Perkenalkan, namaku Kireina Humaira. Aku bukan siapa-siapa, Aku hanya perempuan biasa, tidak ada yang istimewa dariku. Bahkan juga sepertinya tak ada yang menginginkanku.
Ini kisahku, dimana semua kekacauan dan kejutan tak terduga datang dalam hidupku. Rasanya tidak adil kalau hanya ada kesedihan dalam hidupku.
Ada juga kebahagiaan, bahagia yang selalu aku impikan yaitu menjadi seorang pengantin, menjadi ratu sehari, tapi impian indah itu tidak berpihak padaku.
Aku seorang mahasiswi tingkat akhir disalah satu Universitas Swasta di Bandung, dan tak lama lagi akan segera wisuda, aku berharap setelah ini hidupku akan lebih baik.
***
Hari ini Aku sedikit terlambat datang ke kampus, dengan langkah yang terburu-buru Aku melesat secepat mungkin menuju kelasku.
BRUKK.
"Aw!" Kirei meringis kesakitan saat tulang keringnya menyentuh ujung tangga.
"Hey! Apa kau tidak lihat tangga itu? Kenapa kau ceroboh sekali?" Hardik seorang pria yang entah siapa, Kirei pun tidak mengenalinya.
"Maaf!"
"Ah, kenapa Aku minta maaf? Pada siapa? Pada tangga? Atau pada pria ini?" gumam Kirei, sekilas ia menanggahkan wajahnya menatap Gibran.
"Maaf? Pada tangga? Hah Kau aneh sekali!" Seru Gibran sambil menautkan kedua alisnya yang aneh mendengar jawaban Kirei.
"Siapa Kau? Terserah Aku mau berkata apa, dan kau? Kenapa juga memarahiku? Apa pedulimu?" jawab Kirei dengan kesal dan segera berdiri.
"Kau akan tahu siapa Aku nanti, dan Kau akan menyesal sudah berani berbicara tidak sopan padaku!" Gibran pergi meninggalkan kirei yang masih mengusap kakinya. Sebenarnya Gibran tidak tega melihat Kirei kesakitan, hanya saja dia gengsi karena wanita itu tidak seperti wanita yang sering ia temui, yang menyambutnya dengan cara mencari perhatian Gibran.
"Ah dasar pria sialan! Bukannya menolongku malah pergi begitu saja," Kirei menggerutu dan langsung pergi ke kelas karena mata kuliah akan segera dimulai.
***
"Kenapa tumben sekali Kau datang terlambat, Rein?" tanya Novi, sahabat Kirei.
"Emm, tadi Aku terjatuh dan ada sedikit perdebatan dengan seseorang." Kirei segera mendaratkan tubuhnya dibangku sebelah Novi.
"Seseorang? Siapa? Apa dia pria? Wanita?" tanya Novi dengan antusias.
"Hey! Kau bukannya mengkhawatirkanku, malah menanyakan hal yang tidak penting!" Kirei sedikit mengeraskan suaranya di depan Novi.
"Ish, kenapa harus berteriak sih? Maafkan Aku. Oh iya, apa Kau terluka, cantik?" Novi cengengesan melihat sahabatnya yang mulai kesal padanya.
"Aku tidak apa-apa, hanya saja..."
Sebelum Kirei melanjutkan perkataannya, datang seorang pria yang tak asing dimatanya, sontak itu membuat mata Kirei terbelalak.
"Selamat pagi semua!" sapaan itu sontak membuat para mahasiswa dan mahasiswi menoleh ke sumber suara.
"Wah, siapa Dia? Tampan sekali..."
"Wah, ada Oppa..."
Seketika ruangan riuh bertanya siapa pria yang baru saja masuk ke ruangan mereka, kecuali Kirei. Dia menutup wajahnya dengan buku yang tengah ia baca.
"Dia?"
"Apa kau mengenalnya?" tanya Novi penasaran.
"Tidak!" Kirei memalingkan mukanya.
"Perkenalkan, Aku Gibran Aditya, anak pemilik Yayasan ini. Aku bertugas menggantikan Ayahku untuk mengurusi satu dan dua hal di kampus ini," tutur Gibran dengan tegas dan menoleh ke arah Kirei, ada sedikit senyuman sinis saat melihat ekspresi wanita itu.
"Apa? Dia anak pemilik kampus ini? Oh tidak, bagaimana kalau Dia mengingatku?" Batin Kirei bergumam dan tanpa sadar buku yang dipegang oleh Kirei ternyata terbalik.
"Apa disini di ajarkan membaca buku dengan terbalik?" Sindir Gibran yang sudah berdiri di hadapan Kirei, tentunya dengan menyilangkan kedua tangannya.
"Kirei, turunkan bukumu! Pak Gibran ada di depanmu!" Novi menoleh pada Kirei sambil berbisik.
Kirei menurunkan perlahan bukunya, senyum manis terpancar di bibirnya, yang membuat Dia semakin cantik dan menggemaskan.
"Kenapa kau senyum semanis itu? Apa kau akan menggodaku? Hah! Aku tidak akan terpengaruh!" Gumam Gibran yang mencoba acuh dengan senyuman Kirei.
"Ah maaf, Pak. Saya tidak tahu, kalau Bapak ada di depan saya." Kirei menunduk malu.
"Siapa, namamu?" Tanya Gibran dengan tegas.
"Kirei, Pak. Kireina Humaira," Kirei menjawab tak kalah tegas dengan Gibran.
"Ok Kirei, setelah hal yang ingin saya sampaikan pada kalian semua selesai, Kau ikut ke ruanganku!" Gibran memerintah tanpa ingin mendengar jawaban Kirei terlebih dahulu.
"A-apa? Kenapa Aku di panggil ke ruangannya?" Kirei menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena kebingungan. Ia juga merasa heran, kenapa pria itu dingin sekali saat berbicara dengannya.
Kirei hanya mengangguk patuh, setelah Gibran memberi himbauan pada seluruh mahasiswi dan mahasiswa di kelasnya, Ia segera menyusul Gibran yang mulai melangkah keluar dari kelasnya.
***
Gibran sudah berada di ruangannya, Dia duduk bersandar di kursi kerjanya, melepas jas abu yang ia pakai dan tersisa kemeja berwarna putih, memperlihatkan dada bidangnya. Ia melipatkan tangan di atas dadanya, menyilangkan kaki dan sesekali memutarkan kursinya.
Gibran memang tampan, Dia memiliki postur tubuh yang tinggi, kulit yang putih, rambut hitam, mata sedikit sipit, hidung mancung, dan ekspresi wajah yang dingin, tentunya ia terlahir dari keluarga kaya.
Tok tok tok.
"Permisi, Pak. Bapak memanggil Saya?" Tanya Kirei.
"Masuk. Duduklah!" Perintah Gibran.
Kirei mengangguk dan langsung mendudukakan tubuhnya di kursi, tepat di hadapan Gibran.
Sejenak Gibran memperhatikan wanita yang ada di hadapanya itu, Kirei perempuan yang memiliki wajah cantik, kulit yang putih, dengan tubuh mungil, dan rambut lurus terurai.
Kirei juga memiliki mata yang indah, tatapan tajam, kornea berwarna hitam pekat. Siapapun yang melihatnya pasti terpaku pada tatapan mata Kirei.
"Apa, Kau tidak terluka?" Tanya Gibran dingin.
Kirei mendongakan wajahnya, dan seketika mata mereka beradu pandang persekian detik.
"Aku hanya tidak ingin kampus mengeluarkan uang, hanya untuk mengobati luka kecilmu itu," Gibran memaparkan ucapannya sambil menatap tajam Kirei.
"Maafkan saya Pak. Saya tadi tidak sengaja, tolong maafkan saya," pinta Kirei sambil mengatupkan kedua tangannya.
"Mulai besok, atau kalau bisa setelah ini, Aku tidak ingin melihatmu melalukan kekacauan di depanku!" Tukas Gibran.
"Keluar dari ruanganku!" Gibran memalingkan wajahnya dari Kirei.
"Baik. Saya permisi, Pak." Kirei membungkukkan badannya di hadapan gibran. Hatinya sangat sakit, kenapa orang-orang tidak menyukainya? Apa salahnya?
Kirei berjalan menyusuri lorong kampusnya, kepalanya penat mengingat kejadian yang menimpanya hari ini. Kirei menghela nafasnya dengan kasar, ia segera keluar halaman kampusnya, berniat segera pulang menuju rumahnya dan membaringkan tubuhnya yang sudah lelah.
Di rumah.
"Bu, kemana Kak Kirei?" Kayla berteriak kepada Ibunya sembari menuruni anak tangga menuju dapur.
Kayla Atmadja, Dia Adik dari Kirei. Gadis cantik berambut lurus sebahu, tubuhnya tinggi semampai. Kulitnya yang putih, dan memiliki lesung pipi yang membuatnya semakin manis, apalagi saat Dia tersenyum.
"Kenapa kau selalu berteriak Kay? Dan jangan berlari nanti, Kau terjatuh. Kakakmu masih di kampus, tadi pagi Dia berangkat terburu-buru," sahut Sari, yang sedari tadi tengah berkutat di dapur. Sari adalah Ibu dari Kayla dan Kirei. Tetapi bagi Sari, Kirei hanyalah seorang anak angkat. Kayla masuk ke dapur, dan segera mendaratkan tubuhnya di kursi.
"Yah, padahal hari ini Aku ingin mengajak dia bertemu seseorang, Bu." Kayla menempelkan dagunya di atas meja. Ia sedikit kecewa karena sang Kakak selalu menghindarinya, setiap dia ingin mengajak Kirei pergi. Sari sekilas melirik anaknya yang tengah murung.
"Memang, siapa yang akan Kau kenalkan pada Kakakmu itu?"
"Pacarku." Kayla menyunggingkan senyumnya.
Tak lama Kayla beranjak dari tempat duduknya, Dia bergegas pergi meminta izin kepada Ibunya untuk menemui seseorang.
***
Di sebuah Resto, Kayla tengah duduk menunggu seseorang sembari memainkan ponselnya.
"Ish, lama sekali! Kemana dulu sih," Kayla menggerutu dalam batinnya.
Kayla beranjak dari tempat duduknya, Ia hendak pergi ke toilet. Belum sempat melangkahkan kakinya, Dia melihat pria yang menghampirinya dengan setengah berlari.
"Maaf Aku terlambat, Sayang. Ada kecelakaan tadi, jadi jalanan sedikit macet," nafasnya masih memburu, pria itu memegangi dadanya yang naik turun. Lelaki itu tak lain adalah Gibran, mereka sudah berpacaran sekitar dua tahun, tentunya Gibran sangat mencintai Kayla.
"Selalu seperti ini! Aku tidak mau menunggu lagi kalau seperti ini terus," Kayla menjawab sambil cemberut, membuat bibirnya sedikit maju dan terlihat menggemaskan.
"Hey! jangan seperti itu, Aku tidak bisa melihatmu cemberut, kau terlalu menggemaskan." Gibran mencubit bibir Kayla dengan pelan.
"Sudah, duduklah! Kau mau makan apa?" Tanya Kayla.
"Tidak usah, sayang. Aku belum lapar." Gibran menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi.
"Sayang, katanya Kau ingin mengenalkanku pada Kakakmu. Mana Dia?" Tanya Gibran.
"Hem, Kakakku belum pulang dari kampus, mungkin lain kali Aku akan mempertemukan kalian," jawab Kayla dengan ekspresi kecewanya.
"Oh baiklah." Gibran menggangukan kepalanya dengan pikiran bingung, kenapa Kayla ingin sekali mempertemukan Dia dengan Kakaknya itu.
***
Kirei kini sudah pulang ke rumah, Dia mendudukan tubuhnya di atas tempat tidur dan membaringkan setengah dari tubuhnya.
"Lelah sekali hari ini," Kirei mulai merasakan kantuk di matanya dan tak lama Dia pun tertidur pulas.
"Aku pulang..." Kayla berjalan dan melihat sekitar rumahnya yang tampak sepi, "kemana orang-orang?" Tanya Kayla dalam hatinya.
Kayla berjalan menaiki anak tangga, sebelum menuju kamarnya, ia kilas melirik ke arah kamar Kirei.
Tok tok tok.
"Kakak, apa Kau sudah pulang?" Kayla membuka pintu kamar, dan memasukan sebagian kepalanya.
"Ternyata, Kakak sedang tidur." Kayla melangkah maju mendekati tempat tidur Kirei.
"Kak. Kakak, bangunlah!" Pinta Kayla sambil menepuk-nepuk pipi sang Kakak.
Kirei menggeliat, ia menjawab tanpa membuka matanya.
"Kenapa kakak berangkat pagi sekali ke kampus? Aku kan sudah bilang ingin mengajak Kakak bertemu pacarku." Kayla merengek.
Kirei mendengus kesal dengan kelakuan adiknya itu, "Aku tidak tertarik dengan hal yang tidak penting," jawab Kirei dengan dingin, ia merubah posisi tidurnya.
"Kau selalu saja begitu. Aku harus banyak berinteraksi dengan orang-orang, bukan hanya dengan Kak Novi, Ibu, Ayah dan Aku saja," gerutu Kayla.
"Kay, untuk apa Aku melakukannya kalau tidak ada hal yang penting? Bertegur sapa dengan orang yang sudah Aku kenal sudah cukup, kenapa harus capek-capek berkenalan dengan orang baru lagi." Kirei beranjak dari tempat tidurnya, ia hendak menuju kamar mandi.
"Kak, Aku belum selesai berbicara!" Teriak Kayla yang kesal akan sikap Kakaknya itu.
Kayla memang tahu kalau Kirei orang yang baik, hanya saja Dia tidak pandai memulai interaksi lebih dulu dengan orang lain. Kayla menyayangi Kakaknya seperti saudara kandung, Dia juga tidak mengerti kenapa sikap Kirei kepadanya selalu dingin. Apa kesalahan yang Kayla perbuat, sampai Kakaknya begitu tidak menyukainya.
***
Flashback On.
"Awas!"
Seorang gadis kecil menarik paksa seorang anak perempuan yang umurnya tak terlalu jauh dengannya, mungkin sekitar tiga tahun lebih muda dari umurnya. Anak perempuan itu hampir saja tertabrak mobil.
"Kau tidak apa-apa?" Kirei membantu Anak itu berdiri, dan melihat sekitar tubuhnya, memastikan kalau Dia tidak terluka.
"Hemm, Aku baik-baik saja. Terima kasih, Kakak." Kayla menatap Kirei dengan sendu dan seketika Dia memeluk erat tubuh Kirei.
"Anakku, kau tidak apa-apa? Apa kau terluka? Mana yang sakit, Nak? Kenapa kau ceroboh sekali!" Sari memeluk dan memeriksa tubuh anaknya itu.
"Ibu, aku baik-baik saja. Kakak ini menolongku, Dia sangat baik padaku, Ibu." Kayla menunjuk ke arah Kirei.
"Terima kasih sudah menolong anakku, siapa namamu?" Tony mengusap puncak kepala Kirei dengan lembut.
"Aku, Kirei." jawabnya.
"Nama yang cantik, persis seperti orangnya. Dimana rumahmu? Biar kami mengantarkanmu pulang," tanya Tony.
"Aku, tinggal di panti asuhan sebrang sana, Pak." Kirei berbalik menunjukkan tempat dimana dia tinggal.
"Ayah, Ibu, apa Kakak ini boleh ikut dengan kita?" Pinta Kayla dengan tatapan memohon pada kedua orangtuanya.
Seketika Tony dan Sari saling bertukar pandang, Tony mengisyaratkan sesuatu seakan meminta persetujuan kepada istrinya. Sari hanya mengangguk pasrah, entah apa yang membuat suaminya menyetujui permintaan Kayla. Mereka lalu bergegas pergi ke panti asuhan tempat dimana Kirei tinggal, ia berbincang dengan pengelola yayasan dan berakhir dengan sebuah kesepakatan.
Hari itu juga Kirei ikut pulang bersama Sari dan Tony. Kayla tersenyum bahagia, sesekali Dia juga bercanda dengan Kirei dan bertanya banyak hal padanya. Perasaan Kirei waktu itu campur aduk, antara bahagia karena memiliki keluarga baru, dan juga takut jika Dia akan mengecewakan orangtua angkatnya.
Hari-hari berlalu, Kirei dan Kayla bertambah akrab bak saudara kandung lainnya, bahkan Tony tak pernah membedakan kasih sayang diantara mereka.
Kirei anak yang cerdas, mandiri, dan dia juga sangat penurut. Banyak prestasi-prestasi yang ia dapatkan selama bersekolah, hal itu membuat Tony sangat membanggakannya. Berbeda dengan Sari, ia merasa suaminya itu terlalu berlebihan pada anak angkatnya, padahal mereka juga memiliki anak kandung yang tak kalah cerdasnya di bandingkan Kirei.
Sampai ada suatu kejadian dimna Kirei mulai menjaga jarak dengan Kayla, karena Ibunya marah besar bahkan berkata kata yang sangat menyakitkan hatinya.
Flashback Off.
***
"Kayla?" Sari memutar knop pintu kamar anaknya.
"Ayo, Kita makan malam Sayang," ajak Sari pada anaknya yang tengah asik membaca novel, sambil membaringkan tubuhnya di sofa yang ada di kamarnya.
"Baik, Bu. Aku akan panggil Kakak dulu, Ibu turunlah duluan, nanti Aku menyusul." Kayla berdiri menyimpan bukunya kembali, dan beranjak pergi ke kamar kakaknya.
Di meja makan, Mereka menyantap hidangan dengan lahap, tak ada percakapan, hening. Sampai Tony mulai membuka pembicaraan.
"Kayla, bagaimana belajarmu? Semua lancar? Jangan terlalu capek, Ayah tidak ingin Kamu kelelahan."
Kayla memang berbeda, tubuhnya tidak seperti kebanyakan orang. Ia mudah sekali sakit jika kelelahan sedikit saja.
"Lancar, Ayah. Sebenarnya Aku bisa belajar seperti mahasiswi lain Ayah, Aku bisa satu kampus dengan Kakak, aku tidak ingin belajar di rumah sendirian," pinta Kayla pada Ayahnya, yang ia tahu orangtuanya terlalu khawatir padanya.
"Tidak! Sampai Kau ada yang menjaga dengan baik."
"Oh iya, kapan pacarmu akan ke rumah?" Tanya Tony.
"Untuk apa Ayah menanyakan Gibran?" Tanya Kayla sambil mengunyah makanan nya.
Tiba-tiba saja Kirei tersedak ketika Kayla menyebutkan nama Gibran, apa itu orang yang sama dengan pria yang Ia jumpai di kampusnya? Sekilas semua orang yang ada di meja makan, menoleh pada Kirei.
"Ayah ingin ia segera menikahimu, Kay. Agar dia juga bisa menjagamu," jawab Tony dengan santai.
"Apa?" jawab Sari, Kayla dan Kirei bersamaan.
"Kalian kenapa kompakan seperti itu?" Tony terkekeh, ia merasa heran kenapa istri dan Anak-Anaknya sampai terkejut seperti itu, apa ada yang salah dengan ucapanya.
Kayla memang sangat mencintai Gibran, Dia juga ingin segera menjadi istrinya, tapi Kayla juga ingin melihat Kakaknya bahagia terlebih dulu.
"Ayah, apa tidak sebaiknya Kita memikirkan dulu Kak Kirei?" Tanya Kayla dengan hati-hati pada Ayahnya, sembari melirik ke arah Kirei.
Seketika Kirei menoleh pada Adiknya, dan menautkan alis tanda heran kenapa sang Adik selalu mengaitkan dirinya.
"Kirei? Dia mandiri, tak usah Kau terlalu memikirkannya," sambung Sari sambil meneguk air putih yang ada di hadapannya.
"Segitu tidak khawatirnya Ibu padaku? Sampai Ibu berkata seperti itu," Kirei menunduk menahan tangisnya. Sebenarnya alasan Kirei dingin pada Adiknya, karena ia takut melukai Kayla.
Kayla selalu di perlakukan bak berlian berharga, sedangkan Kirei hanya Anak angkat yang mungkin ada ataupun tidak ada dia takkan berpengaruh apapun, terutama untuk Ibunya. Kenapa Kirei tak ingin berdekatan dengan Kayla jika di luar rumah, karena ia tak ingin melakukan hal yang bisa membahayakan Adiknya, walaupun itu tidak sengaja. Seperti saat Mereka kecil, saat kejadian di taman waktu itu, membuat ia menjaga jarak dengan Kayla.
Flashbak On.
"Kayla!" Sari dan Tony berlari ketika melihat Kayla terserempet mobil saat membeli ice cream untuknya dan Kirei, saat itu mereka tengah piknik di taman dekat komplek rumahnya.
Kirei menatap Adiknya yang tak sadarkan diri, Dia takut, khawatir akan keadaan Adiknya.
"Kau! kenapa menyuruh Adikmu membeli ice cream? Kenapa tidak Kau saja yang beli? Kau selalu membuat Adikmu terluka! Pergi sana!" Sari membentak Kirei dengan penuh emosi, ia juga khawatir pada Kayla, sehingga Dia tidak memikirkan apakah kata-katanya itu menyakiti hati Kirei atau tidak.
"Bu, tidak ada waktu untuk menyalahkan, ayo segera ke rumah sakit!" Tony mengangkat tubuh Kayla dan segera melajukan kendaraanya menuju rumah sakit terdekat.
Kirei nampak terduduk, lututnya lemas karena sudah dua jam Adiknya diberi penanganan, tapi Dokter tak kunjung keluar.
"Kau ini kenapa? Apa salah Adikmu sehingga kau mencelakainya?" Sari masih bersikukuh menyalahkan Kirei, sedangkan Tony tidak berkata sedikitpun karena tidak ada gunanya menyalahkan, yang ia tahu pasti ini tidak di sengaja dan tak mungkin Kirei melukai Adiknya.
"Bu, maafkan Aku. Aku tak bermaksud mencelakai, Kay." Kirei menakupkan tangannya menghadap Ibunya, ia menangis terisak meminta maaf, tetapi Sari masih emosi. Ia tak menghiraukan permohonan maaf Anak angkatnya itu.
"Kenapa tidak Kau saja yang celaka, hah? Kenapa harus Anak kandungku? Kalau sampai terjadi apa-apa pada Anakku bagaimana? Akan Aku kirim Kau ke tempat asalmu kalau Kay tidak selamat!" Bentak Sari pada Kirei.
"Kenapa Ibu berbicara seperti itu?" Tony kesal karena ucapan Istrinya memang sudah keterlaluan.
"Kirei, Kau pulang duluan kerumah, yah. Ayah akan antarkan kamu ke rumah, tapi nanti Ayah akan kembali kesini menemani Ibu menjaga Kay," Tony membujuk Kirei yang sedari tadi mematung mendengar kata-kata Ibunya.
Flashback Off.
"Jangan pikirkan Aku, Ibu benar! Aku bisa menjaga diriku sendiri, Kau tak perlu repot-repot memikirkan Aku, Kay!" Kirei berlalu meninggalkan meja makan, rasanya ingatan akan kejadian dulu masih sangat membekas di hatinya. Kayla memandang punggung Kirei yang berlalu meninggalkannya.
Kayla kembali menatap kearah ayahnya, "baiklah Ayah, nanti akan Aku bicarakan pada Gibran soal ini."
Beberapa kali Kayla menghubungi Gibran, tapi tak ada jawaban.
"Kemana Dia? Apa yang Dia lakukan sehingga tak mengangkat telepon dariku?" Kayla mencoba mengirim pesan pada Gibran.
"Sayang, kau sedang apa? Kenapa telponku tidak di jawab? Apa kau sibuk? Ada yang ingin aku bicarakan padamu." ___Kayla
***
Di kampus.
"Berapa lama lagi Kau wisuda?" Tanya Gibran, matanya menelisik perempuan yang sekarang ada di hadapannya.
"Sekitar beberapa bulan lagi, Pak." Kirei menundukkan pandangannya, Dia meremas tangannya, takut akan Gibran mempersulit kelulusannya.
"Kenapa Kau selalu berbicara tidak sopan padaku?" Teriak Gibran pada Kirei.
"Karena, Kau juga tidak bersikap baik padaku, Pak!" Kata-kata itu pun meluncur dari mulut Kirei yang sedari tadi ia tahan. Ia merasakan bibirnya bergetar, sekarang pria dihadapannya semakin geram padanya.
"Segeralah Kau wisuda, Aku tidak ingin ada mahasiswi yang tidak memiliki sopan santun berkeliaran di kampusku!" Gibran menatap tajam pada Kirei.
Flashback On.
Bruukkk!!
"Aduh!" Kirei meringis kesakitan saat tubuhnya tersungkur.
"Sialan! Kenapa Kau jalan tidak pakai mat..."
Seketika mata Kirei terbelalak melihat siapa yang bertubrukan dengannya.
"Sialan? Kau menyebutku, sialan?" Gibran setengah berteriak membentak Kirei, ia tidak menerima kata-kata kasar yang ia dapatkan dari wanita ini.
"Ikut, Aku!" Gibran berjalan mendahului Kirei.
Flashback Off.
***
Di ruangannya, Gibran tengah memeriksa beberapa dokumen tentang identitas para calon mahasiswa dan mahasiswi baru, dan Dia teringat seharian ini dia tidak menghubungi Kayla. Gibran merogoh ponselnya yang ada di saku celana.
"Wah banyak sekali miss call, dan pesan apa ini?" Ucap batin Gibran, ia seger membuka pesan dari Kayla.
"Apa yang akan dibicarakan oleh Kayla?" Gibran bergumam dan berniat membalas pesan dari Kayla.
"Sayang, maaf. Ada hal yang harus aku selesaikan tadi. Maaf aku tidak mengangkat teleponmu. Oh iya, ada hal penting apa yang ingin kau bicarakan?" __Gibran.
***
Pesan pun diterima Kayla, dan ia segera membalasnya.
"Sayang, bisa kita bertemu? sekarang Aku ada di Cafe dekat komplek rumahku."__Kayla.
"Baiklah. Sayang, Aku akan menemuimu, tunggu! Aku janji tidak akan lama," __Gibran.
Gibran beranjak dari meja kerjanya dia segera pergi menemui Kayla, dan dia tidak ingin wanitanya menunggu lama untuk kesekian kalinya.
***
Cafe bunga.
"Sayang," Gibran berhambur memeluk wanitanya dengan hangat, mencium puncak kepalanya dengan lembut.
"Sayang, kenapa setiap hari Kau semakin menggemaskan?" Gibran melepas pelukanya dan duduk di samping Kayla.
Kayla tersenyum mendengar kata-kata prianya yang manis dan selalu membuat pipinya merona. Dari dulu mereka selalu harmonis jarang sekali bertengkar.
"Sayang, Ayah ingin bertemu denganmu. Ia ingin Kau segera menikahiku." Kayla langsung berbicara tanpa basa basi. Gibran sejenak terdiam.
"Baiklah, kapan? Aku akan dengan senang hati bertemu dengan Ayahmu, dan membicarakan pernikahan Kita,'' jawab Gibran dengan tegas sambil menggenggam erat tangan Kayla.
"Be-benarkah? Benarkah kau akan menikahiku?" Tanya Kayla, tak percaya bahwa tak ada keraguan saat Gibran menyetujui untuk segera menikahinya.
"Iya, Sayang. Aku sangat mencintaimu, Aku ingin menjagamu, agar tak ada satupun yang melukaimu. Tetapi Aku harus menunggu orangtuaku pulang dari perjalanan bisnis mereka," jawab Gibran penuh kepastian.
Orangtua Gibran memang sering bepergian untuk urusan bisnis, terutama soal yayasan-yayasan yang Mereka bangun di beberapa kota.
"Baiklah Aku akan menunggu, terima kasih." Kayla memeluk Gibran erat begitu juga sebaliknya.
"Tidak ada kata terima kasih untuk cinta," ucap Gibran, membuat Kayla terharu dan membenamkan wajahnya pada dada bidang Gibran.
***
Dirumah Gibran.
"Bibi, telepon berbunyi!" Gibran berteriak memanggil asisten rumah tangganya yang tengah ada di dapur.
"Halo?"sapa seseorang disebrang sana.
"Iya halo. Maaf saya tadi sedang didapur," jawab Bi Imah dengan gugup, nafasnya terengah karena berlari dari arah dapur munuju ruang tengah tempat telepon itu berbunyi.
"Bibi, Gibran ada?" tanya Mira Aditya Ibu Gibran.
"Oh, Nyonya. Ada, sebentar saya panggilkan dulu," Bi Imah hendak memanggil Gibran, tapi segera di tahan oleh majikannya.
"Tunggu, Bi! Biarkan saja, Aku dan suamiku akan pulang sore ini, Kami hanya memastikan ada atau tidak Gibran di rumah. Kami ingin memberinya kejutan!" Tutur Mira.
"Baiklah, Nyonya. Pukul berapa sampai di rumah? Saya akan menyiapkan makan malam," Tanya Bi Imah.
"Sekitar, pukul enam sore Bi."
"Baiklah, Nyonya. Akan saya siapkan," jawab Bi Imah, sambungan telepon pun terputus.
Bi Imah kembali berkutat di dapur, ia menyiapkan makan malam untuk menyambut kedatangan Nyonya dan Tuan besarnya. Mereka adalah orangtua Gibran, Tanto Aditya dan Mira Aditya.
***
Bel rumah Gibran berbunyi.
"Biar Aku saja, Bi," perintah Gibran pada Bi Imah, yang sedang menuju pintu.
"Baiklah, Den." Bi Imah mengangguk dan kembali ke dapur.
"Kejutan." Mira dan Tanto berucap secara bersamaa.
"Mami, Papi." Gibran memeluk erat kedua orangtuanya, di ciuminya punggung tangan keduanya.
"Sayang, apa kabar Kau? Mami kangen sekali padamu sayang," Mira menciumi pipi Anaknya dengan gemas.
"Sudah dong, Mi. Papi juga ingin mencium Anak tampan ini, Papi juga kangen." Tanto tersenyum kepada sang istri dan segera melalukan hal yang sama kepada Gibran.
"Aku baik Mi, Kalian bagaimana? Oh ayo, masuk." Mereka berjalan beriringan ke dalam rumah.
"Kenapa Papi tidak menghubungiku kalau mau pulang? Kan bisa Gibran jemput,'' tutur Gibran.
"Kan, Kami ingin membuat kejutan," Mira menggandeng lengan anaknya itu. Sesampainya di ruang tengah, Mereka duduk berbincang ringan melepas rindu.
***
Saat ini mereka sudah berkumpul di meja makan yang sudah tersedia berbagai jenis masakan, dengan di selingi candaan.
"Mami kangen sekali masakan Bi Imah," Mira antusias dengan makanan yang dibuat asisten rumah tangganya itu.
"Sama. Papi juga,'' Tanto ikut menimpali perkataan istrinya sambil mengambil piring dan menyodok makanan yang ada di hadapannya.
"Mi, Pi, ada yang ingin Gibran bicarakan." Gibran mulai membuka perbincanganya.
"Apa Sayang, bicaralah." Mira menaruh sendok dan garpu di pinggiran piring dan beralih menatap anaknya.
"Gibran, akan segera menikah dengan Kayla".
Uhuk!
"Papi, pelan-pelan dong makannya!" Mira menyodorkan gelas berisi air minum pada suaminya.
"Kau serius, Sayang?" Tanya Tanto.
"Gibran serius. Aku mencintai Kayla." Gibran meyakinkan kedua orangtuanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!