...Happy reading...
********
Hari senin adalah hari di mana semua orang di sibukkan dengan pekerjaan maupun sekolah, termasuk gadis dewasa yang sudah berumur 25 tahun itu. Ia sedang mematut dirinya di cermin, menggoreskan bibirnya dengan sesuatu yang berwarna merah nyala. Bibir seksi menggoda, lekuk tubuh yang indah. Menampilkan seorang Ulan Diandra Maera yang perfect dan juga mempesona setiap lelaki yang melihatnya. Jemari lentiknya mengambil tas kerjanya dengan gerakan lembut. Hari ini ia harus berangkat lebih cepat karena anak dari bosnya yang akan menggantikan kedudukan CEO pria paruh baya itu. Itu artinya Ulan akan menjadi sekretaris dari anak sang bos, dalam rumor yang beredar anak bosnya itu adalah pria dewasa yang ganteng. Namun, gosip miring yang di dengar Ulan membuatnya bergidik ngeri. Ulan tak menyangka jika anak dari bos nya adalah seorang gay. Entah benar atau tidak gosip itu, ia tak tau. Tetapi semoga saja tidak karena anak dari bos tersebut tidak pernah dekat dengan wanita manapun membuat Ulan merunding jika gosip itu benar adanya.
Langkah anggunnya menyapa setiap orang yang di lewatnya, banyak tatapan kagum yang ia dengar dari teman sekantornya, Ulan membalasnya dengan senyum yang menawan seperti biasa. Ramah adalah sifat yang membuat semua orang menyukai gadis seperti Ulan. gadis periang, ramah dan galak jika ada yang menggangu ketenangannya. Namun, juga terkadang manja dengan orang terdekatnya. Siapa saja yang dekat dengannya akan di buat nyaman oleh sifat Ulan apalagi wajahnya yang selalu meneduhkan dan membuat siapa saja akan tenang.
"Ulan, Anda sudah di tunggu oleh anak bos di ruangan," ucap teman sekantornya dengan nada ramah.
Ulan tersenyum. Namun, dalam hati juga ia was-was jika bertemu dengan bos barunya. Ia harus bersikap seperti apa? Entahlah ia bingung dan tak tahu harus melakukan apa.
"Baik, terimakasih Kris," jawab Ulan dengan sopan dan tersenyum.
Dengan langkah anggunnya ia mulai menuju keruangan di mana bos barunya berada, ketukan pintu yang ia lakukan terdengar oleh seseorang yang berada di dalam ruangan.
"Masuk!" ucap seseorang tersebut dengan tegas dan dapat Ulan pastikan suara itu adalah suara bos barunya.
Ulan membuka pintu ruangan sang bos, aura dingin sangat kentara ketika ia memasuki ruangan itu. Padahal Ulan belum melihat wajah sang bos tetapi mengapa ruangan ini terasa sangat mencekam. Kursi yang diduduki bos barunya tersebut berbalik menghadap ke arahnya, mata tajam, rahang tegas yang di tumbuhi bulu-bulu halus membuat Ulan terpana menatapnya.
"Apakah anda sudah selesai memandangi wajah tampan saya?" ucap suara berat itu yang terkesan seksi di pendengaran Ulan. Ulan terkesiap ia mencoba menormalkan keterkejutannya, dengan kesal bibir seksinya mencibir pelan.
"Anda sekretaris ayah saya yang bernama Ulan Diandra Maera?" tanya Alan dengan nada angkuhnya. Lagi-lagi Ulan mencibir, dalam hati ia mengumpat bos barunya dengan kata 'songong'. Hilang sudah keterpanaannya terhadap ketampanan bosnya, ternyata tampangnya tak sesuai dengan sifatnya.
"Iya Pak," ucap Ulan dengan tegas.
"Peraturan yang ayah saya buat, akan saya ganti dengan peraturan baru," ucap Alan dengan tenang dan dinginnya.
Mata Ulan melotot memandang Alan tak suka, bibirnya sudah ingin mencela perkataan bos songongnya tetapi ia tahan karena harus menjaga sikapnya.
"Tidak bisa begitu Pak, peraturan itu sudah ada sejak dulu." protes Ulan dengan menahan kesalnya.
"Anda siapa? di sini saya berhak mengubah semuanya. Termasuk memecat anda ketika anda melakukan kesalahan sedikit saja," ucap Alan dengan tajam, mata elangnya menatap Ulan dengan sangat dingin.
"Baiklah terserah BOS saja," ucap Ulan kesal dengan menekankan kata bos.
Alan tersenyum miring menatap Ulan. "Silahkan duduk, dan dengarkan peraturan yang saya bacakan!" ucap Alan dengan nada memerintahnya.
Dengan menghentakkan kaki dengan kesal Ulan mulai duduk berhadapan dengan bos barunya. Nafasnya tertahan ketika wajah bosnya mendekat ke arahnya dengan refleks Ulan menjauhkan wajahnya.
"Yang pertama, anda berangkat ke kantor berbarengan dengan saya. Yang kedua, anda Ulan Diandra Maera bersiap kapanpun saya butuhkan. Yang ketiga, melayani saya dengan sepenuh hati seperti menyiapkan keperluan kantor saya. Dan yang ke empat, setiap hari anda harus memasak untuk saya karena saya tidak suka makanan yang di beli," ucap Alan dengan tegas tanpa ada kata main-main dalam ucapannya yang membuat Ulan tak percaya hingga membelalakkan matanya.
"APA?, bos kira saya istri bos apa? Seenaknya saja anda membuat peraturan seperti itu, saya tidak terima," ucap Ulan yang kesal karena merasa peraturan tersebut bukan sebuah peraturan perusahaan tetapi peraturan yang di tunjukkan untuk dirinya.
"Saya tidak meminta persetujuan anda nona Ulan. Yang saya minta anda menaati peraturan saya!"
"Tapi saya tidak mau!"
"Berani kamu melawan saya?"
Dengan perasaan yang dongkol dan rasa tidak terimanya. Ulan menerima peraturan tersebut dengan terpaksa. Alan tersenyum puas, emang siapa yang berani melawannya? Pemilik perusahaan ini.
"Kalau begitu saya permisi Pak," ucap Ulan menahan kesalnya, Alan mengangguk mempersilahkan Ulan keluar dari ruangannya.
Setelah Ulan keluar dan sudah dan duduk di kursinya, gadis tersebut berteriak. "Aaaaaaaa.... Aku kesel sama anak bos yang galak itu," teriak Ulan menumpahkan segala yang mengganjal di hatinya. Ulan sudah menyadari jika hidupnya tidak akan tenang setelah kehadiran seorang Alan menggantikan bos lamanya yang sudah pensiun.
...Happy reading...
******
Bangun pagi, menyiapkan sarapan, dan terakhir menyiapkan baju ganti. Sudah bersuami? tentu saja Ulan akan menjawab dengan lantang jika memang ia belum bersuami. Semua itu adalah paksaan dari sang bos yang berdalih akan memecatnya jika Ulan tak mengerjakan semuanya. Jika ada yang bertanya lagi, Ulan tinggal di mana? Tentu saja ia tinggal di rumahnya sendiri. Hanya sendiri! Namun, dengan lancangnya bos besarnya menginap dengan beralasan lelah. Tak sanggup menjalankan mobilnya kembali. Ini baru pertama kalinya Alan menjad bos dan baru saja 24 jam Alan menjadi bosnya sudah berani menginap di rumahnya, Ulan tidak tahu apa yang di pikirkan Alan saat ini. Apakah ini akibat seorang Alan sudah lama tinggal di luar negeri?
Pasrah. Itulah yang Ulan lakukan saat ini, walau hatinya sangat merasa dongkol dengan sifat sang bos yang terlewat baik itu. Tangan mungilnya menyiapkan menu makanan kesukaan dirinya tak perduli sang bos akan suka atau tidak, jika perlu sang bos elergi dengan makanan kesukaannya. Biar sekalian mati, ups. Dosa tidak sih mengomel sepanjang ia memasak? Ulan harap dia tidak berdosa karena yang di tindas adalah dia di sini.
"Punya bos seenaknya saja, emang ini rumah dia apa? seenaknya menginap. Padahal baru kenal sehari, sok akrab," omel Ulan sepanjang menyincang sayurannya menjadi kecil.
"Kamu bilang apa nona Ulan?"ucap Alan dengan datar yang ternyata sudah berada di belakang Ulan dengan tangan bersedekap.
"Awww." Ulan berjengkit kaget hingga tak sengaja pisau tajam yang ia pakai mengenai jari telunjuknya. Wajah Alan langsung tampak pias khawatir. Namun, dengan mudah ekspresinya kembali tenang seperti biasa.
"Makanya kalau masak itu jangan sambil ghibah tau rasa akibatnya kan? Untung gak putus tuh jari,"omel Alan dengan datar menghisap telunjuk Ulan untuk mengeluarkan darah yang keluar sedikit banyak itu. Ulan mematung menatap Alan yang masih mencoba mengeluarkandarah di jarinya, perasaan hangat menjalar masuk ke relung hatinya.
"kenapa lihat-lihat naksir?" tanya Alan dengan memicingkan mata.
Ulan mendelik, menarik jarinya dari tangan besar Alan. "Amit-amit, saya naksir sama Bapak? Mending saya naksir sama pak Stefan deh. udah ganteng, baik, perhatian, udah gitu gak galak."
Gantian Alan yang melotot, menatap tajam ke arah Ulan. Bisa-bisanya gadis itu menyebut sepupu laknatnya itu ganteng, dan apa tadi tidak galak, cih. Masih juga gantengan Alan kemana-kemana.
"Kamu perlu memeriksa matamu nona Ulan, mungkin minusmu semakin parah," ucap Alan dengan kesal tetapi ia mampu mengontrol ekspresi wajahnya menjadi datar kembali.
"Hey Pak Alan yang terhormat enak saja mengataiku minus. Memang benar apa yang aku katakan bos, pak Stef...mmmmmmtt...mmmmm"
"lanjutkan masak, jangan bicarakan pria lain di depan saya," ucap Alan dingin melepas bekapannya pada mulut Ulan.
"Aish, menyebalkan. Jari ku sakit, tidak bisa memasak bapak saja yang melanjutkan masak,"ucap Ulan yang mulai berani.
"Kau berani menyuruhku, jarimu tidak putus. Jangan manja!"
Ulan menghentakkan kaki nya kesal setelah kepergian bos nya dari hadapannya. Ulan memotong sayurannya asal pertanda bahwa ia tak lagi mood untuk memasak, biarkan saja semoga rasanya bisa meracuni mulut pedas bosnya tersebut.
Ulan berjalan ke arah meja makan sambil membawa masakannya, di sana sudah ada Alan yang sedang membaca majalah miliknya. Majalah Ulan memang semua tentang pekerjaan. Namun, tak sedikit tentang wanita. Ulan terdiam duduk di kursinya, tanpa mempersilahkan sang tamu yang tak di undang makan, ia mengambil makanannya sendiri.
"Kau benar-benar sekretaris tidak sopan, tak menyuruh bosnya makan, malah asik makan sendiri," ucap Alan dengan tajam setelah menutup majalahnya dengan kasar.
"Makannlah!" ucap Ulan dengan malas, menyendok sup buatannya masuk ke mulutnya.
"Kau memang tak ada niatan untuk mengambilkan ku nasi?"
"memang Pak Alan siapa? suami bukan, teman bukan, ini bukan kantor jadi anda bukan bos saya. Anda itu orang asing yang sedang menumpang tidur, dan makan di rumah saya, "ucap Ulan menatap sinis ke arah Alan yang sedang menatapnya tajam.
"Oo kalau begitu silahkan angkat kaki dari..."
"Ck, baiklah-baiklah, akan aku ambilkan. Dasar tukang mengancam, jika bukan pekerjaan saya tidak sudi melayani bapak," gerutu ulan kesal.
Alan tersenyum kecil, saat melihat Ulan meletakkan nasi miliknya di piring beserta dengan masakan gadis itu yang ternyata adalah kesukaannya.
"Kau sangat tau makanan kesukaan saya nona Ulan," ucap Alan dengan santai.
"Uhu....uhuk. Apa? Makanan kesukaan Bapak? Ini makanan kesukaan saya, jangan mengikuti selera saya," ucap Ulan tak terima.
Alan mengedikkan bahunya acuh, ia memakan masakan Ulan dengan lahap tanpa melihat ke arah Ulan yang cemberut dan terlihat menatapnya dengan sinis.
"Ais, berharap di kejang-kejang sekarang," gerutu Ulan dalam hati. Ia sudah tak berselera makan mengetahui fakta bahwa Alan juga menyukai makanan kesukaannya.
"Lanjutkan makanmu, setelah itu pakaikan saya dasi," ucap Alan yang melirik dasinya menggantung di lehernya dengan tidak rapi.
"pakai saja sendiri, saya sibuk!" ucap Ulsn ketus.
"Ulan, kamu mau membantah perintah saya?"
"Tidak Pak," kesal Ulan menghampiri Alan dan membenarkan simpul dasi Alan yang tak rapi sama sekali.
"Jadi selama ini yang memakaikan dasi anda siapa Pak? Pasang dasi saja tidak bisa. Merepotkan sekali."
"Untuk apa saya punya sekretaris kalau tidak membantu pekerjaan saya termasuk memasang dasi saya, saya tidak ingin kamu menganggur begitu saja."
"Saya juga punya pekerjaan Bos, pekerjaan saya bukan hanya mengurus keperluan anda saja, dasar bossy!"
"Terus apa peduli saya, kamu saya gaji"
"Ais, boleh nabok orang sekarang gak?" gumam Ulan kesal tetapi tangannya terus memasangkan dasi Alan walau dirinya harus berjinjit karena Alan sangat tinggi. Membuat Alan tersenyum sangat tipis.
...Happy reading...
******
Entah yang ke sekian kalinya ulan menghembuskan nafasnya kesal saat di rasa mobil yang sang bos kendarai begitu berjalan sangat lambat padahal tidak terjadi kemacetan yang begitu padat karena ini masih pagi hari. Entahlah rasanya Ulan ingin keluar dari mobil Alan begitu saja, menurutnya Alan sengaja melambatkan laju mobilnya, Ulan tidak tahu apa yang di pikirkan sang bos nya tersebut tetapi baru kali ini Ulan belum sampai ke kantor biasanya gadis itu sudah berada di kantor mengobrol dengan teman sekantornya sebelum jam kantor di mulai.
"Pak ini sudah hampir jam 8 dan kita belum sampai di kantor," ucap Ulan yang melihat jam tangannya.
"Emangnya kenapa kalau sudah hampir jam 8?" tanya Alan dengan santai tanpa melihat kearah Ulan sama sekali.
"Kita hampir terlambat Pak!" ucap Ulan dengan kesal.
"Siapa yang akan marah kalau saya terlambat? Saya CEO di perusahaan Ayah saya yang sebentar lagi akan jadi perusahaan saya," ucap Alan datar yang membuat Ulan semakin kesal.
"Kalau begitu saya turun saja Pak. Saya naik Taxi saja ke kantor dari pada saya terlambat," ucap Ulan yang ingin membuka pintu begitu saja.
"Berani keluar dari mobil saya, gaji kamu saya potong 50%. Tidak ada bantahan nona ulan!" ucap Alan dengan dingin yang membuat Ulan lagi dan lagi menghembuskan nafasnya dengan kasar, ia ingin sekali berteriak kepada Alan jika dirinya tak ingin terlambat menurut Ulan disiplin diri adalah kunci setiap kesuksesannya.
Alan menyeringai saat melihat wajah kesal Ulan yang berada di sampingnya, memang ia sengaja memperlambat laju mobilnya untuk mengetahui reaksi Ulan karena kata sang ayah, Ulan adalah gadis pekerja keras dan selalu datang ke kantor 1 jam sebelum kantor di buka entah apa yang di lakukan gadis itu tetapi menurut sang ayah, Ulan memeriksa laporan dengan teliti sebelum di serahkan kepada Ayahnya.
Di saat menginap di rumah Ulan semalam Alan baru menyadari jika gadis itu hanya tinggal sendiri, ia juga tak tahu di mana orang tua Ulan karena tak mungkin ia bertanya lebih jauh soal pribadi sekretarisnya tersebut. Alan juga melihat setiap sudut rumah Ulan yang minimalis tetapi sangat nyaman itu tidak ada sama sekali foto keluarga yang terpajang di sana, tidak seperti dengan rumah orang tuanya yang penuh dengan foto keluarganya.
Alan adalah anak pertama dari tiga bersaudara dan semuanya berjenis kelamin laki-laki yang membuat sang bunda terkadang kesal dengan sikap ketiga anak laki-lakinya. Sang bunda yang ingin sekali memiliki anak perempuan kerap kali menjodohkan Alan dengan anak sahabat bundanya tersebut, tentu perjodohan tersebut Alan tolak mentah-mentah yang semakin membuat sang Bunda kesal karena di umur 32 tahun Alan belum sama sekali membawa seorang wanita ke rumahnya untuk di perkenalkan kepada orang tuanya.
Akhirnya mobil yang di kendarai oleh Alan sampai di kantor Mahendra Grup. Perusahaan yang di bangun oleh kakek buyut Alan menjadi perusahaan yang besar dan sudah memiliki cabang menyebar di seluruh Indonesia bahkan Alan sudah berpikir untuk membangun perusahaan sendiri yang berada di luar negeri, tentu itu sudah Alan pikirkan dengan matang karena memang Alan kuliah di jurusan bisnis memudahkan Alan untuk menjalankan perusahaannya. Perusahaan yang menggeluti bidang perhotelan tersebut mungkin akan semakin bertambah besar ketika Alan sebagai pemimpin.
Tanpa satu kata pun yang keluar dari mulut Ulan, gadis itu langsung membuka pintu penumpang dengan cepat dan berjalan memasuki kantor tanpa memperdulikan lirikan temannya yang melihat ia berangkat dengan bos padahal baru 2 hari kenal. Alan berdecak kesal saat Ulan meninggalkannya begitu saja, baru kali ini ia melihat sikap yang sangat cuek dari seorang gadis biasanya banyak yang ingin bermanja padanya tetapi Alan merasa sangat jijik dengan sikap perempuan seperti itu. Mungkin Alan bisa menerima sikap tersebut jika seseorang tersebut benar-benar sangat ia sayangi seperti bundanya.
"Dasar gadis itu," ucap Alan yang merasa kesal dengan Ulan yang meninggalkannya begitu saja. Dengan langkah tegasnya Alan memasuki kantor dan segera ke ruangannya tanpa mempedulikan karyawan yang menyapanya termasuk Stefan sepupunya sendiri.
******
Ulan bernafas lega saat ia tidak bertemu dengan Alan kembali, baginya bertemu dengan Alan adalah sebuah kesialan dalam hidupnya, wajah yang sangat dingin membuat Ulan merasa tidak nyaman sekali.
"Segera buatkan saya kopi!" ucap Alan dengan dingin membuat Ulan yang sedang melamun berjangkit kaget. Ulan mengelus dadanya saat Alan menatapnya dengan begitu dingin. Bukan! Tatapan itu bukan tertuju padanya tetapi pada ponselnya yang menyala menampilkan sebuah foto, dengan gugup Ulan mematikan ponselnya.
"S-saya permisi Pak," ucap Ulan dengan gugup.
"Saya tunggu di ruangan saya. Dan ingat jangan sampai kopi saya kemanisan!" ucap Alan dengan dingin membuat Ulan mengangguk dengan cepat karena ia ingin sekali menormalkan kerja jantungnya, ia merutuki kecerobohannya saat galeri ponselnya terbuka dan terlihat oleh Alan.
Ulan memegangi dadanya saat ia sudah sampai di pantry dan bersandar di tembok. Nafasnya masih belum beraturan matanya terpejam begitu saja.
"Kamu pasti bisa melupakannya Ulan,"gumam Ulan dalam hati dan menyiapkan dirinya agar rileks dan membuatkan kopi untuk sang bos.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!