NovelToon NovelToon

The Wiz

PROLOG

Diantara reruntuhan bangunan yang telah rata dengan tanah, serta tanah yang terbelah dan mencuat keluar, terlihat dengan jelas tubuh-tubuh manusia tidak bernyawa yang tergeletak di atas tanah. Tergeletak begitu saja, dengan pakaian yang telah berlumuran darah kering. Mereka, adalah korban yang jatuh ketika perang terjadi. Ya, perang yang baru saja terjadi antara dua klan terbesar serta terkuat di dunia. Namun, perang itu belum juga selesai. Tidak, tidak akan dikatakan selesai meskipun sudah begitu banyak korban yang jatuh. Bila, sesuatu yang menjadi alasan kedua klan itu berperang, belum ada yang mendapatkannya.

Sesuatu itu, sebenarnya hanyalah sebuah batu berjenis Opal. Tidak, sebenarnya bukan batu Opal yang memang memiliki corak indah biasa. Namun, ada kisah yang diyakini, menjadi pengantar keistimewaan batu itu. Dikatakan bahwa, batu itu adalah pemberian Dewa sebagai hadiah kepada pemimpin dunia sebelumnya. Diberikan secara langsung ketika pemimpin dunia berhasil mendamaikan seluruh umat manusia. Namun, tentunya bukan hanya karena kisah itu saja, batu Opal menjadi alasan peperangan terbesar saat ini.

Satu lagi sebuah kisah, yang mengantar kisah batu Opal itu. Yakni, banyak orang yang sangat meyakini bila kekuatan yang batu Opal miliki begitu besar. Seseorang yang memiliki batu tersebut, dianggap akan memiliki kekuatan setara dengan Dewa. Hal yang sebenarnya benar-benar mustahil dimiliki oleh seorang manusia. Namun, entah dari siapa yang pertama berkata, bahwa kekuatan yang akan didapatkan ketika memiliki batu itu, melebihi kekuatan Dewa itu sendiri. Ya, kekuatan tidak terbatas yang bisa dikatakan, dapat mengalahkan seorang Dewa Agung.

Sebenarnya, bukan antara dua klan ini saja peperangan terjadi. Setelah sebelumnya, mereka memaksa para klan kecil untuk melupakan keistimewaan batu itu, memaksa mereka agar tidak berharap lebih bisa mendapatkan batu yang sebenarnya akan didapatkan siapapun tanpa bisa diduga. Setelahnya, kedua klan justru bertarung. Sudah dapat diduga, ada salah satu pihak atau memang kedua belah pihak yang sangat egois dan rakus. Itu hal yang wajar.

Dan kini, batu Opal itu, tanpa ada yang dapat menduga telah jatuh ke tangan satu-satunya gadis yang selamat dari klan berjubah putih. Wajah teduhnya itu, menatap tidak percaya pada benda yang ada di genggamannya. Meskipun masih terkejut dengan takdir yang ia dapatkan, namun ia tahu bila nyawanya dalam ancaman besar. Ya, tinggal dirinya yang tersisa di klan jubah putih. Sisa orang yang hidup ialah musuhnya. Yang kapan saja bisa membunuh dirinya.

Gadis bernama Aquamarine itu mengembuskan napas secara perlahan. Ia tidak boleh terlalu menunjukkan raut terkejutnya. Meskipun dirinya begitu bimbang, dengan nasib batu di tangannya ini bila dirinya benar-benar dibunuh. Ia bukan pesimis. Namun, dirinya tahu benar bagaimana sifat orang-orang yang menjadi lawannya kali ini. Mereka terlalu kejam, tanpa mau mendengarkan kata permohonan dari lawannya. Itu yang Aquamarine pelajari tentang sikap mereka selama peperangan kali ini.

Digenggamnya dengan erat, batu yang tiba-tiba muncul di tangan kanannya. Sedangkan di tangan kirinya, ia menggenggam erat sebuah pedang berhias batu safir. Kekuatan elemen petir yang ia miliki, mengalir di pedang itu semakin kuat. Seharusnya, ia bisa mengulur waktu sebelum menemukan cara terbaik untuk menyingkirkan batu suci ini dari hadapan lawannya. Dirinya tidak akan pernah menerima jika nantinya batu suci ini jatuh ke tangan mereka. Karena sudah dapat dipastikan, dunia akan semakin hancur.

Namun, tampaknya ada seseorang yang mengetahui keberadaan batu itu di tangannya. Dengan seringai yang begitu menjijikan, pria bernama Asdus itu menatap penuh minat pada tangan kanan Aquamarine. Ia sedikit bersyukur, seberkas cahaya tiba-tiba terlihat samar oleh matanya di tangan gadis itu.

"Pasanganku," Asdus mulai angkat bicara, "berikan benda di tangan kananmu itu kepadaku. Kita bisa menguasai dunia bersama."

Aquamarine membuang pandangannya. Sangat ia sesali akan sebuah takdir yang menjadikan dirinya sebagai Mate seorang pemuda gila kekuasaan bernama Asdus. Tidak akan pernah dirinya menerima pria itu, walaupun dalam keadaan yang berbeda sekalipun. Tidak. Ia tidak akan pernah sudi. Asdus, di matanya sudah sangat menjijikan.

"Tidak akan," ujar Aquamarine dengan nada datar. Bahkan, tatapan matanya begitu tajam, seolah mengatakan bila ucapannya mutlak. Asdus mendengus. Ia menatap remeh gadis yang berdiri 8 meter di hadapannya.

"Kau sungguh gadis yang pelit. Berikan saja, agar kematian datang menghampiri dirimu dengan ramah." Tawa beberapa orang yang satu klan dengan Asdus terdengar. Mereka tidak mempedulikan atas apa yang telah terjadi sebelumnya. Tidak ada kesedihan di mata mereka. Hanya ada ambisi untuk menjadi yang terkuat di alam semesta. Aquamarine mengeratkan genggamannya pada batu Opal itu. Ia tidak akan takut pada kematian. Sedetik kemudian, ia tiba-tiba teringat pada sebuah mantera yang ia pelajari beberapa bulan yang lalu.

Mantera yang ia yakin akan sangat berguna untuk sekarang.

Perlahan, Aquamarine memejamkan kedua matanya dengan mulut yang membisikkan sebuah mantera, "inter tenebrae, in silentio tacere. Ubi ponte dourum siderum indicant. Movere quid ego in hac vita. Diebus usque dum. Usque ad quod nemo possit facere dampnum de foris."

Kedua mata Aquamarine kembali terbuka. Kini, ia tinggal menunggu batu di genggamannya masuk ke dalam tubuhnya. Hanya itu satu-satunya cara ia pikirkan terbaik untuk melindungi dunia dari kehancuran yang mengerikan.

Sisa orang-orang di klan berbaju hitam— yang satu klan dengan Asdus —mulai kembali bergerak perlahan untuk mengepung dirinya. Sekali lagi, Aquamarine sudah menduganya. Sebagai seseorang yang dilatih secara khusus untuk menjadi pelindung Petinggi Istana, hal seperti ini bukanlah hal baru yang dialaminya. Meskipun, dirinya sedikit pesimis dengan hasil akhirnya. Karena dari segi jumlah, ia akan kalah telak.

Dari 30.000 orang yang bertarung, hanya tersisa 20 orang— termasuk Aquamarine —yang masih hidup.

"Berikan saja benda itu dengan cepat. Atau, kau mau kematian dirimu menjadi tragis? Padahal, kisah kematianmu bisa ditulis dengan indah di buku sejarah nantinya." Asdus masih terus mendesak dirinya. Namun, ia juga sama seperti Asdus yang keras kepala. Ia tidak akan memberikan baru yang sebentar lagi akan berada di tubuhnya.

Sial, ini terlalu lama, batin Aquamarine. Terpaksa, ia harus melakukan hal gila agar semuanya berjalan dengan lebih cepat.

"Silahkan saja," Aquamarine menampilkan seringai di wajahnya, "jika kau memang bisa mengambil batu suci ini dari tubuhku," ujarnya dengan nada menantang. Beberapa kawan Asdus, membuka matanya lebar karena tidak percaya. Siapa yang akan menyangka, bila gadis itulah yang mendapatkan batu suci itu. Meski begitu, alasan mereka untuk membunuh Aquamarine semakin kuat. Demi mendapatkan batu Opal itu.

Asdus mendengus tidak suka. Ia melirik tajam ke arah kawanannya, namun tidak ada seorang pun yang menggubris. Belum sempat dirinya membalas ucapan Aquamarine, dirinya dikejutkan dengan tingkah gadis itu. Di mana, kini Aquamarine memasukkan batu Opal itu ke dalam mulutnya, dan menelannya bulat-bulat.

"Cepat panah dia! Jangan sampai batu itu masuk semakin dalam ke perutnya!"

Glek.

Jleb!

Di waktu yang hampir bersamaan, akhirnya Aquamarine dapat menelan batu itu secara penuh tanpa mengeluarkannya lagi. Meskipun, dirinya tidak diizinkan bernapas. Karena detik berikutnya, puluhan panah yang dihasilkan dari elemen api serta kayu, menancap ke tubuhnya, di hampir seluruh tubuhnya. Panah-panah itu bahkan menembus perutnya, membuat Aquamarine menjerit kesakitan. Dan setelahnya, batu itu benar-benar sudah masuk ke dalam tubuhnya.

Keheningan terjadi, ketika Aquamarine hanya jatuh terduduk. Gadis itu terkekeh, meskipun panah masih menancap di tubuhnya yang mulai mengeluarkan darah. "Kalian! TIDAK AKAN ADA SEORANG PUN YANG BISA MENGAMBIL BATU INI DARI DIRIKU!!"

Jleb.

Sebuah panah menghentikan Aquamarine untuk selamanya. Perlahan, kepala Asdus bergerak untuk mencari asal seseorang yang baru saja melayangkan satu anak panah ke arah kepala Aquamarine. Membuat gadis itu, benar-benar kehilangan nyawa.

Chapter 1

Camoline duduk bersandar di bawah pohon Apel yang tengah berbuah dengan lebat. Disimpannya sebuah buku bersampul kulit cokelat yang ia temukan kemarin malam. Sebenarnya, bukan secara kebetulan, buku di pangkuannya ini ia temukan. Karena sebenarnya, buku ini adalah salah satu koleksi milik Ayahnya yang merupakan Profesor Tinggi di Perpustakaan Pusat Kota. Tempat di mana ribuan bahkan lebih buku berada di sana. Dan untuk mendapatkan posisi seperti Ayahnya adalah hal tersulit. Karena, tidak semua orang mampu mendapatkan gelar itu.

Dan buku ini, adalah sebuah buku yang berada di ruang kerja milik Ayahnya di rumah. Ruangannya bisa dikatakan Perpustakaan Pusat Kota dalam versi yang lebih kecil. Hampir semua buku di ruangan Ayahnya telah Camoline baca. Namun, secara diam-diam. Ia masih merasa canggung bila meminta izin untuk meminjam buku koleksi Ayahnya itu secara langsung. Termasuk dengan buku di pangkuannya saat ini. Buku yang menjelaskan tentang cara untuk mengetahui elemen dasar yang dimiliki seseorang tanpa dibantu oleh orang lain. Camoline sangat penasaran semenjak ia melihat sampul buku ini saja.

Ia penasaran dengan elemen yang ia miliki. Walaupun Ayahnya memiliki elemen cahaya, namun Camoline tidak pernah merasakan bila kekuatannya akan serupa dengan milik Ayahnya. Walaupun jarang, namun bukan hal yang aneh lagi bila seorang anak memiliki elemen yang berbeda jauh dengan milik kedua orang tuanya. Karena itulah, buku ini akan benar-benar menjawab pertanyaan yang sangat mengganggunya selama sepekan ini.

Dibukanya dengan perlahan, halaman per halaman buku itu. Hingga, tangannya berhenti memindahkan halaman ketika melihat sebuah mantera yang begitu asing di matanya. Ia benar-benar baru melihat mantera di buku ini. Di bacanya dengan baik halaman tersebut, tentang langkah-langkah mengetahui elemen yang dimiliki secara cepat dan cukup aman untuk seorang pemula.

Setelah hapal di luar kepala, Camoline menyingkirkan buku itu dari pangkuannya. Ia menegakkan tubuhnya dengan benar, lalu menjernihkan pikirannya. Ia sudah menghapal sebisanya tentang mantera di halaman itu. Berharap, agar ia tidak melakukan kesalahan apapun hari ini. Karena, itu akan mengerikan nantinya.

"Oscail an geata," gumam Camoline dengan mata yang terpejam erat. Mengembuskan napasnya perlahan, Camoline mulai membuka kedua matanya. Bersamaan dengan itu, dirinya dikagetkan dengan pergerakan sulur tanaman yang mulai membelit dirinya. Camoline tetap berusaha untuk terus tenang, tidak ingin mengakibatkan kekacauan besar di kebun apel milik orang lain. Hingga, sulur tanaman itu berhenti bergerak setelah membentuk sebuah perisai di hadapan Camoline. Rupanya, sulur tanaman itu hanya mengikat tangannya dengan lemah.

Senyuman gadis berambut hitam itu terbit, kala dirinya menyadari, bila elemen yang ia kuasai ialah tanaman. Perlahan, ia mulai menggerakkan tangannya. Dan secara mengejutkan, tanaman itu bergerak sesuai gerakan tangannya. Membuat senyuman di wajah Camoline semakin lebar. Sangat tidak menyangka, elemen yang ia miliki saat ini. Walaupun termasuk ke dalam kategori elemen yang lemah, Camoline tidak mempedulikannya. Yang terpenting, dirinya sangat senang setelah mengetahui hal ini.

Kembali fokus pada kekuatan yang baru sedikit diketahuinya, Camoline menyingkirkan semua tanaman yang ada di hadapannya. Ia tidak yakin, darimana sulur tanaman ini berasal. Karenanya, ia hanya menyingkirkan tanaman merambat itu dari sekitarnya begitu saja. Setelahnya, Camoline bangkit dari duduknya sambil membawa buku bersampul kulit itu. Ditepuknya pelan gaun berwarna cokelat yang ia gunakan itu, sebelum berjalan keluar dari perkebunan apel milik Bibi Joarn.

Karena terlalu senang, Camoline sampai melupakan alasan utama kenapa dirinya datang ke tempat ini. Ia benar-benar lupa. Buku yang ada di pelukannya ini, terlalu menggoda untuk segera di baca. Yang mana berhasil membuatnya lupa akan sesuatu hal. Dalam hati, Camoline berharap bila apa yang ia lupakan, bukanlah hal yang sangat penting.

Perkebunan Apel milik Bibi Joarn cukup luas. Luasnya, bahkan sampai mendekati hutan perbatasan. Di perkebunan ini, bukan hanya ditemukan apel-apel merah segar yang tumbuh di sepanjang mata memandang. Namun juga, beberapa peri tanaman dan hewan yang akan terlihat sibuk di sekitar pohon. Bukan Bibi Joarn yang mempekerjakan para peri kecil itu. Melainkan, para peri itu yang memang selalu tiba-tiba muncul di tempat yang dianggap mereka tepat untuk tinggal.

Sesekali, Camoline tersenyum ketika beberapa dari mereka terbang di sekitarnya. Karena sering berkunjung, para peri itu menjadi tidak asing lagi dengan kehadiran Camoline. Bisa dikatakan, hanya mencium aromanya saja, mereka dapat mengenali bila itu adalah Camoline.

Setelah berjalan kaki menyusuri jalan luar satu arah, akhirnya Camoline sampai di depan jalan keluar-masuk perkebunan ini. Langkah kakinya terhenti ketika melihat Bibi Joarn —yang membelakangi dirinya— tengah mengobrol dengan seorang pemuda berpakaian bangsawan. Langkah Camoline terhenti, tepat di belakang Bibi Joarn. Ia menatap lekat ke arah pakaian yang digunakan pria berambut merah itu. Tidak asing di mata Camoline, namun dirinya masih meragukan ingatannya.

Bibi Joarn menoleh ke belakangnya, setelah menyadari bila lawan bicaranya sesekali menoleh ke arah belakangnya. Dahinya mengerut, sebelum senyuman terbit di wajahnya. "Ah, Camoline. Kau sudah bermain di kebunku?" tanya Bibi Joarn. Yang tidak dapat Camoline pastikan, apakah Bibi Joarn tengah menyindirnya atau tidak. Terkadang, Bibi Joarn memang sangat sulit untuk ditebak.

"Begitulah," jawab Camoline seadanya. Kembali, matanya menatap ke arah pakaian si pemuda itu sesekali. Terlihat jelas dirinya penasaran.

"Perkenalkan, beliau adalah Pangeran Londer, dari klan Chromos. Tuan, perkenalkan dia adalah Camoline Laufie, keponakanku," ujar Bibi Joarn. Kedua orang itu langsung membungkuk dengan hormat.

"Senang bertemu dengan Anda, nona Camoline."

"Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Anda, Pangeran Londer."

Bibi Joarn tersenyum puas. Sebelum, kerutan di dahinya mendalam ketika menyadari sebuah buku di pelukan Camoline. Ia benar-benar baru menyadarinya. Kembali, ia menatap Camoline penuh tanya. Ditatap demikian, membuat Camoline menjadi salah tingkah. Ia khawatir, akan sesuatu hal yang tidak dapat ia ketahui.

"Itu... Buku darimana?" Camoline mengedipkan sekali matanya. Ia sangat bersyukur bila Bibi Joarn tidak menyadari bahwa buku di tangannya termasuk koleksi milik Ayahnya.

"Aku meminjamnya dari seseorang. Bibi, terima kasih sudah mengizinkanku ke perkebunan Apel lagi. Aku akan pulang lebih cepat hari ini," ujar Camoline dengan senyuman. Bibi Joarn hanya mengangguk saja. Ia membiarkan Camoline berjalan meninggalkan area perkebunan milik dirinya.

Camoline melangkah dengan ringan. Kabar tentang kekuatannya tadi, ia ingin segera memberitahu Ayahnya. Bisa saja, dirinya memberitahu Bibi Joarn tadi. Namun, ia merasa kurang yakin dengan hal itu. Karenanya, ia tidak mengatakan apapun tentang apa yang terjadi tadi di perkebunan. Yah, walaupun Bibi Joarn pasti akan bertanya bila melihat setumpuk tanaman yang tiba-tiba mengganggu kebersihan kebunnya.

Setelah beberapa meter jauh dari Bibi Joarn dan Londer, tubuh Camoline sedikit berputar untuk menatap kembali ke arah mereka. Lebih tepatnya ke arah Londer. Di saat yang bersamaan, pemuda itu juga rupanya tengah memperhatikan dirinya. Hal yang membuat senyuman Camoline terbit walau hanya tipis. Satu hal yang membuat Camoline penasaran pada sosok pemuda itu ialah, aroma yang keluar dari tubuh pria itu.

Matcha?

Revisi : 14 - 03 - 2020

Chapter 2 : Topaz Academy (2)

Gunung Topaz yang berwarna biru kristal itu, terlihat seperti pegunungan berlian bila terkena sinar mentari. Meski begitu indah, namun jalan menuju puncaknya sangatlah berbahaya. Dikatakan bila hanya beberapa orang saja yang mampu berjalan menuju puncak Gunung Topaz dengan selamat. Dan kembali lagi ke bawah dengan keadaan tidak lecet sedikitpun. Dan akademi Topaz, bangunannya sendiri hampir menjadi bagian dari gunung suci itu. Ada sebuah bagian dari akademi, di mana langsung terhubung dengan terowongan gunung Topaz. Yakni ruang Kepala sekolah.

Meskipun hanya satu bagian saja yang menyatu dengan gunung Topaz, namun dari aula saja sudah dapat terasa bila bangunan sekolah benar-benar mendeskripsikan tentang gunung suci itu. Di aula yang sangat luas, di mana bagian atapnya yang terbuat dari kaca, langsung menampilkan kaki gunung Topaz yang berkilau. Tidak sedikit orang yang berdecak kagum pada keindahan gunung suci itu. Mengingat, untuk melihat sedekat ini dengan gunung Topaz haruslah mendapatkan izin dari akademi ini. Sekolah yang juga menjadi pelindung gunung suci.

"Baiklah-baiklah semua, perhatikan ke arahku dengan benar."

Semua langsung mengalihkan pandangannya ke arah Barcus yang ada di podium, bersama beberapa guru lainnya. Jubah birunya bergerak ketika tangannya tidak kunjung diam. Ia memandangi para peserta yang lolos dengan tatapan kesal. Karena masih saja ada orang yang belum menuruti perintahnya.

"Baiklah. Aku apresiasi untuk kalian yang melaksanakan ucapanku barusan dengan cepat." Barcus menghela napas. Ia mulai mengeluarkan sebuah gulungan dari tangannya dengan sihir yang ia kuasai. Salah satu sihir dasar di tingkat Mage. Membuka gulungan kertas itu perlahan, Barcus mendengus keras membuat para pengajar yang duduk di belakangnya termasuk Kepala sekolah, mengerutkan dahi mereka bingung.

"Sebenarnya, kebanyakan dari kalian mendapat keberuntungan bisa menjadi bagian dari akademi ini," Barcus menggulung kembali kertas itu lalu menghilang dengan sendirinya, "karena untuk bisa membuat bola kristal menunjukkan warna, haruslah berada di tingkat Teksis level 21. Itu level paling rendah untuk murid di akademi ini," tutur Barcus dengan suaranya yang begitu lantang. Para pendaftar yang lolos langsung menundukkan kepala. Sebagian dari mereka merasa tersindir dengan ucapan Barcus barusan. Ini sama seperti, Barcus memberitahu bila pemilik level di bawah 21 tidak begitu diharapkan kehadirannya.

Zelden berdehem dengan suara keras yang membuatnya langsung mendapat perhatian penuh dari Barcus. "Ada apa, Kepala sekolah?" tanya guru itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Semua guru yang duduk di sebelah Zelden menggeleng pelan dengan kepala tertunduk ataupun tersenyum masam. Sedangkan Zelden tidak menampilkan ekspresi apapun. Bibirnya terkunci dengan rapat.

"Baiklah, bila tidak ada yang ingin kau katakan, aku akan melanjutkan ini." Barcus kembali menatap para pendaftar dengan raut tegas.

"Sebelum kalian kubiarkan keluar dari aula ini, ada satu hal yang ingin aku sampaikan mengenai akademi Topaz ini. Hal penting yang harus kalian ingat sampai mati." Perkataan Barcus benar-benar berhasil membuat bulu kuduk para pendaftar yang lolos berdiri. Jika sudah menyangkut tentang kematian, maka ini bukan hal yang baik.

"Dalam akademi ini, tingkat kekuatan kalian sangat berpengaruh dalam kegiatan sehari-hari. Maka siapkan mental kalian mulai detik ini. Bila ada yang merasa tidak akan sanggup, kalian tahu di mana letak pintu keluarnya," ujar Barcus datar. Ia mengibaskan tangannya pelan, seolah sudah malas dengan apa yang seharusnya ia katakan pada para pendaftar yang lolos itu.

"Aku sudah selesai bicara. Kalian boleh pergi dari tempat ini," ujarnya lagi ketika tubuh para remaja itu menegang. Ia berjalan acuh melewati para guru yang lebih senior darinya lalu melangkah meninggalkan aula begitu saja. Zelden menghela napas panjang. Sejak awal, memang bukan tindakan yang benar bila menyuruh Barcus bicara di depan para pendaftar yang lolos.

Zelden yang tiba-tiba berdiri, membuat semua orang menutup rapat mulutnya untuk memperhatikan dengan baik Kepala Sekolah Topaz itu.

"Hiraukan saja apapun yang Barcus katakan sebelumnya. Kalian bisa pergi ke gedung asrama untuk pembagian kamar," ujar Zelden. Ia langsung melangkahkan kakinya menuruni podium diikuti oleh semua guru. Mereka berjalan keluar diikuti tatapan penasaran dari para remaja itu.

Meskipun penerimaan murid baru di sekolah ini lebih cepat 4 bulan daripada biasanya, namun Zelden tidak pernah menyangka akan mendapatkan cukup banyak murid dengan kekuatan di atas rata-rata. Ya, setidaknya sudah cukup meski dominan pendaftar yang lolos memiliki tingkat level yang masih sangat rendah.

"Kepala sekolah. Lalu, bagaimana dengan sistem pembelajarannya?" Zelden menoleh ke arah Cheya dengan senyuman yang terukir di wajah keriputnya.

"Jangan pikirkan itu. Tetap lakukan hal yang serupa seperti sebelum-sebelumnya saja untuk menjadikan mereka orang-orang terkuat." Cheya mengangguk mengerti. Ia memelankan langkahnya hingga kembali berjalan setelah satu langkah berada di belakang Zelden.

Sebenarnya bukan hanya Cheya saja yang ragu, namun hampir semua guru. Mereka sudah mendapatkan daftar para pendaftar yang lolos seleksi itu sebelumnya. Dan betapa terkejutnya mereka ketika mendapati jumlah murid dengan level di bawah Teksis cukup banyak. Ini seperti ada sesuatu yang salah dengan bola kristal itu.

"Tidak ada yang salah dengan bola kristal itu." Kepala para guru yang berjalan di belakang Zelden langsung terangkat dengan dahi mengerut. Mendengar hal barusan membuat mereka merasa bila Zelden bisa membaca isi pikiran mereka.

Zelden kembali bicara, "mungkin ini memang takdir dari langit untuk sekolah kita. Lagipula, firasat buruk selalu menghantui diriku akhir-akhir ini." Setelahnya, Zelden kembali melangkah tanpa menyadari para guru yang berhenti untuk mencerna ucapannya itu.

Firasat yang Zelden rasakan bukanlah firasat biasa. Itu adalah salah satu anugerah yang Zelden dapatkan sebagai Kepala Sekolah ini. Bila Zelden mengatakan hal demikian, maka sudah jelas akan ada hal buruk yang terjadi. Mungkin ini juga yang kristal suci itu rasakan, sehingga bisa meloloskan para pendaftar yang levelnya masih sangat jauh dari kata siap. Bukan para pendaftar yang memiliki kekuatan yang bisa digunakan untuk bertempur nantinya.

"Aku masih saja bingung akan sesuatu hal," semua para guru menoleh ke arah Azura, "bagaimana kriteria yang pantas menurut bola kristal suci itu? Bukankah kalian merasakan hal yang sama denganku? Tadi saja, ada pendaftar yang berada di level 27, namun gagal membuat bola itu bersinar," jelas Azura. Semua guru kembali bungkam.

"Hati yang suci? Atau..."

"Aku tidak yakin, Guru Delwana. Sangat sulit untuk menebak benda mati terutama yang suci itu. Hanya Langit dan mungkin saja Kepala Sekolah yang mengetahuinya," ujar Pisces memotong. Semua guru kembali berjalan. Mereka masih saja memikirkan apa yang satu hari ini terjadi. Sangat sulit diterima logika, dengan hasil pendaftaran tahun ini. Mungkin memang benar, bola kristal itu tengah mencari sosok yang bisa diandalkan ketika firasat buruk Zelden menjadi nyata.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!