Cowok ganteng dengan tatapan mata elangnya mencoba menelisik lebih jauh kejujuran yang baru saja terucap dari gadis berambut ikal dan berwarna.kecoklatan.
Fian, nama gadis itu. Ia baru saja mengungkap satu hal yang membuat hubungan Aldi dan pacarnya tak akan lama lagi berakhir.
Fian sangat berharap hubungan mereka kandas.
uh...jahatnya aku, bisik nuraninya tak mau Ia menjadi orang yang berkepribadian buruk.
Tapi, apa yang sudah Fian ungkapkan tentang gadis bernama Isye adalah fakta.
Fian tahu, Aldi sudah lama menjalin hubungan dengan Isye, kakak kelas mereka.
Aldi tak pernah tahu kalau Fian telah memendam rasa selama hampir dua tahun lamanya.
Kedekatan mereka sebagai dua orang sahabat ternyata membuat Fian malah jatuh hati pada Aldi, sahabatnya.
"Kamu...nggak lagi bercanda kan?"
Aldi menatap wajah sahabatnya lekat.
"Katakan, kalau apa yang sudah Kamu lihat itu tidak benar." Aldi mengguncang kedua bahuku.
Kalau sudah begini, sedih rasanya melihat sahabat yang sangat aku sayangi dan telah membuatku jatuh hati kecewa dan sedih.
Aldi...apa kamu tak bisa merasakan apa yang selama ini kurasakan? nuraniku bertanya sedih.
Aku tahu, Isye memang gadis populer di SMA kami. Banyak yang menginginkan Isye untuk jadi pacar mereka.
Namun, pilihan Isye jatuh pada Aldi.
Awal tahun pertama di SMA, aku dan Aldi mulai aktif di OSIS. Di sinilah awal kedekatanku dengannya.
Aku begitu senang jika ada kegiatan di luar jam belajar. Karena itu artinya, aku akan bisa berlama-lama bertemu dengan Aldi di sekolah.
Ada beberapa ekstrakurikuler yang aku dan Aldi ikuti. Hingga membuat kami terlihat sering bersama. Banyak teman sekelasku yang iri melihat kedekatanku dengan Aldi.
Mereka kira, kami pacaran. Aku cuma tersenyum dan mengiyakannya dalam hati.
Mereka tak pernah tahu, bagaimana aku harus bisa menekan rasa yang seringkali muncul saat sedang bersama Aldi.
Aldi menarik lenganku pelan dan membisikan sesuatu di telingaku saat itu.
Hatiku rasanya remuk redam mendengar apa yang baru saja Ia ucapkan saat itu.
"Aku suka sama Isye, kakak kelas kita." Bisiknya pelan di telinga kiriku.
Lututku terasa lemas, tapi bagaimanapun juga aku harus tetap terlihat senang mendengar apa yang Ia ucapkan barusan.
"Ehmmm..." Aku tak tahu harus berkata apa.
"Kenapa, Kamu nggak suka sama dia?"
"Kalau kamu nggak setuju aku suka sama Isye...iya...nggak apa-apa, aku nggak akan dekati dia." Aldi menatapku dengan tatapan penuh harap.
"Eh...bu-bukan seperti itu, Aldi." Ujarku sembari menata rasa yang menyerang dan kalau aku tak bisa menahannya, pasti bulir bening akan jatuh membasahi pipiku yang cuby.
"So...?"
Aldi duduk di sebelahku, saat itu jam istirahat. Aku dan Aldi seringkali duduk di bangku belakang gedung Perpustakaan sekolah.
Setelah melewati tiga sesi mata pelajaran, rasa lapar menyergap perut kami. Untungnya aku selalu membawa bekal air mineral dan sekotak roti isi. Jika ada kegiatan di luar jam belajar, barulah aku pergi ke kantin sekolah.
Aldi selalu kebagian jatah kotak makanku.
"Eh, kenyang nggak nih kalau kamu bagi makanan ini ke aku?" Tanya Aldi saat pertama kalinya kubagi kotak bekalku.
"Berbagilah pada orang yang membutuhkan." Kilahku dengan mimik muka serius.
"What?" Sebuah tinju kecil mendarat di sisi bahuku.
Aku tertawa kecil, Aldi dengan mimik muka yang dibuat seolah kesal melipatkan tangan ke dadanya.
"Bercanda Aldi..." Kuulurkan kotak makananku.
Masih dengan sikap yang sama Aldi mendengus kesal.
"Apa mau aku suapin?" Ujarku seraya membuka kotak bekal dan mengambil satu buah roti goreng isi daging asap yang cukup membuat kenyang hingga pelajaran sekolah berakhir.
"A...a."
"Ayo buka mulutnya, anak mama yang baik..." Aku menggodanya.
"Emangnya aku B-A-Y-I..." Aldi merebut roti yang kusodorkan dan memakannya.
"Hmmm...enak." Aldi mencomot satu buah roti isi lagi, kali ini isi coklat pisang.
"Beli?" Tanya Aldi.
"Ibu yang bikin. Aku tinggal goreng aja." Jawabku seraya merapikan kotak bekal yang telah tandas isinya.
Kedekatanku dengan Aldi semakin hari semakin membuatku menyimpan rasa.
Saat hari libur tiba, ingin rasanya cepat- cepat kembali ke sekolah agar bisa bertemu dengannya lagi.
Cintakah ini? Aku tak pernah tahu
Hatiku seperti tersayat saat Aldi untuk pertama kalinya mengenalkan Isye. Mereka baru saja jadian hari itu.
"Fian...Isye sekarang dah jadi pacarku." Aldi memproklamirkan hubungan mereka padaku.
Aku menerima sodoran tangan Isye dan menjabatnya.
Kami sudah sama-sama kenal karena aktif di beberapa kegiatan ekskul dan juga OSIS.
Kucoba menahan perih yang tiba-tiba saja datang.
"Selamat," jari tangan kiriku mengepal kuat.
"Maaf, Aku harus kembali ke kelas. Aldi...duluan ya..." Kutinggalkan mereka begitu saja.
Aldi sempat menangkap perubahan sikapku rupanya.
"Fian...apa Kamu nggak suka dengan hubunganku?" Tanya Fian sembari menjejeri langkah kakiku saat beranjak keluar kelas.
"Kenapa Kamu berpikiran seperti itu? nggak ada hubungannya juga kan, sama aku." Kilahku cepat seraya berusaha mengusir perih yang menggigit.
"Sikapmu...sikapmu seolah-olah tak mau menerima aku untuk menjalin kedekatan dengan yang lain." Aldi menghentikan langkahku dan memegang kedua bahuku.
Aku tersenyum perih.
"Jangan sok tahu." Kilahku seraya melanjutkan langkah menuju halte bus.
Sore itu, aku ingin bersepeda ke sebuah taman yang terletak di kompleks sebelah. Kukayuh sepedaku dengan kecepatan sedang. Udara sore ini tak begitu panas, hingga aku meminta izin pada ibuku untuk pergi keliling kompleks menggunakan sepeda.
Sesampainya di taman, aku turun dari sepeda dan duduk di bangku taman.
Kuteguk air dalam my botle berwarna biru yang sengaja aku bawa. Kerongkonganku terasa sejuk seketika.
Kuluruskan kakiku, sembari melihat sekeliling yang mulai rame.
Tak sengaja mataku menatap sebuah pemandangan ganjil, seorang gadis tengah berbincang hangat di bangku taman yang terletak tepat di seberang tempatku duduk.
Mereka baru saja datang dan mengambil duduk di seberangku yang terhalang bulatan taman dengan pohon perdu dan tanaman pucuk merah di dalamnya.
Mataku membulat, apa aku tak salah lihat. Itu kan, Isye. Gumamku dalam hati.
Mereka bercanda dan tertawa, sesekali tangan cowok di sebelahnya mengacak rambut Isye.
Mereka terlihat akrab dan hangat. Sesekali ekor mataku menangkap sikap yang terlihat seolah-olah mereka adalah sepasang kekasih.
Ah...aku salah lihat mungkin. Gumamku mengusir tanya yang menggelitik.
Aku sengaja memperhatikan mereka agak lama. Untuk menghilangkan kecurigaan mereka, aku pura-pura membetulkan rantai sepedaku.
Tak salah lagi. Sekian menit sudah netraku melihat mereka.
Jadi, Aldi diduakan. Itu tebakanku.
Aku harus menyelidiki ini semua. Tak mau sahabatku disakiti. Kukayuh sepedaku pelan sengaja menghindari dua sosok yang masih saja bercengkerama.
Aku akan mengikutinya, gumamku.
Siang terik menyengat, setengah berlari aku bergegas menuju halte bus. Halte bus terlihat sepi, dua jam yang lalu bel tanda usai pelajaran berbunyi. Pantesan sepi, gumamku dalam hati.
Kutinggalkan Aldi yang tadi sempat pamit akan menemui Isye di kelasnya.
Aku iseng menunggu kedatangan Aldi sambil mengerjakan berbagai PR. Hari ini tak ada ekskul dan rapat OSIS yang harus aku ikuti.
Hampir dua jam lamanya, aku menunggu. PR-ku selesai sudah. Aku hendak menuju kelas Isye, niatnya pamitan sama Aldi.
Namun langkahku urung, saat melihat mereka berdua sedang asyik bercengkerama di koridor sekolah. Pedih tiba-tiba saja menyelusup ke dalam dadaku.
Aldi lebih meluangkan waktunya untuk Isye.
Eh...aku kan cuma sahabatnya, hiburku dalam hati. Kugigit bibir bawahku mengusir rasa di hati.
Aldi meraih tas yang masih tergeletak di bangku kelasnya.
"Hmmm...mana Fian ya? nggak biasanya dia pulang tanpa aku." Gumam Aldi sembari melangkahkan kakinya keluar kelas.
Kuhempaskan tubuh mungilku di atas ranjang.
Suara ketukan pintu kamar membuyarkanku yang tengah melamun.
"Fian...ada telepon." Suara ibuku terdengar dari balik pintu.
"Ya, Bu..." Dengan malas aku bangkit dari ranjang.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Suara Aldi terdengar dari seberang.
"Fian...Kamu ngak apa-apa, kan?" Tanya Aldi khawatir.
"Enggak...aku ngak apa-apa, kok." Aku sedang merasa malas ngobrol sama Aldi, biasanya hampir dua jam aku ngobrol di telepon dengannya.
"Suara kamu males gitu sih, nggak kayak biasanya." Cecar Aldi lagi.
"Aku ngantuk Aldi...tadi di sekolah iseng ngerjain PR sambil nungguin kamu yang lagi asyik sama pacar." Kilahku mencoba bercanda.
"Udah ya, aku ngantuk berat nih." Ujarku seraya menutup sambungan telepon.
Fian tak mau berlama-lama mendengar suara Aldi. Saat ini yang Ia butuhkan cuma tidur sejenak, agar bisa melupakan rasa yang seharusnya tak ada.
"Fi...tunggu!"
Tut...tut...
Sambungan telepon terputus.
Aldi menghela napas dengan gusar.
Sementara Fian duduk di meja belajarnya.
Dicorat coretnya selembar kertas, kemudin diremas dan dilemparkannya ke sudut ruang.
Diary...
Fian menulis di buku Diary berwarna hijau yang dihadiahkan oleh Aldi untuknya.
Fian menghela napas perlahan.
Aku tahu, Aldi itu sahabatku. Aku tahu itu.
Fian memutar-mutar bolpoint pilotnya yang berwarna hijau senada dengan buku diarynya.
Salahkah aku, jika memiliki rasa yang lain pada sahabatku sendiri?
Apa itu salah, Diary?
Sampai kapan aku bisa menahan rasa ini?
Harusnya, aku bahagia jika Aldi juga bahagia.
Dia, sahabat terbaikku.
Salahkah aku Diary...jika aku suka lebih dari sekedar sahabat?
Katakan saja, jika salah aku tak ingin terus menerus tersiksa seperti ini.
Baiklah, aku akan pelan-pelan pergi dari kehidupan Aldi. Biarlah Aldi bebas dengan yang lain.
Sementara, aku akan coba menghapus semua tentangnya.
-####-
"Fian...Fian, tunggu!" Aldi berusaha mengejar langkahku di sela siswa lainnya yang bergegas menuju kelas masing-masing.
Aldi berhasil menjejeri langkahku dengan napas tersengal.
"Fi-Fi-Fi..." Dia memanggilku seperti biasa.
Aku hanya terdiam. Aku ingin mulai menjauhi Aldi mulai hari ini.
Ingin-hanya ingin? gumamku dalam hati.
"Fi!" Sebuah tepukan agak kencang mendarat di bahu kiriku.
"Astaghfirullah hal adzim"
"Aldi!" Kutinju pelan punggung Aldi yang terkekeh menjauhi langkahku menuju kelas.
Beberapa kali Aldi melirikku dengan ekor matanya saat pelajaran berlangsung.
Aku pura-pura konsen menyimak pelajaran yang berlangsung. Sebuah gulungan kertas kecil mendarat di mejaku. Aldi baru saja melemparnya.
Aku menoleh ke arah Aldi dengan tatapan dingin. Aldi menyeringai senang.
"Pulang sekolah, aku mau traktir makan bakso." Kubaca tulisan Aldi. Aku pura-pura cuek dan tak menoleh ke arahnya yang masih saja melihatku dengan ekor matanya.
Bel tanda usai pelajaran berbunyi, aku segera membereskan buku di atas mejaku.
Aldi menahan bahuku ketika hendak berdiri.
"Ayo, aku traktir makan bakso." Aldi setengah memaksa menarik lenganku.
"Al..." Suara Isye terdengar memanggil, Aldi menoleh ke asal suara dan kemudian menatapku.
Kukedikan bahuku, sembari melangkah menjauhi Aldi.
"Fi..." Aldi memanggilku pelan yang kian menjauh.
Aldi menarik napas dan menghembuskannya kasar.
"Aku pingin pulang bareng kamu, boleh?" Isye menatap wajah Aldi dengan penuh harap.
"I-iya, tapi...sebenarnya aku ada janji sama Fian siang ini." Aldi tak mau berbohong di depan kekasihnya.
"Oh...Aku merusak acara kalian, ya?" Isye menatap Aldi dengan pandangan tak senang.
Aldi menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, "Bu-bukan gitu, maksudku."
Aldi tak mau mengecewakan Isye yang hari ini memintanya untuk pulang bareng usai sekolah. Tak seperti biasanya, karena Isye sendiri yang membuat kesepakatan di antara mereka kalau hanya bisa bertemu saat di sekolah. Aldi sontak merasa heran.
Aldi tampak mengernyitkan dahi.
"Kenapa?" Tanya Isye melihat raut muka Aldi.
"Heran ya, aku ngajak pulang bareng?"
"Atau...Kamu-merasa nggak enak sama Fian? kalau gitu, susul aja dia."
"Aku bisa pulang sendiri." Ujar Isye seraya melangkahkan kakinya melewati tubuh Aldi yang jangkung.
"Eh...tu-tunggu." Aldi berusaha menjejeri langkah Isye yang cepat
Tadi Fian yang sepertinya kesal padanya, sekarang Isye ikutan kesal juga. Gimana nih? Aldi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sebenarnya Isye juga nggak mau pulang bareng Aldi, pacar barunya. Ia mengajak Aldi pulang bareng, karena Rangga pacarnya yang sudah lama menjalin hubungan dengannya sudah mulai kuliah di sebuah kota yang khas dengan gudegnya. Jadi, sementara ini Ia akan selalu pulang sekolah sendiri.
Fian membolak-balik halaman sebuah majalah remaja di teras rumahnya. Hatinya merasa tak tenang. Berkali-kali Ia mencoba mengusir bayangan Aldi, namun semakin kuat pula rasa yang tak seharusnya ada untuk Aldi.
Fian memandangi rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi. Sejuk rasanya. Sedikit mengurangi kesedihan hatinya. Ia selalu suka dengan hujan.
Sementara, Aldi di kamarnya tampak gelisah. Ia mencoba tidur karena di luar hujan.
Aldi beranjak ke meja belajarnya. Diambilnya buku diary yang ada di laci meja.
Hmmm...
Tangan Aldi mulai menulis,
Apa semua cewek seperti itu? ngambek nggak beralasan. Apa aku yang salah ya?
Sepertinya aku yang salah, menggagalkan rencana makan bakso dengan Fian sahabatku dan mungkin aku sedikit heran karena Isye pacarku tiba-tiba aja minta pulang bareng.
Yang bikin aku heran, Isye sendiri yang pernah bilang kalau kami hanya bisa bertemu di sekolah. Bahkan rumahnya aja aku nggak tahu di mana.
Aldi menyugar rambut lurusnya yang baru siang tadi dipotong ala artis mandarin.
Fian Sahabatku yang manis dan baik, jangan ngambek ya...
Sahabatmu yang ganteng ini akan selalu bersamamu.
Jangan bikin aku sedih, aku cuma ingin hubunganku dengan isye gadis yang aku suka berjalan mulus.
Tapi, sebenarnya aku juga heran sih. Isye melarangku mengaku-ngaku jadi pacarnya di sekolah. Hanya kamu yang tahu, Fi...Karena aku percaya padamu.
--###--
Fian berlari di sepanjang koridor sekolah. Ia sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya yang kian tak terbendung.
Ia tak peduli dengan beberapa pasang mata siswa lain yang memperhatikannya.
Aldi merasa heran melihat perubahan sikap Fian.
Fian tak seperti sahabatnya yang dulu lagi. Fian berubah.
Aldi merasa ada yang mesti Ia pertanyakan tentang ini, pada Fian.
Sementara di toilet sekolah, Fian sedang berusaha menahan sesak di dada dan mencoba menahan bulir hangat yang sedari tadi menggenang di sudut matanya.
Bulir hangat meluncur deras pada akhirnya.
Fian segera mencuci mukanya.
Ia tarik napas yang dalam dan menghembuskanya kuat-kuat.
"I hate you, Aldi." Gumamnya lirih.
Hanya itu satu-satunya jalan agar ia lepas dari bayang-bayang Aldi, membencinya.
Saat hendak menuju bangku yang ada di belakang Perpustakaan sekolah, tempat di mana Ia biasa menghabiskan waktu saat istirahat sekolah dengan Aldi, sahabatnya, tak sengaja netranya menangkap sebuah pemandangan.
Aldi tampak duduk bersama Isye di tempat yang biasanya selalu jadi favorite bagi Aldi dan Fian.
Aldi tak menyadari kehadiran Fian, karena posisi tempat duduk yang menghadap ke belakang gedung psrpustakaan. Jalan pintas dari bangunan sekolah tempat di mana kelas mereka berada tepat menuju belakang gedung Perpustakaan.
Sekolah mereka terdiri dari 6 buah bangunan gedung, cukup luas.
Tangan Aldi bergerak ke arah belakang punggung Isye dan menempelkannya di sandaran bangku.
Dada Fian terasa sesak, rasanya Ia ingin mengatakan pada Aldi, kalau Ia yang berhak duduk di sebelahnya saat ini. Bukan Isye.
Karena rasa yang Ia miliki untuk Aldi benar-benar tulus.
Hampir satu tahun lamanya Ia dan Aldi bersama, menjalin kedekatan sebagai sahabat.
Selama waktu itu juga, beberapa kali Fian menemukan surat kaleng yang ada di laci mejanya dan juga surat yang dikirim melalui temannya dari beberapa cowok yang sekelas dengannya.
Tapi dengan baik-baik, Fian menolak perasaan mereka untuknya.
Fian hanya menganggap mereka sebagai teman, karena Ia sudah jatuh cinta pada Aldi, sahabatnya sendiri. Tapi tak ada satupun yang tahu isi hatinya.
Ia simpan rapat-rapat perasaannya pada Aldi, berharap suatu saat Aldi menyadari.
Aldi selalu penuh perhatian, itu yang Fian suka dari diri Aldi.
Aldi menahan.langkah Fian saat hendak beranjak usai pelajaran.
"Fi...kita harus bicara."
Aldi menatap lekat wajahku, membuatku melengos tak ingin melihat tatapan elangnya yang selalu membuatku gelisah.
Aldi duduk di bangku sebelahku, Irma sudah beranjak pulang. Masih terlihat beberapa teman sekelasku yang belum pulang, mereka menunggu jam ekskul karena rumah mereka cukup jauh dari sekolah.
"Fi..." Aldi menangkupkan kedua jari jemari tangannya di atas meja.
"Akhir-akhir ini kamu berusaha menghindariku, kenapa?" Aldi memiringkan kepalanya melihat ke arahku yang sedari tadi menunduk memainkan bolpoint di atas meja.
"Fi..." Panggil Aldi lagi.
Kali ini, panggilan Aldi memaksaku menoleh.
Ku tatap lekat.mata elangnya.
"Aku nggak mau kita terlalu dekat lagi. Aku nggak mau Isye salah paham." Kilahku seraya menggigit bibir bawahku.
Aldi menatapku lekat, kemudian Ia tersenyum.
"Fi-Fi..."
"Kalau cuma merasa nggak enak sama Isye, nggak usah harus jauhin aku, kali..." Ujar Aldi.
Kutinju bahu kiri Aldi.
"Sudah ah, aku lagi males ngomong sama kamu." Ujarku seraya beranjak pergi.
Aldi menatap kepergianku dengan tatapan heran.
Hari ini rasanya cukup melelahkan, ingin rasanya Fian cepat-cepat sampai ke rumah dan menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.
Sesampainya di rumah, Fian langsung menuju kamarnya. Ibu yang melihat anaknya saat pulang sekolah dan langsung masuk ke kamarnya cuma bisa geleng-geleng kepala.
"Makan dulu, Fi."
"Nanti aja Bu..." Tolak Fian seraya menutup pintu kamar.
Dasar anak muda, gumam ibunya seraya tersenyum.
Di dalam kamar, Fian membenamkan tubuhnya di atas ranjang, sesekali Ia menyeka bulir bening yang jatuh menetes.
Aku harus bisa melupakanmu Aldi, gumamnya dalam hati.
Fian menyeka wajah untuk kesekian kalinya. It's enough...
Fian mengambil handuk dan melangkah ke kamar mandi. Saat membuka pintu kamar celingak-celinguk Ia mencari keberadaan ibunya, tak mau matanya yang sembab terlihat olehnya.
"Fi...duduk, Nak. Ayo makan." Ibu menyendokan nasi untuk Fian.
"Ayah kapan pulang, Bu?" Tanyaku sembari mengambil ayam goreng dan sambal kesukaanku.
"Minggu depan, masih ada kerjaan yang tak bisa ditinggal."
"Ibu nggak apa-apa sering ditinggal lama sama ayah, nggak kesepian?" Tanyaku sejurus kemudian.
"Mana bisa ibu kesepian, kan ada anak ibu yang cerewet."
Aku tertawa kecil mendengar canda Ibu.
"Aldi udah lama nggak pernah main, Fi?".
"Sibuk dia sekarang." Jawabku sekenanya, malas membahas tentang Aldi lebih lanjut.
Aldi menatap bintang di langit yang lumayan cerah malam ini.
Ada rasa yang menyusup ke dalam hatinya.
Rindu pada Isye sudah biasa karena nota bene pacarnya. Namun, Ia merasa ada sesuatu yang hilang saat tak lagi berbincang dan bercanda dengan Fian, sahabatnya yang cerewet dan lucu.
Arrghhh...Aldi menyugar.rambutnya
Seperti inikah rasanya jika berurusan dengan makhluk yang.bernama cewek?
Aldi menarik napas dalam-dalam. Ia tak ingin kehilangan cintanya. Di sisi lain, Ia juga tak mau kehilangan sahabatnya.
Fian juga tak kalah penting artinya buat Aldi.
Aldi merasakan hembusan angin malam yang kian menusuk tulangnya. Ia masuk dan menarik pintu yang menghubungkan teras di balkon dan kamar tidurnya.
Aldi membenamkan tubuhnya di kasur berharap esok akan ada jalan keluar dari masalah yang sedang Ia hadapi.
Fian, melangkah pelan menyusuri jalan pintas ke arah taman kompleks sebelah.
Sore ini, Fian tak menggunakan sepeda gunungnya. Ia memilih berjalan kaki sambil.menghirup udara sejuk di sore hari.
Saat melewati gerbang masuk taman, Fian sempat melihat Isye di halaman sebuah rumah.
Mungkin itu rumahnya, pikir Fian.
Fian berusaha mengingat nomor rumah Isye.
Mungkin saja suatu saat nanti ada gunanya. Fian tak melihat ada seseorang yang bersama Isye waktu Ia melihatnya beberapa minggu lagi di taman kompleks.
Isye terlihat sendiri duduk di teras rumahnya.
Fian melanjutkan lagi langkahnya menuju taman kompleks. Meski bukan hari minggu, taman terlihat ramai.
Dihirupnya udara taman yang ditumbuhi banyak pohon-pohon besar.
Fian istirahat sejenak di bangku taman, mengamati sekeliling. Penat dan lelah yang Ia rasa perlahan sirna.
"Ehm..." Suara deheman seseorang mengagetkannya.
Fian menatapnya untuk beberapa saat, Ia merasa tak kenal dengan cowok berpostur atletis dan lumayan ganteng. Tak kalah gantengnya sama Aldi, gumamnya dalam hati.
"Boleh Aku duduk di sini?" Tanya cowok itu lagi.
Fian melihat bangku yang didudukinya, "Ehm...silahkan-kosong, kok." Ujar Fian masih dengan sikap acuh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!