Saat-saat perampok itu mengganas di kampungnya, Wiratama terlambat untuk mencegah, karena ia baru kembali dari menghadap Adipati di Luragung.
Kobaran api melahap rumah-rumah penduduk yang terbuat dari papan-papan kayu Pinus yang banyak betebaran di kaki Gunung Ciremai. Jerit tangis wanita dan anak - anak mewarnai malam mengerikan tersebut. Wiratama tidak merasakan lelah yang mendera nya akibat dari perjalanan, karena saat dia kembali, ia melihat dari depan kampungnya nyala api yang demikian besar dan mendengar teriakan suara warganya .
Wiratama segera berlari dengan cepat melewati jalan pengawal-pengawalnya, "Brodin bawa yang lain untuk segera memeriksa keadaan kampung, aku akan mendahului melihat kesana", teriakannya keras memerintah pengawal-pengawal yang berada di belakangnya. Brodin tidak menjawab teriakan perintah dari Sang Kuwu, diapun merasakan was-was dan khawatir dengan keadaan kampung, maka dari itu Ia ikut berlari bersama kawan-kawan yang lain untuk menyusul ke dalam kampung.
Sesampainya di tepi perkampungan, Wiratama melihat beberapa pria yang tidak dia kenal sedang berteriak dan tertawa terbahak -bahak, "mampuslah kalian penduduk Jalaksana, hidup kalian hanya cukup sampai hari ini". Orang-orang tersebut bertampang sangar dan mengerikan, tangan mereka membawa obor yang masih menyala dan membakari rumah-rumah penduduk. Sebagian dari mereka membabat siapapun yang keluar dari rumah-rumah, tidak peduli kaum wanita ataupun anak-anak. Golok-golok mereka yang terhunus masih meneteskan darah segar, terlihat oleh Wiratama karena pantulan cahaya dari api yang membakar rumah penduduk.
"Hentikan perbuatan biadab kalian" suara Wiratama menggaung keras karena di aliri tenaga dalam yang tinggi, membuat jantung menghentak bagi yang mendengarkan. "Siapa kalian?" Wiratama membentak dengan keras. Gerombolan orang-orang yang membuat keonaran tidak menjawab bentakan dari Wiratama, mereka langsung membentuk lingkaran mengelilingi Wiratama, karena dengan mendengar teriakan Wiratama yang di barengi dengan tenaga dalam yang tinggi, mereka merasa orang yang dihadapi bukan sembarangan dan tidak bisa di hadapi satu ataupun dua orang dengan kemampuan yang sekarang mereka miliki. Delapan orang tersebut mengelilingi Wiratama dengan golok-golok tehunus yang masih berlumur darah. Dengan wajah yang mengerikan karena kemarahan memuncak, Wiratama memekik dengan keras, "graaauuummm....pekikan ilmu Macan Lodaya dari Wiratama membahana, memekakan telinga membuat jantung terguncang mereka yang sedang mengelilinginya.
Ke delapan orang tersebut jatuh berlutut, golok-golok mereka terlepas, raut wajah mereka ketakutan dan tak mengira, hanya karena pekikan tersebut mereka tak berdaya, Wiratama mengangkat salah satu orang tersebut ke atas melewati kepalanya sendiri, lalu ia mengambil salah satu golok dengan cara menjungkit dengan kaki kanan, golok tersebut terlempar ke atas dan di tangkap tangan kiri Wiratama. Tanpa mengatakan apapun ia memenggal kepala orang tersebut, "classh...dug..kepala tersebut jatuh ketanah dengan mata yang masih terbelalak. Tubuhnya masih di angkat oleh Wiratama, dari leher itu memancar darah yang deras, sampai - sampai memercik ke tubuh Wiratama dan ke tujuh orang yang masih berlutut di bawah.
Wiratama lalu menendang tubuh itu ke kobaran api yang masih menyala. "Kalian tidak mengharapkan aku bertanya kembali?" dan berharap memenggal kepala kalian satu persatukah?" Orang-orang yang berlutut mengelilingi Wiratama masih belum siap menjawab pertanyaan tersebut. Wajah mereka terlihat ketakutan, Wiratama mendatangi kembali seseorang yang berada di kanannya, kemudian mengibaskan telapak tangannya ke samping dan mengenai kepala, "dakkkk....suara retakan tulang tengkorak terdengar, darahpun kembali menyiprat ke tubuh-tubuh yang masih terpana menatap tanah.
Brodin terkesima melihat pemandangan di depannya, ia melihat sang Kuwu Wiratama berdiri tegak dengan wajah menakutkan dengan di kelilingi enam orang yang berlutut di depannya, Brodin selama ini mengenal Kuwunya dengan baik, selalu ramah dan baik hati terhadap warganya. Wajahnya tampan dan tidak pernah sedikitpun memasang wajah semenakutkan saat ini.
Selain melihat pemandangan itu, Brodin dan pengawal-pengawal yang lain terhenyak, mayat-mayat warga Jalaksana betebaran di mana-mana dalam keadaan yang menggiris hati. Para prianya mati dengan luka-luka yang menganga di sekujur tubuh , tak jauh berbeda wanita-wanitapun mati mengenaskan dengan luka bacokan-bacokan golok dan tusukan-tusukan tombak, melihat hal tersebut Brodin dan yang lain menduga kemarahan Wiratama memuncak karena kejadian yang mengerikan yang menimpa warga Jalaksana.
Tanpa menoleh Brodin, Wiratama berbicara kepadanya, "Brodin, orang-orang ini yang membakar kampung kita dan yang membunuh warga-warga kita, aku akan membunuh mereka semuanya, kau carilah orang-orang dari warga kita yang selamat dari kekejian mereka", "baik Kuwu, kami akan melaksanakan perintahmu" jawab Brodin dan yang lainnya.
Wiratama kembali memandang para perampok yang masih berlutut, salah satu rampok yang terlihat paling tua menengadah memandang muka Wiratama, sambil menyerigai dia bekata, "Wiratama, apa yang kau lakukan pada kami, kau akan mendapatkan balasan dari junjungan kami sebentar lagi!", Wiratama melenggak tersenyum pedas, "dalam keadaan seperti ini kau masih bisa mengancamku, cecunguk-cecunguk kecil" golok yang ada di tangan kirinya membabat ke sisi kanan dan kiri orang tersebut...clap..clap...ke dua telinganya berjatuhan ke tanah, jeritan panjang menahan kesakitan terdengar, "akhaakhh,..tanpa belas kasihan, Wiratama kembali menggerakan golok tersebut dengan cepat, gerakannya seperti tusukan tetapi di serongkan ke samping, membelah hidung, "aaargkhhh..orang itu jatuh tersungkur dan tidak bisa terbangun kembali, sepertinya ia pingsan tak dapat menahan sakit yang mendera telinga dan hidungnya.
Sementara itu, Brodin dan yang lain-lainnya memeriksa sampai ujung perkampungan, mereka tak mendapatkan seorangpun yang masih hidup.Tetapi ia memastikan jumlah mayat yang banyak tergeletak tidak sama dengan jumlah penduduk Jalaksana. Ia memperkirakan dan berharap mereka yang tak di temukan mayatnya dapat melarikan diri dan masih hidup, termasuk istri dan anak-anaknya, "Sukanta, Purwaka, dan kau Bondan kalian memencar mencari yang lain ke arah timur, aku bersama Sukandara memeriksa ke arah barat!" Brodin memerintah yang lain untuk berpencar.
Kembali ke Wiratama yang masih menghadapi para perampok yang di depannya, Wiratama meloncat ke belakang orang-orang tersebut, dengan kecepatan yang tidak terlihat oleh pandangan mereka, ia menotok pembuluh darah yg berada di belakang leher mereka masing-masing dengan satu totokan, ke lima orang tersebut jatuh tersungkur, entah tewas ataupun hanya sekedar tidak sadarkan diri.
Selanjutnya Wiratama menuju rumahnya yang berada di tengah-tengah perkampungan, dengan rasa khawatir yang mendalam, Ia berharap bisa menemukan istri dan anak semata wayangnya Wirayudha. Wiratama tiba di depan sebuah rumah yang sudah habis terbakar api, tetapi ia tetap berjalan ke tengah-tengah bara api tersebut untuk mencari istri dan anaknya. Ada dua mayat yang masih membujur di tengah-tengah puing rumahnya, mayat tersebut setengah utuh dan setengah gosong terlalap api. Tapi ia mengenali dua mayat yang terbujur kaku tersebut adalah kedua mayat mertuanya. kedua mayat itu ia gendong di pundak kiri dan kanan nya keluar dari puing-puing, tak di ketemukannya sosok istri dan anaknya.
Sudah dua hari ini Saraswati berdiam di gua Hutan Dadap yang berada di ujung kampung Sampurna, pelarian yang ia lakukan bersama putranya belum berakhir. Saat-saat terjadi perampokan, ia sedang mengambil tanaman untuk obat yang berada di seberang sungai.
Tak di sangkanya Wirayudha yang terbiasa sudah tidur saat mentari mulai redup, Wirayudha merengek untuk ikut dengannya mengambil tanaman. Kedua orang tua Saraswatipun memaksa untuk mengajak Wirayudha ikut dengannya, saat itu dengan terpaksa Saraswati mengajak anaknya ikut.
Sekembalinya dari mengambil tanaman obat, Saraswati melihat perampok-perampok itu datang, dan mengganas di kampungnya. membunuhi setiap orang yang lewat dan membakar rumah-rumah, serta menjarah barang-barang yang ada. Saraswati saat itu langsung membawa anaknya lari menyelamatkan diri setelah mendengar bahwa orang tuanya ikut tewas terbakar dari warga kampungnya yang berlari keluar dari pedukuhan tersebut. Berdua bersama anaknya ia berlari tak tentu arah, terpisah dari warga kampungnya yang ikut menyelamatkan diri. Sampai hari ini, dua hari setelah perampokan, Saraswati belum berani keluar dari gua tempat persembunyiannya. Saraswati tak menyadari Kampung Sampurna sangat jauh dari Jalaksana. Wirayudha mulai menangis kembali, menyadarkan Saraswati bahwa selama dua hari ini, ia hanya memberi Wirayudha putranya dengan minuman yang berada dekat di depan gua.
Di depan gua tersebut berada, terdapat sungai yang mengalir deras. Sepertinya aliran sungai itu berasal dari sumber mata air Grojokan Sewu yang berada di kaki Ciremai. Saraswati adalah perempuan kampung yang sederhana dan tak mengerti pengetahuan apapun, yang ia tahu sebagai perempuan tugas dan tanggung jawabnya adalah berbakti kepada suami dan merawat sang buah hati. Ia di persunting oleh Wiratama tujuh tahun yang lalu.
Wiratama adalah seorang pendatang dari kerajaan yang jauh di tengah Pulau Jawa yaitu Mataram. Karena kepandaian dan pengetahuannya luas, Wiratama di angkat menjadi Kuwu atau pemimpin di perkampungan Jalaksana. Saraswati merasakan kebahagian yang tak terkira saat Wiratama menyatakan cinta, dan mempersunting dirinya.
Hari ini baru ia merasakan sesak, kebahagian terenggut darinya.Tangisan Wirayudha belum berhenti, tangan Saraswati membelai kepala putranya untuk menenangkan. "Diamlah nak, Ibu akan mencarikan makanan untukmu keluar, kau harus menunggu disini!", tangis Wirayudha berhenti, ia merangkul leher ibunya, "aku tak mau kau tinggalkan disini bu, aku ikut". Akhirnya Saraswati membawa anaknya keluar dari gua tersebut. Sesampai di depan gua, Saraswati kebingungan, apa yang harus ia lakukan?, selama ini ia tak pernah sedikitpun belajar mengenai Olah yudha dari suaminya, pengetahuannya selain memasak dan mencuci, ia hanya bisa meracik obat-obatan yang ia jual kepada para penduduk di pasar. Kepalanya berpaling ke kiri dan ke kanan, sesekali ia menatap ke kerimbunan pohon, dengan harapan menemukan buah-buahan yang dapat ia makan bersama anaknya. Disana ia melihat buah-buahan yang bergelantungan, Mangga, Rambutan, Pepaya yang sudah matang, kemudian ia berusaha naik, dengan susah payah akhirnya ia dapat mengambil buah-buahan tersebut, dan memakan bersama anaknya Wirayudha.
Saraswati tak menyadari dari kerimbunan pohon-pohon, ada sepasang mata yang sedang menatapnya. Melihat semua apa yang dia lakukan. Sosok perempuan tua yang berambut putih dengan wajah yang menyeramkan dan mata yang bersinar tajam, berdiri bungkuk dengan di topang tongkat kayu sebagai penompang tubuhnya yang renta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!