NovelToon NovelToon

Orbis Online

0. Prolog

Tahun 20XX adalah tahun dimana terdapat banyak sekali dunia buatan—dunia yang diciptakan oleh manusia. Jangan salah sangka, dunia dalam konteks ini bukanlah bumi, melainkan sebuah program raksasa yang dikendalikan oleh suatu sistem. Virtual-Reality full-dive adalah sebutan resminya.

Teknologi ini ditemukan dan menjadi populer sekitar 5 tahun lalu oleh Deraft Corporation. Awalnya teknologi full-dive ini digunakan hanya untuk sekedar hiburan semata, tapi lama-kelamaan berkembang menjadi berbagai fungsi. Banyak perusahaan yang menggunakan teknologi ini agar bisnis mereka berjalan lebih efisien.

Ada ratusan dunia yang telah berkembang di dunia nyata ini. Banyak yang mengandalkan dunia-dunia buatan tersebut sebagai lahan bisnis dan lainnya. Bukan hanya perusahaan-perusahaan besar, bahkan individu kecil seperti seorang anak SD pun dapat menghasilkan uang dari dunia buatan ini.

Dunia ini dipenuhi wabah dunia palsu seperti dunia Virtual-Reality full-dive, namun hebatnya dunia ini masih bisa berjalan sebagaimana mestinya. Tidak seperti yang di bayangkan, bahkan banyak negara juga mengalami kemajuan akibat teknologi ini—meski memang banyak juga dampak negatifnya.

Game adalah sebagian besar dari dunia buatan ini. Game yang berteknologikan Virtual-Reality full-dive sama halnya seperti dunia nyata—walaupun tidak nyata, siapa yang tak menginginkan hal ini? Dunia yang berdasarkan dunia nyata, namun bisa melakukan apa saja yang ia suka di sana tanpa mempedulikan hukum negaranya. Tentu hal ini menarik banyak peminat, tak terkecuali siswa-siswa SMA.

“Hei, kau tahu game apa yang paling populer sekarang?”

“Kau pikir aku bodoh? Sebodohnya diriku, aku juga mengikuti tren game tahu.”

“Memangnya apa?”

“Tentu saja Orbis Online!”

Apa yang dibicarakan siswa-siswa tersebut adalah game VR terpopuler yang sekarang sedang naik daun, Orbis Online. Dari sekian banyak game yang menggunakan sistem Virtual-Reality full-dive, Orbis Online adalah pemilik pemain terbanyak di berbagai belahan dunia. Saking populernya, game ini sampai-sampai memiliki channel tv tersendiri yang membahas hal sekitar Orbis Online.

Tak cukup sampai sana, mata uang dalam Orbis Online telah menjadi salah satu cryptocurrency yang paling banyak digunakan. Inilah salah satu mengapa Orbis Online memiliki begitu banyak pemain. Kebanyakan pemainnya adalah mereka yang mencari pekerjaan mudah.

Meski dikatakan pekerjaan mudah, proses dalam game tidak semudah kedengarannya dan peralatan untuk memainkan game VR juga tidaklah murah. Ada banyak yang harus dipertimbangkan jika ingin mencari uang dari sebuah game. Bukan berarti mustahil, tapi cukup sulit bagi seorang pemula yang hanya mengincar penghasilan dalam game. Untuk seorang profesional, uang bukanlah masalah bagi mereka tentu saja.

Cukup banyak siswa SMA maupun SMP yang memainkan Orbis Online hanya untuk mencari uang tambahan. Selain mendapat hiburan, mereka juga bisa menghasilkan uang. Sekali tepuk dua lalat.

“Oi Deus, kamu beneran enggak main Orbis Online?”

“Enggak. Memangnya kenapa?”

“Y-yah, semua murid di kelas kita bermain Orbis Online, masa kamu enggak.”

“Maaf saja, aku tak memiliki uang sebanyak kalian yang bisa di hamburkan sesuka hati.”

Laki-laki bernama Deus tersebut merapihkan bukunya dan beranjak dari tempat duduknya, kemudian pergi keluar dari kelas. Seluruh orang yang ada di dalam kelas itu memusatkan perhatian mereka pada Deus yang baru saja keluar dari kelas. Haris—laki-laki yang mengajak Deus bermain Orbis Online tadi hanya bisa tersenyum masam.

Rudeus Laendra—biasa dipanggil Deus, seorang mahasiswa di sebuah universitas tertentu. Ia merupakan seorang mahasiswa yang pintar di universitasnya. Buktinya hampir setiap ujian semester ia berada di peringkat 10 besar dalam mata kuliah yang dipilihnya.

Walaupun ia seorang mahasiswa yang pintar, ia lebih cenderung menyendiri daripada berkelompok. Sifatnya yang tak tahan keramaian dan kebisingan itu membuatnya menjadi seorang pendiam tulen.

Setelah menaiki bus dan berjalan kurang lebih setengah jam, akhirnya Deus tiba di apartemennya. Ia melempar tasnya ke kasur yang kemudian disusul tubuhnya selang beberapa saat. Ia membenamkan kepalanya di dalam bantal mencoba merilekskan seluruh ototnya.

AC yang menyala sejak ia meninggalkan apartemennya membuat suasana ruangan sangat dingin—ditambah tak ada cahaya matahari yang masuk ke dalam. Dilihat dari hal ini, ia terlihat seperti vampir yang menyamar ke dunia manusia.

Sepuluh menit kemudian, Deus bangkit dari kasurnya dan berjalan ke arah dapur—membuka kulkas mencari apapun yang bisa mengisi perutnya.

“Sial, ternyata bahan makananku juga habis.”

Ia kembali merebahkan dirinya ke kasur setelah memeriksa isi kulkasnya. Tidak ada yang dapat dimakan, kecuali sepotong keju dan beberapa siung kupasan bawang merah.

Perutnya mulai mengeluarkan suara yang tak ingin ia dengar. Ia memukul pelan perutnya sendiri memperingatkan agar tidak bersuara lagi. Namun, apa yang terjadi malah sebaliknya. Ia pun membuat ekspresi kesal di wajahnya.

Ia duduk di kasur, mengambil dompetnya di sebuah meja kecil yang tak jauh darinya dan memeriksa isinya.

“Wah, isi dompetku ternyata horor sekali.”

Sambil mengatakan itu, ekspresinya berubah menjadi tampang masam yang terlihat tengah kesulitan. Tentu saja, di dompetnya hanya tersisa beberapa lembar uang kertas berwarna ungu dan kuning. Dalam beberapa hari ke depan kelihatannya akan menjadi hari-hari yang sulit untuknya.

Ia meletakkan dompetnya kembali ke meja kecil dan menyalakan televisi untuk menghibur diri. Kebanyakan konten yang disediakan tak terlalu jauh dari soal Virtual-Reality. Merasa tersinggung, Deus terus mengganti channel tv, hingga akhirnya berhenti di sebuah channel yang membuat alisnya naik.

“Hai, selamat siang pemirsa semuanya! Saya Yoyon!”

“Saya Medley!”

“”Kami berdua yang akan membawa acara Orbis View!””

Di layar tv terlihat seorang wanita berambut hijau dengan potongan bob disertai sesuatu yang mirip telinga kucing di kepalanya dan wanita berambut emas yang dipunggungnya terdapat sepasang sayap transparan. Mereka berdua sangat bersemangat membawakan acara yang disebut tadi.

Orbis View, salah satu acara tv yang digelar oleh channel khusus Orbis Online untuk meliput keanekaragaman yang ada di dalam game Orbis Online. Dalam acara ini, biasanya para pembawa acara akan berpetualang mencari berbagai hal yang tidak ada di dunia nyata. Untuk yang tidak bermain Orbis Online, mereka juga bisa mengetahui apa saja yang tersedia di salah satu dunia buatan tersebut.

Selama acara berlangsung, Deus hanya menonton dengan tenang. Alasan mengapa ia menonton acara ini adalah karena ingin mengabaikan rasa laparnya. Masih ada sekitar seminggu lebih tiga hari untuk berpindah menuju bulan selanjutnya.

“Orbis Online, dunia yang begitu populer sebagai lapangan pekerjaan. Hah, andaikan aku memiliki cukup uang, mungkin aku sudah membeli Solid Gear dan ikut bermain game itup.”

Deus mendesah mengingat kondisi perekonomiannya yang saat ini berada dalam bahaya. Solid Gear, sebuah perangkat berbentuk helm full-face yang digunakan untuk memasuki berbagai macam dunia Virtual-Reality—Orbis Online salah satunya. Tanpa perangkat tersebut, mustahil untuk seseorang masuk ke dalam dunia Virtual-Reality.

Harga Solid Gear sangat mahal bagi orang-orang berekonomian menengah ke bawah, 22.000.000 rupiah. Tentu harga ini terlalu mengerikan bagi Deus yang setiap bulannya dikirimi 900.000 rupiah oleh pamannya. Meski jumlah uang itu hanya untuk biaya makan sebulan, tetap saja ia harus menghemat uangnya sebisa mungkin.

Setelah Orbis View selesai, Deus mematikan tv-nya dan menarik selimut menutupi tubuhnya. Ia menutup mata dan mencoba mengalihkan kesadarannya pergi ke pulau kapuk. Tak sampai setengah jam, kesadaran mahasiswa berambut hitam dengan wajah rata-rata itu sudah menghilang.

***

Seperti biasa, Deus bangun pagi dan melakukan olahraga kecil sebagai rutinitasnya. Ia memakan sepotong keju di kulkas untuk sarapannya—meski tak mengenyangkan perutnya. Agar kenyang, ia mengisi lambungnya dengan air minum yang banyak. Ia harus menghemat keuangannya yang sedang di ambang kehabisan sebisa mungkin.

“Hari ini jalan keliling kota sajalah, mumpung libur.”

Setelah menggumamkan itu, ia bersiap-siap. Kaos oblong hitam, celana jeans biru, sebuah jaket bertudung merah lengan hitam, dan sepasang sepatu sneakers merah pemberian temannya, itulah penampilan yang biasa ia gunakan ketika ingin keluar. Memang terlihat membosankan, tapi hanya ini yang ia miliki. Benar-benar seorang mahasiswa miskin.

Ia beranjak keluar dari apartemennya dan berjalan menyusuri trotoar jalanan dengan earphone yang menyumpal telinganya.

Berkeliling kota adalah hobi laki-laki berambut hitam ini. Meski hanya sekedar berkeliling tanpa berniat membeli atau bertujuan sesuatu, itulah yang sering di lakukan oleh Deus. Lebih baik mencari udara segar daripada berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa-apa, itulah yang ia katakan.

Ia mengambil teleponnya dari saku celana, kemudian mencari ada berita apa saja di media sosial yang ia miliki. Tidak ada yang istimewa dari semua berita itu, kebanyakan adalah berita mengenai Orbis Online. Terlalu banyak, bahkan sampai-sampai memenuhi media sosialnya.

“Memangnya enggak ada hal lain selain Orbis Online? Semuanya membahas game itu.”

Merasa kesal karena tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli Solid Gear, ia memasukkan teleponnya ke dalam saku lagi dan memperhatikan sekelilingnya sambil berjalan. Deus adalah jenis orang yang tak ingin bekerja terlalu keras, namun ingin hidup nyaman dengan sendirinya. Bisa dikatakan bahwa ia adalah seorang pemalas tapi bisa juga bukan.

Ia hanya malas bekerja, bukan berarti ia merupakan seorang pemalas tulen.

Saat ingin menyeberangi jalan melalui zebra cross, ia melihat seorang anak kecil berlari melewatinya. Ia juga mendengar teriakan ibu sang anak kecil dari belakang yang terdengar sangat khawatir. Deus hanya memperlihatkan senyum sedih begitu melihat sepasang ibu dan anak ini.

Tiba-tiba, terdengar suara mesin mobil dari sebelah kanan yang meraung keras. Mobil sedang hitam tengah melaju dengan kencangnya ke arah sang anak kecil yang berlarian di atas zebra cross. Deus yang paling dekat dengan anak kecil tersebut sadar terhadap bahaya yang akan menghantam anak kecil di depannya.

Tanpa membuang banyak waktu, Deus segera melompat ke depan dan memeluk sang anak kecil.

Bruaaakk!!

1. Kotak dan Surat

Sejak hari itu—hari dimana ia ditabrak oleh mobil sedan hitam demi melindungi anak kecil yang sedang menyeberang—Deus sudah dirawat di rumah sakit selama tiga minggu. Lengan dan dua rusuk kanan patah, itulah yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit.

“Membosankan....”

Mengeluhkan itu, Deus menyalakan tv yang terdapat di ruangannya untuk mengusir kebosanan yang melanda dirinya. Sayangnya, hal ini tak begitu efektif. Deus hanya melihat acara tv yang membosankan dengan ekspresi kosong.

Sudah tiga minggu lamanya, namun ia belum diperbolehkan kembali ke apartemennya oleh dokter. Ia harus istirahat selama sebulan penuh yang artinya Deus harus mendekam di penjara kebosanannya selama seminggu lagi. Tidak ada yang tahu apakah ia dapat bertahan atau tidak.

Makanan yang tidak enak, tontonan yang tak menarik, tidak boleh keluar kamar, itulah yang dirasakan Deus. Teman-teman serta dosennya sudah tahu kalau Deus mengalami kecelakaan sehingga harus dirawat di rumah sakit, karena itu ia dihitung sakit. Sebagai gantinya, ia kehilangan waktu berharganya untuk belajar.

“Deus, bagaimana kabarmu?”

“Haris?”

“Tentu saja, memangnya siapa lagi?”

Di saat Deus tengah menikmati kebosanannya, tiba-tiba Haris muncul begitu saja dari pintu masuk membawa sebuah kotak berukuran sedang. Haris, seorang laki-laki berwajah tampan, berambut merah gelap, dan matanya yang berwarna hitam. Ia merupakan salah satu sedikit dari teman yang dimiliki Deus di kampus.

“Kupikir kau tukang parkir yang biasanya mengikuti si pemarkir.”

“Hah? Bisanya kau menganggapku begitu.”

Menanggapi ucapan Deus, Haris berjalan menuju sebuah kursi di samping kasur pasien yang digunakan oleh Deus. Mereka berbincang-bincang mengenai berbagai pelajaran di kelas—berhubung Deus tidak menyerap apapun yang berbau mata pelajaran yang ia ambil untuk kuliah. Terkadang mereka juga membicarakan gadis-gadis di kelas mereka. Tentu saja, percakapan ini adalah hal yang wajib untuk pelajar laki-laki yang tengah menaiki tangga kedewasaan seperti mereka.

Gadis-gadis di kelas mereka memang 90%-nya dapat dikatakan cantik yang dapat mengundang mahasiswa dari jurusan lain iri, namun berbandik terbalik dengan Deus. Ia sama sekali tak tertarik pada gadis-gadis di kelasnya. Ia pernah mengatakan ‘apa gunanya berpacaran kalau akhirnya putus? Maaf saja, lebih baik aku mempersiapkan diriku untuk di masa depan’. Makanya ia tidak tertarik sama sekali.

“Ngomong-ngomong, kotak apa itu yang kau bawa, Haris?”

“Hm? Ah, ini? Aku dititipi oleh seorang wanita cantik berambut pirang tadi di pintu masuk rumah sakit. Katanya ini untukmu.”

Haris meletakkan kotak itu dipangkuan mahasiswa yang tengah sakit tersebut. Deus mengangkat tangan kirinya dan menggoyangkan kotak itu beberapa kali untuk memastikan isinya. Bisa jadi isinya adalah bom. Tapi, kelihatannya hal itu tidak mungkin karena ada penjagaan yang cukup ketat pada rumah sakit di masa ini.

Karena penasaran, Deus mencoba membukanya menggunakan satu-satunya tangan yang bisa ia gunakan secara bebas—tangan kiri. Meski kesulitan, ia dapat membukanya dengan bantuan dari Haris. Ketika terbuka, mereka sama-sama terkejut bukan kepalang.

“I-ini....”

“S-solid Gear...?”

Bukan hanya Solid Gear, di dalam kotak tersebut terdapat seperangkat perlengkapan pendukung untuk memainkan game VR full-dive yang sedang menjajah dunia ini secara global. Sebuah PC kecil yang dapat masuk ke dalam kotak berukuran sedang itu. Deus dan Haris membelalakkan matanya selebar mungkin.

“Ini... mimpi, kan?”

“Kurasa bukan, Deus.”

“Bagiamana kau tahu?”

“Aku baru saja mencubit pipiku sendiri.”

Deus memberikan tatapan datar pada Haris. Yang Deus maksud adalah mimpinya, bukan mimpi Haris. Apakah Haris ini bodoh atau memang sengaja berpura-pura bodoh agar Deus tertawa? Kemungkinan besar begitu—berhubung ia belum pernah melihat Deus tertawa. Berbanding terbalik terhadap apa yang ia harapkan, Deus ingin menghajarnya sekarang juga.

Mengabaikan Haris, Deus mengangkat helm Solid Gear dan melihatnya secara seksama. Di bagian belakang dekat leher, ia menemukan sebuah ukiran yang tertulis ‘Ultimate Edition’. Ia lebih terkejut lagi begitu mendapati helm Solid Gear yang ia genggam saat ini adalah Solid Gear Ultimate Edition—yang merupakan Solid Gear edisi terbatas yang hanya di produksi seratus buah per negara.

Berbeda dari Solid Gear lainnya, Ultimate Edition memiliki baterai cadangan sekitar 50.000 MAH dan koneksi tersendiri sehingga bisa digunakan kapan saja dan dimana saja. Selain itu, Solid Gear Ultimate Edition juga dapat mengakses internet (browser) secara live dalam permainan atau ketika memakainya. Harganya pun jauh lebih mahal dibanding Solid Gear biasa, 70.000.000 rupiah untuk satu buah Solid Gear Ultimate Edition.

Tentu saja harga ini adalah harga yang sangat fantastis bagi kalangan mahasiswa miskin seperti Deus. Ia tidak mengerti, mengapa ada orang yang memberikan ini kepada dirinya? Barang semahal ini bukanlah barang yang dengan mudah diberikan seperti lembaran uang kertas seribuan pada pengemis.

“Ah, Deus, wanita itu juga menitipkan sebuah surat untukmu kepadaku.”

“Hm?”

Haris memberikan sepucuk surat yang dikemas dalam amplop tersebut kepada temannya itu. Deus menerima surat itu dan membukanya, lalu membacanya seteliti mungkin.

Kepada Rudeus Laendra,

Tuan Rudeus, saya mengirimkan ini sebagai bentuk rasa terima kasih saya atas apa yang anda perbuat. Apakah anda tidak ingat? Anda menolong seorang gadis kecil berumur tiga tahun dari hantaman mobil sedan yang melaju kencang tepat ke arahnya. Gadis kecil itu adalah putri saya. Saya sungguh berterima kasih atas apa yang anda lakukan. Untuk mengungkapkan rasa terima kasih saya, saya rasa semua ini belumlah cukup. Karena itu, ketika anda sudah sembuh bisakah anda menghubungi nomor 0854********? Saya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung. Terima kasih atas perhatiannya, semoga cepat sembuh tuan Rudeus.

Salam hormat, Rezel Hansilva

“”Mustahil!!””

Deus dan Haris menjerit histeris begitu melihat nama yang terpampang di sudut bawah kanan surat. Mata mereka kembali terbelalak mengetahui pengirim kotak ini adalah Rezel Hansilva. Tentu saja mereka terkejut, Rezel Hansilva adalah satu-satunya pendiri Deraft Corporation cabang Indonesia.

Meskipun sudah banyak merk Solid Gear yang tersedia di berbagai negara, perangkat berbentuk helm milik Deraft Corporation memang sangatlah diminati karena fiturnya yang masih paling maju diantara Solid Gear lainnya. Sebagai perusahaan yang menemukan dan memperkenalkan teknologi Virtual-Reality full-dive sekaligus Solid Gear untuk pertama kalinya, tentu saja Deraft Corporation juga merupakan pusat produksi perangkat tersebut.

“I-ini bohong, kan? Rezel Hansilva? Pendiri Deraft Corporation cabang Indonesia? Dan kau menyelamatkan anaknya?”

“M-mana kutahu kalau yang kuselamatkan itu anaknya! Aku hanya menyelamatkan anak kecil yang berada dalam bahaya di depanku, itu saja!”

“Tapi tetap saja kau menyelamatkan anak Rezel Hansilva!”

“Aku juga tahu itu, otak udang!”

“Hah!? Kau menyebutku apa!?”

“Aku menyebutmu otak udang! Kenapa!? Masalah!?”

“Kuhajar kau, orang sakit!”

“Sini kalau berani, dasar otak udang!”

“Permisi....”

Ketika Haris sudah berdiri dan mencengkeram baju Deus berniat memukulnya dan Deus sendiri sudah mengangkat tangan kirinya yang sudah dikepalkan bersiap meninju temannya itu, seorang suster datang memasuki kamar. Suster itu hanya tersenyum masam melihat perkelahian kecil dari pasien dan penjenguk. Alhasil, kedua orang tersebut menyudahi pertengkaran mereka.

2. Reuni yang Tak Diharapkan

Setelah kurang lebih dua bulan mendekam di rumah sakit, akhirnya Deus dapat keluar dari neraka kebosanannya. Heran? Ya, menurut dokter ia harus beristirahat lebih lama lagi di rumah sakit. Dengan berat hati, Deus pun menyetujuinya walaupun sempat memprotes beberapa kali. Ia sudah tertinggal sebulan dalam hal pelajaran, di tambah sebulan lagi tentu saja ia mengajukan protes.

Apesnya lagi, karena telah absen selama lebih dari sebulan ia harus mengikuti kelas khusus pada jam yang berbeda dari kelas biasanya. Di tambah kelas khusus tersebut memakan waktu kurang lebih enam jam setiap harinya. Seperti kembali menjadi anak SMP saja. Belum di tambah biaya pengobatan di rumah sakitnya, kelihatannya ia akan dibebani banyak pikiran dalam beberapa waktu ke depan.

Ia menghela nafas ketika memikirkan semua masalahnya itu. Meski ia termasuk golongan manusia cerdas, nasib baik tidak mungkin selalu menyertai dirinya. Jika seseorang tidak pernah tertimpa kesialan satupun dalam kehidupannya, boleh dikatakan bahwa orang itu adalah titisan dewa. Setidaknya itu menurut ucapan Deus.

“I-inikah tempatnya? Bukannya tempat ini terlalu mewah untuk mahasiswa miskin sepertiku?”

Kini ia tengah berada di depan sebuah gedung pencakar langit tinggi nan mewah bernama ‘Grand Hotel Skrimata’. Tempat ini merupakan gedung mewah yang sering digunakan para pembisnis-pembisnis kaya biasa berkumpul mengadakan pesta, rapat, diskusi, ataupun bermalam. Hotel ini merupakan hotel termewah di kota yang ditempati Deus. Biaya per malamnya bahkan mencapai 16.000.000 rupiah!

Dengan gugup, Deus melangkah memasuki hotel mewah ini dan bergegas menuju lift karena ia tidak ingin penampilannya menjadi pusat perhatian orang sekitar. Seperti biasa, kaos oblong hitam, celana jeans biru, dan sepasang sepatu sneakers merah—tentu saja dengan lengan kanan yang masih di gisp. Karena kecelakaannya waktu itu, jaket merah berhoodie lengan hitam kesayangannya rusak parah sehingga tak bisa diperbaiki.

Setelah kurang lebih lima menit berada di lift, ia sampai di lantai ke-13. Meskipun seharusnya waktunya relatif lebih singkat, terdapat banyak orang yang keluar masuk lift sehingga jalannya sedikit terhambat.

Ia menengok ke sana kemari mencari seseorang yang akan bertemu dengannya di tempat ini. Namun, apa yang ia dapat bukanlah orang yang ia cari, tapi seseorang yang ia benci. Laki-laki berambut merah terang dengan mata berwarna sama seperti rambutnya di lindungi jas hitam formal mewah yang tadinya berdiri berbincang-bincang dengan sepasang suami-istri, sekarang berjalan mendekati Deus.

“Hei hei hei, apa yang kau lakukan di tempat ini, Rudeus Laendra?”

‘Hiruma Tokoyasu!’

Melihat musuh laki-laki tampan bertampang berengsek di depannya ini, ia menyembunyikan ekspresi serta seluruh kemarahannya di dalam hati. Ia memasang senyum palsu di wajahnya sembari berusaha tetap tenang mengendalikan diri. Selain menjadi perhatian orang sekitar, bisa-bisa ia menyebabkan perkelahian di sini. Ia juga tidak diuntungkan—dalam hal posisi maupun fisik.

“Memangnya kenapa kalau aku berada di sini, Hiruma?”

“Enggak, aku cuma heran saja melihat bocah miskin sepertimu bisa ada tempat mewah seperti Grand Hotel Skrimata.”

Mengetahui posisinya saat ini sangat tidak diuntungkan, ia hanya menelan mentah-mentah semua kata-kata dari Hiruma. Deus mengepalkan tangan kirinya mencoba menahan amarah sekuat tenaga. Walaupun tak seharusnya ia marah di sini, tetap saja tidak mungkin ia melupakan perbuatan Hiruma di masa lalu.

“Sayang, kemarilah, ada si miskin di sini.”

“Benarkah? Ah iya, ternyata memang benar. Lama tak bertemu, ya, Rudeus.”

Yang baru saja datang adalah seorang gadis cantik berambut cokelat pirang menawan, bermata biru gelap indah, berbalutkan gaun putih anggun, disertai beberapa perhiasan yang terlihat mahal di leher dan pergelangan tangannya membuat hampir seluruh laki-laki di lantai ini mengalihkan pandangan mereka ke gadis tersebut.

“L-lama tak berjumpa, Rea.”

Deus memaksakan senyumannya bersamaan dengan amarahnya sehingga wajahnya terlihat sedikit kacau sekarang. Gadis itu adalah Reana Flaregarde. Ketiganya—Deus, Hiruma, dan Rea—merupakan teman sekelas ketika kelas 11 di jenjang SMA.

Melihat senyuman Rea yang sama sekali tidak diliputi rasa bersalah sedikit pun, ekspresi merendahkan dari Hiruma, dan tangan Rea yang melingkar di lengan kiri Hiruma, amarah Deus semakin memuncak. Namun, hal itu ia tangani dengan rangkaian tarikan dan hembusan nafas besar dari hidungnya.

Ekspresinya menjadi datar dan terlihat tidak peduli dengan mereka berdua yang ada dihadapannya.

“Lalu, ada perlu apa kalian datang kepadaku? Jangan bilang kalau kalian mau pamer kemesraan kalian.”

“Wah, seperti yang di duga dari orang ‘tercerdas’ di SMA kita dulu, kau bisa menjawab apa saja ya, Deus.”

“Hah?”

Membalas tatapan meremehkan dari Hiruma, Deus memberikan sorot mata sinis yang dipenuhi kebencian mendalam. Hal itu cukup mengganggu Hiruma sampai-sampai ia terkejut melihat Deus yang bisa melontarkan tatapan itu kepadanya. Selang beberapa detik, Deus membalikkan badannya dan hendak berjalan meninggalkan kedua pasangan tersebut.

“Hei, jangan abaikan aku, Rudeus Laendra!”

Dengan sebuah teriakan yang cukup lantang, Hiruma berhasil menyita perhatian seluruh penghuni lantai 13. Tentu saja langkah Deus berhenti begitu namanya diteriakkan oleh laki-laki yang ia benci, kemudian menoleh ke belakang melihat sang pemanggil. Ia juga sadar bahwa ia sedang menjadi pusat perhatian dari semua orang di lantai ini.

“Apa kau tak malu memakai pakaian seperti itu di gedung ini!? Dengan tangan seperti itu!? Kau pasti sudah menjadi berandalan yang sering berkelahi di jalanan, kan!? Menjijikkan sekali dirimu, Rudeus Laendra! Berani sekali kau menginjakkan kaki kotormu di tempat ini!”

‘Maaf saja, bukan kakiku yang kotor tapi sepatuku. Lalu, sepatumu juga sama kotornya.’

Teriakan dari Hiruma memberi Deus lebih banyak perhatian lagi. Kali ini hampir semua orang membicarakan Deus dengan suara sepelan mungkin tak ingin terdengar—padahal sudah terdengar jelas. Deus yang merasa dihina itu hanya menghela nafas kecil sambil memejamkan matanya. Sebenarnya ia tidak ingin membuat masalah di tempat penuh gengsi ini, tapi apa boleh buat, ia juga tak bisa berdiam diri saja ketika harga dirinya diinjak-injak oleh laki-laki ini.

Di sisi lain, Rea hanya tertawa kecil menertawakan Deus yang tengah dihina oleh Hiruma. Karena tidak ingin dilihat terlalu vulgar, ia menutup bibirnya menggunakan tangan kanannya Begitulah para wanita kelas tinggi tertawa.

“Rudeus?! Siapa yang mengatakan Rudeus Laendra?!”

Di tengah kegaduhan yang dibuat Hiruma, terdengarlah suara berat seorang pria dari arah kiri Deus. Mereka semua yang ada di sana dengan cepat mengalihkan perhatian kepada suara tersebut. Di sana terdapat seorang pria paruh baya berambut hitam—beberapa helai rambut putih—mengenakan setelan jas hitam mewah, persis seperti Hiruma. Bedanya pria tersebut memiliki jam tangan bermerk terkenal yang harganya juga fantastis—bagi Deus tentunya.

“Ah, tuan Rezel.”

“Tuan Rezel.”

“Mengapa tuan Rezel di sini?”

‘Pria ini... Rezel Hansilva?’

Ketika seisi lantai mendadak heboh dengan kedatangan pria paruh baya bernama Rezel Hansilva ini, Deus sepertinya sedikit bingung melihat wujud orang yang mengirim sepaket perlengkapan Solid Gear dan PC kepadanya saat di rumah sakit. Ia mengira pria bernama Rezel ini masih muda. Namun ternyata kenyataan berkata jauh dari bayangannya.

Rezel berjalan mendekat ke arah Deus dan Hiruma yang tengah cekcok—meski hanya sekedar penghinaan sepihak. Untuk sesaat, matanya tertuju kepada Hiruma, tetapi pandangannya segera teralihkan ke pemuda berambut hitam yang tangan kanannya masih dibalut gips, menggantung di kain leher.

“Tuan Rezel, orang in—”

“Oh, andakah yang bernama Rudeus Laendra?”

“Y-ya, itu saya.”

Dalam sekejap, suasana di lantai itu berubah drastis. Dari yang semulanya memojokkan Deus seorang, menjadi kebingungan terhadap Rezel yang menyapanya dengan panggilan formal. Hal ini tentu saja membuat seisi lantai terkejut—termasuk Hiruma dan Rea yang kedua matanya terbelalak.

Setelah sedikit berbincang-bincang untuk memastikan apakah Deus benar-benar Rudeus Laendra yang menyelamatkan putrinya, akhirnya Rezel berbalik dan berdeham cukup keras sehingga membuat suasana lantai hening.

“Nak Hiruma, aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian, tapi Rudeus adalah tamuku. Akulah yang mengundang ia kemari. Jika kau keberatan, katakan protesnya padaku nanti. Aku ingin berbicara dengan Rudeus terlebih dahulu, lalu aku akan mendengarkan segala bentuk protesmu. Bolehkah?”

“E-eh? Y-ya, t-tentu s-s-saja.”

Dalam kalimat perbincangan satu arah tersebut, lidah Hiruma pun langung terbungkam tidak bisa mengatakan sepatah kata lagi untuk merendahkan Deus. Di sisi lain, Rezel berjalan kembali ke tempat duduknya dipinggir jendela yang dapat melihat pemandangan kota di ketinggian—tentu saja Deus mengikutinya dari belakang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!