan menghampiri keluarganya.

"Kamu lama banget sih, Na!" Teh Lia, menyemprot Ana yang segera tiba didekatnya.

"Maaf atuh Teh, soalnya ini terakhir kita kumpul"

"Kamu mah udah tau ada Salwa, bukannya cepet-cepet!" menimpali Ana dengan sewot. Dia benar-benar kewalahan dengan Salwa yang terus merengek gak tau apa maunya, bahkan papanya Salwa sudah menyerah sejak awal rengekan Salwa.

"Sudah-sudah,,, ayo kita ke mobil, kita cari makan dulu habis itu kita ke Jonas foto! kasian Salwa," Mamanya Ana menengahi.

"Kenapa Salwa gak diajak di mobil aja dari tadi." kata Ana sambil cemberut dan berjalan mengikuti keluarganya.

"Sudah, malah sudah diajak berkeliling sama papanya gantian dengan ayah juga, mungkin bosan." Jawab mamanya Ana. Wajar saja sejak pagi Salwa ngotot pengen ikut barengan dengan Ana pergi ke acara wisudanya gara-gara melihat Ana berdandan dengan memakai kebaya moderen, sementara yang diperbolehkan ke dalam ruangan hanya orang tua dan wisudawan/ti, jadi keluarga yang lain menunggu di luar gedung.

Di sebuah resto yang tak jauh dari gedung studio foto yang sudah dibooking mereka sejak beberapa hari yang lalu, mereka menenangkan Salwa dengan memberinya es krim yang dia suka, tiga scoop es krim strawberry dengan toping marshmellow dan beberapa coklat berwarna menjadi pilihan Salwa.

"Agus?" tiba-tiba seseorang memanggil laki-laki paruh baya yang dipanggil ayah oleh Ana. Perempuan menyapa sambil berjalan menuju meja tempat mereka menikmati makan siangnya. Mata Agus tertuju pada sesosok perempuan yang mendekati meja tempat mereka manyantap makan siangnya, dia terlihat mengerutkan keningnya.

"Ambar?" Seorang perempuan paruh baya yang duduk di dekat Agus mengenali perempuan itu, wanita yang terlihat cantik dan berjalan dengan elegan kearah mereka mengalihkan pandangannya saat namanya disebut.

"Meti!" jawabnya sembari mempercepat langkah menuju Meti yang memanggil namanya.

"Masya Allah, Ambar,,,!" Kata Meti sambil memeluk perempuan yang kini tengah berdiri didepannya. mereka berpelukan lama, bergoyang ke kanan dan ke kiri, seperti sahabat yang sudah lama tak bertemu.

"Metiiiiii,,," sapanya dengan mata berbinar sedikit berkaca-kaca.

"Ya Allah, Ambar! aku gak percaya ketemu kamu disini, kamu masih cantik seperti dulu," Kata Meti, mereka melepaskan pelukannya disudut matanya mulai terlihat genangan air, terharu.

Setelah saling melepas rindu barulah Meti mengenalkan siapa perempuan yang ada dihadapannya pada keluarganya.

"Ini Tante Ambar, dia teman mama dan ayah sejak SD." Cerita mama Meti sambil mempersilahkan Tante Ambar duduk diantara mereka. Mulailah Mama Meti memperkenalkan satu persatu keluarga yang bersamanya kini tak luput juga anak keduanya yang tak bisa hadir.

Lia adalah kakak pertama Ana, Andi suaminya dan si kecil Salwa putri pertamanya. Kakak keduanya Hasan, dia tidak datang karena Sinta, istrinya sedang hamil tua, rumahnya terlalu jauh. Hasan memutuskan tinggal di kampung halaman istrinya di Jogja dengan alasan ibu dari istrinya Sinta, sudah tua dan tak ada yang menjaga.

"Ini Ana, anak ketiga ku, hari ini wisudanya, ini Handini anak bungsuku, heheee " mama Meti tersenyum malu. Tante Ambar menyalami satu persatu, dia menatap Ana lebih lama.

"Anak kalian cantik-cantik ya, Gus!" Kata Tante Ambar "ngomong-ngomong, kalian hebat ya bisa sampai punya emapat anak, hahaaa,,, " lanjut Tante Ambar setelah mendengar cerita Mama Meti,

"Aku juga ga nyangka ternyata Meti bisa sesubur itu, hahaaaa,,," timpal Ayah Agus sambil ketawa dan berakhir cubitan Mama Meti di pinggangnya.

"Aaaaaaaawwww,,, sakit mah sakit,,,!" Teriak ayah Agus.

Mereka bersemangat bercerita tentang masa lalu mereka.

"Gimana dengan anakmu, Mbar? Berapa anakmu? Sudah sebesar apa sekarang? Aku masih ingat saat kita nikah kamu udah bunt*ng aja, hahaaaaa,,," tanya Ayah Agus. Tante Ambar tersenyum kecut.

"Sayangnya aku tak bisa seperti kalian, memiliki anak banyak," ceritanya dengan nada sedikit sendu, "putraku lahir sebelum waktunya, karena ada masalah dengan rahimku, dan lebih buruknya rahimku harus diangkat karena jika tidak itu akan membahayakan nyawaku, jadi anakku cuma satu." Lanjutnya tersenyum getir.

Mama meta mengelus tangan Tante Ambar ikut bersedih.

"Tapi aku yakin anakmu tumbuh jadi orang hebat." Mama Meti menghibur.

"Tentu saja, dia tampan lho, hahaaaa,,," jawab Tante Ambar, "anakku belum nikah, Met, jadi besanan ga kita?!hahaaaa,,," Agus dan Meti saling menatap sambil tertawa.

Tente Ambar meminta maaf karena tak sengaja hubungan komunikasi mereka terputus, ternyata dia sudah tinggal di Australia ikut dengan suaminya. Setelah bercerita panjang lebar dan bertukar nomor telepon, Tante Ambar pamit. Dia berjanji akan mampir ke rumah mereka sebelum kembali ke Australia.

Akhirnya foto wisuda berjalan lancar, walaupun Salwa sesekali merengek karena bosan, tapi akhirnya mereka bisa menyelesaikan nya dengan cepat tanpa hambatan, tapi tentu saja dengan iming-iming es krim strawberry kesukaan Salwa.

Hari yang melelahkan akhirnya berakhir.

Kesepakatan yang Tertunda

Tok, tok, tok, jegrek,,, suara pintu dibuka sebelum yang didalam menyahut.

"Na,,," mama Meti memasukan kepalanya lewat celah pintu yang dibukanya.

Yang dipanggil malah asik nongkrongin drama Korea di laptopnya dengan menggunakan earphone sambil tengkurap dengan kaki ditekuk ke atas.

"Na!" Menepuk pundak, Ana spontan membalikan tubuhnya hingga terjerembab ke lantai samping kasurnya.

"Hah!,, Aaawwww,,,!" Pekiknya saat p*nt*tnya mendarat dengan keras diatas lantai.

"Ya ampun, Na! Sakit?!" Tanya mama Meti sambil membantu anaknya berdiri.

"Mama ngagetina aja, ih! Untung bukan kepala Ana yang duluan kena lantai.

"Makanya kalau nonton jangan pakai yang ginian, dipanggil jadi gak kedengerankan?! Ayah mau ngobrol katanya, samperin dulu sana!" Mama menyuruh Ana keluar kamar, Ana menurut aja, 'paling masalah lanjutan kuliah' pikirnya.

Ana menuruni tangga lalu dengan sigap merangkul ayahnya yang sedang duduk di sofa. Dia menyenderkan kepalanya di bahu ayahnya. Ana memang sangat manja pada ayahnya, dia biasa bergandengan tangan dengan ayahnya bahkan saat jalan keluar rumah.

"Ih, kamu mah udah gede masih we manja!" Ayah sambil noyor kepala Ana.

"Aduh! Ayah iiiihhhh,,," gerutu Ana masih bergelendot di tangan ayahnya. Mama Meti hanya tersenyum melihat kelakuan anaknya.

"Kamu kalo Ayah jodohin mau, ga?"

Tanya ayah, spontan Ana mendongakkan kepalanya melihat ayahnya, saat bertatapan ayahnya terlihat mengangkat-ngangkat alisnya meminta persetujuan tanpa berkata. Ana mengerutkan keningnya,

Kemudian pandangannya kembali kearah televisi. Ibunya yang sedari tadi melihat mereka berdua merasa khawatir akan reaksi Ana, jantungnya terasa berdebar sedikit kencang, tanpa sadar dia sampai mer*m*s pinggiran sofa.

Ayah masih menatap Ana yang sudah memalingkan mukanya, tiba-tiba Ana kembali mendongakkan kepalanya menatap ayahnya lagi, keningnya masih mengkerut ditambah bibirnya yang mengerucut ke depan, digoyangkan bibirnya yang masih mengkerut ke kiri dan ke kanan.

"Ganteng ga? Kaya ga? Kalo gak mah, ogah ah! ga ada yang bisa di banggain depan temen-temen, hihiiii,,," jawabnya enteng sambil cekikikan, pandangannya sudah kembali ke arah televisi.

"Hah?!" Secara bersamaan ayah dan mama Ana terheran mendengar jawaban putrinya itu, mereka saring berpandangan secara spontan. Mamanya yang tadi terlihat khawatir sekarang gemas dengan jawaban anaknya, alhasil keluarlah petuah sang emak.

"Hus! kamu mah kalo ngomong teh sembarangan pisan, ga boleh gitu nilai orang teh. Ganteng belum tentu baik, kaya belum tentu Soleh! Kalo nyari suami itu yang Soleh, yang baik agamanya, yang bertanggung jawab, yang sayang sama kamu, sayang sama orang tua... Bla... Bla... Bla... " Panjang deh urusan. Ayah dan Ana tepok jidat hampir bersamaan.

Sehari sebelumnya.

Kriiinnnggggg,,, suara ponsel Meti berbunyi saat Meti baru selesai membuat makan malam. Ambar, nama yang muncul di layar ponselnya, Meti terlihat senang dan langsung mengangkat teleponnya.

"Mbar? Gimana? Kamu dimana? Jadi kesini?" Meti memberondong Ambar dengan pertanyaan.

"Hahaaaaa,,," tawa terdengar dari seberang sana.

"Kamu tuh, nanya apa ngiterogasi, wkwkwkwk" sambung Ambar kembali terkekeh. Meti pun tertawa mendengar tanggapan temannya itu.

"Met, maaf, kayanya aku ga bisa mampir nih! Ada urusan mendesak, mendadak harus balik sekarang, ini juga aku lagi di bandara, maaf ya?!" Sesal terdengar dari nada suara Ambar.

"Hhmmm,,, ya, sayang banget sih, tapi mau gimana lagi, kapanpun kalo kamu balik ke Indonesia, jangan lupa mampir ya?! Eh kamu gak apa-apa kan? Sehat-sehat kan?!" Meti sedikit khawatir karena alasan Ambar.

"Hahaaaaa,,, kamu tuh, aku baik kok cuma ada masalah sama perusahaan sedikit, tadi malam suami aku menelepon minta aku kembali, so,,, im ok!" Jawabnya menjelaskan. "Eh Met,, aku serius lho masalah besanan itu, heheee,,, gimana kamu udah tanya anakmu, belum?! Kitakan sudah pernah janji mau jodohin anak kita, kamu inget ga?! Waktu kamu nikah, dan aku lagi hamil" Meti mengambil nafas dalam karena tiba-tiba ditagih janji yang sebenarnya dia sendiri sudah melupakannya.

"Waduh, kalau bisa besanan mah aku seneng banget atuh, Mbar. Cuma masalahnya emang anak jaman sekarang, masih mau dijodohkan?! Aku aja anak dulu ogah, hahaaaaa,,," jawab Meti.

"Ya juga sih, coba kamu tanyain dulu deh, aku udah pusing banget ngurusin anak satu tuh, aku udah berapa kali coba deketin dia sama anak-anak temen aku, selalu gagal! Ada ajaaa alasannya, kali aja yang ini berhasil." Suaranya terdengar geregetan mengingat pernah beberapa kali membuat keluarga teman-teman nya kecewa karena penolakan anaknya.

"Ya sudah nanti aku coba tanya dulu sama anaknya ya, tapi aku ga janji lho, Mbar,"

"Oke gak apa-apa, nanti aku kirimin foto anak aku ya, dia itu CEO di perusahaan papi nya di Jakarta, jadi kalo soal masa depan kamu ga usah khawatir, terjaminlah." Mak comblang mulai promosi nih!

"Kalau itu sih, aku gak akan ragu Mbar, tapi kita liat nanti ya, mudah-mudahan paling tidak mereka bisa saling mengenal dulu," jawab Meti sedikit bingung. 'kok, jadi maksa, sih?!" Pikir Meti setelah obrolan teleponnya ditutup. Dia duduk termenung disamping tempat tidurnya, berpikir bagaimana caranya menanggapi pinta Ambar.

"Kenapa?" Tanya Agus, Agus masuk ke kamar tanpa di sadari Meti, dia berjalan melewati Meti yang melihat kearahnya seperti sedang kebingungan, Agus naik ke tempat tidur dan berbaring menghadap Meti.

"Ambar telepon, dia menagih janji sama kita," jawab Meti.

"Janji? Janji apa?" Tanya Agus. Meti menatap mata suaminya.

"Itu Yah, masalah jodoh-jodahan itu," jawab Meti terdengar tidak terlalu suka dengan ide Ambar. Agus hanya mengerutkan dahinya. "Dulu inget ga, Yah?! Waktu dia datang pas nikah kita, dia bilang pengen ngejodohin salah satu anak dia sama kita, atuh ih masa lupa?" Jelas Meti sambil menepuk kaki suaminya. "Ayah kan yang langsung iya-iya aja!" Sambungnya lagi.

"Hmmm,,, Ana ya?!" Jawab Agus singkat.

"Iya atuh, masa sama Dini, dia kan masih SMA, gimana atuh, Yah?!" Jelas Meti sedikit khawatir.

"Ya sudah, bilang dulu sama Ana, kita liat reaksinya seperti apa?!"

"Ayah aja ah yang bilang, mama mah ogah, nanti kalo tiba-tiba dia nolak terus kabur kayak waktu itu, gimana?!" timpal Meti semakin khawatir.

Perjodohan

Malam semakin larut, setelah Agus dan Meti mencoba mengutarakan perjodohan pada Ana putrinya, dengan mendapatkan tanggapan seperti itu, membuat mereka sedikit lega, mungkin menurut mereka itu diibaratkan lampu kuning. Mati membaringkan tubuhnya disamping suaminya.

Tring,, tring,,

suara chat masuk ke ponsel Meti. Tak lama Meti terlihat seperti mengetik sesuatu di ponselnya.

“Yah, liat gera! Ambar ngirimin foto anaknya, kasep hayo, Yah!” Meti menyodorkan ponselnya kedepan mata suaminya, (Yah, coba liat! Ambar ngirimin foto anaknya, ganteng lho, Yah!)

“gimana mau liat atuh kalo deket banget ke mata gini mah,” jawab Agus sewot melihat ponsel tepat di depan matanya, mendelik kearah istrinya sambil kemudian bangkit dari tidurnya, menegakan badan dan meraih ponsel dari tangan istrinya

“hhhmmmm,,, masih ganteng ayahlah!”

“hahaaaaa,,,” disambut tawa istrinya,,, “si Ayah meni kepedean pisan!” lanjutnya tanpa berhenti tertawa.

Hari minggu ini sedikit tak bersabat, pasalnya sejak subuh tadi hujan sudah menguyur kota bandung. Ana baru selesai membantu ibunya membuat sarapan alakadarnya, tak lupa membuat kopi untuk ayah

dan susu untuk Dini lalu duduk di meja makan. Tiba-tiba Meti menyodorkan ponselnya pada Ana.

“Liat gera, ganteng teu?” ("coba liat, ganteng gak?")

“Ih mama pagi-pagi udah ngagosip,” jawab Ana sambil meraih ponsel mamanya.

“Siapa ini mah, ganteng gening?” ("siapa ini mah, ganteng ternyata?") lanjut Ana setelah melihat beberapa foto yang ditunjukan Meti padanya.

“Gantengkan?! Baik lagi neng, katanya dia CEO di perusahaan apa gitu di Jakarta.” Jawab meti

menjelaskan. “Mau gak kalo mama kenalin?” lanjut Meti. Agus memandang Ana dengan perasaan sedikit cemas.

“Cieee,,,cieee,,, teteh udah mau kawin, hahaaaaa,,,” timpal Dini dengan polos, membuat Meri dan Agus kaget, merasa takut dengan reaksi Ana.

“Hus! kamu mah, orang tua lagi ngomong teh,” mama mencoba mencairkan suasana yang sedikit tegang.

“Emang siapa itu mah?” tanya Ana. Meti dan Agus terlihat menelan salivanya.

“Anaknya Tante Ambar,” jawab Agus singkat.

“terus… maksudnya?” Ana meminta penjelasan. Meti menarik nafa panjang lalu menjelaskan kalau tante Ambar sejak dulu ingin mengikat persaudaraan dua keluarga dengan cara menikahkan anaknya dengan

anak perempuannya. dan yang sekarang belum nikah ya Ana dan Dini, tapi karena dini masih SMA, sudah jelas tidak mungkin. Akhirnya pilihan jatuh ke Ana. Ana hanya terdiam.

“harus emang?” tanya Ana singkat setelah panjang lebar Meti menjelaskan. Meti dan Agus saling

memandang sedikit tak mengerti dengan pertanyaan putrinya. Sementara Dini mengendap-endap pergi

dari pergelutan keluarganya yang semakin memanas akibat perbuatannya.

“Maksud Ana, memangnya mengikat persaudaraan harus dengan pernikahan? Bukannya selama ini

mama bilang kalian udah seperti saudara sejak dulu!”

“Sebenernya Ayah sama Mama itu merasa gak enak dengan permintaan tante Ambar karena dulu waktu

usaha pertanian kakek kamu hampir bangkrut, keluarga Tante Ambarlah yang sudah menolong kami,

singkatnya kita bisa menikmati hasil seperti ini anggaplah karena pertolongan dari keluarga Tante

Ambar, seperti itu neng” Meti menjelaskan disambut anggukan Agus."ya walaupun Tante Ambar gak pernah ngomongin masalah itu, tapi tetep aja we, gak enak." Sambung Meti lagi.

“tapi bukannya dulu kamu pengennya pacaran setelah nikah, sekarang ada yang mau nikahin malah nolak,” ,,, “atau kamu sudah ada yang disuka?” sambung Agus.

“Nah kalau kamu ada yang disuka coba omongin atuh sama dia suruh datang kesini, jadi mama kan bisa punya alasan untuk nolak perjodohan ini, bahwa kamu sudah ada yang lamar, kan gitu atuh gampang.”

Jawan Meti menanggapi penjelasan suaminya.

“ Ada sih, tapi,,, nanti Ana coba bicara dengannya.” Akhirnya perdebatan pagi ini menemui titik terang.

Setelah perdebatan panjang dengan orang tuanya tentang perjodohan, Ana melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju ke ujung ruangan sebelah kiri lantai dua rumahnya, yaitu kamarnya. 'semoga saja Dimas mau' harapan Ana dalam hati. Dimas adalah salah satu teman dekatnya setelah Stela, Dimas sahabat sejak awal kuliah, sedangkan dengan Stela ana sudah berusahabat sejak SMA. Sudah beberapa kali Dimas menembaknya, tapi tak dihiraukan oleh Ana alasannya dia tidak ingin pacaran, dia ingin langsung menikah, tapi Dimas selalu berkilah bahwa dia ingin sukses dulu sebelum menikahi Ana, karena tak mau membuat Ana hidup susah nantinya. Alasan yang sebenarnya untuk Ana adalah Stela, sejak awal mengenal Dimas sebenarnya Stela sudah menyukainya, dan Ana adalah tempat curhatnya, jadi dia berpikir lagi untuk menerima Dimas untuk jadi pacarnya bukan karena Ana tak menyukai Dimas, hatinya sering berdebar keras setiap dekat dengan Dimas. Dimas bahkan meminta Ana untuk menunggunya paling tidak setelah dia mendapatkan pekerjaan. Anapun tak pernah bercerita pada Stela kalau dia sudah beberapa kali ditembak oleh Dimas, karena takut stela kecewa, huft!,,, Rumitnya,,,

"Halo Di, sibuk ga?" Tanya Ana lewat telepon.

"Nggak, kenapa Na?" Tanya Dimas

"Kalau kamu gak sibuk, aku mau ngomong bisa ga?"

"Oke, aku lagi di kafe biasa, kesini aja,"

"Di kafe, sama siapa?"

"Sendiri," jawab Dimas singkat.

"Oke, aku kesana sekarang."

Ana terdiam sejenak dia meremas tangannya sendiri mencoba memantapkan hati, karena jika Dimas setuju, maka dia harus bersiap menjelaskan pada Stela,,,

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!