NovelToon NovelToon

MAS DOSEN!

Bab 1 Kejelekan Agam

...Vote dulu ya...

...Tolong tandai jika ada typo ya...

...Happy reading...

.......

.......

.......

"Bangun!"

"Iya, Ma!"

Vara menyentuh dadanya yang berdebar-debar kencang. Semalam dia kesulitan tidur, Vara ingat kalau dia tidak merasakan kantuk sama sekali. Yang jelas, hingga pukul 01.00 matanya masih sangat segar. Vara juga tidak tahu dia tertidur dijam berapa, yang jelas saat ini matanya justru tampak sayu.

"Anak gadis harusnya bangun pagi, ini mah boro-boro."

Gerutuan mamanya masih terdengar dari luar kamar. Tak lupa teriakan membahana yang berhasil membuatnya terbangun dengan cara tak manusiawi.

Vara mengecek ponselnya, dan membuka aplikasi pesan. Ada beberapa pesan dari temannya, ada juga pesan dari orang tak dikenalnya.

Dia memutuskan untuk menyudahi acara bermain ponselnya setelah membalas pesan teman-temannya. Jujur saja Vara tak menginginkan kamarnya kembali digedor oleh mamanya.

Tak membuang banyak waktu lagi Vara lantas memasuki kamar mandinya. Membersihkan diri secepat mungkin karena dia benar-benar sangat terlambat bangun tidur.

Hingga tiga puluh menit berlangsung Vara keluar dari kamarnya. Dia sudah siap dengan tas kuliahnya, serta penampilan yang lebih rapih.

"Selamat pagi, Pa."

"Selamat pagi, Sayang."

Vara menempati salah satu bangku kosong. Tangannya aktif bergerak untuk mengambil sarapan. Tak sengaja matanya melihat kursi kosong di samping papanya.

"Ibu Ratu mana, Pa?"

Reza menoleh kepada anaknya, sudut bibirnya sedikit tertarik sebelum menjawab, "Keluar. Tadi tetangga sebelah manggil."

"Mau apa?"

"Mungkin titip anaknya lagi."

Vara menganggukkan kepalanya pelan. Tetangga sebelah yang dimaksud adalah Tante Rini. Dia seorang wartawan yang sibuk bekerja dari pagi sampai malam, begitu juga dengan suaminya yang sering pulang larut malam. Mereka punya satu orang anak berusia enam tahun yang sering kali dititipkan di rumah Vara.

"Mama pengen punya anak lagi kali, Pa. Makanya mama seneng kalau Sasa dititipin di sini."

"Hayuk. Papa selalu siap, tapi memang mama kamu cuma mau punya satu anak."

"Pa, aku pengen punya adik."

Reza menggeleng pelan. Dengan kejam dia berucap, "Punya kamu saja Papa sudah pusing. Apalagi kalau lihat mama kamu ngomel-ngomel sama kamu."

"Enggak tega ya liat aku diomelin?"

"Bukan itu."

"Lah, terus?"

"Kuping Papa panas."

"Ihh, Papa kok gitu sih. Sayang gak sih sama anak?"

"Kalau Papa gak sayang kamu, mungkin Papa sudah buang kamu ke jalanan."

Vara berdecak tak terima. Anak secantik dirinya masa harus dibuang?

"Tapi seriusan deh, Pa. Aku pengen adik."

"Sekarang ini cocoknya Papa dapat cucu."

"Yah, Papa. Cucu aja terus. Nikah aja belum."

Tiba-tiba Reza memandang lekat anaknya. "Vara, seriusan ya. Nanti malam kita bertemu sama calon kamu. Papa sudah buat janji dengan keluarga Abiyan."

"Itu lagi yang dibahas?"

"Kamu sudah bicara dengan Agam?"

"Pa, kan aku sudah ceritakan. Pak Agam itu galak."

"Galak dalam artian bagaimana nih?"

"Galak pokoknya. Papa mau anak Papa yang cantik ini menikah sama laki-laki galak?"

"Papa sudah sering bertemu dia. Dan Papa tidak mungkin salah, bagi Papa dia laki-laki baik, sopan, dan bertanggung jawab."

"Tapi yang aku lihat bukan itu, Pa."

"Memangnya kamu sudah diajar sama dia?"

Vara gelagapan, pasalnya dari semester satu sampai hari ini dia belum pernah bertemu Agam sebagai dosennya. Pernah bertemu, itu pun hanya berpapasan, dan hanya sekadar tahu nama saja. Mungkin tidak akan pernah bertemu dengan Agam sebagai dosen pengajar, karena saat ini Vara sudah berada di semester akhir.

"Memang belum pernah."

"Nah, itu."

"Tapi kan tetep aja, Pa."

"Kenapa kamu menyimpulkan kalau dia galak?"

Vara menunjuk matanya. "Tajam, Pa. Sekali lihat aja aku tau kalau matanya tajam."

"Selain itu?"

Vara menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Antisosial. Aku jarang lihat dia gabung sama dosen lain. Aku pernah lihat dia sama dosen Bima, udah itu aja. Enggak ada satu pun mahasiswa yang dekat sama dia."

"Lalu?"

"Aku dengar cerita kalau ada mahasiswa yang buat. masalah sedikit aja, dia gak kasih toleransi."

"Bagus dong. Kan memang salah."

"Aku pernah lihat dia marah-marah di depan mahasiswa. Keliatan banget dia itu bukan orang yang penyabar."

"Kalau salah, wajar marah."

"Ihh, Papa. Bela aja terus."

"Semua yang kamu bilang itukan hanya sepintas, dan cerita orang, kamu belum pernah benar-benar berbicara dengan dia kan? Setelah kamu berbicara dengan dia, mengenal dia lebih jauh, Papa yakin semua isi kepala kamu tentang dia salah."

"Pa, harus pakai apalagi aku jelasin? Papa harus segera buka mata dan sadar."

"Sudah, cukup. Sekarang habiskan sarapan kamu. Jangan lupa nanti malam."

"Nanti malam ada apa?"

Inge memandang anak dan suaminya secara bergantian. Sepintas tadi dia mendengar kalau anak dan suaminya itu membahas tentang rencana nanti malam.

"Bertemu keluarga Abiyan," jawab Reza.

"Oh, itu."

Vara memanyunkan bibirnya kesal. Mamanya sudah pasti mendukung rencana papanya. Kedua orang tuanya memang selalu kompak terkait masalah anak. Apa pun itu.

"Sasa udah makan?" tanya Vara kepada anak kecil yang berdiri di samping mamanya.

Sasa mengangguk pelan, lalu menjawab, "Udah."

"Makannya sama apa?"

"Sama nasi."

Tiba-tiba suara tawa mengejek terdengar jelas ke telinga Vara. Ia lantas menengok mamanya.

"Lagian pertanyaan kamu udah biasa. Setiap kali bertemu Sasa pertanyaan kamu itu. Sasa juga sudah hapal harus menjawab apa."

"Mama, ih! Udah ah, mau berangkat sekarang."

🏠🏠🏠

Minuman dingin mampir di pipinya saat dia kedapatan melamun. Pelaku yang tidak lain adalah temannya, hanya menyengir saat Vara melotot ke arahnya.

"Lagian lo malah ngelamun. Kenapa sih?"

"Enggak apa-apa. Habis diomelin nyokap."

"Perasaan gue lo sering banget diomelin nyokap," ucap Rakhma, "mau jadi anak durhaka atau gimana?"

"Apa sih. Itu mah memang kesukaan nyokap gue. Ngomel mulu. Ada aja yang diomongin."

"Itu mah memang lo yang gak tau diri," sahut Daria, "gak mungkin juga nyokap lo ngomel kalo gak ada sebabnya."

"Udah ah. Jangan dibahas lagi. Gue ke toilet dulu."

Vara kabur tanpa menunggu balasan teman-temannya. Sebenarnya dia bukan pergi ke toilet, tetapi pulang ke rumah. Lagipula jam kuliah sudah berakhir.

"Astagfirullahaladzim!"

Vara terlonjak kaget saat pintu gudang yang dilewatinya terbuka sendiri. Bukan apa-apa nih, masalahnya Vara sudah beberapa kali mendengar cerita kalau gudang tersebut angker. Dan berisi makhluk halus.

"Maaf membuat kamu terkejut."

Vara berkedip-kedip saat seseorang keluar dari dalam gudang. Seorang laki-laki yang membawa banyak tumpukan buku tebal yang berdebu.

"Kamu mahasiswi di sini kan?"

Vara mengangguk. Ya iyalah!

"Saya boleh minta tolong?"

"Minta tolong apa, Pak?"

"Tolong bawakan dua buku itu ke kantor saya. Saya pikir sekalian saja, daripada saya harus bolak-balik."

"Yang ini, Pak?" tanya Vara sambil menunjuk.

"Ya, benar."

Vara meraih dua buku besar tersebut, dan jujur Vara akui buku-buku tersebut lumayan berat.

"Bisa?"

"Bisa, Pak."

"Tidak berat kan?"

"Lumayan, Pak."

"Kalau saya kuat, sudah saya bawa sekalian bukunya."

"Enggak apa-apa, Pak. Biar saya bantu."

Laki-laki itu mengangguk. "Saya juga mau bicara sama kamu."

Vara terkejut. "Sama saya, Pak?"

"Iya."

"Bicara apa, Pak?"

"Kamu mau sekalian saya antar pulang atau tidak?"

"Maksudnya, Pak?"

"Nanti malam kita bertemu kan? Membahas masalah perjodohan."

...⚡...

...⚡...

...⚡...

...🚲 Bersambung 🚲...

...Jangan lupa vote dan komen....

...Terima kasih....

...Sorry for typo....

Bab 2 Syarat

Inge mencubit pipi kanan Vara dengan gemas. Hal itu sontak membuat Vara menjerit kesakitan.

"Sakit, Ma. Kira-kira dong, ah."

"Lagian kamu sih buat Mama kesel."

"Ini kenapa sih?" tanya Reza, "kenapa kalian saling melotot begitu?"

"Tuh anak, Papa," jawab Inge.

"Anak Papa kenapa?" Reza menatap Vara, namun tidak mendapat jawaban sama sekali.

"Kalau orang tua ngasih nasihat harusnya didengerin," pungkas Inge, "berapa kali Mama bilang sama kamu?"

"Ini kenapa sih? Udah ah, siap-siap. Sebentar lagi jam tujuh."

"Ih, anak Papa itu, bilangin dulu."

"Ya, kenapa, Ma? Papa mana tau masalahnya kalau kalian berdua diam."

"Suruh anak Papa itu senyum dulu."

Reza mengernyit, menatap Inge dan Vara bergantian. Wajah Inge yang terlihat marah, sedangkan Vara terlihat kesal.

"Senyum dulu? Maksudnya gimana, Ma?"

"Itu lho, Pa. Kita kan mau bertemu calon besan, tolonglah anak Papa itu disuruh belajar senyum dulu. Dihadapan orang tuanya aja dia begini, gimana nanti di depan besan, Pa?"

"Oh, itu. Papa kira apa."

"Nah, sekarang bilang sama anak Papa itu."

Reza beralih kepada Vara. "Anak Papa yang katanya paling cantik, malam ini kan malam yang penting untuk kita semua. Boleh Papa lihat senyuman manis anak Papa ini?"

Vara mengembungkan kedua pipinya setelah mendengar permintaan Reza. Papanya itu selalu bisa menaklukannya lewat kata-kata manis. Vara yakin dulu papanya merayu mamanya dengan kata-kata manis semacam itu.

"Senyum dulu dong."

Mendengar permintaan Reza untuk kedua kalinya membuat Vara tak tega. Akhirnya Vara melebarkan bibirnya, meskipun tidak ikhlas. 

"Nah, gitu. Ini baru anak Papa yang paling cantik."

"Iyalah, kan anak Papa cuma satu," sungut Vara.

"Itu mulutnya kok gak bisa disaring dulu ya?" sungut Inge, "perlu Mama jewer bibirnya?"

"Mama apaan sih, ini bibir aku udah di make up lho."

"Halah, alasan."

"Oke, udah cukup diskusinya," sela Reza dengan cepat, "ayo berangkat. Jangan sampai kita terlambat. Papa gak mau kesan keluarga kita buruk menurut mereka."

"Ya udah ayok."

***

Mereka baru saja sampai di depan restoran berbintang yang sengaja sudah dipesan oleh keluarga Abiyan. Sebelum mereka masuk ke dalam, Inge menarik lengan putrinya. 

"Jangan lupa senyum. Mama gak mau mereka berpikir kalau anak Mama gak punya sopan santun," peringat Inge, "jadi atau gaknya rencana perjodohan ini, kesan kamu harus selalu baik di depan mereka."

Vara mengangguk paham. Dia juga masih punya pikiran untuk tidak membuat malu orang tuanya. Vara juga tidak akan berdrama untuk membatalkan perjodohan itu. Dirinya sudah pasrah bagaimana nantinya.

"Ayo, masuk," ajak Reza.

"Om Reza!"

Reza menoleh, kemudian tersenyum. Tangannya segera terulur menerima jabatan tangan dari seseorang yang memanggilnya tadi.

"Baru sampai, Gam?"

"Iya, Om. Tapi papa dan mama sudah di dalam."

"Oh, gitu."

"Om baru sampai?"

"Iya, tadi ada halangan kecil, makanya terlambat."

"Santai saja, Om. Acaranya belum dimulai kalau yang punya acara belum datang," canda Agam, "kita masuk bersama, Om."

"Oh, iya. Mari."

Vara masih memandang laki-laki yang berprofesi sebagai dosen di kampusnya itu, namun juga berprofesi sebagai calon tunangannya. Terlalu fokus memandang, Vara tidak sadar kalau Agam berjalan menghampirinya. Dan Vara terkejut karena papa dan mamanya sudah menghilang.

"Jangan melamun," ucap laki-laki itu.

Malam ini segala spekulasi Vara mengenai Agam terhempas begitu saja. Obrolan singkat Agam dan Reza membuat sudut pandang Vara yang buruk mengenai Agam luntur begitu saja. Begitu mudahnya dia berubah pikiran tentang Agam.

"Pak Agam kenapa masih di luar?"

"Takutnya kamu kabur."

Vara mendelik tak suka. Vara memang sering nakal, tapi disaat-saat tertentu yang mana tidak akan mempermalukan dirinya sendiri. Dan apa tadi katanya? Kabur? Itu bukan gaya Vara.

"Saya mau kabur ke mana? Saya masih numpang hidup di rumah orang tua, uang jajan pun masih pemberian orang tua."

"Ya, benar. Tapi tidak akan lama lagi tanggungan hidupmu bukan lagi urusan orang kamu lagi."

Vara mengernyit bingung. "Maksudnya?"

Agam tertawa pelan. Dia merasa gemas dengan mimik wajah Vara. "Bukan apa-apa. Sebaiknya kita berdua segera masuk."

"Oh, kalau begitu ayok. Saya gak mau mama ngomel lagi."

"Ngomel?"

Vara mengangguk. "Hobi mama saya kan ngomel, Pak."

"Ada-ada saja kamu ini."

"Serius, Pak. Tapi kata papa saya itulah yang membuat papa saya cinta. Aneh kan ya, Pak? Kalau saya denger mama saya ngomel, kuping saya jadi panas, Pak."

"Tapi nanti ada saatnya kamu merindukan omelan mama kamu itu."

"Iya sih, Pak. Untuk sekarang saya terima aja. Seperti kata Pak Agam tadi, mungkin nanti atau entah kapan saya gak akan bisa dengar omelan mama saya lagi."

Agam memerhatikan Vara yang masuk ke dalam restoran. Detik berikutnya dia memanggil, "Vara!"

Vara menoleh, mengernyit bingung. Tapi dia tetap menunggu laki-laki itu menghampirinya.

"Boleh saya minta sesuatu sama kamu?" tanya Agam dengan mata yang lurus menatap Vara, "mulai sekarang jangan panggil saya Pak. Kecuali jika kita bertemu sebagai dosen dan mahasiswi. Bisa?"

Vara tak langsung menjawab, dia masih mencerna baik-baik ucapan laki-laki itu. 

"Terus saya panggil apa?" tanyanya masih dengan ekspresi bingung, "gak mungkin saya panggil nama langsung kan?"

"Panggil Mas saja. Kamu keberatan?"

"Mas Agam?"

Agam mengangguk senang. "Itu terdengar manis."

***

Abiyan menyerahkan semua keputusan kepada putranya dan calon menantunya. Setelah banyak membahas masalah perjodohan yang intinya langsung menunu ke acara pernikahan, kedua keluarga tetap mengutamakan keputusan anak-anak mereka.

"Kamu siap, Gam?"

Agam mengangguk tanpa ragu. "Siap, Pa. Seperti rencana sebelumnya."

"Kamu harus bisa membimbing istrimu dalam segi apa pun, kamu sanggup?"

"Papa sendiri minta aku segera menikah, bukannya Papa sudah yakin kalau aku siap?"

"Papa hanya ingin memastikan. Papa sudah mengenal Vara lama sekali, meskipun kami hanya beberapa kali bertemu. Papa yakin Vara cocok untuk menjadi istrimu."

"Aku akan menjaga amanah Papa."

"Bagus, jangan kecewakan Papa, Gam."

"Jadi keputusannya bagaimana?" tanya Lisa, "Vara sudah setuju? Tante harap kamu menjawab dengan jujur, tanpa paksaan. Kami di sini hanya ingin yang terbaik, jadi lakukan dengan hati yang tulus. Kalau memang kamu keberatan, jangan diterima."

Vara menatap mamanya. Sebenarnya sekesal apa pun dia terhadap mamanya, tetap saja mamanya adalah segalanya bagi Vara. Begitu melihat mamanya, Vara selalu merasa lega, seperti bebannya terangkat begitu saja.

"Vara selalu setuju keputusan mama dan papa, Tante," jawab Vara, "selama ini apa pun pilihan dan keputusan orang tua Vara selalu tepat, Vara tidak pernah menyesal."

"Kamu yakin?" tanya Lisa lagi, "ini pernikahan, Vara. Bukan main-main. Tante harap kalau ikhlas menjalaninya."

"Vara ikhlas, Tante."

"Kamu menikah disaat status kamu sebagai mahasiswi, tidak masalah?"

Vara menggeleng. "Tapi boleh Vara meminta syarat?"

"Syarat apa?"

Vara memandang calon suaminya. "Bukannya Vara ingin menutupi status pernikahan ini. Tapi boleh Vara minta supaya yang lain tidak tahu? Sampai Vara lulus nanti."

"Kenapa?" tanya Agam, "kamu malu?"

"Bukan. Hanya ingin mengantisipasi sesuatu."

"Apa itu?"

"Saya takut para dosen akan berbeda dalam menghadapi saya setelah tau kalau saya istri salah satu dosen kampus. Saya tidak mau urusan pendidikan saya dipandang berbeda, saya ingin lulus seperti mahasiswa lainnya. Saya tidak ingin kelulusan saya dipersulit atau dipermudah."

"Vara, kamu berpikiran terlalu jauh," bisik Inge.

"Saya tidak akan merahasiakan status saya dari teman-teman saya. Saya juga tidak akan memberitahu mereka secara langsung."

"Hanya itu?" tanya Agam, "atau ada lagi syarat dari kamu?"

"Hm, sebenarnya banyak. Tapi yang utama cukup itu saja."

"Bagaimana kalau saya yang membuat syarat?"

"Syarat apa?"

"Saya melarang kamu untuk berkumpul dengan teman-teman kamu di waktu tertentu."

Bab 3 Makan Bersama

Daria menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Matanya menatap langit kamar Rakhma. "Capek, gue lelah."

"Sama," sahut Rakhma.

"Jangan tanya gue, karena jawaban gue pun sama," ucap Vara.

Daria berbaring miring menghadap Vara. "Lo udah persiapan buat skripsi?"

"Belum sama sekali."

"Belum sama sekali?" tanya Rakhma tak percaya, "lo juga belum, Dar?"

"Sama kayak Vara," jawab Daria.

"Serius? Kalian belum ada rencana apa pun gitu?"

"Apaan sih, memang kenyataannya gitu kok," sungut Daria, "lagian gue sama Vara kan mirip, jelas beda jauh sama lo."

Diantara mereka bertiga hanya Rakhma yang memiliki otak cerdas. Meskipun begitu Vara dan Daria bukan mahasiswi bodoh, setidaknya jika disusun peringkat kelas Vara dan Daria berada di sepuluh besar.

"Kan waktu itu gue udah ngajak kalian untuk belajar buat skripsi sama kakak gue," sahut Rakhma, "murah meriah bahkan gratis. Asal kalian siap dengerin dia marah-marah."

"Itu yang gue gak mau, Rah. Gue paling gak suka kena marah," ucap Vara, "meskipun skripsi gue langsung selesai."

"Tapikan lo gak rugi. Kakak gue cuma butuh telinga lo buat dengerin dia marah."

"Gue mau usaha sendiri aja."

"Lah, kan sama kakak gue juga kita usaha sendiri kali. Cuma, nanti kakak gue bantu. Bukan berarti skripsinya dibuat sama kakak gue."

"Ah, tetep aja gue gak mau."

"Lo gimana, Dar?"

"Gue minta tolong oom gue aja. Dia dosen juga, cuma beda universitas," jawab Daria.

"Lo mau buat sendiri atau dibuatin?"

"Buat sendiri mungkin. Kalau gue capek duluan, terpaksa gue suruh orang lain yang buat. Yang penting oom gue taunya gue buat sendiri."

"Kerja dua kali dong itu mah."

"Bodo ah. Gue udah terlanjur capek.

"Terserah deh, pusing kepala gue, lagian gue kasih saran kalian gak mau nyoba," sungut Rakhma, "lo mau gimana, Var? Rental atau buat sendiri?"

Vara memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Jika dia ketahuan menyuruh orang untuk mengerjakan skripsinya, Sang Ibunda Ratu bisa murka. Tapi kalau dia mengerjakan seorang diri, mungkin Vara sudah tepar sebelum berperang.

"Kok bengong sih? Gimana, Var?"

"Gue mau minta tolong seseorang."

"Siapa?"

"Ada deh."

"Kok lo gitu, main rahasia segala sih?"

"Ya ada pokoknya."

***

"Vara."

Vara mendongak, kemudian meminta Agam duduk di sampingnya. "Hujan ya? Kok bajunya basah?"

"Di kampus hujan, tapi setelah sampai di sini hanya gerimis kecil."

"Oh, gitu."

"Kamu belum pesan makan?"

"Sengaja nunggu, lagian aku gak tau makanan kesukaan Mas Agam."

"Harusnya kamu pesan saja, saya bukan pemilih kok. Asalkan sehat."

Vara mencibir pelan, dua hari yang lalu Agam memintanya untuk bersikap informal saja saat bersamanya, kecuali saat di kampus.

"Kenapa diam?"

"Enggak apa-apa."

"Pasti ada sesuatu yang kamu pikirkan."

"Mas Agam mau tau?"

Agam menganggukan kepalanya.

"Ah, gak jadi deh. Pasti gak mau."

"Mau apa?"

"Janji dulu, Mas Agam mau."

"Eh, apa dulu itu?"

"Ya udah gak jadi. Jadi, mau pesen makan apa?"

"Kamu jangan mengalihkan pembicaraan. Bilang dulu, apa maksud kamu tadi?"

Pelayan datang membawa daftar menu makanan, jujur saja Vara bersyukur karena bisa membuat Agam penasaran. Bahkan, ketika pelayan itu bertanya pun Agam bergeming.

"Mas Agam pesan apa?"

"Mbak, sama kan saja dengan pacar saya," ucapnya kepada pelayan.

"Oh, jadi sekarang punya pacar ya?"

"Sekarang bilang, apa maksud kamu tadi?"

"Ih, kok masih bahas yang itu sih?"

"Kamu sih tidak mau jujur."

"Oke, aku jujur."

"Apa?"

"Kemarin kan Mas pernah bahas masalah formal dan informal kita berdua. Singkatnya, aku mau Mas bersikap informal sama aku. Sesuai kesepakatan kita waktu itu."

"Maksud kamu?"

"Ih, kok gitu aja gak paham sih? Katanya dosen paling cerdas, masa kalimat sederhana kayak tadi gak paham?"

"Kamu pengen aku gimana?"

Vara menahan senyumnya kala laki-laki itu sudah mulai terlihat santai. Inilah yang Vara inginkan. "Aku mau Mas Agam gak kaku kalau lagi ngobrol sama aku. Jangan pakai bahasa baku atau pun formal, oke?"

Agam mengangguk. Sekarang dia paham apa mau calon istrinya. Pesanan datang setelah mereka menyelesaikan obrolan seputar bahasa yang harus dipakai sesuai kondisi.

"Kamu gak suka sayuran?"

Vara menggeleng pelan. "Suka sih, tapi kalau ada lauk lainnya aku pasti gak akan makan sayuran."

Agam menjauhkan olahan daging dari Vara. Laki-laki itu justru menyodorkan sayuran. "Harus makan sayuran. Bagus untuk kesehatan."

"Aku gak suka, Mas."

"Makan."

"Ih, dibilang gak suka kok."

"Makan." Kali ini Agam menyodorkan sendok berisi nasi dan sayuran.

"Maksa banget sih," sungut Vara. Meskipun sempat mengomel, akhirnya Agam mampu membuat Vara menghabiskan sayurannya.

"Mau nambah lagi?"

Vara melotot. "Mas pengen aku gemuk?"

"Kelihatannya tubuh kamu susah gemuk."

"Mas mau gaun pengantin aku nanti kesempitan?"

Akhirnya Agam tertawa kencang setelah satu jam duduk bersama dengan Vara. "Kamu takut gaun pengantinnya kesempitan?"

"Iyalah, aku kan udah pilih gaun."

"Ya udah, gak apa-apa. Nanti kamu minta penjahitnya untuk atur lagi ukurannya."

"Ih, aneh lho. Kacau jadinya."

Agam tertawa lagi.

"Oh, ya. Minggu besok kita gak bisa bertemu ya?"

Vara mengangguk. Minggu besok sudah waktunya bagi mereka untuk dipingit. 

"Kalau video call, boleh?"

"Gak usah, Mas. Kita jangan tatap muka dulu sampai akad nikah nanti."

"Melihat kamu lewat hp juga gak boleh?"

"Bukannya gak boleh, cuma menurutku baiknya jangan."

"Kalau aku kangen bagaimana?"

Vara mengernyit, entah mengapa Vara penasaran. "Mas, boleh aku tau alasan kamu langsung menerima perjodohan kita?"

"Karena kamu cantik," jawab Agam tanpa ragu sedikitpun.

"Aku tau, aku memang cantik. Tapi ada alasan lain lagi?"

"Kamu penurut."

"Penurut? Karena aku ikut omongon orang tua?"

"Hm, salah satunya itu."

"Terus yang lainnya?"

"Mungkin karena kamu pintar."

"Jangan sok tau, aku pernah dapat nilai empat."

"Pintar bersosialisasi, pintar menempatkan diri, pintar menjaga perasaan orang lain, pintar bertutur kata, dan pintar yang lainnya."

Vara bergeming dengan segala macam pikiran. Dalam sekali tebak saja Vara sudah bisa menyimpulkan. "Kamu kenal aku sejak kapan?"

"Sejak kamu masuk SMA."

"Saat itu kita bertemu di mana?"

"Aku datang ke rumah kamu. Aku lihat kamu, pakai seragam SMA yang masih kelihatan baru. Kamu kelihatan semangat sekali."

"Aku lupa. Mas pernah main ke rumah?"

Agam mengangguk. "Beberapa kali."

"Oke, jadi apa yang istimewa saat itu?"

"Kamu."

"Maksudnya?"

"Kamu yang istimewa."

Vara merasakan lidahnya kelu. Entah kenapa dia malah merasa gugup.

"Keseluruhan kamu enak dipandang, entah itu fisik atau sifat kamu. Aku suka, apa pun yang kamu miliki. Ibaratnya dua sisi, kamu sempurna di kedua sisi itu. Entah kamu paham atau gak, aku cuma bisa menjelaskan seperti itu."

"Oke, aku paham. Cuma aku...Mas serius?"

Agam mengangguk. "Kamu boleh tanya papa kamu."

"Tanya apa?"

"Kenapa bisa ada perjodohan antara kita berdua."

Seketika Vara meelebarkan kedua matanya. Bahkan, untuk berbicara saja dia tergagap, "M-mas, ka-kamu jangan bilang, kamu yang mi-minta dijodohkan dengan aku?"

Anggukan kepala Agam membuat Vara semakin sulit berbicara. Apa ada yang salah dengan laki-laki itu?

"Aku datang ke rumah kamu untuk yang kedua kalinya. Saat itu yang aku dengar kamu lagi liburan di rumah nenek kamu."

"Untuk apa kamu ke rumah?"

"Iseng, aku main ke sana. Iseng, aku minta dikenalkan dengan kamu. Dan siapa sangka papa kamu langsung setuju."

"What?"

"Siapa sangka saat aku minta dijodohkan beliau langsung menerima. Tapi sayangnya saat itu kamu masih terlalu muda."

"Be-berapa usia kamu, Mas?"

"Kamu gak ada niatan buat batal nikah karena masalah usia kan?"

"Berapa, Mas?"

"28 tahun."

"Saat itu! Waktu kamu minta dijodohkan."

"Mmm, 22 tahun?"

"22 tahun?"

"Bukan, tapi 21 tahun."

"21 tahun," gumam Vara seraya menghitung, "berarti usiaku waktu itu 15 tahun?" tanyanya dengan ekspresi tercengang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!