Mereka tidak saling mengenal dengan baik. Tapi, salah satunya tahu bagaimana cara menyakiti. Itulah mereka Hadrick Bouteress dan Sherina Dalletra.
Nama mereka tercatat di sekolah menengah atas yang sama sebagai murid. Tidak ada apapun yang membuat mereka terikat. Hanya sebatas kenalan nama dan tidak lebih.
Hadrick Bouteress adalah murid populer kala itu. Tidak ada yang tidak mengenal namanya, termasuk Sherina. Ia berasal dari keluarga terpandang, pemilik perusahaan bisnis properti dan real estate terbesar di negaranya dan terkenal di dunia, bahkan keluarga Bouteress juga memiliki beberapa yayasan sekolah elite yang salah satunya menjadi tempat keduanya menimba ilmu. Bouteress High School III.
Sedang, Sherina Dalletra adalah anak yatim piatu yang harus menerima takdir ditinggalkan kedua orang tuanya dalam sebuah tragedi yang menimpa keluarga kecil Dalletra. Sherina bahkan ikut nyaris terenggut nyawanya. Hidup sebatang kara sejak usia 7 tahun tidak membuatnya lemah, ia justru sering di juluki 'si gadis tangguh'. Sejak di tinggal orang tua, Sherina menetap di sebuah panti asuhan milik keluarga Jou yang salah satu anaknya menjadi sahabat baiknya. Namika Jou.
Namika Jou adalah anak bungsu dari 3 bersaudara dan dia satu-satunya anak perempuan di keluarga itu sekaligus gadis tomboy yang pemberani. Efendy Jou dan Naomi Lin selaku orang tuanya. Sandy Jou dan Youshi Jou, selaku kakak laki-laki pertama dan kedua. Keluarga Jou termasuk keluarga terpandang nan harmonis, pemilik perusahaan elektronik ternama. Mereka juga menerima Sherina menjadi bagian dari keluarga. Mereka menyayanginya layaknya keluarga sendiri.
_____________
Masa-masa indah di SMA harus segera di akhiri demi menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di saat itulah takdir yang rumit membelit keduanya.
Hadrick memiliki 3 sahabat. Alvin Jonson, Tagha Born, dan Charlie Lousent. Bersahabat sejak mereka masih duduk di taman kanak-kanak. Entah karena terlahir sebagai anak orang kaya atau karena dididik dengan kemewahan atau bahkan terlalu di manja membuat keempatnya memiliki sifat angkuh, sombong, semena-mena dan tak bertanggung jawab.
Mereka tahu, Sherina bukanlah berasal dari kalangan atas. Dia berhasil menjadi bagian BHS-III karena prestasinya yang mengagumkan. Sekolah mana yang mau menyia-nyiakan murid yang berharga. Tapi, disinilah kesalahan mereka.
Kesalahan karena melewati batas. Batas yang di langgar salah satu dari ke empatnya.
Tepat, dimalam pesta perayaan kelulusan. Seluruh angkatan yang akan menyematkan nama alumni di belakang nama mereka benar-benar menikmati pesta itu. Tidak ada yang di izinkan tidak hadir dan itu juga berlaku untuk gadis biasa seperti Sherina.
Gadis itu pergi bersama Namika. Dengan penampilan yang cukup memukau mereka yang memandang, terlepas dari penampilan biasanya sebelumnya. Karena itu, tak sedikitpun genggaman Namika lepas dari Sherina layaknya kekasih yang posesif. Menurutnya, Sherina itu gadis istimewa jadi butuh penjagaan. Di sisi lain keempat remaja tampan juga turut menikmati pesta itu.
Saat MC meminta Sherina selaku pemegang nilai tertinggi dan terbaik dari seluruh murid seangkatan dengannya untuk mempersembahkan sebuah lagu sebagai bentuk partisipasi atas perayaan kelulusan tersebut, saat itulah bisikan jahat mengema di telinga keempatnya.
Hingga, sebuah taruhan di jatuhkan bagi siapa yang dapat mendekati Sherina dan membuat sang bodyguard -Namika- lepas dari gadis itu. Mereka bertaruh dengan segala yang mereka punya.
Konyol bukan?!
Konyol memang!
Siapa sangka, benteng pertahanan seorang Sherina Dalletra begitu kokoh sehingga membuat harga diri seorang Hadrick Bouteress tercoreng. Remaja tampan itu gelap mata dan berniat mengambil langkah yang jauh lebih beresiko.
___________
Senyuman jahat penuh kemenangan dan kepuasan adalah bayangan yang paling berbekas di benak Sherina ketika ia terbangun dari tidurnya di sebuah ranjang besar dalam keadaan tanpa busana dan mendapati Hadrick yang sudah berpenampilan menawan tengah duduk dengan angkuhnya di sofa tak jauh dari ranjang sambil menyesap secangkir teh.
HANCUR! Itulah yang dirasa Sherina saat matanya mampu menafsirkan arti senyuman yang terpatri di wajah tampan teman sekolahnya yang sebenarnya lebih cocok di sebut kenalan dari sekolah yang sama. Belum lagi dengan rasa sakit di tubuhnya memperjelas segalanya.
Tak ada rasa bersalah juga tak ada rasa menyesal, yang ada hanya rasa kebanggaan diri karena sudah mampu menaklukkan gadis pemilik pertahanan yang kokoh itu. Padahal pada kenyataannya dia sama sekali tidak menaklukkannya.
Sherina terpuruk. Akan tetapi ketangguhannya lebih merajai dirinya membuatnya memilih untuk bertahan.
Seiring berjalannya waktu hal yang paling di takutkan terjadi. Benih yang di tumpahkan Hadrick di rahim Sherina tumbuh dengan baik. Membuat Sherina bertekat meminta pertanggung jawaban setelah berperang dengan pikirannya sendiri.
Penolakan, penghinaan, dan perlakuan kasar Hadrick membuat kehancuran Sherina bertambah berkali-kali lipat. Batinnya berperang antara benci dan ikhlas. Sakit! Rasa sakitnya sungguh tak dapat di jabarkan. Sherina terluka namun tak berdarah. Luka yang di torehkan cukup dalam dan pastinya takkan bisa dihilangkan seumur hidup dunia.
Sejak saat itu ikatan keduanya terputus entah untuk selamanya atau untuk sementara.
______________
Memilih untuk mempertahankan calon manusia yang akan menjadi teman hidupnya. Meninggalkan segalanya termasuk pendidikan perkuliahan yang sebelumnya sudah di rencana dan keluarga Jou yang sudah banyak membantu. Ia tak ingin kehadirannya yang kini menjadi asal dari segala hinaan merusak nama baik keluarga tersebut. Biarkan dia yang menanggung kesulitan itu sendiri.
Keluarga Jou tahu apa yang terjadi, khususnya Namika yang secara terang-terangan menunjukkan kebenciannya pada Hadrick karena telah merusak masa depan sahabat baiknya. Kebenciannya bertambah saat tahu Sherina menghilang bagai di telan bumi. Membuat dirinya mengutuk seorang Hadrick Bouteress.
_____________
Suka duka dilewati seorang diri di tempat yang baru meski duka yang di rasa lebih besar dari sukanya. Ia berusaha bertahan demi sang anak.
Di sinilah kisah sang putra yang lahir dari rahim Sherina setelah menpertaruhkan nyawanya dimulai. Pangeran tampan duplikat ayah biologisnya meski pesona dan auranya berkali-kali lipat dari sang ayah, sangat berbeda malah. Lebih condong ke ibunya.
Dialah... Shienoll Dalletra.
Jantung kehidupan dan kebahagiaan Sherina.
Sepasang kaki kecil berjalan dengan mengendap-endap, cukup pelan agar tak menimbulkan suara. Di hadapannya berdiri sesosok wanita muda membelakanginya.
Wanita yang berjasa dalam hidupnya.
Rambut pendeknya di ikat seadanya di bantu sapu tangan yang di lipat segitiga untuk di jadikan bando dengan kedua ujung yang di ikat simpul. Baju longgar lengan panjang berwarna kuning pucat yang di gulung hingga siku, terhalang apron/celemek berwarna ungu lavender di bagian depannya. Ia juga mengenakan celana kulot gantung berwarna hijau botol di padukan dengan kaos kaki putih pendek beralaskan sandal rumah.
Wanita itu cukup serius mengerjakan pekerjaannya di dapur rumahnya yang sedang mencampur adonan kue di dalam wadah hingga tidak menyadari ada bocah tampan berusia 5 tahun sedang berjalan pelan tanpa suara mendekatinya.
"MAMA!"
Suara cempreng nan lucu khas anak kecil yang imut terdengar cukup lantang membuat wanita muda yang ternyata ibunya terkejut dan refleks berbalik untuk melihat siapa gerangan yang mengejutkannya dengan suara menggemaskannya itu.
"Astagaaa...! Noll, mama kaget tahu!" mengembuskan nafasnya seraya mengelus dada guna menetralkan keterkejutannya. Tapi, ia tetap tersenyum manis nan lembut begitu matanya menangkap makhluk kecil imut di depannya.
Dialah si 'Single Mama'.
Sherina Dalletra.
Tidak pernah dekat dengan laki-laki, tidak pernah punya pacar, tidak juga pernah terdengar di lamar. Tapi, dia sudah memiliki buah hati yang tampan.
Shienoll Dalletra.
Tentu membuatnya menerima begitu banyak caci-makian dan hinaan. Meski begitu bukan berarti tak ada yang masih memiliki hati untuk tidak berprasangka buruk tentangnya.
Bocah bernama Shienoll atau akrab dipanggil Noll untuk orang tersayang dan Shie untuk orang yang sekadar dekat, hanya menunjukkan cengiran lebarnya hingga deretan giginya yang sudah rapi terlihat jelas.
Bocah itu benar-benar menggemaskan. Tak heran mengapa Sherina tak kunjung jatuh cinta. Rasa itu sudah lebih dulu di jatuhkan sepenuhnya kepada sang putra.
Sherina berjongkok mensejajarkan dirinya dengan sang putra tercinta. "Kiss me." pinta Sherina sambil memajukan bibirnya minta di kecup. Dengan senang hati Shienoll melakukannya.
Cup.
"Morning ma!" sapanya dengan semangat pagi yang baik. Bocah itu sudah tampak segar.
"Morning too, dear!" balas Sherina senang. Ia kembali bangkit untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda karena ulah sang putra. Melihat putranya sudah rapi dan wangi ia bertanya.
"Mandi pagi lagi?" melirik si mungil tampan di sela-sela kegiatannya.
"Tentu. Mandi pagi itu sehat." jawab Shienoll antusias dengan logat anak kecil yang imut. Sherina terkekeh mendengarnya. Bocah itu masih mengamati sang ibu dari bawah.
"Tidak dingin?" tanya ibunya lagi. Shienoll yang mendengarnya malah memanyunkan bibirnya cemberut. Pasalnya pertanyaan seperti itu selalu ia dengar setiap pagi, entah apa yang membuat ibunya kehilangan topik untuk dibahas.
Sebenarnya ini sudah bukan kali pertama bocah itu mandi. Sherina selalu bangun pagi karena sudah menjadi kebiasaan sehingga kebiasaan itu tertular pada putranya, entah bagaimana. Mungkin turunan.
"Apa Mama tidak punya pertanyaan lain?" bocah itu balik bertanya dengan mode kesal yang justru membuat wanita muda itu tertawa renyah, gemas dibuatnya.
"Hahaha... Sekedar basa-basi, dear." jawab Sherina sekenanya. Sebenarnya ia hanya sengaja bertanya pertanyaan yang sama karena senang menggoda putra semata wayangnya.
"Dan basa-basi Mama membosankan. Aku jadi ragu kalau Mama itu pintar." perkataan Shienoll sukses meledakkan tawanya yang renyah tadi. Ia benar-benar di buat gemas.
"Baiklah-baiklah. Besok Mama ganti pertanyaannya." katanya dengan sisa tawanya. Shienoll mendengus kesal karena godaan sang ibu, meski begitu tak dapat di pungkiri ia bahagia sekali.
Kebahagiaan kecil yang tak ada duanya.
Mata beningnya memindai setiap sudut ruang di dapur tersebut seperti sedang mencari seuatu. Tak lama ia menemukannya dengan gesit di hampiri benda tersebut.
Greekk...
Tangan kecil itu menarik benda itu yang ternyata adalah sebuah kursi kayu untuk ia duduki dan bermaksud membantu sang ibu membuat kue untuk dijual. Kursi itu memang miliknya, di sediakan khusus untuknya di dapur itu bila ingin menjangkau sesuatu yang tinggi. Sherina tidak keberatan selama putranya bisa berhati-hati.
"Noll bantu ma." katanya yang sudah tampak bersiap dengan mata jernihnya yang menyapu segala yang tersedia di atas meja.
Bisa ia lihat ada begitu banyak alat dan bahan untuk membuat kue, hal itu bukanlah pemandangan baru bagi bocah 5 tahun itu. Setiap pagi-pagi buta ibunya akan di sibukkan dengan semua itu, karena itu juga ia jadi terbiasa bangun pagi dan berakhir membantu sang ibu membuat berbagai macam kue. Padahal Sherina sudah sering melarang tapi putranya itu selalu bisa membuatnya mengalah.
Sherina tersenyum. Mendorong sebuah loyang yang sudah terisi beberapa cetakan kue untuk dihias setelah tadinya di oven. Ia menyerahkan tugas menghias pada sang putra sekaligus mengasah kreativitasnya dalam berimajinasi.
"Hiaslah. Masih ada banyak. Nanti Noll yang percantik, okay?!" kata Sherina tanpa menghentikan aktivitasnya membentuk adonan kue lainnya yang sudah siap untuk di bentuk.
"Dengan senang hati, Ma." balas Noll riang, tangan-tangan mungilnya langsung bergerak aktif melakukan tugasnya.
Bocah itu memang putra Sherina. Lihatlah dengan cekatan ia mulai menuang segala ide uniknya untuk menghias kue-kue tersebut. Ia bocah yang mudah terfokus pada sesuatu yang sedang di kerjakan, persis seperti ibunya.
Sherina tersenyum hangat melihat hal itu. Membuatnya teringat saat dulu ia berjuang mati-matian untuk belajar hingga tak jarang mengabaikan segala hal yang terjadi di sekitarnya. Ia menggeleng setelahnya, itu masa lalu dan masa di mana ia juga kehilangan segala yang sudah disusun rapi tak seharusnya ia mengingat masa lalu yang hanya membuat luka lamanya kembali terbuka.
Ia kembali melirik Shienoll yang masih asik dengan kegiatannya. Kini senyum sendu terukir.
"Anakku yang malang. Tidak seharusnya ini terjadi padamu. Mama janji akan berusaha untuk dapatkan kebahagiaan itu agar selalu menyertaimu. Kau pantas bahagia, sayang!" -batinnya lirih.
Sherina melangkah mendekati putranya dari arah samping. Kedua tangannya yang sudah ia bersihkan terlebih dulu kini terulur merangkul dari samping tubuh kecil itu untuk mendekat padanya dan masuk dalam dekapan hangatnya yang sangat bocah itu sukai. Shienoll tersentak kecil dibuatnya. Kemudian sebuah kecupan penuh cinta di layangkan di puncak kepala sang anak.
Cup.
Sherina tersenyum hangat begitu Shienoll mendongak untuk melihatnya. Shienoll yang kaget hanya bisa menatap bingung. Bahkan pekerjaannya sampai terhenti sejenak dan mengalihkan fokusnya pada sang ibu. Dapat dilihatnya kedua mata wanita tercintanya menyorot sendu.
"Berbahagialah, sayang." seru Sherina lirih tersayat. Bocah itu hanya diam bukan berarti ia tidak mengerti, ia hanya menunggu kelanjutannya. "Kamu segalanya untuk Mama. Jantung kehidupan dan kebahagiaan Mama. Maaf sudah membuatmu seperti ini." lanjutnya tergugu tertahan, dadanya sesak menahan sakit yang selama ini ia tanggung sendiri. Matanya pun tak kuasa menahan bendungan luka yang menggenang, tapi ia juga tak ingin menangis di depan putranya.
Ini yang tidak bocah tampan itu sukai. Ibunya selalu bersedih tanpa bisa di prediksi kapan itu akan terjadi. Iapun harus menelan kebingungan sendiri karena tak tahu apa penyebabnya.
Sherina selalu mengatakan apapun yang pada akhirnya membuatnya bingung tanpa ingin menjelaskan. Kalaupun ditanya, Sherina hanya akan menjawab kalau Putranya belum cukup besar untuk mengetahuinya.
"Mama... berapa kali Noll harus bilang. Noll tidak mau kalau harus bahagia sendiri. Karena bagi Noll mama juga jantung kehidupan dan kebahagiaan Noll. Mama segalanya bagi Noll. Lebih dari segala-galanya" balas Shienoll lugas dengan di akhiri kecupan singkat di bibir sang ibu. Agar ibunya tenang.
Cup.
Cara itu berhasil.
Sherina sungguh bahagia rasanya. Putranya memang segala-galanya di hidupnya. Senyumnya, suaranya, belaian dari tangan kecil mungilnya, derap langkah dari kaki kecilnya, pengertiannya, sikapnya yang tampak dewasa dari usianya, juga kepintarannya yang cukup kentara selalu mampu membuatnya menitikkan air mata bahagia penuh haru.
Tak pernah sedikitpun ada perasaan sesal atau marah ketika Shienoll hadir pertama kali di hidupnya yaitu, di rahimnya saat masih berupa janin kecil yang belum berbentuk.
Justru kehadiran Shienoll merupakan anugerah terindah dari Tuhan untuknya di saat ia sedang mengalami masa-masa sulit penuh dengan tekanan mental dan batin. Meski cara hadirnya bukan dengan cara yang benar.
Tapi, ia bisa apa? Segalanya telah terjadi dan berakhir dengan luka. Namun, itulah yang disebut takdir.
Luka tetaplah luka. Hatinya sudah tidak dapat terobati lagi, hanya saja untuk saat ini ia tak ingin putranya tahu.
"Ululu... Siapa yang mengajarimu gombal sayang?" goda Sherina setelah dirasa hatinya menghangat berkat putranya.
"No, mama... Ini bukan gombal. Tapi, fakta." bocah tampan itu cemberut menanggapi godaan sang ibu untuk kesekian kalinya dan sialnya ia selalu kecolongan karena ibunya selalu bertindak tak terduga. "Seperti kata mama sebelumnya, kalau Noll adalah jantung kehidupan dan kebahagiaan mama yang artinya mama juga jantung kehidupan dan kebahagiaannya Noll. Dan itu bukan gombal Mama... Itu sungguhan!" kedua bola mata jernihnya menyelami kedua bola mata Sherina yang sudah berembun.
Bisa ia rasakan sesak yang di rasa Sherina di hatinya, sesak yang bukan menjurus kepada penyakit tapi sesak batin. Meski ia sendiri tak tahu apa yang menyebabkan batin Ibunya terasa sesak.
Shienoll langsung memelukan erat penuh perasaan tubuh mamanya. "Noll sayang mama. Noll tidak tahu apa yang membuat mama sering bersedih sampai menangis tiap kali kita cuma berdua. Tapi, Noll tahu itu berasal dari hati mama yang mungkin sedang sakit." pelukannya semakin mengerat, matanya ikut berkaca-kaca. Sungguh ibunya adalah kelemahannya.
"Noll cuma berharap, sakitnya bukan karena Noll. Noll tidak mau mama sakit karena Noll. Noll maunya mama bahagia karena Noll. Jangan sedih lagi, ma... Hiks!" mendengar penuturan sang putra juga isak tangisnya membuat Sherina merutuki kebodohannya yang masih belum bisa menenangkan hatinya yang terluka hingga ia lupa kalau putranya bukan bocah 5 tahun pada umumnya. Dia peka meski masih kecil. Dan sudah mampu memahami sedikit demi sedikit dunianya orang dewasa.
Mengelus punggung kecil itu dengan sayang. "Tidak. Noll tenang saja. Mama tidak akan pernah sakit karena Noll kalau Noll mau menjadi anak baik untuk Mama." mengurai pelukan haru di pagi hari, Sherina mengusap air mata yang mengalir di pipi chubby putranya di balas dengan hal yang sama oleh Shienoll.
"Maaf, karena Noll harus ikut merasakan apa yang Mama rasakan. Yang pasti sakitnya Mama bukan karena Noll. Mama justru selalu bahagia karena ada Noll. Anak Mama yang luar biasa ini." senyuman sejuta rasa terukir di bibirnya begitupun dengan senyuman Shienoll sebagai balasannya.
Sherina berusaha menekan rasa sesak di hatinya karena luka di masa lalu, tapi Shienoll yang justru ingin mengetahui penyebab ibunya tersakiti. Karena sesungguhnya, ia marah pada siapapun yang sudah membuat ibu tercintanya terluka.
"Noll janji, ma. Selamanya akan jadi jantung kehidupan dan kebahagiaannya Mama. Noll tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Mama. Mama cuma boleh bahagia dan Noll akan dapatkan itu untuk Mama." janji Shienoll dengan keyakinan penuh membuat Sherina terharu. Bocah itu benar-benar serius dengan kata-katanya.
Menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Iya, Mama tunggu Noll tepati janji itu. Tapi, sebelum itu Noll harus janji sama Mama kalau Noll juga akan mencari kebahagian Noll sendiri." terang Sherina. "Nak, tidak selamanya Mama akan selalu ada untuk Noll di kehidupan ini. Tidak selamanya juga Mama mampu memenuhi keinginan Noll, tapi Mama tetap berusaha untuk membuat hidup putra Mama ini tercukupi dalam segala hal. Karena Mama yakin Noll akan berumur panjang, jadi Noll juga harus tahu apa yang bisa buat Noll bahagia. Mama sudah pasti akan bahagia bila melihat Noll bahagia. Mengerti 'kan?" jelas Sherina lembut sembari menakup wajah Shienoll lembut. Shienoll mengangguk paham.
Cukup paham dan cukup mengerti membuat Shienoll tidak perlu bingung ataupun kesulitan menanggapi percakapan orang dewasa. Justru orang dewasa itulah yang harus berhati-hati bila ingin berbicara apalagi dihadapan Shienoll. Karena bagi Shienoll si jenius, tidak ada rahasia yang bisa di tutupi darinya.
Seperti yang selama ini ia amati dari sang ibu. Sherina selalu bersikap tenang namun tersirat sesuatu didalamnya yang membuat Shienoll meyakini bahwa ada hal yang ibunya tutupi darinya. Sesuatu yang besar dan tidak sepele.
Dia tak ingin bertanya karena ibunya sudah pasti takkan mau bicara. Baginya sesuatu yang disembunyikan ibunya berkaitan dengan dirinya. Kalau tidak, Sherina tidak akan menangis tiap kali mereka hanya berdua.
Tangis dalam diam yang begitu menyayat hati Shienoll.
Sejak saat itu ia bertekad mencari tahunya sendiri meski harus memerlukan waktu yang lama.
"Ya sudah. Sekarang bantu mama menyiapkan semuanya. Sebentar lagi tokonya harus kita buka. Ok, boy?" seru Sherina menepis kegundahan hatinya dan menggantikannya dengan keceriaan. Ia lepaskan pelukannya dan kembali ketempatnya dengan semangat.
"Yes, Mama! Let's do it!" Shienoll ikut berseru dengan lantang penuh semangat mengikuti sang mama, bahkan sampai melompat kecil dengan mengangkatkan kedua tangannya ke udara.
Sherina sampai terbelalak kaget melihatnya dan refleks memegang erat putranya. Bagaimana tidak?! Shienoll berdiri diatas kursi yang tadi ia duduki kemudian berdiri melompat untuk mengekspresikan semangatnya.
Jantung orang tua mana yang tidak nyaris lepas karenanya. Bocah itu hanya menyengir bersalah.
Seorang wanita berjalan keluar dari bandara. Dengan tas punggung mengantung di belakangnya. Dia sudah tampak seperti seorang 'Back Packer'. Wanita itu berpenampilan tomboy namun tetap elegan dan masih terlihat sisi perempuannya.
Di bukanya kacamata hitam dengan gerakan kerennya membuat rambut panjang sepunggungnya yang curly sedikit bergoyang. Sebelah tangannya yang lain tengah memainkan ponsel canggihnya, tak lama setelahnya di bawa ponsel itu mendekati telinganya.
Ia sedang melakukan panggilan telpon.
"Halo, Mi! Nami sudah sampai."
"..."
"Iya, Mi. Semoga saja." katanya penuh harap.
"..."
"Haha... Iya, pasti. Lakukanlah yang Mami suka nanti. Eum... Dia masih terlalu sungkan." matanya berubah sendu.
"..."
"Iya, Mi. Terima kasih. Oke, Nami tutup dulu. Nanti di kabari lagi. Bye, Mi..."
Klik.
Di tutupnya sambungan telpon itu sembari menghentikan langkahnya. Wanita cantik itu pun mengangkat wajahnya tegak. Memandang lurus kedepan kemudian matanya terpejam sesaat dan sedikit menghela nafas pelan. Hatinya kembali terasa nyeri.
"Sudah cukup kau lari, Nana. Ini kota terakhir yang harus aku datangi untuk menemukanmu. Awas saja kalau kau tidak ada di sini." katanya kesal yang sebenarnya tersirat kerinduan luar biasa terhadap Sherina yang menghilang tanpa pesan. Tapi, juga sedih campur rindu yang sudah tak lagi terbendung.
Dialah si tomboy dari keluarga Jou.
Namika Jou.
Sayangnya pada Sherina membuatnya memiliki tekat untuk mencari sahabatnya yang ia ketahui memikul beban seorang diri dan sampai kini malah menghilang entah kemana.
Ia tahu kebenarannya, itulah mengapa ia pun memaklumi tindakan sahabatnya yang memilih menanggungnya sendiri.
Jujur saja, bagi Namika mengingat saat-saat Sherina jatuh kedalam kehancuran sudah mampu menyakiti hatinya. Ia merasa gagal sebagai sahabat untuk menjaga dan melindunginya, hingga sahabatnya harus menanggung beban yang begitu berat karena kesalahan orang lain yang tak punya hati.
"Untuk kesekian kalinya aku mengutukmu, brengs*k! Aku sampai tidak tahu lagi sudah sebanyak apa aku mengutukmu." geramnya dengan hati yang bergemuruh karena amarah, tangannya mengepal kuat seperti ingin memukul orang yang di maksud hingga mati.
"Kau tidak akan bahagia. Tidak akan pernah. Lihat saja!" yakinnya yang di tujukan kepada orang yang dengan tega menghancurkan hidup sahabatnya. Padahal jelas-jelas orang yang di maksud tidak ada di sana.
Kemudian ia berjalan untuk melanjutkan tujuannya dalam mencari keberadaan sang sahabat tersayang dengan keponakan yang sudah ia rindukan.
Ya, Namika mengetahui hal itu begitupun keluarga Jou. Memikirkan bagaimana Sherina melewati semuanya sendiri sungguh perasaan salut dan kagum terasa, tapi kesedihan dan iba juga hadir disana.
Bagaimana tidak?! Bukan perkara mudah ketika hidup yang sebelumnya tenang tiba-tiba berubah drastis ke dalam hidup yang penuh kesulitan terutama akan pandangan orang lain yang menjadi tekanan.
Tapi, Sherina mampu melewatinya.
Di tengah-tengah langkahnya, ponselnya kembali berdering. Dilihatnya siapa yang menelpon. Begitu tahu ia hanya mendengus jengkel seraya memutar bola matanya.
Segera di rejeck panggilan tersebut dengan kesal. Sambil mengumpat.
"Mati saja kau!"
ia kembali melangkah dan menghampiri salah satu taksi yang tersedia dari sekian banyak.
"Pak, taksi..." menyapa dengan gaya tomboy nya. Supir taksi yang di sapa segera menghampiri rejeki yang datang.
"Ya, nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya supir taksi itu ramah.
"Tolong, antarkan saya ke hotel ini." sambil memperlihatkan sebuah alamat yang tertera di layar ponselnya.
"Baik, nona! Silahkan masuk." sang supir segera masuk kedalam mobilnya begitupun Namika. Setelah siap, mobil taksi tersebut di nyalakan dan langsung melaju ketempat tujuan.
Sesaat setelah itu sebuah pesan masuk muncul. Dilihat siapa pengirimnya, dengan menghela nafas berat ia membuka pesan itu.
"Honey, kenapa di rejeck telpon ku... Apa aku sudah berbuat salah? Aku bingung kau tahu... Tolong jangan begini... Kau membuatku serba salah, di tambah kau yang tidak ingin terbuka. Bagaimana aku bisa tahu dan mengerti tentang yang apa yang terjadi?! Kau pergi begitu saja, membuatku berpikir yang tidak-tidak." -isi pesan tersebut.
Namika jengkel di buatnya meski tidak dapat disangkal kalau ia senang dengan perhatian kecil itu sampai-sampai ia tersenyum geli, dengan kesal campur senang ia membalas. Sabar, itu yang ia lakukan sekarang ini.
"Tidak. Tidak ada masalah apapun di antara kita. Aku hanya tidak ingin di ganggu untuk beberapa hari kedepan. Kau tak perlu bertanya apapun. Nanti aku sendiri yang akan jelaskan. Kau mengerti?!" -isi pesan balasan dari Namika.
Send.
Usai pesan itu terkirim, ia langsung menonaktifkan ponsel-nya. Ia tak ingin di ganggu selama ia melakukan pencarian atas sahabatnya.
Hatinya benar-benar kacau. Persahabatan dan percintaan sungguh masalah yang pelik. Dan sialnya itulah yang kini melandanya.
"Hati sialan. Kenapa harus jatuh cinta dengan teman pria brengs*k itu. Seperti tidak ada kaum adam yang lain saja." -batinnya mengumpat dan menggerutu kesal.
"Sorry, Honey. Persahabatanku lebih penting. Aku tidak tahu seberapa penting sebuah persahabatan untukmu. Jika nantinya kau membela sahabatmu sedemikian rupa, aku pun bisa. Lagipula, cinta kita baru bersemi setelah semua kekacauan yang si kepar*t itu lakukan terjadi. Jadi, tidak ada alasan bagiku mengutamakanmu. Oke, fix. Mari selesaikan yang harus di selesaikan terlebih dulu." terangnya sendiri sambil melihat keluar jendela menatap hiruk-pikuk kota kecil yang ia kunjungi.
"Sherina, i'm coming!"
***Visual Cast...
Shienoll Dalletra.
Sherina Dalletra***
*Namika Jou.
sumber gambar dari pinterest*.
SheShie Bakery.
Adalah nama toko kue milik Sherina. Ia sengaja menyatukan namanya dan juga nama putranya, karena baginya ini semua adalah milik mereka berdua.
Bukan pengalaman baru bagi Sherina dalam hal berbisnis kue. Pasalnya keluarganya dulu juga pedagang kue sekaligus pemilik toko kue 'Dalletra Bakery & Cake'.
Ayahnya, Simon Dalletra adalah seorang pastry chef handal tapi ia memilih tetap sederhana padahal bila ia mau, ia mampu bekerja di tempat elite dengan gaji yang fantastis. Tapi, tidak. Simon adalah sosok yang cinta keluarga, baginya keluarga no.1. Ia lebih suka memiliki banyak waktu bersama keluarga kecilnya dari pada di sibukkan oleh pekerjaan.
Ibunya pun demikian. Meski hanya lulusan sekolah kejuruan, Melany Wenda juga tak kalah jago membuat kue seperti suaminya. Bakat keduanya kini di turunkan ke sang putri semata wayang. Sherina Dalletra.
Pada awalnya, itulah cita-citanya. Mengikuti jejak sang ayah dengan melanjutkan pendidikan tingginya di salah satu universitas ternama di luar negeri yang di kenal dengan pusatnya para pattisier, tempat dimana sang ayah pernah menimba ilmu disana. Tapi, sangat di sayangkan semuanya kandas bahkan sebelum ia memulai.
Membayangkan semua itu membuatnya sedih. Ekspresinya muram. Ia hanya bisa menghela nafas untuk menenangkan dirinya. Sungguh, mengingat kembali bagaimana ia berusaha dengan terus belajar meski ia sudah pintar dan meninggalkan bahkan menjauhi segala sesuatu yang hanya dapat mengganggu serta membuang-buang waktunya kini terasa sia-sia. Siapa sangka kehancuran menantinya sebelum semua rencana yang sudah tersusun rapi di laksanakan.
Ia menoleh ke arah putranya yang tengah sibuk belajar dengan segala macam jenis buku yang ingin ia pelajari di meja khusus untuknya, saat sang putra menemaninya menjaga toko kuenya. Persis sepertinya dulu.
Sherina tersenyum sendu melihat Shienoll yang tampak serius belajar, sebelum akhirnya salah seorang pelanggan datang mengalihkan perhatiannya karena ingin membayar kue yang dibeli.
"Totalnya 205.000,- , bu."
"Oh, ya. Ini." menyerahkan uang pas pada Sherina.
"Terima kasih. Silahkan datang lagi." katanya sembari tersenyum ramah.
"Tentu. Kue di sini sangat enak. Keluarga saya sangat suka." ungkap ibu pembeli itu antusias.
"Benarkah?! Saya senang mendengarnya. Sekali lagi terima kasih, bu." ucap Sherina syukur.
"Iya, sama-sama." ia pun mulai beranjak pergi, namun detik berikutnya ia kembali lagi. "Oh ya. Saya lupa ingin bertanya."
"Iya tanya apa, bu?" tanya Sherina ramah.
"Katanya disini menerima pesanan kue tart, ya? Juga kue ulang tahun atau semacamnya?" tanya ibu itu dengan binar dikedua matanya.
Dengan tetap tersenyum, Sherina menjawab. "Iya, bu. Saya memang menerima pesanan untuk itu. Sengaja tidak membuatnya untuk di jual eceran seperti kue-kue yang ada disini. Kue semacam itu tentu harus segera di makan dan lagi pembuatannya sedikit berbeda. Butuh hiasan juga untuk tampilannya. Karena itu saya hanya bisa menerima pesanan untuk kue seperti itu." Jelas Sherina.
"Begitu rupanya. Baiklah. Nak, bisa berikan ibu no. Telponmu. Agar saya bisa menghubungimu bila ingin memesannya." pinta ibu itu.
"Tentu, dengan senang hati. Ini." menyerahkan sebuah kartu namanya yang lengkap dengan no. Telponnya.
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih. Saya pamit dulu."
"Iya, bu. Hati-hati di jalan." balasnya sambil pandangannya mengikuti hingga pelanggan itu menghilang di balik pintu toko.
Terus seperti itu hingga hari menjelang siang. Putranya bahkan tidak beranjak dari tempatnya saking menikmati dunia belajarnya. Sesekali ia juga bertanya pada Sherina bila mendapati sesuatu yang tidak ia mengerti. Sherina hanya bisa menanggapinya sembari tetap melayani para pelanggan yang datang silih berganti.
Tanpa ia sadari, Shienoll sudah menganggapnya lebih dari kata luar biasa. Tidak hanya berperan sebagai ibu, ia juga mampu berperan sebagai ayah dan itu terlihat dari bagaimana gigihnya ia bekerja demi menghidupi putranya. Juga, Sherina yang memang pintar mengingat betapa giatnya ia belajar dahulu mampu menjadikannya guru favorit Shienoll. Apapun yang ia tanyai, ibunya itu selalu mampu untuk menjawab.
Pernah terlintas di benak Shienoll kalau ibunya sehebat dan sepintar ini, ia tak perlu lagi bersekolah. Semua itu terbukti dari hasil sementara Shienoll berkat ajaran ibunya. Di usianya yang seharusnya duduk di taman kanak-kanak dan belajar disana, ia justru sudah di gembleng Sherina dengan ilmu pengetahuan yang diketahuinya sejak Shienoll berumur 1 tahun. Mulai dari membaca, menulis, menghitung, menghafal, dan masih banyak lagi. Meski begitu Sherina tetap tidak melarang putranya bila ingin bermain hanya saja permainan putranya itu juga belajar. Ia sendiri bingung bagaimana belajar bisa di sebut bermain.
"Noll, makan dulu nak. Dari tadi belajar terus. Tidak lelah apa?" Sherina datang dengan membawa segelas teh manis dan sepiring kookies untuk putranya, di letakkan dua benda itu di meja tempat Shienoll belajar tepat di hadapan putranya.
Saat ini toko sedang kosong. Belum ada lagi pelanggan yang datang.
Shienoll mendongak menatap sang ibu yang memberikannya teh dan kookies kesukaannya.
"Terimakasih, ma." ucapnya seraya meraih sepotong kookies lalu di masukkan kedalam mulut kecilnya dengan nikmat. Matanya kembali menatap Sherina yang tengah tersenyum melihat kelakuan menggemaskannya.
"Tidak. Noll tidak lelah. Noll 'kan ingin pintar. Jadi, Noll harus belajar." meraih gelas teh miliknya lalu meminumnya.
"Iya, tapi apa Noll tidak ingin coba bermain seperti yang lain? Mama cuma tidak ingin Noll tertekan dan tidak bisa menikmati masa kecil Noll dengan baik. Mama tidak akan mengekangmu, sayang." jelas Sherina penuh perhatian sambil mengusap lembut kepala putranya. Bocah itu tersenyum mendengarnya kemudian menggeleng imut.
"Tidak, ma. Mama tenang saja. Noll tahu apa yang Noll mau." jedanya. "Lagipula, bermain atau tidak akan tetap sama saja. Noll tidak punya teman, ma." senyumnya santai seolah itu bukanlah masalah, mendengar itu Sherina menjadi sedih. Sungguh, inilah yang paling ia takuti. Hal yang sama terjadi padanya akan terjadi juga pada putra tercintanya.
"Maafkan mama, sayang. Maaf." air mata Sherina mengalir begitu saja. Rasa sakit, sedih, kesal, marah pada dirinya sendiri bangkit. Ia berlutut di samping Shienoll yang masih duduk di kursinya menghadap meja dan menggenggam sebelah tangan putranya, ia menciumnya berkali-kali sambil mengucap kata maaf.
Melihat itu hati Shienoll ikut sakit lagi. Padahal ia sudah berjanji tak akan membuat ibunya sedih. Tapi, ini?!
"Maa... Mama tidak salah. Jangan menangis." lirihnya serak. Dadanya nyeri karena merasa bersalah. Ia merutuki mulutnya yang tak bisa di jaga.
"Bagaimana mama tidak salah. Kau seperti ini karena wanita bodoh ini. Sungguh maaf. Maaf, nak..." sedih bukan main rasanya saat ini. Putranya harus menanggung kesalahan orang tuanya.
"Maa..." kata-kata yang hendak di ucapkan tertahan, ia bingung sekarang. Untuk kesekian kali ibunya meminta maaf membuat amarah di hatinya semakin membesar, ia jadi semakin ingin tahu siapa yang membuat ibu tercintanya menderita seperti ini.
Hingga sebuah nama terlintas di benaknya.
Papa!
Bagaimana Shienoll tidak menduga-duga bahwa yang menyakiti ibunya adalah ayahnya. Secara, ia sejak dapat membuka mata di dunia ini hanya Sherina yang terlihat. Sosok ayah yang biasa melengkapi sebuah keluarga tidak ada di sana.
Saat pertama kali Shienoll merasakan kerinduan akan sosok ayah yang bukan hadir setelah ia melihat keharmonisan keluarga terutama ayah dan anak dari keluarga lain, melainkan karena cibiran dan hinaan orang-orang yang mengatai ibunya murahan, jal*ng, karena hamil diluar nikah. Mengatai dengan lantang bahwa Shienoll tidak punya ayah alias anak haram, sukses menjadi pukulan berat untuk Sherina. Sedang Shienoll hanya bingung dengan tatapan yang meminta untuk siapapun jelaskan sesuatu padanya.
Bukannya ia tak tahu arti dari setiap kata yang terucap. Hanya saja ia menginginkan penjelasan tentang mengapa ia di sebut begitu?!
Sejak saat itu, tiap kali ada yang membahas perihal itu Sherina akan menangis dan meminta maaf. Tapi, saat Shienoll bertanya meminta penjelasan, ibunya selalu meminta waktu agar ia siap bercerita. Sebenarnya itu karena bagi Sherina putranya masih terlalu kecil untuk menerima penjelasan yang sifatnya cukup dewasa.
Alhasil, dugaan sementara atas luka yang ibunya derita adalah berasal dari pria yang tak lain ayah kandungnya. Jika benar, Shienoll bersumpah akan membalasnya.
"Sudah, ma... Mama buat Noll juga sedih. Karena, Noll sudah membuat mama menangis... Hiks..." bocah tampan itu pun ikut menangis. Sherina langsung tak tega melihatnya.
"Maaf, nak. Maafkan mama, sayang." lihat itu lagi yang terlontar dari bibir manisnya. Membuat Noll harus berpikir apa yang dapat mengalihkan suasana tak mengenakkan ini.
Aha!!
"Bukankah mama bilang sebentar lagi Noll akan masuk sekolah?!" Sherina mendongak menatap putranya yang sudah berbinar antusias saat mengatakan sekolah. Ia tak tahu saja, binar itu bukan karena sekolah melainkan karena berhasil mengalihkan kesedihan ibunya.
"Iya... Noll akan sekolah, dan itu setelah ulang tahun. Oh ya, Noll mau hadiah apa dari mama?" tanya Sherina dengan binar bahagia membahas ulang tahun putranya. Karena ia bersyukur masih di beri umur untuk dapat terus melihat tumbuh kembang sang anak.
"Noll tidak ingin hadiah, ma. Tapi, kalau mama mau beri Noll hadiah. Berikan sesuatu yang berguna untuk Noll." jelasnya bijak.
"Begitu, ya..." seraya berpikir.
"Eum.." Noll hanya mengangguk.
"Huft.. Baiklah. Akan mama carikan nanti." Sherina tersenyum manis pada putranya. Senyum yang selalu ingin Shienoll lihat setiap waktu.
Hari sudah menjelang sore. Terlihat langit mulai berwarna jingga, udara pun mulai terasa dingin. Tapi, hal tersebut tak membuat bocah tampan -Shienoll- itu beranjak dari duduk santainya yang sudah menjadi kegiatan sehari-hari di depan rukonya tiap kali hari berganti sore.
Sebuah kursi kayu panjang yang sengaja di sediakan untuk siapa saja yang sekiranya ingin melepas lelah atau hanya sekadar duduk sambil menikmati hari. Kini tengah di duduki Shienoll seorang.
Ia duduk dengan tenang sambil mengayunkan kedua kakinya melepas sepi, tak lupa sebuah susu kotak rasa coklat yang di letakkan di sisinya dan setoples nastar di pangkuannya. Kedua benda itu selalu menemaninya tiap sore, sementara ibunya masih sibuk melayani pelanggan yang datang atau terkadang sedang berberes untuk segera menutup tokonya.
Dia sengaja tidak membantu atau menemani karena baginya sore adalah waktu santai yang tak bisa di ganggu gugat. Lagipula Sherina tidak mempermasalahkannya justru ia senang setidaknya putranya bisa sedikit relaks dari kegiatan belajarnya yang hampir dihabiskan selama 24 jam bila tidak di hentikan. Bocah itu benar-benar gila belajar.
Saat sedang asik-asiknya menikmati suasana sore dengan di temani kue dan susu sambil melihat orang yang lalu-lalang. Sebuah kejadian tak terduga terjadi.
Bruk.
Prak.
Sebuah bola tiba-tiba saja melayang ke arahnya hingga toples nastarnya jatuh dan pecah serta seluruh isinya keluar berserakan. Shienoll terpaku dibuatnya sembari menatap kue-kuenya yang terbuang sia-sia. Kue nastar buatan ibunya khusus untuknya jatuh dan kotor, benar-benar tindakan yang tak bisa di terima.
Ia mendongak menatap tajam segerombolan bocah laki-laki sebayanya dan ada juga yang sedikit lebih tua darinya. Salah satu dari rombongan bocah tersebut memungut kembali bolanya dengan angkuh. Seperti yang di duga, dialah biang keladinya. Melempar dengan sengaja.
Mereka mengabaikan tatapan tajam Shienoll.
"Lihat itu." menggerakkan dagunya untuk menunjuk Shienoll dengan keangkuhan. Shienoll diam saja tanpa ingin membalas meski tak dapat ia pungkiri hatinya marah, namun masih mampu bertahan. Tangannya mengepal dan sorot matanya menajam.
"Bukankah dia itu anak yang tidak punya ayah?!" celetuk anak lainnya.
"Iya, itu dia. Kata mommy ku dia itu anak haram." balas bocah yang melempar bolanya tadi.
"Oooh... Apa yang dia lakukan sendirian. Tidak punya temankah?" sambung anak lainnya lagi dengan kalimat polosnya yang mengundang tawa teman-temannya.
"Tentu saja sendiri. Siapa juga yang mau berteman dengan anak sepertinya." sahut bocah pemilik bola itu angkuh. "Dan lagi, coba lihat... Saat yang lainnya sudah masuk sekolah, dia malah masih sembunyi di rumahnya. Kurasa selain anak haram, dia juga anak idiot." lanjutnya dengan ejekan yang tidak tanggung-tanggung. Dia dan teman-temannya kembali tertawa penuh penghinaan.
"Dasar bodoh! Kalian terlalu meremehkanku. Jika aku mau. Sudah kupastikan, aku akan membungkam mulut kotor kalian itu dengan pukulanku... Lagipula aku cukup waras untuk tidak meladeni bayi tikus seperti kalian" -batinnya berujar santai tapi tetap dengan rencana balas dendam yang mulai tersusun di otak kecilnya.
"Hei, kenapa kau diam?! Apa sekarang kau juga mendadak bisu?! Malang sekali." kalimat ejekan kembali di layangkan, sedang Shienoll memilih diam dan memutuskan untuk memungut kue-kuenya yang sudah tumpah serta toples plastiknya yang sudah pecah. Hatinya menggumam kata maaf pada sang kue.
"Hei, kau tuli, ya?! Aku sedang bicara denganmu!" bentak bocah pemilik bola itu dengan geram lantaran di abaikan oleh Shienoll.
Tak tahu saja dia, Shienoll diam bukan karena tuli apalagi takut, ia hanya tak ingin lepas kendali sampai melakukan kekerasan. Karena ia tak ingin membuat ibunya sedih bila dia tahu putranya berkelahi. Lagi pula, ini bukan kali pertama ia di hina. Jadi, Shienoll sudah terbiasa menghadapinya meski tak dapat di pungkiri, amarah sering kali muncul.
"Kau!" marah bocah itu hingga bola yang ada di tangannya kembali di layangkan dan kali ini dengan kekuatan penuh.
Bugh.
Lemparannya mendarat tepat di kepala Shienoll cukup keras hingga ia mengalami pusing.
Bocah itu masih dalam mode marahnya sedang teman-temannya malah menertawakan Shienoll yang tampak terhuyung hampir jatuh, toples beserta kue yang di pungutnya kembali jatuh berhamburan.
Ia berpegangan pada kursi dan berusaha menenangkan diri agar pusingnya hilang, dia tak ingin kesadarannya menghilang. Saat pusing kepalanya perlahan teratasi, matanya tak sengaja memandang ke arah bola yang terletak tiga langkah darinya.
"Rasakan itu! Harusnya anak haram sepertimu itu tau diri. Kau itu sama seperti kotoran. Kau tahu?!" katanya lagi angkuh seolah-olah yang ia katakan itu adalah kebenaran.
Emosi Shienoll mencuat seketika ke ujung tanduk di tambah lagi dengan kalimat hinaan yang di lontarkan bocah sombong itu semakin meledakkan emosinya.
Dengan gerakan cepat dan tak terduga di raihnya bola tersebut dan di lempar dengan kekuatan penuh.
Bugh.
Tepat sasaran. Bola itu mengenai hidung pemiliknya hingga berdarah. Bocah itu langsung saja menjerit histeris lantaran kesakitan yang teramat sangat untuk ukuran bocah sepertinya. Sedang teman-temannya yang terkejut bingung akan situasi yang terjadi sangat cepat hanya bisa terdiam dan beberapa lainnya mencoba menolong bocah sombong itu.
"Pergi dari sini. Kalian cuma bisa mengganggu saja." tegasnya dengan nada rendah pada segerombolan anak sebayanya. "Dan kau..." menunjuk kearah bocah yang terluka akibat lemparan bolanya. "Aku tidak akan meminta maaf. Karena itu bukan salahku. Kau yang lebih dulu memulainya, maka tanggung sendiri akibatnya." jelasnya tanpa rasa bersalah dan iba sedikitpun. Ia sudah terlanjur sakit hati karena lidah tajam bocah itu yang tak pernah bisa melihatnya hidup tenang.
"Kau keterlaluan!" tukas yang lain.
Shienoll mengangkat sebelah alisnya di susul senyum sinisnya. "Keterlaluan?! Hahaha... Lucu sekali! Kalau yang ku lakukan keterlaluan lantas bagaimana dengan yang dia katakan padaku?" tanyanya tak habis pikir. Bagaimana bisa ia di anggap keterlaluan?! Bahkan sakit hatinya belum benar-benar terobati meski ia sudah melukai bocah itu.
Anak-anak itu terdiam.
"Kalian bukan aku! Kalian tidak tahu rasanya jadi aku! Tidak akan pernah tahu!" nafas Shienoll menggebu. "Kalaupun memang benar. Kalian tidak punya hak untuk menghinaku!" ungkapnya masih dengan sisa emosi yang di tahan. "Kenapa tidak kalian tanyakan kepada orang tua kalian?! Apakah kalian itu anak haram?!" tantang Shienoll geram. "Kalian atau siapapun itu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jadi, jangan bersikap seperti kalian tahu segalanya!" lanjutnya.
Hatinya sakit bahkan mungkin kini terluka. Tak habis pikir, bocah-bocah yang seharusnya sibuk dengan bermain harus mengurusi yang bukan haknya. Shienoll yang sudah mampu memahaminya saja masih tahu batasan. Bagaimana mereka bisa bersikap tidak tahu diri?! Begitulah pikir putra Sherina tersebut.
Mereka adu mulut tanpa menyadari kalau mereka sudah menjadi tontonan banyak orang. Sedang Sherina baru saja menampakkan diri dengan hati yang gelisah ketika mendengar suara putranya dari dalam ruko.
"Nak, ada apa ini?" tanyanya begitu sudah berada di luar, matanya menyapu halaman ruko miliknya yang sudah ramai hingga pandangannya berhenti di kerumunan bocah yang salah satunya tengah menggeliat kesakitan karena terluka. Bisa ia lihat ada banyak darah di sana terutama area wajahnya.
Sherina shock dan segera menghampiri bocah itu, ia ingin membantu mengikuti naluri seorang ibu. Tapi siapa sangka, tangan bocah yang terluka itu menepis bantuannya dan dilanjutkan dengan kata-kata yang tak pantas dilontarkan seorang anak kecil kepada orang yang lebih tua. Sherina terhenyak kaku dan Shienoll membelalakkan matanya marah.
"Jangan menyentuhku, wanita kotor!" bocah itu berusaha berdiri dengan bantuan teman-temannya mengabaikan Sherina yang terkejut karena ulahnya.
Tangan Shienoll terkepal kuat, ia tak terima ibunya di hina terlebih oleh bocah ingusan seperti bocah terluka itu. Tahu apa bocah itu!
"DARREL THOMSON!!!"
Teriakkan menggelegar mengejutkan siapapun yang ada di sana, termasuk Sherina. Mereka terkejut, karena untuk pertama kalinya mendengar suara Shienoll yang cukup besar dan lantang bahkan tak terdengar seperti teriakan bocah manja.
Memang benar. Shienoll anak yang tenang pada dasarnya, seperti ibunya. Akan tetapi, bila amarahnya di pancing ia juga tergolong anak yang memiliki temperamen yang buruk, sangat sulit menenangkannya sebelum amarahnya terpuaskan. Namun, bukan hal mudah memancing temperamennya bila hal itu tidak cukup mampu membuat seorang Shienoll marah.
Ini adalah salah satu yang mampu membuat Shienoll menampakkan wujud aslinya ketika marah yang benar-benar marah. Ibunya, Sherina. Pusat jiwa sensitifnya berada.
Tidak masalah baginya bila dia yang di hina. Tapi, bila ada yang membawa-bawa nama ibunya maka tiada ampun bagi siapapun itu. Bersiaplah melayani sisi gelap Shienoll.
Shienoll melangkahkan kaki kecilnya cepat. Putra Sherina itu telah mengeluarkan aura mengerikannya membuat teman-teman bocah terluka yang ternyata bernama Darrel Thomson itu menyingkir dengan sendirinya. Sherina bahkan tak tahu apa yang hendak putranya lakukan.
"Noll...!" gumam Sherina tanpa suara.
Gerakan cepat itu membuat siapapun tak dapat memprediksinya. Shienoll mendorong Darrel hingga terjengkang kebelakang dalam posisi menyedihkan. Sherina dan banyak pasang mata yang melihatnya terkejut bukan main.
"Noll, jangan!" seru Sherina memperingati. Namun, Shienoll seolah menulikan pendengaraannya.
Shienoll langsung saja melanjutkan tujuannya untuk menuntaskan amarahnya tanpa ingin memberi Darrel kesempatan dengan mendudukkan dirinya di atas perut Darrel. Sherina tersadar dan ingin segera menghentikan putranya itu.
Seolah memiliki insting yang kuat dengan spontan Shienoll bersuara.
"Jangan mendekat!" serunya lantang. Entah sihir atau hipnotis, tak ada siapapun dari orang-orang yang ada disana begitu juga ibunya bergerak dari tempatnya. Tapi, tetap saja. Ketakutan Sherina semakin meningkat. Untuk pertama kalinya ia melihat sisi gelap putranya.
"Jangan lakukan apapun, nak..." lirih Sherina tak kuasa. Air matanya mengalir begitu saja sambil menahan isak tangisnya yang terhalang bekapan tangannya.
Semua yang menyaksikan itu bergidik ngeri.
"Ssh... Minggir!" akhirnya Darrel pun bersuara meski terdengar meringis. Ia sudah kelelahan karena tenaganya terkuras habis atas rasa sakit di hidungnya.
Shienoll mendengarnya tapi ia justru mengabaikannya dengan mencengkram erat kerah baju Darrel. Sorot matanya menusuk. Darrel hanya bisa menatap balik mata tajam itu dengan lemah.
"Kau tahu apa salahmu?" tanya Shienoll berdesis marah.
"A..pa?! A..ku ti..dak sal..ah a..pa pun!" jawab Darrel terbata-bata. Masih merasa benar rupanya.
"Heh! Kau pikir aku idiot seperti katamu?! Aku justru berpikir kau yang idiot." Shienoll terkekeh sinis penuh amarah. "Semua orang yang ada disini tahu apa salahmu. Tapi, kau..." katanya tak dilanjutkan.
Mereka saling adu tatapan.
"Aku tidak peduli kalau yang kau hina adalah aku. Tapi... Bila mamaku... Aku tidak segan-segan menghajarmu! Untung-untung sampai kau mati!" desisnya lagi dengan suara yang hanya di dengar keduanya. Darrel yang mendengarnya terkejut. Ia tak pernah menyangka akan melihat sosok lain dari seorang Shienoll yang terkesan seperti anak mama yang manja, apalagi umur mereka sama-sama masih 5-6 tahunan.
Bagaimana anak kecil seperti Shienoll bisa bertindak sejauh itu?!
"Kenapa?! Terkejut?!" bisa di lihatnya dari ekspresi wajah Darrel kalau dia terkejut. Di dekatkan wajahnya ke wajah Darrel hingga menyisakan sedikit jarak antara hidung keduanya.
"Kalau kau ingin melihat yang jauh lebih dari ini, silahkan hina mamaku sepuasmu. Kalau perlu, ajak ayah dan ibumu untuk ikut bergabung. Setelah itu, percayalah. Kau dan keluargamu hanya tinggal nama!" bisiknya membangkitkan bulu halus di seluruh tubuh Darrel. Ia menelan salivanya sulit. Tak menyangka akan takluk oleh ancaman bocah sebayanya.
Tidak! Mungkin lebih tepatnya adalah psikopat kecil Shienoll.
Karena tak ingin merasa kalah Darrel bersuara melawan dan menepis pemikiran itu. "Kau pikir aku takut?! Kau itu masih kecil sama sepertiku. Jangankan membunuhku, membunuh semut pun kau takkan mampu!" desisnya lemah.
"Benarkah?!" Shienoll menyeringai tipis tersirat sesuatu. "Kau ingin mencobanya?" tantangnya mengertak. Sejujurnya, Hanya ingin menakut-nakuti bocah yang ia duduki. Tapi, bila lawannya mau kenapa tidak?! Pikirnya.
Masih tak mengaku kalah. "Coba saja!" balasnya sombong. Tanpa menunggu lagi, Shienoll pun beraksi.
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Di pukulnya Darrel dengan membabi buta. Sherina menjerit seketika sedang yang lainnya kelimpungan tak tahu harus apa.
"SHIENOLL...!!!" berlari ke arah putranya yang sedang memukuli bocah yang ia tahu tengah terluka. Dengan sigap di angkat Shienoll yang sudah hilang kendali kemudian berteriak pada kerumunan yang ada.
"BAWA DIA KE RUMAH SAKIT! SELAMATKAN DIA! ASTAGAAA....!!!" jeritnya frustasi. "Beritahu saya bila sesuatu terjadi padanya!" katanya pada siapapun itu dan di tanggapi dengan anggukan.
Orang-orang itu segera bergerak cepat untuk menyelamatkan Darrel yang sudah dalam kondisi yang memprihatinkan. Keadaan di depan rukonya menjadi sibuk sedang Sherina memilih membawa putranya masuk ke rumah.
Untuk pertama kalinya ia melihat putranya semengerikan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!