"Apa, Menikah?! Elza gak salah dengar 'kan?" Apa ini? Bisa-bisanya beliau mengucapkan kata-kata keramat itu di depanku.
"Iya, Sayang. Kamu tidak salah dengar," jawab beliau sembari menatapku tenang. Ia tampak tak terpengaruh dengan tatapanku yang penuh keterkejutan setelah mendengar pernyataannya.
"Tapi, Elza gak mau, Yah! Elza masih 27 tahun, masih sangat dini untuk menikah," sanggahku seraya menekan kata 27 tahun.
"Umur segitu anak sahabat Mama udah punya anak dua, tapi kamu masih aja jones, Kak." Mama tampak mendelik ke arahku karena tidak terima dengan apa yang baru saja aku katakan.
Ya Allah, Mama! Aku ngeri sendiri mendengar pernyataan dari Mama, membayangkan nikah mudah saja aku tidak pernah apa lagi mempunyai anak? No, itu tidak pernah.
"Ma! Seharusnya Mama belain Elza dong, masa bantuin Ayah, sih?!" ujarku tidak terima.
"Pokoknya Elza gak mau, pasti orang yang dijodohin sama Elza pria tua, ih amit-amit, Elza gak mau," bantahku lagi, sembari lanjut memakan makananku dengan santai.
"Tidak ada alasan, kamu harus mau, dua hari dari sekarang kalian harus nikah, daripada kamu jadi perawan tua, mending kamu nikah aja dengan anak temen Ayah," putus Ayah tegas seakan pernyataannya tak ingin dibantah yang membuatku berhenti menyantap makananku.
"Ma, tolongin Elza dong," mohonku kepada Mama, soalnya Mama selalu membantuku jika sudah mengeluarkan jurus puppy eyes.
"Mama setujuh sama Ayah, kamu harus nikah Kak, titik gak ada alesan-alesan lagi." Berakhir sudah. Memang aku tidak bisa menang berdebat jika sudah melawan mereka.
"Huh, baiklah. Elza mau asalkan orangnya gak tua," ujarku akhirnya. Toh, membantah pun mereka akan tetap melanjutkan perjodohan ini.
"Nah, gitu dong, ini baru anak Ayah sama Mama, dia baik dan masih muda, kamu pasti suka," balas Ayah sembari tersenyum misterius. Namun, tak kuhiraukan. Aku kemudian melangkah pergi dari meja makan menuju daerah kekuasaanku di mana lagi. Jika, bukan di kamar.
'Huft! Semoga saja ini yang terbaik, tapi kalau ada opsi untuk nolak, sikat!' gumamku dalam hati.
Namaku Elzania Saputri Wijaya, sekarang aku berusia 27 tahun. Masih mudah bukan? Seharusnya di usia sekarang saatnya aku menikmati hidup bukannya malah nikah. Hm, tapi biarlah mungkin ini yang terbaik dan buat mereka senang. Aku mempunyai sebuah restoran yang kukembangkan sampai sekarang hingga memiliki beberapa cabang di beberapa titik di Kota Jakarta. Karena aku hoby memasak, ya aku kembangkan hobyku itu dan kedua orangtuaku mendukungnya tidak memaksaku untuk menjalankan perusahaan Ayah atau mengelola butik Mama.
Malam ini aku dikagetkan oleh pernyataan Ayah, beliau mengatakan akan menikahkanku dengan anak sahabatnya.
Oh, yang benar saja, padahal aku masih muda, mereka tega menikahkan anaknya yang cantik ini dengan pria yang tidak ia kenal. 'Huft!' Aku menghela napas kasar.
"Argh! Pasti setelah menikah semuanya tidak akan sama lagi," pekikku tertahan. Aku sudah tidak terlalu fokus dengan apa yang kubaca pada ponsel ini.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" pintaku dari dalam kamar saat kudengar ada yang mengetuk pasti itu Mama pikirku. Kulihat Mama masuk dan menghampiriku yang sedang membaca pesan dari sahabat yang kebetulan bekerja di restoran milikku.
"Kak, Mama mau ngomong sesuatu," ujar Mama setelah mengambil posisi yang nyaman duduk di dekatku.
"Apa, Ma?" tanyaku sembari mematikan ponsel dan meletakkannya di atas nakas.
"Pria yang ingin dijodohkan denganmu adalah seorang CEO, di usianya yang masih muda dia sudah mampu menaikkan profit perusahaannya hanya dalam jangka waktu satu tahun, dia adalah pria yang baik, kami yakin dia akan menjagamu, Sayang. Percayalah tidak mungkin kami menikahkannmu dengan pria yang tidak baik," terang Mama lembut.
"Eum, Elza ngerti Ma," jawabku seadanya. Meskipun dia kaya aku tidak tertarik, toh aku juga punya banyak uang.
***
"What?! Apa dia calon suamiku?"
Aku sedikit meninggikan suaraku, karena terkejut melihat seorang pria muda di depanku yang mengenakan setelan jas rapi. Tatapannya datar tak bersahabat tidak sesuai dengan wajahnya yang unyu-unyu itu. Astaghfirullah, aku tidak habis pikir Ayah sama Mama jodohin aku dengan pria yang 3 tahun lebih mudah dariku? Hell no! Yang benar saja, aku bukan tante-tante girang mau sama brondong.
"What?! Apa dia calon suamiku?"
Aku sedikit meninggikan suaraku, karena terkejut melihat seorang pria muda di depanku yang mengenakan setelan jas rapi. Tatapannya datar tak bersahabat tidak sesuai dengan wajahnya yang unyu-unyu itu. Astaghfirullah, aku tidak habis pikir Ayah sama Mama jodohin aku dengan pria yang 3 tahun lebih mudah dariku? Hell no! Yang benar saja, aku bukan tante-tante girang mau sama brondong.
"Ck!" Kulihat pria yang sialnya tampan itu berdecih tak suka ketika aku menunjuknya.
"Za, jangan gitu jaga sikapmu," peringat Mama padaku. Aku hanya memutar bola mata jengah.
"Gak pa-pa Jeng, namanya juga anak muda, omong-omong anakmu cantik ya Jeng, cocok dengan Devan, anakku," tutur seorang wanita paruh baya yang masih cantik di usianya yang sudah tak muda lagi. Wanita itu bernama Ibu Filza— Ibunda Devan tentunya.
Hari ini adalah hari di mana aku bertemu dengan keluarga si pria yang kutahu namanya Devan. Aku tidak menyangka ternyata calon suamiku masih muda dan berwajah manis berbeda dengan tatapannya yang garang seperti singa.
"Ha ha, iya bener Jeng, mereka emang cocok, walau Elza lebih tua 3 tahun dari Devan, tapi mereka tampak serasi karena wajah Elza masih seperti remaja 19 tahun." Aku tentu tersenyum mendengar pujian dari Mama, siapa sih yang gak mau dipuji awet muda.
"Tapi, Devan gak mau nikah sama Tante-tante."
Mataku membulat sempurna saat Devan mengatakan hal tersebut, pria yang baru beberapa menit lalu kutahu mamanya. Pria ini sok sekali, dia tidak secara langsung telah menghinaku tua. Iya, meskipun aku tahu berapa usiaku sekarang, tapi gak terlalu jauh juga 'kan dari dia? Jadi, kenapa dia malah bilangin aku tante-tante? Gak Tante girang aja sekalian yang nikahin berondong itu.
"What?! Tante-tante kamu bilang?" tanyaku dengan raut wajah seram.
"Hm."
Aku menatapnya penuh dengan permusuhan, karena di sini masih ada Ayah. Jadi, aku tidak terlalu memperlihatkan sifat asliku.
"Kamu pikir kamu siapa, kunyu?! Dasar bocil," sungutku tidak terima. Aku sudah tidak tahan mengeluarkan sumpah serapah untuknya.
"Sudah-sudah, kalian ini baru bertemu sudah seperti Tom and Jerry, saja," sela Ayah menghentikan peperangan sengit yang tercipta di antara kami.
Aku langsung saja memalingkan wajah ke arah lain sama halnya dengan Devan. Seakan ada percikan petir ketika mata kami bersiborok yang menandakan adanya permusuhan yang telah muncul di antara kami.
"Devan, kamu tidak boleh seperti itu kepada calon istrimu," tegur papa Devan yang membuatku tersenyum kemenangan menatapnya.
'Rasain lo, kena semprot 'kan!'
Devan hanya diam saja mendengar teguran papanya, tapi ia tentu saja menatapku jijik. Mata bulatnya yang berembun tampak sangat imut ketika menatapku tajam.
Jika, orang lain yang berada di depan Devan pasti ia akan langsung menerjangnya dan mencubit pipi gembilnya. Entah, skincare apa yang ia gunakan kenapa ia bisa memiliki kulit yang putih bersih serta tembem. Arkh, aku insecure sama pria ini.
"Eum, kalau begitu kalian pergi keluar dulu, kami ingin membicarakan sesuatu mengenai persiapan pernikahan kalian," usir Mama secara halus kepada kami.
"Ogah!" tolakku mentah-mentah.
"Elza!"
"Huft" Aku hanya mampu menghela napas kasar, jika Ayah sudah begini tiada pilihan lain, karena aku sangat menghormati beliau.
"Ya, ya, Elza mau, eih bocil buruan lo," ucapku sembari menatapnya sengit. Kulihat dia mendengkus tidak suka seperti sapi saja, pikirku ngelantur.
* * *
Di sini kami sekarang, di dalam mobil yang sangat dingin pasalnya tuh bocil malah natap inces yang cantik ini kayak mau bunuh aja.
"Woi, kenapa lo natap gue kek gitu, dasar bocil, ah gue tahu, lo suka sama gue 'kan," tudingku padanya. Mataku memicing ketika melihatnya, dan ia malah memutar mata jengah.
"Ck, yang benar aja gue suka sama Tante-tante tepos, kerempeng kayak lo," sanggahnya sembari mengejekku tepos kerempeng.
"Dasar laki gak punya hati lo, tega banget lo ngatain gue tepos," ujarku sembari menatapnya tajam. Jujur harga diriku rasanya telah dilukai secara tidak langsung, padahal aku tidak tepos dan kurus-kurus amat kok. Ukuran bra ku saja 34 itu dikatain tepos? Mungkin karena bodyku gak mirip gitar spanyol jadi dia ngatain aku tepos. Sudahlah, nanti dia nyesel sendiri, tapi nyesel karena apa, Za? Ngaco kamu! Bocil kayak dia mau nyesel karena kamu? Gak akan.
Dia cuma diam mendengar protesku. Karena tak mendapat respon aku coba membuka pintu mobil. Namun, sialnya dikunci sama dia.
"Eh, bocil. Lo kok kunci pintunya, sih?!" sungutku tidak suka.
Dia kemudian menolehkan kepalanya menatapku. Tatapannya begitu dalam dan tajam seakan mata hitam sekelam malamnya itu sedang memperangkatku dalam ilusi sesaat. Aku dibuat diam saat Devan mendekat ke arahku. Aku langsung saja menutup mata mewanti-wanti jika nantinya dia akan menciumku.
Tak!
"Awh!" ringisku saat dia menyentil dahi ini. Astagah, tidak sopan sekali bocah ini kepadaku.
"Pede banget lo, pasti lo mikir gue bakalan cium lo 'kan, jangan mimpi deh," ketusnya sembari menatapku rendah.
'Sialan nih bocah, percuma punya wajah kek bayi, tapi ucapannya pedes amat sampai ngalahin saus samyang,' geramku dalam hati.
"Tuh, sabut pengaman lo belum kepasang, pasanga gih, soalnya gue takut lo nanti mati pas gue bawa mobil," ucapnya tenang ya membuatku mengeryitkan dahi.
Aku kemudian memasang sabut pengaman sesuai dengan perintahnya, dan tidak kusangka ia akan mengendara secepat ini.
"Eh, Bocil! Lo mau buat gue mati muda, ha?! Gue belum nikah woi, kurangin kecepatan berkendara lo, atau gue telepon Mama dan laporin lo," ancamku. Jujur sekarang aku sangat takut pasti wajahku sudah pucat pasih.
"Ck, dasar anak Mama," ejeknya, tapi tetap mengurangi laju kendaraannya yang membuatku mengehela napas legah.
Tak lama, laju mobilnya semakin memelan dan berhenti di sebuah restoran tradisional. Aku lihat papan nama yang tertera di restoran itu.
"Restoran Pingoo?" gumamku.
Aku tahu restoran ini, walaupun restoran ini masih baru, tetapi sudah banyak peminatnya. Konsepnya yang sangat unik yaitu rumah pantai membuat kita betah berlama-lama di restoran ini. Bagaimana tidak ketika kita di dalam restoran kita akan disuguhi pemandangan pinguin berjenis humboldt di dalam wadah raksasa yang sangat dingin.
"Wah, lo suka ke sini, Cil?" tanyaku antusias saat kami berjalan masuk ke dalam restoran.
"Ck, gak usah manggil gue Bocil, nama gue Devan! Ngerti lo, dasar Tante-tante," balasnya mencibir.
"Tapi, lo jangan manggil gue Tante-tante," ujarku akhirnya yang tak ditanggapi olehnya. Jadi, aku hanya mengedikkan bahu.
Devandra Adiguna Prasetyo pria muda berusia 24 tahun dan sekarang dia sudah menjabat sebagai seorang CEO. Namanya sekarang sangat banyak diperbincangkan karena usianya yang masih sangat mudah. Akan tetapi, sudah mampu membawa perusahaannya ketingkat kejayaan. Walaupun dia menjabat masih 1 tahun lamanya, tapi dia sudah bisa meningkatkan profit perusahaannya, sangat hebat bukan? Seperti itu yang kudengar dari Mama semalam dan aku juga mencarinya dipencarian. Mengetik namanya di sana, dan sangat terkagum-kagum ketika membaca profilnya. Pria itu seakan tiada cacat sedikitpun. Namun, ia tak pernah memposting fotonya sehingga tidak ada foto yang terpasang di portal berita ataupun gosip ketika perusahaannya mengalami kemajuan pesat.
Kami masuk dan memilih meja paling pojok yang sedikit berdekatan dengan akuarium raksasa itu sehingga memudahkanku menikmati si pinguin yang sedang bermain-main.
Tak berapa lama kami duduk, pramusaji datang untuk mencatat pesanan kami.
"Saya pesan New York Cheese cake, Mbak," ucapku menyebut pesanan yang kuinginkan.
"Unagi pake bowl." Devan menyebutkan pesanannya dan memberikan buku menu itu kembali kepada pramusaji.
"An," panggilku dia langsung saja melirikku sekilas seraya menaikkan alisnya. Aku sejenak menelan ludah kasar. Jujur jika dia seperti itu tenang, dia sangat tampan. Uh, apa yang kupikirkan, fokus Za.
"Bolehkan gue manggil lo, Ian?" tanyaku sedikit ragu. Meskipun sangat jauh dari namanya, tapi nama itu lucu.
"Terserah!" jawabnya singkat. Lama-lama aku risih juga dia hanya ngomong singkat dan berwajah datar seperti itu, tapi meski dia bersikap seperti demikian tak jarang wanita meliriknya seperti sekarang ini, banyak yang melirik Devan padahal dia tidak berbuat apa-apa. Ck, ingin kugorok rasanya mata para wanita itu, kenapa dia menatap milikku seperti itu. Eh, astagah apa yang kamu pikirkan Za.
Tak berapa lama, pesanan kami pun datang. Kulihat Devan mematikan ponselnya kemudian mulai fokus pada makanannya tanpa melirikku sedikit pun.
"Devan?!" Tiba-tiba kudengar seseorang memanggil nama Devan. Kulihat seorang wanita cantik seumuran dengannya tersenyum cemerlang saat tahu bahwa orang yang ia sebutkan namanya bernar orang yang ia kenal.
'Pasti wanita ini kekasih Devan, ha ha kesempatan nih, buat batalin pernikahan sialan ini,' batinku tertawa senang. Aku hanya diam tetap fokus pada makananku yang rasanya manis ini.
"Astaga, Devan, aku gak nyangka bisa ketemu sama kamu di sini, kamu apa kabar?" tanyanya sembari tersenyum centil ke arah Devan yang ditanggapi wajar oleh pria unyu-unyu itu.
"Saya baik," jawabnya formal. Buset nih bocah, kalau dia bicara sama aku pasti bawaannya gak ngehargain plus seakan pengen ngajak tawuran. Eh, sekali pacarnya yang diajak bicara dihormati gitu.
"Eum, dia siapa, Dev?" tanya wanita itu yang pasti sedang menunjukku.
"Halo, saya Kakak sepupunya Devan, kamu siapanya Devan, ya?" jawabku memperkenalkan diri sebagai Kakak sepupu Devan, sangat ramah senyuman tulus terpatri di bibir ini. Kulihat Devan mengernyitkan alis seraya menatapku aneh, entah apa yang ia pikirkan.
"Oh, Kakak sepupunya. Aku kira pacarnya tadi, aku Nindy Kak, calon pacarnya Devan," balasnya sembari membalas uluran tanganku.
Ha ha, rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak saja. Calon pacar katanya? Aku saja calon istri. Ck, ck, banyak sekali pacar Devan ini, tapi ini bagus juga bisa aku batalin nih perjodohan semangat Elza.
"Eum, kalau gitu aku deluan ya, lagi ada urusan. Dev, aku deluan ya," pamitnya yang tidak ditanggapi oleh Devan.
Setelah kepergiannya aku menatap Devan aneh yang juga sedang menatapku.
"Ha ha, sekarang gue punya alasan buat tolak perjodohan ini, yes, yes," pekikku tertahan. Aku tidak bisa menahan rasa bahagia ini, walau rasanya tidak rela soalnya Devan sangat imut.
"Jangan mimpi, pernikahan kita sudah dipersiapkan. Jadi lo gak bisa batalin gitu aja," ketusnya.
"Ya, gue bisalah liat aja nanti, wlek," sanggahku sembari menjulurkan lidah ke arahnya yang membuat Devan mencibir.
"Kekanak-kanakan!"
Aku diam saja mendengar cibirannya dan kembali fokus ke makananku yang sangat enak ini, lain kali aku akan ke sini lagi.
Setelah kami makan siang, Devan mengantarkanku pulang dengan selamat. Sepanjang perjalanan tidak ada yang bicara dan aura Devan terasa aneh. Wajahnya yang imut tidak menunjukkan senyuman sedikitpun.
"Woi, Ian, kenapa lo?" tanyaku membuka percakapan di antara kami.
Devan melirikku sekilas tanpa menjawab pertanyaanku.
'Apa dia marah, ya?' tanyaku dalam hati.
"Ya, elah, seharusnya lo senang, 'kan kita gak jadi nikah bukannya lo gak mau nikah sama Tante-tante? Gue udah dapet solusi biar kita gak nikah, ok jadi lo gak usah marah," tuturku percaya diri. Garis senyum selalu tercipta di bibirku saking senangnya. Karena berharap pernikahan ini dibatalkan.
"Saya bilang kita akan tetap menikah, tidak ada pembatalan!" ujarnya tegas menggunakan bahasa formal.
"Ogah gue, pokoknya kita gak boleh nikah," bantahku tidak mau kalah.
Ckit! Tiba-tiba Devan merem mendadak mobilnya yang membuatku hampir membentur desboard mobilnya.
"Lo bisa gak sih bawa mobilnya? Kalau gue mati gimana?" tanyaku padanya dengan pandangan tajam.
Devan tidak mengindahkan amarahku. Kulihat dia membuka sabuk pengamannya. Aku langsung saja membuang muka. Devan mendekat ke arahku.
"Lo jangan macam-macam, ya? Jidat gue sakit kalau lo mau sentil lagi," sungutku tidak suka.
Devan hanya diam dan tetap melanjutkan aksinya mendekatiku. Sampai wajah kami berjarak 3 cm lagi hingga hidung kami bersentuhan.
"Bagaimana jika aku melakukan ini, apakah mereka akan membatalkan pernikahan ini?" tanya Devan dengan smirknya sembari menatap bibirku.
"Apa yang mau lo lakuin, ha?! Awas lo ya kalau buat macam-macam sama gue!" peringatku lagi. Jantungku bertaluh merdu di dalam sana. Kuharap Devan tidak mendengarnya jujur aku sangat gugup. Belum pernah aku sedekat ini dengan seorang pria selama aku hidup.
Cup! Cekrek!
Mataku membulat sempurna saat Devan mencium bibirku dan mengambil gambarnya lewat kamera ponselnya. Aku masih syok dengan apa yang terjadi padaku, aku tak bisa bergerak rasanya tubuhku kehilangan gel. Semuanya terasa aneh.
Aku merasakan Devan menyesap bibirku dengan lembut dan menggigitnya pelan. Namun, aku masih tetap diam tak merespon masih mencerna apa yang terjadi. Lumatannya begitu lembut di bibirku yang membuat aku hampir saja terlena jika ia tak menghentikan aksinya itu dengan segera mungkin.
"Hm, manis," ucapnya yang membuatku tersadar.
"Sialan, kamu Ian, itu ciuman pertama gue yang cuman gue kasih sama suami gue nanti, kurang ajar lo, brengsek lo," amukku tidak terima ia cium. Aku langsung memaki Devan tak kala akal sehatku telah kembali ke tempatnya tidak lagi dikuasai oleh setan lucnatullah.
"Gue kan calon suami lo, jangan lupakan itu dua hari lagi kita nikah," ujarnya mengingatkanku.
"Gue bakalan kirim sama Mama kalau kita sudah menerima perjodohan ini," lanjut Devan lagi seraya menyeringai kemenangan dan melajukan mobilnya kembali setelah memasang sabuk pengamannya.
"Sialan, lo Ian." Aku menatapnya tidak suka setelah itu mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Jujur dalam hati, aku sangatlah gugup. Berani-beraninya dia mengambil first kiss ku.
'Huwa, Mama bibir anak gadismu tidak suci lagi!' jeritku dalam hati.
"Omong-omong bibir lo manis juga," ujar Devan lirih yang tidak kuhiraukan. Aku sudah terlalu malas membahasnya. Bisa-bisa aku lepas kontrol dan langsung mencekiknya di tempat dan akan muncul berita.
Seorang wanita mencekik calon suaminya sendiri karena tidak terima dicium.
Oh, tidak-tidak membayangkannya saja aku sudah ngeri. Jadi, lebih baik aku diam dan memikirkan cara bagaimana menyakinkan Mama.
***
"Mama, Assalamualaikum!" teriakku sedikit kencang.
"Waalaikumsalam. Ya ampun Kak, gak usah teriak juga Mama denger tahu," jawab Mama yang baru datang dari arah tangga.
Aku cuman tersenyum mendengar omelan Mama. Mama kemudian menuntunku menuju sofa yang ada di ruang tamu.
"Kak, gimana kencannya sama Devan?" tanya Mama dengan mata menggerling nakal.
"Gimana apanya, Ma? Devan tuh udah punya pacar namanya Nindy, Elza gak mau jadi pelakor, biarin Devan bahagia dengan kekasihnya, Ma," jawabku mendramatiskan.
"Kamu pikir Mama percaya. Lalu ini apa?" sungut Mama kemudian menunjukkan ponselnya. Mataku sukses membola. Niat amat tuh anak, padahal awalnya dia juga nolak.
"Itu Ma, Devan cium Elza secara paksa, dia anaknya gak baik, Mama gak mau 'kan punya menantu gak baik?" tanyaku mengompori Mama agar dia terhasut.
"Itu justru bagus, berarti hubungan kalian melaju ke tahap selanjutnya."
Wanita cantik itu malah menjawab tanpa beban jika itu adalah hal yang bagus yang membuat Elza tak habis pikir.
"Huh! Mama! Kok gitu sih, Elza gak mau apa lagi dia masih muda, apa kata dunia Ma, nanti Elza dikatain Tante girang," ujarku tidak terima. Masa anak gadisnya dicium orang malah bagus. Aku tidak tahu lagi Mama dikasih makan apa sama Devan.
"Itu kan, kamu yang bilang, Kak, bukan orang. Lagi pula kamu masih terlihat seperti remaja 19 tahun, jadi kamu sangat cocok sama Devan. Mama mohon, Sayang. Mama sangat ingin menjadikan Devan menantu Mama soalnya Mama gak punya anak cowok lalu wajah dia tuh masih unyu-unyu, Mama suka kalau ada anak laki-laki di sini," jelas Mama penuh permohonan padaku.
"Huft!" Aku menghela napas kasar.
"Baiklah demi Mama, Elza mau," ucapku akhirnya pasrah. Hanya bisa kecewa, ini semua gara-gara si Bocil Devan malah main cium-cium aja terus difoto lagi niat banget dia buat aku hancur.
"Makasih, Sayang. Besok kamu fiting baju pesta, ya, dan yang harus kamu tahu juga. Mama sama Ayah ada urusan bisnis selama satu tahun di luar negeri itupun belum tentu bisa saja bertambah. Jadi, kami khawatir denganmu, Sayang. Dan membuat kamu menikah cepat," jelas Mama dengan wajah tersenyum lembut.
Deg! Rasanya hatiku ngilu mendengar Mama sama Ayah mau pergi lagi keluar negeri dalam jangka waktu tidak ditentukan. Jadi, ini alasan mereka. Aku memang sering ditinggal mereka keluar negeri. Karena aku sibuk mengurus bisnis kulinerku aku tidak bisa ikut dengan mereka berdua.
"Elza minta maaf ya, Ma, seandainya kalian bilang dari awal Elza gak akan nolak," ucapku. Ya, karena ini demi kebahagiaanku aku harus nurut dengan mereka.
"Terima kasih, Sayang," ujar Mama kemudian mengecup singkat pipiku dan berlalu kembali naik ke lantai dua.
Sedangkan Ayah saat ini pasti masih ada di perusahaan. Ayahku mempunyai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti dan domestik yang menyediakan kebutuhan bagi para konsumen. Nama perusahaannya PT. Zania Permata Wijaya. Unikkan namanya? Ya, nama awal perusahaannya itu diambil dari namaku Elzania. Jadi, kesimpulannya aku adalah permata di mata keluargaku, dan aku sangat bersyukur akan hal itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!