Seorang gadis menyusuri jalan menuju sekolah. Evina, gadis berusia 14 tahun ini tampak pelan berjalan, karena memang baru jam setengah tujuh pagi. Masih terlalu dini untuk jam masuk. Jalanan sekolah tampak tak terlalu ramai.
Pintu gerbang sudah di depan mata, Evina melenggang memasukinya. Belum tampak barisan guru yang biasa mengecek kedatangan murid.
Evina memasuki ruang kelasnya. Beberapa orang sudah ada yang datang. Gadis ini bersekolah di STM yang notabene lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Di kelasnya pun hanya ada dua gadis saja, Evina dan temannya Siska. Evina adalah gadis tomboi. Ia pun tak cantik seperti gadis-gadis lain. Apalagi jika dibandingkan dengan Siska teman sebangkunya. Sangat jauh sekali perbedaannya.
Siska Paramita, meskipun mereka masih kelas satu semester genap, tapi tidak ada yang tidak tahu dia primadona di sekolah ini. Namun Evina tak pernah memedulikan hal semacam itu. Dia orang miskin tidak sempat dia memikirkan hal-hal semacam itu.
Karena jam masuk masih lama, setelah meletakan tasnya Evina pergi ke perpustakaan. Untuk seseorang yang sangat introvert ini, perpustakaan adalah tempat yang paling aman untuknya. Ia memilih – milih buku apa yang ingin ia baca. Pilihannya jatuh pada satu buku yang berada pada rak paling atas.
Ia menengok ke sana kemari seperti mencari sesuatu. Evina ini pendek, tingginya hanya 150 cm saja. Ia kebingungan untuk mencapai buku itu. Ia menongokke sana kemari, mencari sesuatu yang bisa ia jadikan pijakan, tapi tak menemukan apapun.
Ia berusaha mengambil bukunya dengan cara melompat lompat. Namun tetap tak sampai ia menjangkau buku itu.
Tanpa ia sadari ada tangan yang menjulur dari belakang dan mengambil buku itu. Evina sontak terkejut lalu berbalik.
“Itu mau saya ambil,” ujar Evina mengulurkan tangan.
Di hadapannya ada sosok pria tampan dan tinggi yang mengambil buku tadi. Evina memandangi pria itu sekilas. Dalam hatinya berpikir ‘ cakep sekali, udah tinggi, putih, badannya pun bagus sekali mengenakan seragam OSIS.’
“Aku, kan, yang mengambilnya dari rak buku,” ujar pria itu. Evina tak mau kalah karena ia merasa sejak awal ingin mengambilnya.
“Tapi saya duluan yang berniat mengambilnya,” Evina menatap tajam kepada pria itu. Seragamnya ada label warna hijau 1 berarti dia kelas 1 jurusan otomotif.
Di sekolah ini setiap siswa memakai seragam yang diberi label pada tangan bagian kiri dengan warna yang berbeda. Hijau untuk otomotif, merah untuk elektronika, navy untuk mesin perkakas dan putih untuk teknik konstruksi bangunan. Dan setiap tingkat jumlahnya menyesuaikan.
Evina sendiri berlabel merah, yang sudah pasti elektronika.
“Ini buku tentang instalasi lampu pada motor. Ngapain anak elektro baca buku seperti ini?” ujar pria yang di seragamnya tertulis nama Fahri Ramadhan.
“ Terserah saya, yang mau baca, kan ,saya. sini!” Evina mengulurkan tangannya tanda meminta buku itu.
“ Ehh, ngga bisa, donk! Saya yang ambil kok,” ujar Fahri tak mau mengalah.
Evina masih tak terima dan berusaha merebut buku itu. Namun Fahri buru - buru pergi menuju penjaga perpustakaan.
“ Apaan, sih?” gumam Evina sembari mendengus kesal. Evina tak jadi membaca buku di perpustakaan. Moodnya sedang tidak baik. Asal tau saja Evina si introvert ini emosinya mudah naik turun jika ada yang mengganggunya.
Fahri yang sedang menunggu bukunya dicatat, memandang ke arah Evina yang melenggang keluar. Raut wajah Evina menunjukan wajah kesal. Sedikit senyuman tersungging dari bibir Fahri.
“Kelas mana sih? Emosian banget,” gumamnya terheran.
“ Anak elektro 2 mas. Biasa nongkrong di sini dia. Tapi, ya, itu sendiri terus,” sahut bapak penjaga perpustakaan seraya menyerahkan buku rebutan tadi.
“ Oh, begitu pak. Oh, iya, makasih pak. Sudah mau jam 7 . Balik ke kelas dulu ya,” setelah menerima buku itu Fahri bergegas menuju ke kelasnya.
♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧
♧♧♧
Evina wijayanti, nama yang sangat sederhana di era tahun 2007. Dia tak terlahir dari keluarga kaya. Sebenarnya kalau mendengar cerita dari ibunya, kakeknya juragan tanah di kota Semarang.
Tapi harta kakeknya tidak menurun ke bapaknya. Masih untung kakeknya meninggalkan warisan tanah. Yang kemudian dibangun oleh orangtuanya. Atau lebih tepat ibunya. Karena ibunya menjual seluruh perhiasannya demi membangun rumah sederhana untuk di tinggali.
Ibunya adalah yatim piatu dari kecil. Tapi ibunya adalah pekerja keras, sehingga punya perhiasan dan tabungan yang walau akhirnya harus habis karena suaminya. Dan setelah dewasa harus menikah dengan bapaknya yang ternyata seseorang yang tak bertanggung jawab.
Dibandingkan disebut bapak, lebih cocok di bilang ‘majikan’. Setiap hari kerjaannya hanya menyuruh ini itu, mabuk - mabukan, main wanita. Tak pernah memberi nafkah anak istri. Karena stiap pulang kerja uangnya digunakan untuk main perempuan.
“*V**i, ewangi bue to! Ora ning kamar wae. Bapakmu selak muleh. Ngko ndak ngamuk*”. (Vi, bantuin ibu ,donk! Jangan dikamar terus. Nanti bapakmu keburu pulang, marah).
Sang ibu berteriak dari dapur karena kewalahan mengurusi pekerjaan rumah. Karena bapak tak pernah memberi nafkah. Ibunya yang bekerja serabutan untuk makan dan sekolah anak- anaknya.
“*Iy**o,yo*.” (iya, iya) sahut Evina. Evina bangun dari kasurnya yang dibilang kasur pun tak mirip sama sekali. Evina segera menghampiri ibunya didapur.
GUBRAK!!!!! Tiba – tiba terdengar suara dari luar rumah. Evina berlari melihat apa yang terjadi. Terlihat sosok bapaknya yang pulang bersama wanita lain dengan keadaan mabuk.
“Ti, Narti.” Teriak bapak
Ibu tergopoh – gopoh keluar rumah. Hal seperti ini sudah sangat sering terjadi. Pulang kerja mabuk, bersama selingkuhannya.
“Mangan! Ndang!” (Makan! Buruan!) ucap bapak dengan nada memerintah.
“Durung mateng, mas. Enteni sek ya! Ki aku yo gek entes bali kerjo,” ( Belum matang, mas. Tunggu dulu ,ya! Ni saya juga baru pulang kerja).
Tanpa ba!bi!bu bapak menampar kepala ibu.
“Wong lanang balik kerjo kesel. Iso isone durung mateng. Ket mau ngopo wae? Kowe tak tempeleng nek kurang ajar karo wong lanang.” ( Laki – laki pulang kerja capek. Bisa- bisanya belum matang. Dari tadi ngapain aja? Kamu kalo kurang ajar sama laki – laki ku hajar.)
Ibu hanya diam saja dipukul sang bapak sembari memegang pipinya yang tadi dihajar. Evina hanya bisa terpaku melihat kejadian mengerikan itu. Bukannya membiarkan. Ia takut kepada bapaknya. Hampir setiap hari dia melihat ibunya dihajar.
Tetangga terkadang juga iba melihat ibunya dihajar oleh bapaknya. Tapi mereka tak mau ikut campur. Pak Munadi, sang bapak terkenal beringas di masyarakat. Sudah sangat sering tetangga melihat keluarga Evina dhajar oleh si bapak.
Ibunya lalu bergegas pergi ke kamar mencari dompet,kemudian beranjak keluar.
“Mau kemana, bue?” tanya Evina yang sedari tadi mengikuti ibunya.
“Ayo, ke warung padang depan, bapak selak ngeleh (bapak udah lapar)," ujar ibunya mengajak Evina.
Tak habis pikir, mengapa sang ibu diam saja? Bahkan menangis pun tidak. Evina ingin menangis tapi ia tertahan melihat ibunya.
Pernah suatu kali ketika bapak marah, ia membawa bawa golok hendak di ayunkan ke ibu.
Beruntunglah saat itu ketiga mas-masnya dirumah. Dan bisa menahan.
"Jangan dipikirin bapakmu begitu. Cukup bue dapat suami begitu. Besok kowe ojo ketemu sing koyo ngono ( kelak kamu jangan bertemu yang seperti itu) ujar ibunya dalam perjalanan ke warung padang.
“Bue kok ngga mau cerai saja to? Aku ngga apa apa. Bapak tiap hari begitu. Aku juga sering dipukuli kalo salah sedikit saja. Ya kalau dia nyukupin kita. La wong kita aja makan susah. Tiap hari makan sambel. SPP sekolah ndak pernah bayar. Buat apa punya bapak?” ujar Evina meluapkan kekesalannya.
“Jangan ngomong begitu. Itu juga bapakmu. Kalau ngga ada bapak, ngga ada kamu juga. Wes rak sah melu nesu," ( sudah jangan ikut marah).
Sesampainya di warung nasi padang. Ibu memesan sebungkus nasi rendang. Si penjual memandang ke arah Evina. Evina terlihat malu dipandang seolah seperti pengemis.
“Niki, bu, limolas ewu,”(ini, bu, lima belas ribu).
“*N**jih mas*,” (iya mas). Ibu membuka dompet kecilnya hendak membayar. Evina tak luput melihat isi dompet ibunya.
Terlihat lembaran uang seribuan lusuh. Ibu mengambilnya lalu menghitungnya. Ternyata masih sisa tiga ribu rupiah. Beliau menyerahkan lembaran uang itu ke penjual.
“Niki mas. Ngapunten nggih receh,”
si penjual menerima uang itu lalu menghitungnya dan ternyata pas.
“Matursuwun bu,” (terima kasih bu)
Evina dan ibu bergegas pulang ke rumah. Akan ada masalah lagi kalau terlalu lama bapaknya menunggu.
Namun sesampainya di rumah, ternyata si bapak sudah tertidur karena mabuk berat.
“ Ditukoke mangan malah teler,” (Dibeliin makan malah tidur). Ujar Evina kesal.
8
“Biarin aja. Nanti kalau bangun minta makan. Ini nasi padangnya jangan dimakan,” kata ibunya masuk seraya menyimpan bungkusan itu kedalam lemari makan.
Begitah kehidupan keseharian Evina di rumah. Gadis dari keluarga miskin. Yang ternyata menyimpan luka dalam keluarganya. Itu masih belum seberapa. Karena ternyata, Evina juga memendam luka yang begitu dalam dari masa kecilnya.
Saat dia masih SD, Evina pernah diperkosa oleh tetangganya. Tetangga yang bisa disebut teman masnya. Teman yang sudah dianggap seperti anak sendiri oleh orang tua Evina. Saat itu dia tak sadar apa yang terjadi. Seiring berjalannya waktu. Ia mengerti apa yang terjadi di kamar saat itu adalah perkosaan.
Semenjak itu terbentuk karakter introvert dalam diri Evina. Tak pernah sekalipun ia tak menutup pintu kamarnya yang sangat sederhana, ketika ia di dalam kamar. Karena ia selalu dihantui ketakutan.
Namun ia bisa berlega hati. Tetangga laknat yang melakukan hal tak senonoh itu, sudah meninggal 2 tahun yang lalu. Dikarenakan tertabrak bus ketika pulang kerja.
Sungguh saat itu Evina justru sangat senang. Tuhan seperti mengabulkan harapannya supaya makhluk biadab itu lenyap dari muka bumi ini.
Namun sepertinya,ia masih tetap tidak bisa melupakan bayang – bayang kejadian menjijikan itu. Sampai akhirnya ia beranjak remaja, dan saatnya ia merasakan pubertasnya.
Alasan kenapa dia masuk STM adalah karena ia tak ingin takut kepada laki – laki. Itu pun butuh perjuangan, mengingat bapaknya yang seperti itu. Dan ibunya hanyalah pekerja serabutan. Ia memohon – mohon pada ibunya agar minimal ia bisa tamat SMK.
😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊
Terima kasih sudah bersedia membaca novel pertama saya. Semoga ceritanya enak untuk disimak ya...
Jangan lupa tinggalkan comment, like, vote serta beri rate pada episode ini. Terima kasih......
Hari ini di sekolah....
“Eh, Vi, katanya besok sabtu ada persami lho. Kelas satu wajib ikut,” ujar Siska yang sedang menyantap gorengan di kantin.
“Opo meneh to yo? Males – malesi tok persami mbarang,”( apalagi sih? Pake acara persami segala). Ujar Evina tak bersemangat.
“Hei, hei, para gadis apakah gerangan yang sedang kalian perbincangkan,” Galuh tiba- tiba saja dan nimbrung bersama dua gadis ini.
“Iiii, apaan sih main nyelonong aja,” ujar Siska sewot
“Lho, aku juga kan pengen denger. Apakah ada berita- berita terbaru dari kalian,” ucap galih
“Besok Sabtu ada persami. Kelas satu wajib ikut,” sahut Evina.
“Heleh, kirain apaan? Andaikan sekolah kita banyak gadisnya yah. Bakal semangat aku ikut persami. Bahkan di kelas ini cuma ada dua cewek. Yang satu manja sekali, yang satu laki sekali. Ngga ada yang bisa dilihat,” kata Galuh.
“Yeeee, dasar!” ujar Siska dan Evina bersamaan.
TING! TONG! TING! TONG
Terdengar bunyi bel, pertanda waktu istirahat habis. Siska dan Evina bergegas menuju ke kelas, karena jarak antara kelas dan kantin lumayan jauh.
Hari ini ada pelajaran kejuruan dan ada pelajaran teknik menggambar. Guru pembimbingnya adalah pak Jatmiko. Beliau sama sekali tidak mentolelir keterlambatan dengan alasan apapun.
Siska dan Evina berlari supaya tidak telat sampai kelas. Melewati beberapa kelas workshop jurusan lain. Sampai pada workshop jurusan otomotif, Siska tak sengaja menabrak seseorang.
BRUUUKKK!!!! Siska terjatuh, begitu pula siswa yang ditabraknya.
“Aduh! Aaaaa, sakit,” rengek Siska
“Sis, ngga pa pa? Duh ayo buruan! Nangisnya nanti aja keburu pak Jatmiko nyampai,” Evina berusaha, menolong Siska bangkit.
“Cah wedhok do playon, marai rusuh.”( Anak perempuan pada lari – larian, bikin rusuh,” ujar siswa yang terabrak Siska, yang ternyata adalah Fahri.
Evina tak senang dengan kata kata Fahri dan memelototinya.
“Eh, siapa suruh berdiri di tengah jalan. Ngalangin jalan tau ngga?” kata Evina ikut kesal.
Fahri memandangi Evina, merasa seperti tak asing dengan sosok Evina.
“Kamu lagi! Bilang sama temenmu, tuh. Lari jangan di jalanan kelas dong! Banyak orang lewat,” ujar Fahri seraya meninggalkan dua gadis itu.
“Apaan, sih, kenapa jadi aku yang dimarahi?” Evina celingak celinguk mencari Siska, yang ternyata sudah berjalan ke kelas.
“Dasar bocah, aku malah ditinggalin.”
♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤
Hari Sabtu telah tiba, semua siswa kelas satu bersiap mengikuti persami. Banyak issue mengatakan bahwa acara malam ini akan menjadi pergantian panitia pramuka di sekolah. Karena sudah masuk semester genap, panitia dari kelas dua harus bersiap untuk melaksanakan magang industri. Maka dari itu, akan dialihkan ke anak – anak kelas satu.
Para siswa satu persatu memasuki lapangan sembari membawa tas ransel besar. Ada yang membawa bantal juga. Tapi ada juga yang datang hanya membawa alat seadanya. Mereka membentuk group berdasarkan kelas masing – masing.
Waktu menunjukan pukul empat sore. Priiiitttt!! Priiittt!!! Priiitt!!! Terdengar suara peluit, pertanda para siswa harus membentuk barisan sesuai indek kelas masing – masing.
“Sepuluh, sembilan , tujuh, enam, lima .....”
Terdengar kakak kelas memulai menghitung mundur. Biasanya suasana berubah menjadi horor ketika pramuka. Namun , yang namanya STM, pasti ada saja yang bandel. Ada yang masih makan di kantin. Ada yang masih sibuk memakai perlengkapan pramuka. Ada juga yang berhamburan lari karena belum siap apapun.
“ YANG TERLAMBAT PUSH UP 100 KALI UNTUK PRIA, SIT UP UNTUK WANITA,"
Evina yang selalu on time dalam hal apapun, sudah sedari tadi berada didalam barisan bersama teman – teman sekelasnya.
“Vi, Siska endi?” ( Vi, Siska dimana?) tanya galuh yang berbaris tepat dibelakang Evina.
“Embuh, rung teko, kae biasa telat," (Ngga tau, belum datang, dia biasa suka telat ). sahut Evina setengah berbisik, karena takut ketahuan kakak kelas yang sedari tadi sweaping di setiap kelas.
Tak menunggu waktu lama upacara pembukaan pramuka dimulai.
♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤♤
♤♤♤♤♤♤
Waktu menunjukan pukul tujuh malam. Itu pertanda acara api unggun segera dimulai. Untuk acara yang satu ini siswa kelas satu lumayan bersemangat. Karena acaranya santai, dan tidak ada senioritas di sini.
Seluruh siswa membuat formasi melingkari api unggun. Dan mereka berkelompok menurut kelas masing – masing. Evina dan Siska duduk dibarisan depan kelasnya karena wanita wajib dibarisan depan. Maklum hanya dua wanita saja.
“Siska! Siska!” Terdengar suara anak – anak laki – laki dari kelas lain.
Siska hanya tersenyum tak nyaman mendengar gangguan – gangguan usil dari kelas lain. Kebetulan kelas elektro diapit oleh kelas otomotif dan bangunan, yang notabene tidak ada wanitanya.
“Siska, sini donk ngobrol,"
ujar seorang laki – laki dari kelas otomotif.
“Kenapa, ya ?” sahut Siska
“Ya, kenalan gitu, aku Aris," ujar laki – laki itu memperkenalkan diri.
“Oh, iya , Siska," jwab Siswa sekenanya.
Evina hanya diam tak bergeming dan tak ingin ikut dalam percakapan mereka. Hal seperti ini sudah sangat sering. Terkadang Evina suka dimintai tolong untuk meminta nomor handphone Siska. Tapi Evina tak pernah meladeni orang – orang yang mendekatinya untuk berkenalan dengan Siska.
“Vi, pindah yuuk,” ajak Siska yang tak nyaman disitu.
“Pindah kemana lagi? Dimana mana tetap bakal ada yang gangguin kamu. Udah jangan diladeni, biarin aja," jawab Evina
Api terlihat siap untuk dinyalakan. Panitia pun memulai upacara menyalakan api unggun. Api terlihat sudah mulai menyala. Evina memandangi ke arah api unggun. Terlihat sosok fahri sedang memegang obor yang tadi digunakan untuk api unggun.
“ Vi, yang pegang obor anak otomotif yang waktu itu tabrakan sama aku kan?” tanya Siska yang ternyata juga memandangi ke arah api unggun.
“Heem," jawab Evina singkat
“ Cakep, ya, ternyata!” ujar Siska lagi.
“Biasa aja,” jawab Evina datar
“Ih, cakep tau! Eh, dia yang bakal jadi ketua pramuka kali, ya? Tu, dia udah ikut upacara dari tadi sore kan? Berarti mau dilantik, donk?” kata Siska.
“Ngga tau , ah. Ngapain, sih, pengen tau soal dia?” jawab Evina agak kesal.
“Ih apaan sih, Vi? Kayaknya kesel banget sama dia?” ujar Siska
“Apa, sih? Biasa aja.” jawab Evina datar
Ternyata dari tadi Aris mendengar obrolan dua gadis ini. Dan mengambil kesempatan untuk nimbrung.
“Mau ku kenalin sama Fahri, Sis?” tanya Aris tiba – tiba.
“He, he, he, Cuma bercanda kog,” ujar Siska datar.
“Tapi percuma juga sih, Sis, dia itu anti sama cewe. Jadi kalau pun dikenalin palingan dicuekin," kata Aris
“Lho, kenapa? Sombong banget mentang – mentang cakep?” tanya Siska heran.
“Bukannya sombong, emang terlalu sholeh orangnya. Jadi ngga biasa bergaul sama cewe," ujar Aris.
“Sholeh?” gumam Evina setengah tersenyum.
Siska dan Aris menengok ke arah Evina. Siska lebih terheran karena dari tadi membahas Fahri responnya jutek. Tapi ternyata memperhatikan juga.
“Ih, Vi, naksir ya, sama Fahri,” tanya Aris.
Evina melotot heran ke arah Aris. “Ngga, lah? Cowok aneh kayak gitu.” jawab Evina.
“Eh, jangan gitu, Vi, ntar jodoh!”
“Hah, amit – amit deh. Lagian dia cakep, aku burik begini. Mana mau dia sama aku,"
kata Evina.
“Oh, berarti beneran naksir,” k.ata Siska menggoda Evina
Evina hanya menggeleng – gelengkan kepalanya karena hal tak masuk akal yang diucapkan temannya itu.
😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊😊
Terima kasih sudah bersedia membaca novel pertama saya. Semoga ceritanya enak untuk disimak ya...
Jangan lupa tinggalkan comment, like, vote serta beri rate pada episode ini. Terima kasih......
Malam semakin larut, acara api unggun telah selesai. Para siswa belum bisa bersiap untuk tidur. Acara malam ternyata belum berhenti di situ. Masih ada nightmare time. Kali ini para siswa dikumpulkan di suatu lapangan kosong. Terlihat suasana sangat gelap, karena tak ada lampu yang menerangi.
Sudah bukan hal asing lagi jika pramuka selalu diisi acara – acara yang menegangkan. Siswa putri dikumpulkan dalam satu barisan. Dan jumlahnya tak banyak. Hanya ada lima orang saja.
Evina dan Siska dari kelas elektro 2, Febi dari mesin 1, lalu ada Kristin dan Dewi dari elektro 1. Jumlahnya sangat tak sebanding dengan jumlah siswa pria satu angkatan yang hampir tiga ratus siswa.
“ Kalian enak, sekelas berdua , aku ni cuma diri sendiri berteman sepi,” ujar Febi.
“ Ya, ngga apa – apa, lah. Tadinya juga gimana ? Daftar sekolah, ngga dilihat dulu jurusannya?” jawa Siska.
“ Iya , nih, waktu daftar gimana? “ sahut Dewi.
Febi mengerutkan keningnya seolah tak tahu harus berkata apa. Tak selang berapa lama datang dua orang kakak kelas menghampiri kelompok putri.
“ Febi, ikut yuk!” ujar kakak kelas pria yang di seragamnya tertulus nama Agus.
“ Mau kemana mas,” tanya Febi bingung. Ia enggan berdiri. Anak – anak kelas satu sebenarnya sudah mengerti tentang kegiatan kali ini. Acara tengah malam ini adalah tentang jalan – jalan malam di sekitar area pemakaman yang ada di dekat sekolah.
“ Ikut aja dulu, jalan – jalan , asyik kog,” ujar Agus lagi
“ Iya dek, asyik kog, mengasah adrenalin,” ujar Heri, kakak kelas yang satunya.
“ Aaahh, wedi, ah, mas,moso aku dewekan ga ono koncone,”( aaahh takut, masak aku sendirian tidak ada yang temannya), rengek Febi yang ketakutan.
“ Lah, gimana ya? Kamu sendiri emang yang ngga punya partner teman. Masa mau ditukar sama kelas lain. Emang kalian mau di tuker sama Febi," tanya Heri pada siswi perempuan lain. Dan mereka pun geleng – geleng menolak, tapi Evina diam saja.
“ la, yo wong telu wae to mas. Aku dewekan yo wedi, lah,” ( Bertiga saja lah mas, Aku kalo sendirian ya takut mas.) ujar Febi.
“ Lah, nek wong telu yo rak seru to acarane, la emange meh dolan, kog rame men? Ha, ha, ha!!” ( lah, kalau bertiga ya jadi ngga seru acaranya, memangnya mau main, kog rame sekali? Ha, ha, ha) sahut Agus.
Febi terlihat pucat pasi karena harus menjalankan misi malam sendirian. Mengapa ia harus seapes ini, jalan – jalan di kuburan tengah malam sendirian. Agus dan Heri masih menunggu Febi, namun Febi masih enggan beranjak.
“ Ayo ndang, selak tambah wengi. Ngko kancane ga kebagian jatah jalan – jalan,” ( ayo buruan, nanti yang lain ngga kebagian waktu jalan – jalan) ajak Heri.
Namun Febi masih enggan berdiri. Anak – anak perempuan pun seperti menyembunyikan diri, enggan kalau – kalau salah satu dari mereka yang harus menggantikan.
Namun tiba – tiba saja Evina bangun dan menawarkan diri untuk menggantikan Febi. Semua mata memandang ke arahnya, tanpa terkecuali Febi.
“ Aku wae mas sing mangkat. Febi ben mbek Siska.” ( Aku saja mas yang berangkat, biar Febi sama Siska) ujar Evina.
“ Lah, Vi, kamu berani sendirian?” tanya Siska.
“ Lah, klo ngga ada yang mau berangkat nanti ngga selesai – selesai acaranya. Aku keburu ngantuk, pengen tidur," jawab Evina
“ Nah, gitu donk dari tadi, kan jadi ngga kelamaan,” ujar Agus.
“ Aaaahhh, ayo mas raksah kesuen,"( aaaahhh, ayo mas buruan, lama banget) ujar Evina seraya berlalu
Agus dan Heri melongo menatap ke arah Evina.
“ Lah, kenapa jadi galakan dia daripada kita,” ujar
Anak – anak perempuan tertawa melihat kakak kelas yang disewotin Evina. Asal tau saja Evina memang tak pernah ramah kepada orang yang tidak terlalu dikenalnya. Tapi pada dasarnya hatinya baik. Terlalu banyak trauma yang ia rasakan sehingga membuat ia jadi dingin terhadap orang lain.
■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■
Evina berjalan menyusuri jalanan di dalam pemakaman terkenal di kota Semarang itu. TPU BERGOTA, siapa yang tidak tahu pemakan besar di tengah kota Semarang itu. Misi yang harus dijalankan Evina adalah tanda tangan kehadiran di tiap post yang sudah di tentukan. Di setiap post mungkin ada yang menjaga, mungkin asal hanya ada lembaran absen murid dengan lilin yang menyala di atasnya.
Berjalan perlahan – lahan menyusuri kegelapan malam dikuburan membuat Evina merasa merinding. Dia bukannya tak takut, tapi dia tidak tega melihat Febi yang merengek ketakutan. Atau lebih tepatnya, ia terganggu dengan rengekan manja Febi.
Samar – samar terdengar seperti ada orang yang mengikuti di belakang Evina. Evina mempercepat langkah kakinya, takut kalau itu pocong atau kuntilanak yang mengikutinya dari belakang.
“ Mlakune ojo banter – banter mbak. Aku yo wedi ki” ( jalanya jangan cepat – cepat mbak,aku juga takut, nih)
Jantung Evina berdegung kencang,
‘suara apa itu, tiba- tiba dari belakang’ batin Evina. Seseorang tampak menepuk pundak Evina dari belakang.
“AAAARRRHHHGGG!!!” Evina menjerit ketakutan.
Evina merasakan ada yang membekap mulutnya dari belakang. Evina berusaha meronta agar bisa melepas bekapan itu, namun tenaga tak kuat melawan tangan itu.
“ Ssssstttt!! Diem, ini aku, anak kelas otomotif. Kita masih satu sekolah,” ujar suara seorang pria yang tak lain adalah Fahri Ramadhan.
Evina mulai kalem ketika ternyata bukan hantu atau pun penculik. Fahri melepas bekapan tangannya di mulut Evina. Evina tampak terengah – engah ketakutan. Fahri heran melihat Evina seperti orang yang ketakutan sekali.
“ Ehh, kamu kenapa? Kog, kaya paranoid banget?” Fahri mulai khawatir melihat napas Evina yang tak beraturan.
Evina menggelengkan kepalanya, tanda ia berusaha mengatakan kalau dia baik -baik saja. Namun Fahri sepertinya merasa bersalah karena mengageti Evina.
“ Beneran ngga pa, pa? Jangan bikin orang khawatir!” ujar Fahri
“ Apaan, sih ngagetin orang? Udah tau ini kuburan, ngikutin orang dari belakang. Kalau aku ngga takut, aneh malahan,” ujar Evina marah.
“ Iya, maaf, aku ngga bermaksud ngagetin. Habis kamu kecil banget,jadi ku kira tadi ngga ada orang. Aku cuma memastikan kalau kamu itu orang,” jawab Fahri yng justru membuat Evina semakin meradang.
Evina berjalan meninggalkan Fahri sambil menggerutu.
“ Emangnya aku hantu, ngapain pake ngomong seperti itu?”
Fahri mengejar Evina, seraya mengatupkan kedua telapak tangannya, pertanda ia meminta maaf.
“ Maaf, maaf, aku ngga begitu lagi deh. Jangan tinggalin aku, aku juga takut kali jalan sendirian di tengah kuburan begini,” ujar Fahri setengah merayu.
“ Lagi? Emang kita ada acara ketemu lagi? Engga ngapain aku ketemu lagi sama kamu," sahut Evina sewot.
Fahri menggaruk- garuk kepalanya. Kenapa setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu dipandang salah oleh Evina.
“ Terserah, lah, yang penting sekarang kita jalan barengan. Kalau besok – besok ketemu lagi mungkin jodoh."
Evina menghentikan langkahnya seraya menoleh ke arah Fahri dengan melotot. Fahri merasa ngeri dengan pelototan Evina.
“ kalau ngomong jangan asal, deh!” kata Evi melanjutkan perjalannya.
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
Akhirnya Fahri dan Evina berhasil menyelesaikan misi malam itu. Dan acara tengah malam itu selesai pukul setengah dua. Setelah kakak kelas memberikan breafing, anak - anak kelas satu pergi ke tenda masing – masing.
Anak – anak perempuan berkumpul di satu tenda. Sebelum tidur mereka bercengkerama membahas perjalan tadi kuburan. Siska dan Dewi sangat bersemangat bercerita tentang perjalanan tadi. Sementara Febi dan Kristin sudah tak sanggup berbincang, karena sudah mengantuk sekali.
“ Vi, tadi kamu sendirian apa ngga takut? Kita yang berdua aja deg – degan setengah mati,” tanya Dewi penasaran.
“ Aku ngga sendirian kog. Tadi sama siapa, tuh, anak otomotif yang tadi bawa obor api unggun?” jawab Evina santai
“ Fahri? Berduaan sama Fahri? “tanya Siska penasaran. Evina menggangguk.
“ Kayaknya beneran jodoh, Vi. Ada aja moment ketemu yang kebetulan,” ujar Siska bersemangat.
“ Apaan, sih, jodah jodoh? Udah berapa kali aku denger kata itu. Udah, ah aku ngantuk, tidur.
“ Yee, Vi, lumayan dapat cowok cakep. Memperbaiki keturunan. Jangan tidur dulu, kita ngoceh sampe pagi.”
Evina tak menggubris temannya, ia tetap melanjutkan tidur karena sudah sangat mengantuk.
Terima kasih sudah bersedia membaca novel pertama saya. Semoga ceritanya enak untuk didengarkan ya...
Jangan lupa tinggalkan comment, like, vote serta beri rate pada episode ini. Terima kasih......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!