NovelToon NovelToon

Selamat Datang, Halal!

Awal

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar."

(Al-Baqarah:155)

----

Bila kehidupan ini seperti video yang bisa diputar sesuai dengan keinginan, ingin di-back atau mencari scane yang dia sukai mungkin Amira orang pertama yang ingin mengubah takdirnya.

Ya, dia ingin mengubah takdirnya. Karena dia akan menjadi sosok pertama yang merasakan semua yang dia alami adalah sebuah ketidakadilan. Mengapa demikian? Karena seperti kata orang penyesalan selalu datang di akhir karena bila datang di awal bulan penyesalan namanya melainkan rencana.

Amira menyesali keputusannya menolak Dinan, bukan karena Dinan tetap mengendap di dalam dadanya. Bukan. Ini semua disebabkan oleh sebuah kata salah satu ustazah yang dia kenal.

"Sosok yang baik itu tidak akan memberikan hubungan tanpa komitmen yang tidak mengikutsertakan Allah."

Kalimat itu begitu menohok Amira, karena semua orang jelas tahu bahwa Dinan menawarkan pernikahan bukan pacaran. Akan tetapi, dari segala penyesalan itu Amira tetap bersyukur dan mengambil hikmah di baliknya. Dia meyakini bahwa Allah selalu ada untuk hambanya.

Amira duduk di kursi teras, dia sedang menunggu sang ibu pulang dari kajian lingkungan. Ya, setelah dua tahun lebih tinggal di sini. Amira dan ibunya sepakat untuk mencoba berbaur dengan orang sekitar sehingga mampu memanfaatkan waktu luang dengan mencari ilmu atau bermanfaat bagi orang lain.

Amira sesekali membenarkan posisi hijabnya, dia sedikit gelisah karena semua sudah menyapa namun sang ibu tak jua muncul meski bayangannya. Hari ini ibunya ikut kajian di masjid dekat jalan besar. Di sana memang ada kajian rutin untuk umum di setiap hari Kamis.

"Kok ini belum pulang," kata Amira berdiri dari duduknya, dia membuka pagar kemudian tampak cemas menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Menunggu siapa?"

Amira segera menoleh, kemudian dia menunduk pandangan. Ya, Amira yang sekarang sudah lebih baik dibandingkan Amira yang dua tahun lalu.

"Itu, Pak Faris saya menunggu ibu."

"Ibu kamu Shalat Magrib sekalian, beliau akan pulang bareng istri saya."

Amira mengangguk tanda mengerti kemudian tak lama Faris pamit untuk pulang, dia juga menjelaskan bahwa dia pulang untuk menyalakan lampu rumahnya kemudian kembali ke masjid.

Amira terdiam sejenak kemudian memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, karena sayup-sayup angin malam sudah mulai terasa. Amira masuk dan tidak lupa menutup pintu. Dia ingat benar bahwa jika saat menjelang malam maka setan akan berkeliaran. Ingat sebuah kisah tentang setan wanita yang selalu menakut-nakuti anak kecil pada masa Nabi Sulaiman, makanya di saat senja anak kecil dilarang keluar dan dianjurkan menutup pintu dengan mengucapkan basmalah.

Amira mengambil wudu untuk menenangkan hati dan juga persiapan untuk Shalat Magrib. Dia masuk ke dalam kamar mandi dengan kaki kiri tak lupa dia mengungkapkan doa. Setelah keluar dari kamar mandi dengan segala ritual sebelum Shalat Amira mendengar azan magrib berkumandang. Dia diam duduk di atas kursi sambil mendengarkan azan dan menjawab azan sebagai mana yang sudah diajarkan.

Setelah azan Amira menggelar sajadah dan mengenakan mukena, dia tidak lupa memanjatkan doa karena menurut yang dia tahu bahwa di antara azan dan iqamah itu terdapat waktu yang mustajab untuk dikabulkannya doa. Doa Amira tidak muluk-muluk, dia hanya ingin diampuni segala dosa-dosa yang pernah dia lakukan, dosa kedua orang tuanya, dan saudara-saudaranya. Sederhana bukan?

---

Amira berjalan menuju dapur, di sana melihat sang ibu sedang memasukkan beberapa barang ke dalam lemari es.

"Ada yang dibantu, Bu?" Ibu Amira menoleh kemudian menggelengkan kepalanya.

"Ini sudah selesai," kata sang ibu sambil melipat kantong plastik.

"Ya sudah, kalau makan sayurnya masih di panci ya, Bu." Amira hendak melangkah.

"Kamu sudah makan?" Amira menoleh tersenyum sambil mengangguk sebelum kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Sejak setahun yang lalu Amira berubah menjadi sosok yang lebih pendiam dari biasanya, dulu dia memang pendiam namun masih ada suara yang dikeluarkan untuk hal-hal basa-basi biasa. Namun kini tidak lagi, entah dengan siapa pun dia menjadi individu yang introvert.

Amira membuka beberapa resep yang ada di mejanya, dia kembali berkutat dengan beberapa modifikasi resep yang bisa dilakukan. Amira sebenarnya sudah memiliki banyak resep sebagai ciri khas dia sendiri akan tetapi, entah mengapa dia masih suka melakukan hal ini. Amira suka menu dalam negeri dibandingkan menu kontinental yang menurutnya tidak sesuai dengan lidahnya jadi dia sering membuat rangkaian menu yang hampir serupa dengan menu kontinental namun dengan komposisi menu dalam negeri.

Amira mendengar pintu terbuka, dia menoleh dan melihat sang ibu berdiri di depan pintu. Ibu Amira menatap dengan datar, entah apa yang telah terjadi.

"Abang dan mbak kamu akan pindah kemari lusa, kamu tidak ingin membereskan ruangan yang akan menjadi kamarnya." Amira tersenyum tipis.

"Insya Allah besok ya, Bu." Ibu Amira mengangguk kemudian menutup pintu kembali. Amira tersenyum kemudian dia kembali fokus pada buku yang ada di depannya.

Setelah selesai dengan buku dan penanya Amira membereskan meja kemudian dia menatap kalender yang ada di meja, dia melihat ada tanggal yang sudah dia lingkari untuk besok lusa. Dia melihat daftar jadwal kegiatan yang sudah dia buat dia baru ingat bahwa dia ada jadwal untuk mengajar kursus memasak untuk sebuah kegiatan ibu PKK sebuah perumahan.

Amira menatap barisan nama perumahan itu dalam diam. Dia menghela napas kemudian mengucapkan istighfar berulang-ulang untuk meminimalisir rasa yang menyusup di rongga dada.

Amira ingat pembicaraan dia dengan Nirmala di sore itu, sekitar satu tahun yang lalu sebelum Nirmala memutuskan untuk menikah. Iya, Nirmala kini sudah menikah dengan salah satu temannya. Sore itu Nirmala mengatakan bahwa.

"Yang sudah lewat belum tentu kembali, jadi lebih baik kita menata diri bukan untuk menghadapi masa depan. Kita tidak bisa memaksa seseorang berjodoh dengan kita seberapa kuat kita menjaga dan seberapa lama kita menunggu."

Dulu, dia berpikir bahwa kalimat itu ditunjukkan untuk Nirmala yang ternyata masih menyimpan rasa pada gebetannya yang tak bukan adalah Faris, tetangga sebelah rumahnya. Beliau sudah menikah dan juga beliau yang menjadi pengganti Dinan saat Dinan memutuskan untuk resign. Namun kini satu hal yang Amira sadari, bahwa kalimat itu bukan hanya untuk Nirmala namun juga untuk dirinya. Dirinya yang selama ini masih menyelam bersama masa lalu yang dia sesali. Ini bukan sekedar awal namun sudah pertengahan jalan.

---

Semalam setelah menyelesaikan pekerjaannya, Amira segera ke kamar mandi karena dia merasakan sesuatu yang tak nyaman sehingga dia harus segera memeriksa ternyata dugaannya benar bahwa tamu bulanan telah datang, Amira hanya mampu bersyukur atas apa saja yang menghampirinya. Dengan keadaan yang semacam ini membuat Amira sedikit malas untuk bangun pagi, jadilah dia kesiangan. Waktu sudah menunjukkan pukul lima lebih dia baru keluar dari kamar.

Saat keluar kamar dia mendengar celoteh anak kecil, dia bingung namun dia segera memeriksa ke ruang tengah dan benar saja di sana sudah ada sang abang dan anak pertamanya sedang berbincang.

"Kakak harus baik sama adik, katanya kakak mau kayak Fahma."

"Tapi tetap saja adik enggak boleh pakai baju kakak."

"Ya kalau pakai baju kakak adik masih enggak bisa, kebesaran."

"Berarti enggak pakai baju kakak?"

"Enggak," kata Arif menjawab pertanyaan sang anak.

Amira tersenyum melihat kehangatan di antara keduanya, dia jadi mengingat sang ayah. Dia masih terpaku di depan pintu hingga pekikan Fatimah menyadarkannya.

"Amah Am." Fatimah turun dari duduknya kemudian menghambur lari memeluk kaki Amira.

Amira menoleh ke tahun sang kakak yang tersenyum kepadanya, dia merasakan letupan bahagia melihatnya. Kemudian Amira berjongkok di depan ponakannya yang sudah menginjak umur tujuh tahun.

"Assalamualaikum, kakak Fatimah." Amira membelai rambut Fatimah dengan sayang.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, Amah." Fatimah langsung mengalungkan tangannya ke leher Amira. Sejak kecil keduanya memang sudah cukup dekat sehingga hal yang terjadi ini adalah hal yang biasa.

"Amah sehat?"

Amira mengangguk dengan pelan.

"Fatimah juga sehat, Abi sehat, Umi sehat dan dedek kecil juga sehat." Celoteh Fatimah masih dengan memeluk Amira.

"Semua sehat ucapkan," kata Amira yang disahuti antusias oleh Fatimah hingga melepas tangannya.

"Alhamdulillah." Fatimah menangkup kedua pipi Amira kemudian menghujani banyak kecupan.

"Sayang Amah." Fatimah kemudian berlari menuju sang ibu yang tampak memanggil. Amira hanya menatap keceriaan Fatimah dalam diam tanpa dia duga sang kakak sudah berjalan mendekati.

"Bagaimana kabarmu?" Arif mengulurkan tangannya untuk membantu Amira berdiri, dan dengan senang hati Amira menerima kemudian dengan tanpa sungkan dia memeluk sang kakak.

Sejak kepergian Dinan sang kakak berubah menjadi hangat, dia tidak tahu apa yang dikatakan Dinan kepada sang kakak waktu sepekan sebelum lelaki itu pindah. Namun, Amira harus mensyukuri apapun yang diucapkan lelaki itu karena mampu mencairkan hati sang kakak.

"Kalau baik kenapa bangun siang?" Arif memeluk sang adik dengan erat, kemudian dia menggoyangkan badannya ke kanan dan ke kiri.

Amira tidak menjawab pertanyaan Arif dia justru menikmati kehangatan sang kakak. Dia merasa terlindungi, rasa itu kembali.

"Fatimah begitu ceria, dia mirip denganmu." Arif tiba-tiba bersuara keluar dari jalur.

"Abang berharap, dia tumbuh menjadi sosok yang kuat seperti dirimu."

Amira mengurangi pelukannya kemudian memberi senyum hangat.

"Dia akan tumbuh lebih baik dari pada Ami. Dia akan menjadi sosok yang lebih baik pula dari Ami. Dia sempurna, dia memiliki dua orang tua yang sangat mengagumkan."

Arif mencubit pipi Amira. "Makin dewasa saja," kata Arif dengan senyum manis.

"Sudah tua juga," sahut sang ibu membuat Amira meringis. Dia yakin topik apa yang akan dibicarakan.

"Iya, tua enggak laku-laku."

"Abang, ucapan doa loh. Memangnya mau kalau Ami enggak laku." Bukan merasa bersalah Arif justru tertawa melihat wajah sewot sang adik.

Amira tak murni marah, dia hanya ingin merangkai kehangatan keluarga walaupun ini terasa terlambat tanpa hadirnya sang ayah. Namun mau bagaimana lagi, takdir sudah menentukan dan manusia tak kuasa mengubahnya. Saat ini yang perlu Amira sadari hanya satu hal, bahwa Allah tak akan mengunci hamba melampaui batas mampu dan setiap Allah memberi cobaan pasti ada kado indah di baliknya.

---

Penyesalan

"Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Rabbnya, (mereka berkata), “Wahai Rabb kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia. Kami akan mengerjakan amal shaleh. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yakin."

[as-Sajdah/32:12]

----

Amira membantu sang kakak ipar merapikan barang-barang bawaannya, kakaknya sudah memutuskan untuk pindah ke Kota ini karena menyadari usia sang ibu yang sudah tidak muda lagi, juga kenyataan bahwa Amira sudah dewasa dan suatu waktu jika jodohnya datang maka mau tidak mau Amira harus tinggal dan mengikuti sang suami. Dengan segala pertimbangan ini membuat Arif mantap untuk tinggal di rumahnya enggak dua tahun lalu dia belikan untuk sang ibu dan adik tinggal.

"Barang-barang mas Arif biar dirapikan sendiri, Mi." Amira menatap kemeja yang dia tata di gantungan baju.

"Enggak papa kok, Mbak. Toh ini enggak berat." Amira menoleh ke arah sang kakak ipar dengan senyum tipis.

"Aku enggak enak saja buat kamu capek kayak begini."

"Siapa yang bilang Ami capek? Orang Ami senang." Amira menatap baju-baju sang kakak ke lemari gantung.

"Aku senang melihatmu lebih tenang," kata Dinda, kakak ipar Amira.

"Dulu memang aku enggak tenang ya, Mbak?" Dinda menatap Amira kemudian tersenyum.

"Dulu kamu terlihat tidak nyaman, kamu tampak berbeda dan selalu gelisah hanya untuk sebuah kejadian yang sebenarnya kamu tidak salah. Namun sekarang, kamu jauh lebih berbeda dan tenang."

Amira tersenyum tipis, dia tidak menyangkal hal itu karena dia memang merasakan hal itu, mungkin dengan seiring berjalannya waktu semua kan semakin mudah dan dewasa.

"Kegiatan kamu apa sekarang?" tanya Dinda sambil duduk, dia tidak kuat lama-lama berdiri karena usia kandungan sudah menginjak usia delapan bulan.

"Mengajar saja sih yang konsisten, kalau yang lain tidak ada yang konsisten lagi deh."

Dinda tersenyum. Dinda memang sosok yang ramah, Amira ingat dulu saat sang kakak memutuskan menikah sebelum berangkat ke Madinah. Amira yang dulu adalah Amira yang ceria namun mudah takut, dia begitu dekat dengan wanita yang berstatus sebagai istri dari kakaknya. Dia tidak menduga bahwa Dinda akan bersikap lebih baik dibandingkan kakaknya sendiri.

"Terus kalau pulang mengajar?"

"Kan saya ada jam hanya Senin sampai Kamis itu pun berangkat siang karena masuk setelah zuhur, jadi kegiatan sebelumnya mungkin kegiatan rumah tangga biasa. Kalau Sabtu dan Ahad biasanya saya ada les memasak gitu."

"Jumat?"

"Kalau Jumat itik kajian ustazah Lena." Amira menaruh koper yang sudah kosong di samping almari.

"Nanti ikut ya pas hari Jumat."

Amira tersenyum sambil mengangguk, kemudian dia berjalan menuju tempat tidur sang kakak dan duduk di samping ibu hamil.

"Kamu suka dengan pekerjaan kamu?"

"Suka, saya nyaman dengan semua itu." Amira tersenyum mengingat kegiatan yang menurutnya sungguh menyenangkan.

"Aku bisa melihat dari ekspresi wajah kamu." Dinda mengusap lembut sisi kepala Amira. Bagi Dinda Amira masih adik kecil yang sembilan tahun lalu dia kenal.

"Berarti hari ini kamu ada jadwal untuk les memasak?"

"Enggak Mbak, hari ini Ami ada acara dengan ibu-ibu PKK jadi guest star gitu." Amira berkata dengan tenang.

---

Amira melangkah keluar aula RW perumahan, dia sesekali berjabat tangan dengan ibu-ibu PKK dan mengumbar senyum tipis. Dia menghela napas saat sudah keluar gerbang, Amira berdiri sejenak untuk mengecek ponselnya. Karena hari ini Amira tidak pergi sendiri melainkan di antar oleh sang kakak.

Abang

Abang tunggu di dekat masjid.

Amira mengerutkan keningnya tanda dia sedang berpikir keras, dia mencoba mengingat jalan yang cepat untuk menuju ke masjid perumahan. Amira sudah sering datang kemari, dia menjadi salah satu pengisi kegiatan PKK di sini sejak empat bulan belakangan. Amira memilih melewati blog sebelah kanan karena saat melewati blog sebelah kiri dia akan menjumpai beberapa warung kopi dan hal itu membuat Amira tidak nyaman.

Amira memilih yang sebelah kanan ingin menghindari keramaian para lelaki, namun dia melupakan satu fakta bahwa melewati blog kanan berarti dia melewati depan rumah lama Dinan. Sekali lagi dia menghela napas, jujur dia masih tak bisa menyangkal rasa menyesal yang tak akan mengubah apa pun itu.

Amira berjalan dengan menunduk, sesekali dia mendongak untuk menatap jalan kemudian kembali menunduk lagi. Dia terdiam saat dia tepat berada di depan rumah lama Dinan. Dia menatap kosong bangunan yang sudah tampak berubah, dulu setahu Amira tidak ada gazebo kecil dan kolam ikan dan sekarang sudah ada. Amira melamun beberapa saat, hingga suara seorang perempuan berjilbab besar menyadarkan dirinya dari dunia bernama kenangan.

"Kakak jangan lari!" Perempuan berjilbab hitam itu berlari mengejar anak berusia satu tahun. Masih nampak kesulitan untuk berjalan. Amira miris melihatnya, dia jadi ingat bahwa jika dia menerima lamaran itu mungkin perempuan beruntung itu adalah dirinya. Ya, dirinya yang akan mengejar anaknya yang mulai belajar berjalan. Untuk ke sekian kalinya Amira menyesal, namun mau bagaimanapun penyesalan Amira dia tidak akan mengubah segalanya.

Perempuan itu menoleh heran ke arah Amira, saat menyadari itu Amira salah tingkah kemudian mengangguk dan berlalu pergi. Dia harus kembali menata hati yang rasanya sudah porak-poranda. Ibarat puzzle yang sudah lepas dari tempat yang sesuai.

Amira kembali ingat perkataan Nirmala satu tahun yang lalu. Perkataan yang sebenarnya ingin sekali dia lupakan namun seolah tengah mencibirnya dengan senantiasa muncul di ingatan.

"Dinan balik ke kota ini memboyong semua keluarganya. Aku harap yang terbaik buat kalian, kamu bisa menerima takdir yang sudah ditentukan."

Amira kembali meringis, dia menutup wajahnya sejenak menggunakan jilbab lebarnya kemudian dia beristigfar dan kembali berjalan.

Amira menatap mobil sang kakak yang sudah ada beberapa langkah di depannya, dia langsung berjalan cepat dan membuka pintu mobil sang kakak lalu masuk, hal itu membuat Arif terkejut. Dia heran dengan wajah Amira yang berbeda.

"Kamu kenapa, Mi?" tanya Arif membawa bahu sang adik menghadap ke arahnya.

"Bang, apa salah jika aku menyesal?" tanya Amira membuat Arif bingung, namun dia lebih bingung lagi dengan air mata yang keluar dari mata hidup sang adik.

"Menyesali sesuatu yang salah dan ingin mengubah menjadi lebih baik itu tidak salah. Jika kamu menyesal karena telah melakukan kebaikan sehingga berdampak buruk bagimu itu baru salah." Arif menghapus pipi sang adik yang tampak basah, walau percuma karena seolah mata itu adalah sumber air yang tak berhenti.

"Aku menyesal telah melepas dia, Bang. Kalau saja aku menerima lamarannya aku mungkin yang saat ini menjadi istrinya, bukan wanita lain. Seandainya aku bisa memutar waktu aku ingin kembali ke masa itu dan mengubah jawabanku."

Arif menarik tubuh Amira menuju dekapannya, dia membiarkan Amira meluapkan segala isi hatinya.

"Aku menyesal, Bang."

Arif menepuk lembut punggung sang adik.

"Aku menyesal menolak dia Bang. Aku ingin memutar waktu untuk mengubah segalanya." Tangis Amira menjadi, membuat Arif menghela napas pasrah. Dia tahu ini akan terjadi tapi tidak dia duga jika hal ini cepat menghampiri.

Arif harus menunggu hingga beberapa menit untuk tuk menunggu tangis Amira mereda sebelum dia menasihati sang adik tentang segala ucapannya. Setelah isakan Amira mengecil dia mengurai pelukan.

"Sudah lebih baik?" tanya Arif sambil menghapus sisa air matanya.

"Baju Abang kena ingus," kata Amira sambil tertawa kecil. Hal itu cukup membuat Arif lega bahwa adiknya sudah tidak setertekan tadi.

"Tidak masalah, asal kamu bahagia," kata Arif dengan nada menggoda.

"Ih, Abang gombal. Aku kasih tahu ke mbak Dinda."

Arif mengelus kepala sang adik gemas.

"Mbak kamu itu sudah khatam Abang gombali." Amira cemberut mendengar ucapan sang kakak.

"Ih, lelaki dan gombalannya." Amira berkata sambil mencibir.

"Baiklah sekarang serius. Kamu mau mendengarkan Abang." Amira menatap Arif tak yakin namun dia mengangguk kepalanya.

"Dalam suatu hadits riwayat Muslim yang artinya 'Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan.' kamu pernah dengar?" Amira menatap arif kemudian menggelengkan kepalanya.

"Itu adalah sebuah hadits yang menjelaskan bahwa kita tidak boleh mengandaikan untuk mengubah sesuatu yang sudah lalu. Karena hal itu akan membuat murka Allah. Jadi apa yang kamu lakukan itu tadi adalah salah. Segera beristigfar dan memohon ampunan Allah."

Amira menatap wajah Arif dengan tidak percaya. Dia tidak menduga jika ungkapan rasa kesal itu adalah sebuah ungkapan yang telah dilarang oleh Allah.

"Sekarang kamu mengerti?" Amira menatap Arif kemudian mengangguk.

"Jangan diulangi lagi," kata Arif dengan tenang kemudian mengelus punggung sang adik sebelum dia kembali duduk menghadap ke depan dan memasang sabuk pengaman.

"Bang, jadi kita tidak boleh menyesal?"

"Boleh menyesal, tapi dalam artian kita mau berubah. Sama halnya kamu yang saat ini pasti menyesal telah melakukan hal yang beberapa saat lalu kamu lakukan. Dan penyesalan itu harus disertai dengan perubahan sama halnya dengan Taubat disertai dengan janji tidak akan mengulang kembali."

Amira mengangguk mengerti kemudian dia sibuk dengan dirinya sendiri yang mengucapkan istigfar di dalam hati berharap Allah mengampuni dosa-dosa yang telah dia perbuat baik sengaja atau tidak.

"Ayo berdoa, kita berangkat pulang!" Arif memerintahkan dengan nada lembut. Arif sudah cukup lega dengan perubahan yang ada pada diri adiknya.

----

Tak Terduga

"...Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya."

[Al-Furqaan/25 : 2]

----

Langit nampak redup, sang pijar seolah tengah bersembunyi untuk menyamarkan sinarnya. Namun meski sang pijar meredup udara panas masih melingkupi, terbukti dengan banyaknya manusia yang mulai berpakaian terbuka di muka umum dan juga banyaknya orang yang mengibaskan segala sesuatu untuk menghadirkan sebuah terpaan angin dingin.

Amira melangkah dengan anggun, dia mengenakan baju terusan dengan bagian atas batik dan bagian rok polos berwarna hitam sehingga nampak pakaian formal potongan padahal jika jilbabnya diangkat akan nampak jelas jahitan sambungan yang tertutup sabuk kain. Amira memakai flatshoes untuk melindungi kakinya.

"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," salam Amira duduk di depan seorang perempuan cantik berjilbab biru.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab perempuan itu kemudian berdiri memeluk Amira.

"Kangen," kata Nirmala dengan nada manja, Amira terkekeh mendengarnya.

"Baru juga sebulan gak ketemu," kata Amira mengambil duduk di depannya.

"Tetep aja kangen, orang biasanya setiap hari ketemu." Amira mengangguk setuju. Ya, dulu mereka selalu bertemu. Kecuali Selasa itupun kadang keduanya keluar bersama di luar jam kerja.

"Yah beginilah hidup," kata Amira pelan menyisakan nada getir disetiap rangkaian kata.

"Ya sudah lupakan, bagaimana kabarmu?"

"As you see, I am fine. Bagaimana dengan Mbak?"

"Aku baik, baik sekali." Nirmala mengungkapkan dengan binar bahagia yang begitu terlihat.

"Alhamdulillah, mbak Mala nampak seger." Nirmala menyentuh kedua pipinya yang nampak bersemu merah.

"Benerkah? Alhamdulillah." Nirmala menjawab dengan nada bahagia namun kemudian wajahnya nampak cemberut. "Tapi Dinan bilang aku gendutan. Padahal kata gendut itu sangat sensitif buat perempuan. Apa lagi ibu rumah tangga seperti diriku."

Amira meringis saat nama sakral itu disebut, bohong jika semua itu mempengaruhi perasaan yang dia miliki, karena nyatanya nama itu masih memiliki singgasana sendiri dalam urusan hatinya.

"Kamu kenapa?" tanya Nirmala merasa tak salah, Nirmala sungguh tidak mengerti dengan kebungkaman Amira.

"Gak papa, ngomongin masalah gendut jadi ingat kalau berat badanku turun dua kilogram." Nirmala mengotot kemudian mengamati wajah Amira.

"Iya, kamu nampak lebih tirus? Kamu punya masalah?" Amira menggeleng karena dia memang tak memiliki hal yang mempengaruhi perasaan.

"Terus gimana bisa kamu kurusan?" Amira mengangkat bahu.

"Aku mulai kehilangan nafsu makan." Nirmala meringis, Amira bisa melihat raut prihatin di mata Nirmala untuk dirinya.

"Udah minum vitamin?"

"Udah, bahkan dibelikan susu juga sama abang. Tapi mau gimana lagi?" Amira nampak frustasi dengan masalah berat badannya, karena Amira memiliki hal yang tak wajar, jika seseorang dengan mudah menaikan berat badan berbeda dengan Amira. Bahkan saat gemuk saja yang serasa berisi hanya pipinya badannya tetap saja seukuran meski nampak lebih batat.

"Periksa ke dokter coba," kata Nirmala memberi ide.

"Iya nanti InsyaAllah." Nirmala mengaguk.

"Sampai lupa kan belum pesan." Nirmala nampak mencari pelayan kemudian memanggil dengan gerakan tangan. Amira menaruh tasnya kemudian mengeluarkan ponsel untuk mengecek siapa tahu ada informasi penting.

"Kamu pesan apa?"

"Saya paket nasi ayam krispi ditambah tumis cambah dan minumnya teh dengan sedikit gula hangat." Amira kemudian sibuk dengan ponselnya membalas beberapa pesan dari calon klien yang akan menjadi muridnya.

"Oh ya, nanti mas Damar kemari." Amira menatap Nirmala dengan heran, sebenarnya dia tidak akan heran jika Nirmala mengatakan bahwa suaminya itu akan menjemputnya yang membuat heran kalimatnya seolah mengatakan bahwa suaminya akan ikut bergabung makan bersama.

"Kenapa?"

"Gak papa, Mbak kok kayaknya aneh." Nirmala berkata sambil menunduk.

"Aku hamil," kata Nirmala sambil berbisik. Amira membulatkan matanya, dia menatap Nirmala dengan penuh semangat.

"Mbak serius?" tanya Amira antusias.

"Ck, kenapa tanggapan kalian sama sih." Nirmala nampak menggerutu kesal.

"Gimana mbak?"

"Enggak, kamu orang kedua yang mengetahui. Karena bagiku kamu tetap saudara yang paling istimewa." Nirmala menggenggam tangan Amira dengan penuh haru, tanpa terasa setetes kristal jatuh di pelupuk mata keduanya.

"Terima kasih Mbak." Amira menggenggam balik tangan Nirmala.

"Nanti akan ada yang aku kenalkan kepadamu," kata Nirmala dengan nada penuh rahasia.

"Siapa?"

"Teman mas Damar. Siapa tahu kalian cocok. Dia memang sudah pernah menikah tapi dia baik kok. Dia rekan dosen mas Damar."

"Jadi?" Amira menatap Nirmala penuh selidik. Sebenarnya ini bukan hal pertama yang dilakukan oleh Nirmala jadi Amira sudah kebal dengan kelakuan calon ibu muda itu.

"Ya dicoba dulu, walaupun aku tidak yakin tapi gak ada salahnya. Dia punya satu anak perempuan sudah umur empat tahun tapi dibawah asuhan sang ibu. Jadi walaupun duda dia seperti single." Amira hanya menanggapi dengan senyum tipis, dia tidakenduga jika ibu muda ini sangat konyol.

"Tapi aneh tahu kehamilan ku ini, Mira!" Amira menatap Nirmala.

"Kenapa?"

"Iya, aku gak ngerasain apapun gitu. Aku biasa saja makan dan tidurku gak terganggu, aku juga tidak morning sicknees." Amira menatap Nirmala kemudian mengangguk kalau boleh jujur sebenarnya Amira bingung menanggapinya, selain karena dia belum pernah hamil dia juga kurang ilmu tentang hal ini. Dia jadi ingat obrolannya dengan ustadzah Lena tentang seorang muslim harus memiliki pengetahuan yang luas, baik bidang agama, pengetahuan, kebiasaan, kesehatan atau apapun itu.

"Sebenarnya saya juga kurang paham sih, Mbak. Tapi kata kakak ipar saya dulu saat hamil pertama beliau juga begitu, kata mbak Dinda dia ngebo gitu." Nirmala nampak antusias dengan ucapan Amira.

"Jadi itu bukan sebuah masalah bukan?"

"Gak masalah sih Mbak, selama bayi yang dikandung dan ibu yang mengandung sehat." Amira tersenyum tipis.

"Doakan ya," kata Nirmala dengan senyum bahagia, Amira sebenarnya di dalam dadanya ada sedikit sayatan dia ingin juga merasakan yang dirasakan Nirmala.

"Sudah periksa ke dokter?" tanya Amira.

"Sudah, tadi diantar Dinan." Nirmala memelankan suaranya saat menyebut nama Dinan dia dengan segera menatap wajah Amira yang mencoba berlagak biasa, semua itu terbaca oleh Nirmala namun dia tidak bisa berbuat banyak.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Amira menatap kosong meja.

"Sehat kok. Terus diberi vitamin juga." Amira mengangguk lagi, meski matanya tak lepas dari rasa hampa.

"Oh ya, bagaimana ngidam dalam pandangan Islam?" Nirmala mencoba mencairkan suasana.

"Terima kasih," kata Amira saat pelayan menyajikan minuman terlebih dahulu.

"Belum paham banget sih," kata Amira sambil meringis.

"Kalau kata Dinan, ngidam itu udah ada sejak dulu." Nirmala mengatakan dengan nada tak yakin.

"Cuman katanya sih gak boleh ngikutin hal yang berlebihan dan aneh. Seperti kalau ngidam gak suka sama bau suami, itu tidak boleh dituruti soalnya itu adalah hasutan syetan. Pokoknya kita harus memilah begitulah," kata Nirmala sambil menyeruput minumannya.

"Berarti tidak semua ngidam harus diikuti?"

"Iya, katanya juga kalau kita dilarang bilang kalau ngidam itu permintaan bayi dan akan menyebabkan sebuah keburukan jika tidak dituruti." Amira mengangguk dia paham.

"Terus kalau menurut dokter?"

"Dokter gak bahas sih, cuman bilang saja kalau suami harus memberi penjagaan dan pengertian yang lebih." Amira mengangguk.

"Terus tentang ngidam?"

"Bukan dokter yang bilang, tapi Dinan. Katanya sih kalau ngidam itu tidak ada sangkut pautnya dengan bayi, itu hanya murni keinginan sang ibu yang ingin mendapatkan suatu yang membuat dia nyaman. Jadi tidak semua ngidam harus dipenuhi karena semua itu tidak berimbas kepada apapun kecuali pada diri sang ibu." Amira mengangguk mengerti.

"Wah, jadi tambah ilmu." Nirmala mengangguk.

"Heran, Kok malah Dinan sih yang tahu banyak." Nirmala mengatakan dengan nada biasa saja, tak menyadari perubahan pada mimik wajah Amira.

"Mungkin dia lebih pengalaman," kata Amira tidak yakin.

"Iya juga sih, dia kan baru nunggu orang hamil." Nirmala membenarkan ucapan Amira. Tak lama makanan pesanan keduanya datang dan keduanya makan dengan sesekali membicarakan hal-hal ringan, seperti menanyakan keadaan sekolah atau kegiatan sehari-hari.

Setelah selesai makan Amira pamit untuk ke toilet sebentar, dan Nirmala hanya mengangguk karena calon ibu muda itu masih menikmati ikan nila bakar. Amira tersenyum tipis melihat kebahagiaan yang nampak di wajah sahabat dan sekaligus orang yang dia anggap saudara.

Amira sengaja ke toilet untuk membenarkan posisi gamisnya yang tak nyaman, juga ingin mencuci mulutnya yang terasa berminyak. Amira mencuci tangan dan kemudian dia berjalan kembali menuju mejanya, dia sedikit heran saat di mejanya sudah ada dua lelaki asing, yang satu menghadap ke arahnya dia kenal sebagai Damar, suami Nirmala namun yang satu lagi dia tidak bisa melihat wajahnya karena lelaki itu duduk membelakangi dirinya.

"Maaf," kata Amira sambil menggeser kursinya mendekati Nirmala.

"Amira," panggil lelaki itu dan Amira hanya bisa diam membungkam mulutnya dengan hal yang dia lihat.

"Kalian saling kenal?" tanya Nirmala dan Damar bersamaan.

"Iya," jawab Amira kemudian duduk di samping Nirmala.

"Bagaimana kabar kamu?" tanya Farhat mengulurkan tangannya. Namun Amira hanya mengangguk sambil menangkup kedua tangannya.

"Saya baik, Alhamdulillah."

"Wah, menakjubkan! Jadi kalian saling kenal. Hal itu bukankah memudahkan?" Nirmala dan Damar saling pandang dengan tatapan penuh arti, hal itu tidak luput dari pengamatan Amira.

"Dia mantan calon suami saya," kata Amira langsung membuat Nirmala melotot ke arah Farhat dan Amira bergantian, sebelum dia terbatuk-batuk entah karena apa.

"Jadi kalian?" Nirmala mengatakan itu setelah reda batuknya dan Damar dengan sabar mengelus punggung sang istri, hal itu mampu mencubit perasaan Amira.

"Iya, kami saling mengenal." Lagi-lagi Amira mengatakan hal itu dengan santai, karena dia yakin bahwa dia sudah tidak lagi memiliki perasaan kepada lelaki itu. Namun dia memiliki cukup rasa penasaran dengan status lelaki itu yang sudah menjadi duda. Ingat dia saat bertemu sekitar dua tahun yang lalu rumah tangga keduanya baik, begitu kata Fatih. Ah, semua itu bukan urusannya, bisa jadi rumah tangga nampak baik-baik saja namun di dalamnya sudah porak-poranda.

"Dan saya sepertinya tidak ingin mengulang masa lalu," kata Amira dengan tegas dan lugas. Ya, saat ini mungkin Amira tak ingin mengulang masa lalu namun mulut manusia hanya bisa bicara dan kenyataannya hanya Allah yang tahu. Karena hanya Allah yang maha membolak-balikkan hati.

---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!