"Bagaimana Bibi, Paman, apakah kalian mengijinkan Zara untuk bekerja dikota bersama saya." Seorang pria muda bernama Sandy tengah duduk disebuah sofa dengan kaki menyilang. Mengarahkan pandangan lurus kedepan, menatap sepasang pria dan wanita paruh baya yang menjadi lawan bicaranya.
Sang perempuan menghela nafas dalam, mengeser pandang ke arah sisi kanan, dimana sang suami duduk terdiam dikursi roda. "Bagaimana, apakah Ayah mengizinkan putri kita untuk merantau bersama dengan Nak Sandy kekota?" Seolah miminta pendapat, kedua netra seorang Ibu bernama Rumi itu nampak berkaca-kaca menatap lekat netra sang suami.
Jamal terdiam beberapa saat. Netra sayunya menatap sang putri dan istrinya yang duduk berdambingan, secara bergantian. Kondisi kedua kakinya yang Lumpuh selepas kecelakaan motor beberapa waktu lalu. Menjadi penghalang terbesarnya untuk menjalankan kewajiban utamanya sebagai pencari nafkah. Dan beberapa bulan inilah, sang istri yang seharusnya mengurus rumah tangga pun terpaksa mengantikan perannya sebagai pekerja serabutan dari rumah kerumah, demi untuk menyambung hidup.
"Ayah tidak bisa melarang Bu, jika Zara menginginkan untuk bekerja kekota," meski berat, namun Jamil pun tak ingin egois jika sang putri mengiginkannya.
"Paman dan Bibi tak perlu khawatir. Aku sudah menemukan tempat dimana Zara akan bekerja. Jika menyangkut tempat tinggal, untuk sementara waktu Zara bisa tinggal bersamaku."
Ketiga pasang netra yang menjadi lawan bicara Sandy terbelalak. Pasalnya, ucapan Sandy membuat sepasang suwami beserta sang putri bertanya-tanya. "Maksud Ka Sandy, kita akan tinggal dirumah yang sama?"
"Ti-dak tidak," Sandy tergagap. "Maksudku, aku akan mencarikan kontrakan yang tak jauh dari tempat tinggalku. Agar kita tetap berdekatan." Jawab Sandy, sembari tersenyum kecut.
Zara dan kedua orang tuanya, meghela nafas lega. Sempat terbesit difikir Zara, jika Sandy memiliki rencana buruk untuknya, ketika mereka tiba dikota. Namun jawaban Sandy, seolah mampu menjawab semua pertanyaan, dan segala fikiran buruk.
"Bagaimana Nak, apakah kau bersedia?" Rumi menggengam tangan ramping, dan menatap lekat kedua netra putrinya.
Zara mengangguk samar. "Iya Bu, mungkin dengan mencari pekerjaan di kota, bisa mengubah kehidupan kita kedepannya."
Jamil yang mendengar jawaban sang putri pun, tak kuasa membendung buliran bening dari pelupuk netranya. Hanya karna keterbatasan ekonomi, Jamil dan Rumi harus rela berpisah jauh dari Zara, putri semata wayangnya. "Maafkan Ayah, Nak. Karna Ayah, kau harus pergi kekota dan hidup jauh dari kedua orang tua. Ayah memang manusia tak berguna." Memuncah sesal didada. Tak urung, Jamil terus menerus menyalahkan dirinya, dari beratnya hidup yang di tanggung keluargannya.
"Ayah, berhentilah menyalahkan diri sendiri. Ini semua sudah menjadi takdir. Baik buruknya, kita pun harus ridho menjalaninya." Zara menangkupkan kedua telapak tangan, sebagai permohonan kepada sang Ayah untuk berhenti menghujat diri sendiri.
Sandy menarik sudut bibirnya, membentuk serigai tipis yang entah apa artinya. Menonton adegan drama yang baginya terasa menggelikan itu. Menatap arloji dipergelangan tangannya, pria berkemeja biru muda itu pun mulai membuka suara, mengingat waktu terasa begitu cepat berputar.
"Ehem." Sandy berdehem. "Lalu, seperti apa keputusanmu Zara. Jika kau berminat, persiapkan pakaian dan barang-barangmu, karna setengah jam lagi aku harus kembali kekota. Dan jika tidak, aku pun akan undur diri. Mengingat sudah cukup lama aku berada disini."
Zara mengigit bibir bawahnya, lalu menghela nafas dalam. "Baiklah, aku bersedia." Jawab Zara selepas pertimbangan beberapa saat.
Tak ada yang mampu dilakukan kedua orang tua Zara, selain merelakan kepergian sang putri.
Dua buah tas berukuran besar, terisi penuh dengan pakaian dan beberapa barang yang hendak di bawa Zara. Sandy yang nampak tak sabaran pun, lantas menggotong benda benda cukup berat itu kedalam bagasi mobilnya.
Isak tangis mengiringi keberangkatan Zara. Bagaikan goresan belati tak kasatmata yang menyayat sekujur tubuh gadis berusia 19 tahun itu. Untuk kali pertama, ia harus terpisah jauh dari kedua orang tua.
"Berjanjilah pada Ayah dan Ibu, untuk sesekali pulang, jika kau sudah mendapatkan pekerjaan. Jaga dirimu baik-baik, dan jangan pernah lupakan kami." Selepas mencium punggung tangan sang ibu, Zara pun mencium kedua pipi beserta kening perempuan paruh baya yang sudah melahirkannya.
"Zara janji Ibu, Ayah. Zara tidak akan pernah melupakan kalian berdua. Walau sejauh apa pun Zara melangkah, pasti akan tetap kembali dalam dekapan Ayah dan Ibu."
Zara menyeret langkah kakinya menuju pintu mobil yang segaja di bukakan oleh Sandy. Senyum pun tak jua luntur dari bibir pria bertubuh tinggi itu. Entah apa yang membuat Sandy berwajah sesenang itu.
Kijang hitam yang dikemudikan sandy mulai berjalan perlahan menyusuri jalanan perkampungan yang senyap tanpa banyak kendaraan lain berlalu lalang. Guna memecah kesunyiaan diantara kedua anak manusia itu, beberapa kali Sandy melemparkan lelucon yang sengaja ia karang. Sebab, selama satu jam perjalanan, Zara memilih lebih banyak diam dan melamun.
*******
"Bagaimana, jika kita makan malam terlebih dulu? Sepertinya kau sangat lapar hingga tak berminat untuk berbicara." Dengan nada menggoda, Sandy mengarahkan pandangan kearah Zara yang duduk di sisi kirinya.
Zara pun tersenyum kecut, hendak menyangkal pun tak ada guna. Sebab, cacing didalam perut pun serasa berdemo meminta jantah makan. Keduanya pun sepakat menepikan kendaraan disebuah restoran seafood yang menyajikan berbagai macam makanan laut, untuk mengisi perut.
Selepas menghabiskan makanan yang di pesan pun, Sandy tak lantas membawa Zara kesebuah rumah ataupun kontrakan dimana gadis itu akan tinggal. Lelaki tampan berambut hitam legam itu terkesan mengulur waktu, dan membawa Zara lebih dulu disebuah taman dengan beberapa pasang muda mudi yang tengah menikmati malam diruangan terbuka itu.
"Untuk apa kita kemari, Kak? Bukankah ini sudah malam? Jika kita terlalu lama di
jalan, aku takut jika tak menemukan kontrakan semalam ini." Gadis cantik bertubuh mungil itu pun melontarkan kekhawatiran yang baginya cukup beralasan itu. Sebab, tak akan mudah menemukan kontrakan ataupun sejenisnya diwaktu yang sudah hampir tengah malam.
"Kau tenang saja, semuanya bisa di atur," dibumbui serigai tipis disudut bibir, Sandy terlihat tak ambil pusing menanggapi ucapan gadis yang duduk disampingnya.
*******
Apa yang menjadi kekhawatiran Zara, benar-benar terjadi. Mereka kesulitan menemukan penginapan, mengingat waktu sudah menunjukan pukul 00:34 dini hari. Lelah dan penat dirasakan gadis yang tengah mengenakan setelan berwarna pink itu.
"Apa yang harus kita lakukan Kak? Seperti yang sudah kubilang, kita tak akan mudah menemukan penginapan jika sudah menjelang pagi seperti ini!" Tak urung, Zara sempat naik pitam, hingga srdikit meninggikan nada bicaranya.
Mendengar ucapan sang gadis, Sandy justru tergelak. "Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, jika kau tak perlu khawatir." Tanpa babibu, Sandy melajukan mobil dengan kecepatan penuh dan mengarahkannya, untuk memasuki area parkir hotel.
Zara mengamati area sekitar, keningnya berkerut dalam kala sadar tempat apa yang mereka singgahi. "Kita kehotel Ka?"
Sandy mengangguk. "Iya. Malam ini, dengan sangat terpaksa kita akan melepas lelah di hotel." Terlihat dengan jelas sudut bibir pria muda itu berkedut, menahan tawa.
"Tapi Ka,
"Jangan banyak bicara! Masih untung aku memperlakukanmu dengan baik dan tidak membiarkanmu tidur dijalanan." Berucap dengan nada ketus, Sandy membuka pintu mobil dan meninggalkan Zara yang tengah dilanda kebingungan, tanpa kata. Berjalan kearah bagasi mobil dan menurunkan kedua tas besar milik Zara dengan kedua tangan.
Dengan langkah gotai, Zara hanya mampu mengekori langkah pria didepannya tanpa banyak bicara. Kala berada didepan meja Resepsionis pun, Zara tak hentinya melepar pandangan tak percaya kearah Sandy. Bagaimana tidak, pria yang dulunya tingal satu kampung dengannya dan mengaku sukses merintis karir dikota itu hanya memesan satu kamar untuk mereka berdua.
Meski menyimpan sejuta kesal, Zara tak ingin lebih dulu mengecap buruk pria yang tengah bersamanya itu. Ia cukup tahu, akan kepribadian Sandy semasa dikampung yang tak banyak tingkah.
Pintu kamar terbuka lebar. Ruangan bercat putih dengan ranjang dan seprai berwarna senada itu tampak sangat nyaman untuk melepas lelah. Sandy menutup pintu tanpa suara, kala keduanya sudah berada didalam ruangan. Dan menurunkan kedua tas Zara kelantai begitu saja.
Zara menyapu pandang keseluruh ruangan, memunggungi sandy yang berada dibelakangnya.
Serigai iblis tersungging di bibir tebal Sandy, merasa gadis di depannya itu lengah, pria berkemeja itu menyergap tubuh Zara dari belakang, dan mendekapnya erat.
Zara yang terkesiap dan belum sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi pun tak mampu berbuat banyak. Dekapan lengan kekar Sandy, benar-benar mengunci pergerakan tubuhnya.
Berteriak pun percuma, sebab satu telapak tangan Sandy dengan sigap membekap bibir Zara yang hendak terbuka. Dari arah belakang, Zara dengan jelas mampu merasakan hebusan nafas Sandy yang terasa hangat di area leher belakangnya. Bahkan dengan tak tahu malunya pria bertubuh tinggi itu mulai mencium puncak kepala Zara, dengan penuh gairah.
Merasa terancam, gadis bersurai sepinggang itu tak hilang akal. Dengan sekuat tenaga, ia menghentakkan satu kaki yang beralaskan sepatu tepat dikaki Sandy, hingga pria itu pun meng-aduh dan mengendurkan cengkeraman tangannya.
Sadar jika Sandy sedikit terpancing dengan ulahnya, Zara menghujamkan sikunya kearah dada sebelah kanan sang pria. Ketika rengkuhan tangan benar-benar terlepas, Zara memutar tubuh, menghadap Sandy. Dan mengarahkan sebuah tendangan tepat diarea vital milik Sandy.
Raungan dan umpatan kasar terlontar tanpa kendali dari bibir tebal Sandy. Menggengam erat perut bagian bawahnya, menahan rasa sakit tak terperi. Sementara Zara yang sekujur tubuhnya gemetar hebat pun sadar, jika harus secepatnya melarikan diri.
Tubuh mungil gadis itu bergerak cepat, dan berlari kearah tas miliknya. Namun sayang, akibat terburu-buru Zara hanya sempat menarik hanya satu tas. Beruntunglah, Sandy tak sempat mengunci pintu. Hingga dengan satu kali gerakan, pintu berwarna putih itu pun terbuka.
Sandy benar-benar merutuki kebodohannya. Berusaha hendak mengejar sang gadis, namun sakit yang teramat sangat dibagian alat vitalnya, memnyulitkan pergerakannya. Sumpah serapah tak hentinya terucap, kala menatap tubuh Zara yang perlahan menghilang dibalik pintu hotel.
"Sialan kau Zara! Aku tidak akan pernah melupakan kejadian ini. Pergilah, aku yakin jika kau akan hidup menjadi gelandangan tanpa aku dikota ini." Rahang Sandy mengetat, kobaran kebencian menyala jelas dikedua netranya.
Bersambung
Pekatnya langit malam dan kilatan petir menyambar, mengiringi langkah kecil gadis mungil yang berjalan tertatih menyusuri jalanan kota yang masih asing baginya. Buliran bening di sudut netra perlahan mengalir, seiring rintik hujan yang turun membasahi bumi.
Hujan yang kian turun dengan derasnya, memaksa sang gadis untuk lekas mencari tempat berteduh. Menyisir pandangan kesekeliling, hanya ada bangunan ruko tak terpakai yang berada disepanjang jalan.
Tak apalah, setidaknya aku masih menemukan tempat untuk berlindung.
Zara melangkahkan kaki menuju teras gedung yang tampak kotor dan berdebu. Tak ada kardus atau barang apa pun yang bisa ia gunakan sebagai alas. Hawa dingin menembus kulit hingga ketulang, pakaian yang ia gunakan pun basah kuyup di terpa air hujan.
Menyesal. Mungkin satu kata paling tepat sebagai gambar perasaan Zara saat ini. Apa yang mampu ia lakukan, selepas kejadian ini. Kembali kekampung pun, serasa tak mungkin. Bisa dipastikan jika kedua orang tuanya akan mencecarnya dengan banyak bertanyaan, atas kepulangannya yang terlalu cepat.
Menyandarkan punggung di dinding luar ruko, gadis dengan surai acak-acakan dan basah itu coba melepaskan sejenak beban di pundaknya. Menghela nafas berat beberapa kali, buliran bening yang masih tersisa disudut netra, kian membuat sepasang kelopak mata itu terasa berat, hendak terpejam. Seiring dinginnya cuaca dan malam yang semakin larut, Zara menguap lebar melawan rasa kantuk yang nyaris tak mampu ia tahan.
Beberapa menit berlalu, Zara benar-benar tertidur dengan pulasnya. Rasa lelah yang menyiksa tubuh, membuatnya tak kuasa menahan kantuk. Berbantalkan tas pakaian miliknya, membuat gadis cantik itu kian terbuai semakin dalam menuju alam mimpi, tanpa sadar akan keberadaanya kini.
*******
Seorang gadis yang tengah terlelap, perlahan mulai menggerakan tubuh dan membuka netranya, kala merasakan adanya guncangan disalah satu sisi bahunya. Tak sadar akan dimana keberadaannya, kedua netra yang sempat sedikit terbuka itu justru terkatup rapat kembali. Seolah rasa kantuknya belum benar-benar sirna. Tak patah arang, seorang wanita paruh baya itu mengguncang bahu Zara cukup keras, hingga sang gadis terperanjat dengan netra membulat sempurna seketika.
"Tidak!! Zara yang terkesiap pun, tanpa sadar mengucap kata dengan suara cukup keras hingga seseorang yang berniat membangunkannya terkejut dan mundur beberapa langkah.
"Maaf Nak, bukan maksud Bibi mengejutkanmu. Hanya saja, beberapa orang sedari tadi nampak memperhatikanmu." Wanita paruh baya yang berbalut pakaian pelayan berwarna biru tua itu menunjuk kearah dimana beberapa pasang mata tengah menatapnya penuh tanda tanya. Sementara beberapa orang diantara saling berbisik, dan mencibir.
Zara menghela nafas dalam, sembari mengumpulkan kesadaran sepenuhnya. Lelah dan kantuk masih tersisa, namun tatapan sinis beberapa orang, mau tak mau memaksanya untuk pergi dari tempat itu secepatnya.
"Terimakasih sebelumnya Bi. Maaf, semalam saya tak menemukan penginapan hingga menumpang tidur ditempat ini."
Bibi paruh baya itu tersenyum hangat, dan membawa Zara untuk duduk dikursi yang tak jauh dari mereka. "Apa kau berasal, bukan dari kota ini?"
Zara menganguk samar. Kedua netra beningnya, mulai berkaca-kaca. "Iya Bi. Saya hanya pendatang dikota ini," ucapnya lirih.
"Siapa namamu? Dan bersama siapa, kau bisa sampai kekota sebesar ini?" Wanita paruh baya dengan surai tertata rapi itu, memindah penampilan gadis lawan bicaranya, dari puncak kepala hingga kaki. Sepertinya, dia gadis yang baik. Jika di nilai dari penampilannya.
"Bersama teman Bi. Hanya saja, dia sudah pergi meninggalkan saya," Zara memilih untuk berbohong. Menceritakan yang sesungguhnya pun, tak akan merubah keadaan jika dirinya tetap akan menjadi gelandangan diibu kota.
"Siapa namu Nak?" Tanya Bibi bertubuh tambun itu ramah.
"Zara Bi. Apa Bibi bisa menunjukan padaku, dimana ada penginapan ataupun kontrakan, dengan harga cukup murah?"
Bibi itu terdiam, namun terlihat jika ia tengah berfikir. Tak berapa lama, senyum di bibirnya tersungging. "Bibi tau. Ayo iku aku," menarik lembut tangan Zara. Sementara satu tangannya lagi meraih tas berisi pakaian milik Zara dan membawanya.
Langkah mereka terhenti tepat dipintu sedan berwarna hitam, yang terparkir rapi dihalam terbuka. Seseorang yang di yakini Zara iala seorang sopir, tampak keluar dari pintu depan dan berjalan menghampiri dua orang perempuan tersebut.
"Antarkan kami kesesuatu tempat," ucap Sang Bibi pada pria berpakaian serba hitam itu.
Tanpa menjawab, namun pria itu menunduk ramah dan membukakan pintu mobil. Pintu pun tertutup dengan hati-hati, selepas kedua wanita berbeda usia itu menduduki kursi penumpang.
******
Kawasanan yang sedikit kumuh, disertai jalanan yang becek jika turun hujan, menjadi tempat tinggal bagi Zara kini. Kontrakan inilah yang memiliki harga dibawah rata-rata, diantara beberapa kontrakan yang Zara dan sang Bibi singgahi.
Zara menghela nafas dalam, mengingat hanya 1 tas miliknya yang tak sempat terbawa pada tragedi malam lalu. Justru didalam tas yang tertinggal itulah, letak berkas-berkas penting, jika dirinya berniat mencari pekerjaan kelak.
"Ada apa Nak, apa kau tengah mencari sesuatu?" Wanita paruh baya itu memperhatikan wajah Zara yang tampak kebingungan. Keduanya tengah meluruskan kaki, sepepas menempuh perjalan jauh, demi mendapatkan kontrakan yang pas menurut mereka, dengan berjalan kaki.
Zara tersenyum lembut, "Tidak Bi. Zara senang, bisa mendapatkan tempat berteduh dikota ini. Meskipun seperti inilah keadaannya, namun Zara tetap bersyukur."
"Baiklah. Mengingat hari sudah beranjak siang, sebaiknya Bibi minta izin pamit. Bibi masih banyak pekerjaan, yang harus diselesaikan." Wanita paruh baya itu pun bangkit dari posisi duduknya. "Berhati-hatilah hidup dikota sebesar ini. Banyak sekali godaan, yang kapan saja bisa mendatangi."
Gadis bernetra sayu itu pun tersadar, dengan keberadaanya yang hanya seorang diri, sudah sangat menyulitkannya. Belum lagi tentang rencana hidup, yang sama sekali belum tersusun olehnya dikota ini. "Terimakasih atas semua bantuan yang Bibi berikan. Entah apa jadinya saya, jika tak di pertemukan dengan orang sebaik Bibi." Zara membelai lembut kedua lengan wanita paruh baya yang sudah hendak meninggalkan kontrakannya.
Sang Bibi tergelak pelan, dan menatap lembut gadis didepannya. "Bibi hanyalah perantara, yang mungkin sengaja tuhan kirim untuk membantumu. Hiduplah dengan baik."
"Baik." Zara menatap tubuh tambuh itu yang melangkah, menjauhinya. Kala tubuh Wanita paruh baya itu benar-benar menghilang, barulah ia tersadar," Ya tuhan!. Aku sampai lupa menanyakan Nama dan alamat, dimana bibi itu tinggal.
Zara memukul pelan dahinya beberapa kali, merutuki kebodohannya sendiri, yang tanpa sadar melupakan satu hal yang baginya teramat penting
Dua bulan berlalu, kehidupan Zara tetap tak berubah. Bahkan kini terkesan memilukan. Hidup di kota besar tanpa pekerjaan dan penopang, dalam menjalani hidup yang teramat berat ini. Meski sudah hilir mudik mencari pekerjaan dari satu tempat ketempat lainya, namun tanpa hasil. Bahkan tenaga pembersih pusat perbelanjaan ataupun restoran, enggan menerima karyawan yang sama sekali tak mempunyai riwayat pendidikan.
Pasrah. Mungkin hanya satu kata itu yang mampu Zara lakukan.
Bersandar pada dinding usang kontrakan, dengan kepala mendongak keatas, menatap nanar langit-langit ruangan. Gadis bertubuh mungil itu, menerawang jauh akan kelanjutan hidupnya kelak.
Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Zara. Uangmu bakan kian menipis dan terancam diusir dari kontrakan akhir bulan ini, jika kau tak mampu membayar sewanya.
Zara memejamkan rapat kedua netranya. Buliran bening pun perlahan mengalir di sudut netra yang terkatup, tanpa mampu ia tahan.
Tubuh gadis manis itu terperanjat, tatkala pintu kontrakan bercat putih itu diketuk cukup keras dari arah luar. Bangkit dari posisinya semula, Zara lekas mengusap sisa air duka, dikedua sisi pipinya, sebelum berlari kecil kearah pintu.
Pintu terbuka perlahan. Netra bening Zara bersiborok dengan kedua netra perempuan paruh baya bertubuh tambun yang menatapnya tajam. Zara menelan ludahnya kasar, kala mendapati siapa pemilik tubuh di balik pintu.
"Bi Murti," ucap Zara sopan, pada sang pemilik kontrakan. "Mari masuk bi," membuka pintu lebih lebar dan mengeser tubuhnya untuk memberi jalan.
Alih-alih menjawab sapaan, perempuan paruh baya dengan riasan cukup tebal itu, justru menatap sinis Zara dengan bersedekap dada. "Tak usah ramah tamah menyambutku, toh itu semua tak akan mengurungkan niatku, untuk tetap menangih uang sewa kontrakan padamu yang sudah melewati jatuh tempo."
Zara terdiam, dengan wajah tertunduk dalam. Dirinya benar-benar tak memiliki cukup uang untuk membayar sewa rumah. "Apa tidak ada kelonggaran waktu lagi bi, saya akan berusaha mencari pekerjaan dan membayar sewa rumahnya."
Mendengus kesal, Murti serasa enggan untuk menatap gadis menyedihkan di depannya ini. "Mau berapa lama lagi, aku memberikan kelonggaran waktu padamu? Lagi pula, kau pun tak bekerja, lantas dari mana kau bisa menghasilkan uang dan membayar sewa kontrakan padaku."
Tak ada celah sedikit pun bagi Zara untuk membela diri, sebab semua ucapan Murti memang benar adanya.
"Begini saja, aku beri kau waktu hingga besok sore. Jika kau masih belum bisa membayarnya, maka jangan salahkan aku untuk tak menyeret paksa dirimu keluar dari kontrakanku ini! Permisi." Selepas berucap, Murti membalikkan tubuh dan dengan cepat meninggalkan Zara yang masih terpaku di tempatnya, dengan tubuh lunglai.
****
Ini adalah tempat kesepuluh yang kudatangi. Kalaupun aku diterima, mustahil bisa mendapatkan uang untuk membayar kontrakan dalam dua hari.
Gadis dengan kemeja putih berlengan panjang dan celana bahan berwarna hitam itu tengah mematung di depan bangunan pusat perbelanjaan. Ingin melangkah kedepan, namun tangan besar tak kasatmata, serasa menahannya.
Mengepalkan kedua tangan, gadis dengan surai diikat ekor kuda itu, menyemangati dirinya sendiri. Berjalan seolah tanpa beban menuju pintu utama, dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan.
Sepuluh menit berlalu, Zara keluar dari pintu pusat perbelanjaan dengan wajah masam. Lagi-lagi ia merasakan kecewa.
Apa benar-benar tak ada satu tempat kerja pun, yang mau menerimaku. Aku memang tak mempunyai lembaran kertas apapun yang tersisa, sebagai bukti jika aku memang pernah mengenyam pendidikan di bangku SMA. Tapi setidaknya lihat dulu hasil kerjaku, baru mereka bisa putuskan.
Zara tak hentinya bergumam dalam hati. Selama dua bulan berlalu, tak sekali pun ia bertemu dengan sosok Sandy. Meski menyimpan kebencian yang mendalam, setidaknya ia bisa meminta kembali barang yang sempat tertinggal bersama pria itu, jika mereka kembali bertemu.
Zara menatap langit yang mulai keemasan di ufuk barat, pertanda senja mulai menyapa. Dengan langkah gontai, gadis berparas ayu itu menyusuri pinggiran trotoar menuju arah jalan pulang. Jika hari ini bukanlah menjadi keberuntungan baginya, maka ia akan mencobanya lagi esok.
*****
Zara menghela nafas dalam, sebelum melangkahkan kakinya menuju jalan sempit kontrakan. Mungkin ini akan menjadi hari terakhirnya menempati bangunan berukuran mungil itu, sebelum benar-benar diusir paksa oleh Murti.
Berbaur dengan para penumpang lain di dalam sebuah angkot, beberapa kali Zara nampak menarik nafas dalam, terfikir akan beban berat yang ditanggungnya. Hingga angkot menepi di sebuah restoran cepat saji.
"Sudah sampai mbak," ucap sang sopir selepas mematikan mesin kendaraanya.
Tepukan ringan di bahu, menyadarkan gadis yang tengah melamun itu.
"Sudah sampai nak. Apa kau tidak ingin turun?" Pria paruh baya yang duduk persis di samping Zara, berucap ramah. Menyadarkan gadis di sampingnya.
Zara terkesiap, menatap sekeliling dengan ekspresi bingung. "Maaf Pak, saya melamun." Gadis berkemeja hitam polos dengan lengan sepertiga itu pun lantas menuruni angkot dan memberikan selembar uang pada supir angkot, sebelum berlalu pergi.
******
Tanpa rasa bosan, Zara mengunjungi satu tempat ke tempat lainya. Hingga berakhir di tempat makan ini. Salah seorang pelayan perempuan nampak menatapnya dari kejauhan. Tak berapa lama, pelayan berusia cukup muda itu mendekat. "Maaf Kak, apa ada yang bisa saya bantu?" Ucap pelayan itu ramah.
Zara tersenyum simpul, dan tampak antusias. "Maaf sebelumnya Kak, apakah tempat ini masih membutuhkan tenaga kerja?"
Sang pelayan mengamati penampilan Zara dari kaki hingga puncak kepala. "Maaf Kak, untuk kali ini kami masih belum membutuhkan tenaga kerja baru. Mengingat pandemi yang masih belum berakhir hingga restoran kami sepi pembeli, bahkan nyaris tutup. Maka dari itu, sang pemilik resto berniat untuk tak menambah pekerja selama pandemi belum benar-benar berakhir." Secara gamblang pelayan perempuan itu menjabarkan alasannya. Bukan ingin menolak secara mentah-mentah, namun dengan sedikit penjelasan yang masuk akal, setidaknya membuat Zara tak terlalu kecewa.
"Baik Kak, saya mengerti." Selepas berucap, Zara memutar tumit dan meninggalkan lawan bicara tanpa berbalik lagi. Kecewa dan merasa tak berguna, berbaur menjadi satu. Terus melangkahkan kaki tanpa arah tujuan.
Peluh mulai membanjir diseluruh tubuh. Teriknya sang mentari, serasa menyengat kulit. Merasa lelah, gadis ayu bertubuh mungil itu, menghampiri sebuah kursi yang terletak di bawah pohon rindang, samping trotoar. Mendaratkan tubuhnya dikursi kayu bercat putih itu dengan hati-hati.
Setidaknya, aku bisa melepas lelah sebentar.
Tak berapa lama, muncul bocah laki-laki berumur 10 tahun, nampak membawa berbagai macam barang, layaknya pedagang asongan. Menatap sejenak kearah Zara yang tengah menikmati semilir angin yang mulai mengeringkan titikan peluhnya.
Bocah itu pun tersenyum lebar, dan mulai mendekat.
"Kakak, apa Kakak cantik ini tengah kehausan,?" bocah itu pun menunjuk beberapa botol air mineral yang dia bawa untuk diperlihatkan pada Zara yang nampak terkejut akan kehadirannya yang tiba-tiba. "Aku menjual air mineral, untuk melepas dahaga." Bocah itu tersenyum polos layaknya anak-anak seusianya. Tanpa rasa beban, meski tengah bekerja.
Meski terkejut, Zara cukup terhibur dengan kedatangan bocah yang tampak berwajah ceria itu. "Boleh, Kakak ingin air mineral itu saja," ucap Zara sembari menunjuk kearah botol minum, dengan senyum tak luntur di bibir mungilnya.
"Baik Kak," bocah itu pun dengan cekatan mengambil botol yang diinginkan oleh Zara. Dan mengulurkanya dengan kedua tangan. "Apa Kakak cantik ini tengah menunggu seseorang?" Tanya anak dengan pakaian kumal itu.
Sembari meraih pemberian botol air mineral, Zara mengamati daerah sekitar, di mana tempatnya berada kini. Gadis manis berlesung pipi itu menelan ludahnya kasar. Pasalnya kini dirinya berada diluar gerbang area pemakaman, dengan pagar tinggi menjulang.
Astaga.. Kenapa aku sampai tak sadar berada ditempat ini.
"Tidak Dik, Kakak hanya tengah melepas lelah saja. Tak ada keluarga ataupun teman yang ditunggu. Kakak seorang diri."
Bocah itu pun mengangguk faham.
"Berapa harganya Dik?"
"Lima ribu rupiah saja Kak," jawab bocah itu sembari menata ulang dagangannya.
Zara membuka tas dan mencari keberadaan dompetnya. Hatinya kian teriris, tatkala dompet miliknya terbuka lebar. Hanya tersisa dua lembar uang kertas di dalamnya. Zara menatap dompet dan bocah pedagang asongan secara bergantian. Lalu menarik selembar uang dan memberikannya pada bocah laki-laki itu.
"Sebentar Kak, kembaliannya."
Kedua tangan Zara mencengah tangan mungil legam bocah itu, kala hendak membuka tempat penyimpanan uang miliknya. "Tidak usah, untuk adik saja," tolak Zara.
Bocah itu tersenyum lembut, dengan kedua netra berkaca-kaca. "Terima kasih Kak. Semoga ALLAH selalu memberikan rizqi yang berlimpah untuk Kakak."
"Aamiin.... Aamiin..." jawab Zara lirih.
Selepas mencium punggung tangan, bocah itu meninggalkan Zara seorang diri. Kedatangan anak laki-laki itu, bagaikan setetes embun pagi yang mampu memberi kesejukan dikala rasa gersang melanda.
Hendak kembali duduk ditempatnya semula, kedua netra Zara menangkap adanya sedan hitam yang melaju kencang tak terkendali. Sementara dari arah berlawanan seorang perempuan keluar dari gerbang pemakaman, berjalan gontai dengan wajah tertunduk.
Seolah engan mengalihkan pandangan pada objek di depannya. Zara justru melihat mobil yang entah siapa pengemudinya itu, kian menambah kecepatan namun tak terarah. Sementara itu, seorang perempuan yang berjalan di seberang, masih tetap menundukan pandangan dan tak perduli keadaan sekitar.
Zara kian pucat pasi dan mencengkeram ujung kemejanya kuat. Pasalnya, dia bisa menerka apa yang sebentar lagi terjadi, jika salah satu dari mereka tetap pada keadaan seperti ini.
Satu menit. Dua menit. Zara tetap menunggu, menatap kearah sedan dan sosok perempuan di seberang secara bergantian. Gadis cantik bersurai panjang itu, tak mampu lagi menahan. Hingga berlari dengan cepat kearah sang perempuan pejalan kaki dengan cepat.
"Awas nona!!" Pekik Zara, sementara kedua tangannya refleks mendorong tubuh perempuan yang masih tertunduk itu cukup keras. Hingga keduanya tersungkur di pinggiran trotoar.
Klakson mobil tak hentinya terdengar, beserta umpatan kasar yang terlontar dari pengemudi sedan ugal-ugalan, tak sadar akan ulahnya yang mampu mengancam nyawa orang lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!