NovelToon NovelToon

The Way Love

I

"Selamat siang. Mau pesan apa?" tanya seorang pelayan dengan ramah.

"Kopi americano," ucap pelanggan itu.

"Kopi americano satu," ulang Sya.

Pelanggan itu mengangguk. Sya kembali ke tempatnya untuk memberikan catatan pesanan.

Syaheila. Dia adalah seorang pelayan di sebuah restoran yang cukup terkenal. Restoran Inn. Dia bekerja dengan sepenuh hatinya disana.

Syaheila bukan lagi seorang gadis kecil. Banyak teman yang sudah menikah. Hanya saja, sampai saat ini Sya belum menemukan tambatan hatinya itu.

Buk. Tanpa disengaja Sya menabrak seseorang saat dia akan mengantarkan pesanan. Kopi itu tumpah kearah si pelanggan yang baru saja ditabraknya.

"Maaf," ucap Sya sembari akan mengelap baju si pelanggan.

Pelanggan itu mencegahnya, "Tidak perlu. Nanti bajuku akan semakin kotor karenamu."

Sya hanya bisa diam. Baru kali ini dia mendapatkan sebuah penghinaan karena pekerjaanya. Tidak lama manager restoran itu mendekat kearah Sya. Jika ada kesalah, manager selalu tanggap.

"Ada apa ini?"

Pelanggan itu menjawab, "Lihatlah ini. Ini ulah pelayanmu yang buruk ini."

"Maafkan kami Tuan Arda. Biarkan pelayan kami bertanggung jawab," ucap manager.

"Tidak perlu."

Setelah itu, si pelanggan pergi dengan kekesalannya. Baju yang dia pakai kini basah karena secangkir kopi. Noda itu pasti akan membekas.

***

Sya berdiri di hadapan sang manager dengan wajah yang menunduk. Dia merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi kali ini. Sudah lama dia bekerja dan baru kali ini Sya melakukan hal yang fatal.

"Apa kamu tahu siapa yang baru saja kau buat kesal?" tanya Manager.

Sya menggeleng. Dia memang tidak tahu siapa yang baru saja dia tabrak itu.

"Dia adalah direktur Arda. Apa kau tahu perusahaan Arda corp?"

"Ya."

"Dia adalah pemiliknya."

Sya hanya diam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Apa dia harus senang atau sedih karena sudah menabrak bos besar. Lupakanlah semua itu, sekarang Sya hanya bisa bertaruh untuk pekerjaanya itu.

"Kali ini hanya ada peringatan untuk kamu. Lain kali, aku tidak bisa memaafkan kamu lagi."

Sya mengangguk.

"Kembalilah bekerja. Hati-hati," ucap si manager dengan nada cukup keras.

Sya keluar dari ruangan itu dengan hati yang lega. Bahkan helaan nafas panjang menjadi tandanya. Dia kembali bekerja, kali ini dia harus sangat berhati-hati atau akan kehilangan pekerjaan itu.

Sya bukanlah wanita dari keluarga besar. Dia berasal dari keluarga sederhana yang berkecukupan. Apa lagi, saat ini Sya hanya memiliki seorang Ibu. Ibu Zein.

Seharian itu, Sya benar-benar malakukan semuanya dengan baik. Bahkan tanpa sadar jika sudah waktunya kembali ke rumah.

"Apa kau tidak mau pulang?" tanya Eri.

Eri adalah teman serumah Sya. Dia lebih tua dari Sya. Jadi, Sya sudah menganggapnya sebagai seorang kakak.

"Aku akan bersiap. Kau bisa pergi dulu," kata Sya.

"Aku mungkin akan pulang terlambat. Kau tahu, ini malam minggu."

Sya hanya bisa mengangguk dengan lemah. Malam minggu, tidak seharusnya dia berdiam diri di rumah. Banyak pasangan yang akan melakukan perjalanan romantis. Tidak seperti Sya, yang hanya bisa menonton kartun sembari mengurung diri di rumah.

Dering ponsel Sya membuat lamunannya buyar. Tertulis nama Ibu di layar ponsel Sya. Dia tahu, ibunya pasti akan bertanya tentang seorang pria padanya.

"Halo, Ibu. Apa ibu sudah makan?" tanya Sya begitu mengangkat telfon itu.

Ibunya hanya bisa berdecak kesal, "Kau hanya perlu menjawab. Kau sudah tahu apa yang aku tanyakan."

"Bu, aku belum ingin menikah. Untuk apa aku mencari pasangan."

Jelas sekali jika ibunya merasa tidak senang dengan jawaban Sya. Dia sudah tua dan berharap Sya memiliki tambatan hati yang tepat.

"Ibu kasih kamu waktu satu bulan. Jika kau masih saja tidak menemukannya. Aku yang akan mencarikannya untukmu."

Tut. Telfon itu dimatikan oleh ibu Sya. Sya hanya bisa diam. Dengan langkah gontai, Sya kembali melanjutkan aktivitasnya.

***

Mohon kritik dan sarannya.

II

Mentari sudah terbit sejak tadi, namun Sya masih diam di dalam selimut hangatnya. Dia malas bangun karena tidak ada pekerjaan. Ya, dia kebagian berangkat sore nanti di restoran.

Suara perut Sya membuat mata Sya mengerjap. Dengan malas, Sya menyibak selimutnya. "Kenapa juga aku harus merasakan lapar," lirih Sya.

Langkah kaki malas itu sampai juga di dapur. Dia membuka kulkas, tidak ada apapun disana. Di almari pun bahkan tidak ada mi instan atau makanan apapun.

"Ada apa?" tanya Eri yang melihat wajah kucel Sya.

Sya menoleh, dengan tatapan yang dibuat-buat Sya mendekat dan memeluk tangan Eri. Eri tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Jangan harap aku masak untuk kamu."

"Kau tidak kasihan padaku?" tanya Sya.

Eri menunjukan sebuah bungkusan makanan pada Sya, "Aku sudah dapat kiriman dari pacarku. Makanya kau cari pacar, setidaknya ada yang memikirkan kamu."

"Ini masih pagi dan aku mendapat nasehat? mengesalkan sekali."

Eri menarik tangan Sya untuk duduk di sofa depan tv. Dengan penuh perhatian, Eri membuka kotak makanan itu. Ada dua bungkus makanan. Setidaknya, Eri tidaklah pelit pada Sya.

"Hari ini kau akan kemana?" tanya Eri saat sedang makan.

Sya menggeleng, "Entahlah. Mungkin aku akan mencari udara segar di taman."

"Sendiri?"

"Tentu. Apa kau mau ikut?" ajak Sya.

Eri menggeleng. Sudah beberapa kali Eri mencoba mengenalkan pria pada Sya. Sampai saat ini, Sya masih belum menemukan pria yang cocok dengannya. Hal itulah yang kadang membuat Eri merasa kasihan pada Sya.

Eri berharap jika Sya akan menemukan pria yang cocok dan bisa membuat Sya bahagia. Setidaknya bisa membuat Sya jatuh hati padanya.

***

Sya masih dialam khayalnya. Setiap hari, kemanapun dan dimanapun hanya ada buku yang menjadi cintanya. Cerita romantis yang menjadi hal paling menyenangkan untuk Sya.

Mungkin karena alasan itulah Sya sulit mencari kekasih. Dia sangat menginginkan pria di dalam setiap buku yang dia baca. Pria yang romantis dan dingin, tapi juga penuh dengan perhatian.

Bruk. Sya kaget karena seorang anak kecil perempuan menabraknya. Bahkan es yang dibawa anak itu sampai mengenai celana Sya.

"Apa kau tidak lihat aku disini?" tanya Sya dengan keras.

Anak itu terlihat takut. Dengan cepat, anak itu mengambil sapu tangan di sakunya dan akan mengelap bekas es krim itu.

"Tidak perlu," kata Sya sembari memegang tangan anak itu, "belilah es krim lagi."

Sya memberikan uang untuk anak itu membeli es krim. Kali ini raut wajah takut perlahan menghilang dari wajah anak itu. Hanya ada senyuman manis kali ini.

"Terima kasih," ucapnya lembut.

Sya hanya tersenyum dan kembali membaca bukunya. Setelah menyelesaikan buku itu, Sya bangkit dari duduknya. Lalu, anak itu kembali dengan seorang pria tinggi di sampingnya.

"Dia tante yang baik hati itu," ucap si anak.

Sya hanya bisa tersenyum dengan kebingungannya. Pria itu mendekat dan mengulurkan tangannya.

"Jovi."

Sya membalas uluran tangan itu, "Syaheila."

"Apa aku bisa memanggilmu Sya?"

Sya mengangguk, "Tentu, semua orang memanggilku seperti itu."

Pria bernama Jovi itu mengulas senyum. Saat sang anak perempuan mendekat dan langsung memegang tangannya.

"Pa, sudah waktunya kita kembali."

Jovi duduk di depan anak perempuan itu.

"Sebentar dulu Sima."

"Apa aku sudah bisa pergi?" tanya Sya.

Jovi menoleh dan memberikan ponselnya pada Sya. Sya tidak tahu apa yang dimaksud oleh Jovi.

"Tulislah nomor ponselmu. Nanti akan aku hubungi lagi."

Sya mengangguk dan memuruti apa yang dikatakan Jovi. Setelah itu mereka berpisah di pintu masuk ke taman. Sya kearah rumah sementara Jovi dan anaknya masuk ke dalam mobil.

Untuk beberapa saat Sya merasa senang. Dia seperti baru saja menemui apa yang dia inginkan.

***

Sejak pulang dari taman. Sya terus menerus tersenyum. Bahkan Eri sampai menepuk kepalanya sendiri karena ulah Sya.

"Apa yang sudah terjadi padamu kali ini? kau sudah seperti orang gila saja."

"Apa kau tahu. Hari ini aku bertemu pangeranku, dia memang sudah punya anak, tapi dia sangat tampan."

Eri mendekat pada Sya dan mencubit lengan Sya dengan keras. Sontak Sya menjerit dan mengusap bekas cubitan itu.

"Dia punya anak? jika dia punya anak dia juga punya istri. Apa kau bodoh?"

Sya bahkan tidak berfikir jika pria itu memiliki istri. Rasa kesal kini hadir di hati Sya. Bagaimana dia tidak memikirkan hal sebesar itu.

"Kau benar, Eri. Kenapa aku tidak memikirkannya." Sya menoleh pada Eri, "tapi aku bisa jadi yang kedua."

"Kau sudah mulai gila. Ayo, siap-siap saja kerja."

Sya masuk ke dalam kamarnya. Dia mengambil ponselnya. Tidak ada pesan dari Jovi, juga tidak ada telfon darinya. Mungkin Sya sudah terlalu berharap kali ini. Kini, dia harus menelan rasa kecewa.

Setelah selesai berganti pakaian. Sya duduk di samping Eri yang sedang menunggu jemputan dari kekasihnya. Seperti biasa, Sya berangkat dengan bus sementara Eri dengan kekasihnya.

"Jangan terus cemberut Sya. Kamu masih bisa hidup tanpa pria itu. Lagi pula kau baru menemuinya sekali. Mungkin kau hanya kagum untuk sesaat."

"Tapi..."

"Sya. Kamu bukan anak kecil lagi. Pikirkanlah dengan baik. Sudahlah, aku berangkat dulu."

Eri berlalu begitu saja meninggalkan Sya sendiri. Sya masih memikirkan hal gila tentang Jovi. Bagaimana bisa dia jatuh cinta begitu saja.

Pikiran Sya masih saja terpaku pada Jovi. Di jalan, di bus bahkan saat Sya sudah berada di restoran. Pikiran Sya itu membuatnya dalam masalah kali ini. Kembali dia menabrak orang yang kemarin di tabraknya.

"Maaf," ucap Sya.

Arda menatap dengan tatapan tajam pada Sya, "Sebenarnya kau punya mata atau tidak?"

"Maaf, Pak. Saya tidak sengaja."

"Kali ini aku tidak akan membiarkan dirimu," ucap Arda dengan penuh penekanan.

Sya hanya bisa menunduk. Kali ini, dia tidak akan selamat. Baru kemarin dia diperingati, kini masalah itu sudah datang lagi. Orang yang sama dan kesalahan yang sama. Semua ini karena cinta anehnya yang tiba-tiba datang.

"Arda. Kita akan terlambat nanti."

Mendengar suara itu Sya langsung mendongakkan kepalanya. Ternyata benar, dia adalah Jovi. Pria yang ditemuinya di taman.

"Jovi," panggil Sya.

Jovi menoleh dan langsung tersenyum melihat Sya.

"Kau kenal pelayan ini? sejak kapan seleramu berubah menjadi seorang pelayan."

Mendengar semua itu Sya merasa sangat direndahkan. Hanya karena pekerjaannya menjadi seorang pelayan.

"Maafkan temanku ini Sya. Kau bisa kerja lagi, aku akan membawanya pergi," kata Jovi sembari menarik tangan Arda dengan keras.

Sya hanya mengangguk. Dia merasa sudah terselamatkan dengan adanya Jovi. Kali ini, Sya merasa mantap dengan cintanya. Walau dia harus menjadi yang ke dua. Sya akan menerimanya.

"Syaheila," teriak manager saat melihat Sya sedang berdiri dengan senyuman anehnya.

Sya menoleh. Masalah apa lagi ini, pikir Sya.

"Kamu kesini untuk apa? apa untuk menatap para pelanggan?"

"Tidak, Pak."

"Kalau begitu kembalilah bekerja. Jangan hanya memandang para pelanggan."

"Baik, Pak."

Sya masuk ke dapur. Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Pesan itu dari Jovi, dia mengatakan akan menemui Sya saat pulang nanti. Pesan itu membuat Sya kembali bersemangat untuk bekerja. Rasa kesal karena manager langsung hilang begitu saja.

***

Mohon kritik dan sarannya. 😊😊

III

Malam sudah semakin larut. Sya masih saja berada di luar rumah. Dia sedang jalan-jalan dengan Jovi. Suasana malam yang indah membuat Sya melupakan semuanya.

Dering ponsel beberapa kali membuat Sya merasa kesal dan memutuskan untuk mematikannya. Eri lah yang menelfonya, dia sudah mencoba memberi tahu Sya jika tindakannya ini salah.

"Siapa?" tanya Jovi yang melihat Sya memasukan kembali ponselnya, "kau bisa mengangkatnya jika itu penting."

Sya mengulas senyum, "Tidak penting kok."

Sya sudah bertekad akan menyerahkan cintanya pada Jovi. Apapun yang akan terjadi, entah Jovi masih memiliki istri atau duda yang memiliki anak.

Alasanya karena Sya sudah jatuh cinta, ini juga tuntunan orang tuanya. Sya tidak ingin dijodohkan, hal itu sangat menakutkan baginya.

"Sya, Sya," panggil Jovi.

"Ya, ada apa?" tanya Sya.

"Kita pulang sekarang. Kasihan Sima, dia pasti sedang menungguku saat ini."

Sya hanya mengangguk. Mereka berjalan di bawah sinar bulan. Baru kali ini, Sya melihat sosok yang membuatnya langsung tertambat.

Tanpa diduga, Sya dan Jovi bertemu dengan Arda. Yang Sya tahu, Jovi adalah teman Arda. Jika seperti itu, Jovi juga bukanlah orang sembarangan.

"Kau disini?" tanya Jovi dengan tawa.

Terlihat jika Arda sedang cemas, "Aku mencarimu. Sima masuk rumah sakit dan kau sibuk dengan gadis miskin ini."

Mata Jovi membulat mendengar apa yang dituturkan oleh Arda. Sementara Sya hanya bisa menatap kaget pada Arda.

"Kau, kau sudah menjauhkan seorang pria dari keluarganya. Apa kau semurahan ini?" teriak Arda.

Beberapa orang lewat bahkan sampai menatap kearah mereka.

"Aku tidak tahu," ucap Sya.

"Tidak usah berlaga lugu. Kau mendekati Jovi karena hartanya bukan."

Jovi merasa tidak senang jika Sya di rendahkan. Walaupun begitu, saat ini Sima lebih membutuhkannya dari pada Sya.

"Da, tolong antar Sya ke rumahnya. Aku akan langsung ke rumah sakit."

Jovi berlalu, sementara Sya masih diam di hadapan Arda. Kali ini, Arda benar-benar merasa kesal dengan apa yang sudah dilakukan Jovi. Dia tega meninggalkan Sima demi seorang wanita.

"Kau perlu uang berapa. Aku akan berikan semuanya, tapi tinggalkanlah Jovi."

Sya tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia kira, hanya cinta yang tidak direstui saja seperti ini. Kenyataanya, ada juga teman yang ingin melakukan hal ini demi temannya.

"Ini," Arda memberikan sebuah cek, "kau bisa menuliskan sendiri nominalnya. Setelah itu kau bisa pergi dari Jovi."

Dengan tangannya sendiri. Sya merobek cek itu dihadapan Arda. Dia menatap Arda dengan tatapan tajam.

"Aku tidak semurahan itu. Apa kau kira wanita hanya memerlukan uang? apa kau kira setiap wanita miskin hanya mencintai karena uang?"

Arda hanya diam.

"Jika memang Sima masuk ke rumah sakit. Apa itu salahku? Jovi yang membawaku pergi. Bukan aku yang meminta."

Tidak ada jawaban apapun dari Arda. Merasa dirinya semakin terhina karena diamnya Arda. Sya melemparkan tas belanjaannya tadi sembari berkata, "Kembalikan semua ini pada Jovi."

Setelah itu, Sya menghentikan sebuah taxsi di hadapannya. Dengan derai air mata Sya pergi dari sana. Baru kali ini dia jatuh cinta, dan cobaan itu membuatnya terluka. Entah siapa yang salah dalam hal ini.

***

Eri masih menunggu pulangnya Sya dan Jovi. Dia sangat khawatir pada temannya itu. Cinta memang buta, tapi bagi Eri. Mencintai pria yang sudah menjadi milik orang lain adalah salah. Tidak seharusnya Sya melakukan hal itu, apa lagi dihubungan itu sudah ada buah cinta.

Tuk tuk tuk. Eri menoleh ke lorong rumah itu, Sya berjalan dengan gontai. Make upnya sudah acak-acakan karena air mata. Eri mendekat dan langsung membantu Sya berjalan.

"Eri, apa aku benar-benar salah?" tanya Sya sembari menatap kosong.

Eri hanya menganggukan kepalanya.

"Apa karena aku miskin. Aku tidak boleh mencintai pria kaya?"

Kali ini Eri hanya diam.

"Kenapa ada pria yang selalu merendahkan wanita. Apa aku kurang cantik, apa karena aku terlalu miskin."

Merasa ada yang salah pada Sya. Eri mendudukannya di sofa. Lalu bertanya, "Siapa yang sudah melakukan hal ini padamu?" tanya Eri, "apa Jovi?"

Sya menggeleng. Masih dengan tatapan kosong, Sya menceritakan semuanya. Sesekali dia beristirahat untuk mengambil nafas, lalu kembali melanjutkan ceritanya itu.

"Bukankah Arda sudah salah?"

Eri duduk di samping temannya itu, "Arda benar. Tidak seharusnya kamu melakukan hal ini. Kau bisa mencari pria lain yang masih lajang. Bukan suami orang."

"Kau ternyata sama saja dengan Arda."

"Sya. Bukan begitu,..."

"Baru kali ini aku merasa bahagia bersama seorang pria. Hanya saja tidak ada yang setuju denganku."

"Sya."

"Aku lelah. Ingin istirahat."

Sya berjalan masuk ke dalam kamarnya. Semenjak bertemu dengan Jovi. Keadaan Sya benar-benar berbeda. Sya lebih senang membaca pesan dari pada membaca buku lagi.

Bahkan, Sya lebih sering bermain dengan ponsel dari pada bersama Eri. Hal itu juga membuat Eri merasa ada yang salah. Bahkan, Eri sempat berfikir jika Sya terkena guna-guna oleh Jovi.

***

Sya sudah pergi ke restoran sejak pagi tadi. Hanya ada Eri di rumah, hari ini Eri memang meliburkan diri karena akan kembali ke rumah orang tuanya.

Saat Eri sudah siap pergi. Dia terhenti karena melihat seorang pria berpakaian rapi berdiri di depan rumah Eri dan Sya. Tanpa dipikir lagi, Eri mendekat ke arah pria itu.

"Apa kau yang bernama Jovi?" tanya Eri langsung.

Pria itu menoleh, benar saja jika dia adalah Jovi. Di tangannya ada berbagai macam tas belanja.

"Kenapa kau datang kesini? apa kau mau menemui Sya?"

"Benar. Aku ingin minta maaf padanya."

"Tidak perlu. Lebih baik kau tidak kesini dan tidak menemuinya lagi. Kau lelaki beristri. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada wanita yang belum tahu apa itu cinta."

Jovi akan menjawab, tapi tidak digubris oleh Eri.

"Dia memang wanita yang sudah waktunya menikah. Hanya saja, dia belum pernah berpacaran sebelumnya. Aku mohon, jangan buat dia berharap terlalu jauh."

Akhirnya Jovi hanya bisa mengangguk. Dia menyodorkan tas belanja itu pada Eri dan mengatakan, "Berikan ini padanya."

Eri tidak menerimanya, "Sudah aku bilang. Jangan berikan harapan padanya."

Jovi mengangguk mengerti. Dia masuk ke dalam mobil dengan semua tas itu. Jika Sya tahu tentang hal ini. Dia pasti akan marah dan kesal pada Eri. Walaupun begitu, Eri tidak ingin teman yang dia anggap adik terluka.

***

Sya hanya bisa diam saat melihat apa yang dilakukan Eri. Mungkin, apa yang dilakukan Eri benar. Tidak seharusnya Sya mencintai pria beristri. Kini, Sya kembali menutup hatinya dengan luka di hati.

Dering ponsel Sya membuat Eri menoleh. Eri tidak tahu jika sejak tadi Sya masih di rumah dan mengamati apa yang dia lakukan.

"Kau... apa kau mendengar semuanya?" tanya Eri yang terlihat cemas.

Sya tersenyum, "Tidak apa. Aku berangkat kerja dulu. Lagi pula, ibu telfon."

Sya menjauh dari Eri. Dia mengangkat telfon itu.

"Ya, Bu."

"Apa kau baik-baik saja?" tanya ibunya.

"Ya, Bu."

Sya hanya bisa menutupi keluh kesahnya. Karena tidak ingin berharap terlalu jauh pada Jovi. Sya memutuskan untuk mengatakan apa yang dia pikirkan pada ibunya.

"Bu, apa kau masih ingin menjodohkanku?" tanya Sya.

Ibunya merasa kaget dengan apa yang Sya katakan.

"Apa ada masalah?" tanya ibunya.

"Tidak Ibu. Aku hanya merasa sudah terlalu lama sendiri. Temanku sudah banyak yang menikah, bahkan punya anak."

"Lalu?"

"Jika Ibu ingin aku cepat memiliki pasangan. Aku akan menerima perjodohan yang Ibu buat."

Rasa gembira di hati Ibunya tidak bisa digambarkan lagi. Hal ini yang sudah lama ditunggu oleh Ibu Sya.

"Sudah dulu ya, Bu. Aku harus bekerja."

"Baik. Jaga diri, nanti ibu kabari lagi."

"Baik, Bu."

Sya memutuskan telfonya. Dia meletakan ponselnya kembali ke dalam saku. Lalu, dia menghela nafas panjang. Apa yang dia pilih saat ini mungkin sebuah jalan terbaik dalam hidupnya.

***

Mohon kritik dan sarannya ya. 😊😊

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!