Nama gadis manis itu Indira. Lahir di sebuah keluarga sederhana yang sarat aturan militer. Karena ayah Indira, pak Surya adalah seorang bintara di TNI AD. Ibunya, bu Siti seorang ibu rumah tangga biasa, yang sangat patuh pada suami.
Pak Surya dan Bu Siti memiliki empat orang anak. Anak tertua pak Surya bernama Amar yang merupakan karyawan di sebuah perusahaan swasta. Anak kedua bernama Indira, seorang mahasiswi. Anak ketiga dan keempat bernama Adi dan Ali, masing-masing duduk di kelas 2 SMK dan 3 SMP.
Keluarga Indira tinggal di pemukiman umum di daerah Jakarta. Meskipun ayah Indira bisa saja membawa keluarga kecilnya tinggal di rumah dinas yang disediakan kesatuannya, tapi ayah Indira lebih memilih pemukiman umum. Alasannya karena dia ingin mendidik keluarganya agar lebih membaur dengan lingkungan.
Indira remaja terbiasa mandiri hampir di segala hal. Bahkan untuk biaya kuliahnya Indira juga mengusahakan sendiri dengan bekerja. Sebelumnya Indira adalah karyawati di perusahaan kontraktor bangunan. Namun setelah diPHK, dia memilih bekerja sebagai guru les privat anak-anak SD.
Indira sedikit tomboy, tapi bisa jadi sosok yang lembut sesuai keadaan. Wajahnya cukup manis. Dengan kulit sawo matang dan postur tubuh yang 155 cm sesuai dengan berat badannya, Indira terlihat menarik. Karakternya ramah walau agak sedikit introvert. Dengan sifat dan karakternya itu membuat Indira agak sulit untuk 'cepat akrab' dengan orang lain khususnya orang dewasa. Tapi sikap Indira akan berbalik 180° jika itu berkaitan dengan anak-anak.
Indira memang suka anak-anak dan mudah menyelami jiwa anak. Indira juga bisa membuat anak yang anti sosial berubah menjadi anak yang terbuka dan mau menerima kehadiran orang lain terutama dirinya. Dengan kemampuan tersebut Indira bisa dengan mudah berinteraksi dengan anak-anak dan materi pelajaran yang dia sampaikan pun bisa dengan mudah dicerna oleh mereka.
Kemampuan Indira berinteraksi dengan anak juga menorehkan pengalaman menarik. Saat itu Indira dan rekannya yang bernama Tini mengajar les private di sebuah keluarga 'tajir' yang memiliki dua anak perempuan. Sang adik yang saat itu kelas 3 SD diajar oleh Indira, sedangkan sang kakak yang duduk di kelas 5 SD diajar oleh Tini.
Rupanya sang kakak iri melihat cara belajar mengajar Indira yang menurutnya sangat menyenangkan. Akibatnya sang kakak pun mulai 'mengacau' dan mengganggu proses belajar sang adik hingga mereka bertengkar hebat.
Indira dan Tini bingung bagaimana cara melerai kedua anak itu. Para asisten rumah tangga yang berjumlah empat orang pun tak sanggup menghadapi amukan kedua anak majikannya itu.
Kemudian sang pengasuh menelpon ibu kedua anak tersebut. Bu Sasya berjanji akan pulang cepat dan meminta agar kedua anaknya dipisahkan sementara dengan diajak ke dua tempat berbeda.
Setelah kedua anak tersebut berhasil ditenangkan, Indira dan Tini pun pamit.
Esoknya Indira tetap datang seperti biasa. Tapi rupanya kedatangan Indira sudah ditunggu oleh ibu kedua anak itu. Bu Sasya meminta Indira mengajar anak sulungnya juga. Semula Indira menolak dengan halus karena kawatir menyinggung perasaan Tini.
Bu Sasya menjelaskan anak sulungnya menderita sindrome pengendalian diri atau kita kenal dengan 'autisme'.
" Emosinya naik turun. Ga boleh terlalu senang, terlalu sedih atau terlalu marah. Jika keinginannya tak terpenuhi dia bakal ngamuk dan menghancurkan barang-barang yang ada di sekitarnya. Terkadang Saya terpaksa mengunci si Kakak di kamar supaya ga membahayakan dirinya, Adiknya juga semua orang yang ada di rumah. Sekarang si Kakak masih menjalani terapi di dokter kepercayaan keluarga. Dan setelah berkonsultasi dengan dokter, beliau menyarankan agar Saya membicarakan ini dengan Bu Indira," kata Bu Saysa.
Mendengar penuturan bu Sasya akhirnya Indira menyetujui permintaannya walau merasa tak enak hati dengan Tini. Saat itu Indira tak mau kehilangan mata pencariannya karena dia ingin membantu kedua orangtuanya. Apalagi bu Sasya berjanji urusan dengan Tini akan diambil alih olehnya.
Setelah hari itu kedua anak Bu Sasya menjadi murid Indira. Karena semangat mengikuti les, hal itu berimbas pada nilai pelajaran mereka di sekolah. Nilai mereka mengalami peningkatan yang lumayan pesat hingga membuat bu Sasya bangga dan bahagia.
Sebagai ungkapan terimakasih Bu Sasya pun memberi bonus kepada Indira diakhir semester sebelum libur akhir tahun. Tentu saja Indira senang menerimanya.
Di dalam bus tak hentinya Indira tersenyum membayangkan respon kedua orangtuanya saat mengetahui dia mendapatkan bonus. Setelahnya Indira kembali merenungi perjalanan hidupnya.
Sebelumnya Indira selalu optimis mengejar impiannya. Indira makin semangat karena pekerjaan yang dia tekuni juga sesuai dengan bidang yang dia minati. Saat ini Indira masih tercatat sebagai mahasiswi semester empat jurusan Teknik Arsitektur di sebuah universitas swasta di Jakarta. Indira kuliah sore hari karena bekerja. Dan sekarang Indira terpaksa cuti kuliah karena ketiadaan biaya.
Indira ingat, di kampus dulu dia bisa berinteraksi dengan banyak orang yang memiliki karakter berbeda. Meski tak banyak teman, tapi Indira lumayan disukai dalam kesehariannya.
Teman Indira kebanyakan pria dewasa yang merupakan pekerja kantoran dan telah menikah. Dengan status mereka sebagai suami sekaligus ayah, berteman dengan Indira adalah hal yang menyenangkan. Selain Indira bukan sosok yang 'genit', Indira juga pandai membawa diri hingga teman-temannya tak perlu khawatir dicemburui istri masing-masing.
Indira pun tersenyum saat mengingat interaksinya dengan para pria dewasa yang sebagian juga ada yang jomblo seperti dirinya.
" Gimana absen Gue kemaren Dir ...?" tanya Jamal saat bertemu dengan Indira di kantin kampus.
" Tenang aja, Gue kan orang nya amanah. Udah Gue absenin kok kemaren," sahut Indira sambil mengunyah makanannya.
Jamal pun tersenyum lalu ikut duduk di samping Indira sambil menikmati segelas teh panas.
Tiba-tiba beberapa teman sekelas mereka ikut bergabung hingga membuat kantin menjadi ramai seketika.
"Wahhh ... makan berduaan aja nih, kok ga ngajakin Gue sih. Jangan-jangan ada something nih Lo berdua ya !" kata Heru lantang disambut tawa teman-teman mereka.
"Ga lah Her, Indira mah bukan type Gue banget. Lo tau dong gimana selera Gue," sahut Jamal sambil menaik turunkan alisnya.
" Ga boleh ngomong gitu Mal, pamali. Kan ada tuh pepatah Jawa yang bilang 'jalaran soko kulino', lama-lama cinta gara-gara sering nongkrong bareng ...," kata Adang mengingatkan.
" Oh iya. Betul tuh yang Adang bilang. Jangan sampe Lo ketulah omongan sendiri Mal. Sekarang nolak, eh ke depannya justru Lo yang ga bisa jauh dari Indira !" sela Khairul sambil tertawa.
" Udah deh, nih pada ngebahas apaan sih?. Lagian kalo Gue masuk type Lo sekalipun, Gue juga ga bakal mau sama Lo Mal," kata Indira ketus.
Ucapan Indira tentu saja disambut tawa semua orang. Bahkan pelayan kantin ikut tertawa karena melihat ekspresi wajah Jamal yang terkejut sekaligus malu.
" Pait ... pait. Kasian banget Lo Mal. Belom berjuang aja udah ditolak duluan sama Indira. Gimana nihh ...?" goda Heru sambil tertawa.
Jamal nampak memonyongkan bibirnya sambil garuk kepalanya yang tak gatal mendengar ucapan teman-temannya.
" Oh iya lupa. Dira dicariin senior tuh tadi," kata Adang setelah tawanya mereda.
" Senior yang mana Dang ...?" tanya Indira.
" Yang sering bareng Lo itu lho. Duh siapa ya namanya, Gue lupa. Pokoknya sering pake topi ungu gitu deh. Katanya Lo ada janji sama dia dan sekarang ditungguin di ruang senat," kata Adang lagi mencoba mengingat.
" Ooo ... itu si Elmo. Tapi perasaan Gue ga pernah janjian sama dia," sahut Indira sambil berusaha mengingat.
" Masa sih. Tapi dia keukeuh nunggu Lo di sana Dir," kata Adang.
" Ciee ciee ..., Indira maennya sama senior sekarang. Kayanya cowok itu suka sama Lo dan lagi berusaha modusin Lo Dir. Udah sikat aja Dir, oke juga kok orangnya," sela Boni.
" Apaan sih, jangan kumat deh ...," kata Indira sambil bangkit dari duduknya.
Setelah membayar makanannya, Indira beranjak masuk ke kelas diikuti teman-temannya itu.
Tawa masih terus menggema diantara mereka. Sesekali rayuan gombal dialamatkan Boni pada Indira, yang membuat suasana makin gaduh. Apalagi respon Indira yang tenang makin membuat mereka senang. Sungguh pemandangan ini sudah menjadi santapan rutin Indira di kampus setiap hari dan itu membuatnya rindu.
\=\=\=\=\=
Lamunan Indira masih berlanjut karena hanya itu yang bisa dia lakukan saat kondisi jalan raya macet di sore hari itu.
Indira ingat, saat dia dan teman-temannya tiba di lantai dua, mereka berpapasan dengan Elmo. Nampaknya pria itu sedikit kesal karena lelah menunggu Indira.
" Hei Dir, baru dateng Lo. Lo ga lupa kan kalo Lo janji mau bantuin Gue ngerjain tugas ?" tanya Elmo.
" Bantuin tugas yang mana ya El ?. Seinget Gue, Gue ga pernah janji apa-apa sama Lo. Bukannya justru Lo yang maksa supaya Gue ngajarin Lo ya ...," sahut Indira.
" Waktu kita naik bis tingkat tempo hari Dir. Gue tau Lo lulusan STM Bangunan, pasti bisa lah soal kaya gini mah. Ayo buruan ajarin Gue, keburu dosen Dateng nih," paksa Elmo.
" Tapi di sekolah dulu nilai Mekanika Teknik sama Bangunan Air Gue tuh emang jeblok gara-gara Guenya ga ngerti El ...," kata Indira.
Meski Indira sudah berusaha mengelak untuk membantu Elmo mengerjakan tugas, tapi pria itu tetap memaksa.
Akhirnya dengan enggan Indira mengikuti Elmo yang mulai melangkah ke arah balkon yang merupakan tempat favorit para mahasiswa duduk santai sambil menunggu jam mata kuliah dimulai. Begitu Elmo membuka buku, terlihat rumus dan angka-angka yang membuat Indira pusing.
Bersyukurnya Indira saat melihat Heru melintas di depan mereka. Tanpa basa basi Indira meminta Heru ikut bantu Elmo mengerjakan tugasnya. Heru yang memang cerdas mengiyakan saja permintaan Indira.
"Gitu El caranya ...," kata Heru sesaat kemudian.
"Ntar nentuin jumlah baut sama diameter baut yang dipake gimana Her, ga paham nih Gue," sahut Elmo setengah frustasi.
Heru dengan telaten kembali mengajarkan Elmo berhitung dengan rumus yang sudah ada di catatan. Indira ikut serius memperhatikan penjelasan Heru. Menurut Indira cara Heru lebih mudah dipahami dibanding dosen yang mengajar di depan.
Akhirnya Elmo selesai mengerjakan tugasnya. Setelah mengucap terimakasih pada Heru dan Indira, Elmo pun melangkah masuk ke dalam kelasnya meninggalkan Heru dan Indira yang masih duduk di balkon.
" Gue kok ngerasa aneh sama temen Lo itu Dir ...," kata Heru sambil mengikat tali sepatunya yang terlepas.
" Aneh kenapa Her ...?" tanya Indira.
" Yaa ..., dari segini banyaknya orang kenapa dia minta bantuin Lo ngerjain tugas. Selain Lo Adek kelasnya, Lo juga kan belom sampe ke materi yang tadi dia kasih liat karena emang belom diajarin sama Dosen. Mustahil Lo bisa ngerjain semuanya kecuali Lo jenius. Kan biasanya juga Lo nyontek sama Gue kalo ada tugas Mekanika Teknik," sahut Heru.
" Iya juga sih. Emang aneh tuh orang , kenapa ga minta ajarin sama temen sekelasnya aja ya," kata Indira.
" Jangan-jangan dia naksir sama Lo Dir. Alasan aja nanya tugas biar bisa deket sama Lo. Modus cowok kaya gini mah gampang banget kebacanya," gumam Heru sambil menggelengkan kepalanya.
Ucapan Heru membuat Indira tertawa. Dan karena mendengar hal yang sama berulang kali, mau tak mau Indira mulai 'ngeh' dengan sikap Elmo padanya.
Indira menghela nafas panjang saat mengingat betapa lambatnya Elmo mengungkapkan perasaan sukanya hingga membuat Indira lelah. Karena tak ingin terjebak dengan romansa tanpa wujud, Indira pun memilih mengalihkan perhatiannya pada hal lain yang lebih penting dan bermanfaat.
Dan lamunan Indira pun buyar saat kernet bus menyebut nama pemberhentian berikutnya dengan lantang. Indira bergegas bangkit karena tempat pemberhentian tersebut adalah tempat tujuannya.
\=\=\=\=\=
Tahun 1998.
Saat itu Indonesia sedang mengalami krisis kepercayaan pada pucuk pimpinan negara.
Demo dan kerusuhan sporadis terjadi hampir di semua tempat. Hal ini menyebabkan ketidak nyamanan hampir disetiap lini kehidupan masyarakat terutama yang ada di kota besar, termasuk Jakarta.
Surat kabar dan media elektronik dipadati berita demo dan kerusuhan setiap harinya, bahkan media elektronik selalu update berita hampir setiap jam. Bayangkan betapa ricuhnya Jakarta saat itu.
Masyarakat resah, ibu-ibu menjerit karena harga sembako yang tak stabil dan mulai merangkak naik. Sulitnya distribusi menjadi salah satu alasan yang menyebabkan harga sembako meroket.
Saat itu hampir semua orangtua harus menyediakan ongkos extra buat anak mereka agar bisa pulang selamat, karena harus beberapa kali ganti alat transportasi untuk menghindari demo yang marak terjadi.
Indira yang saat kejadian masih duduk di semester empat, juga ikut merasakan langsung 'kerusuhan' menjelang peristiwa bersejarah yang disebut Reformasi itu.
Sore itu seperti biasa Indira pulang dari mengajar les private. Saat bus sedang melaju, tiba-tiba bus yang ditumpangi Indira itu dihadang orang-orang tak dikenal. Jumlah mereka cukup banyak. Mereka memaksa semua penumpang turun saat itu juga. Memilih aman akhirnya semua penumpang turun tanpa perlawanan. Semua orang mengira mereka akan dirampok. Tapi mereka salah.
Setelah awak bus dan seluruh penumpang turun, seseorang menyulut api di kolong bus. Tak lama kemudian bus pun terbakar. Semua orang refleks menjauhi bus tersebut. Tak hanya membakar bus, mereka juga memblokir jalan yaitu dengan cara membakar ban mobil di tengah jalan. Asap hitam yang mengepul disertai api yang membesar membuat semua orang panik lalu menyingkir perlahan.
Indira pun segera pergi meninggalkan tempat itu dengan berjalan kaki. Rupanya Indira tak sendiri, karena di saat yang sama dia juga melihat banyak orang dari berbagai arah yang jalan kaki seperti dirinya. Indira sempat bingung melihat banyak orang yang berjalan kaki. Indira mengira hanya jalur yang dia lewati yang mengalami kendala. Tapi ternyata Indira salah. Kejadian serupa juga terjadi di jalan-jalan lainnya yang membelah kota Jakarta. Dan kemudian kejadian tersebut disebut kerusuhan massal karena terjadi dimana-mana di seluruh wilayah Jakarta.
Di sepanjang jalan Indira harus menyaksikan sebuah kejadian langka. Indira melihat penjarahan massal di sebuah mini market. Disebut massal karena penjarahan tak hanya dilakukan oleh satu orang, tapi banyak orang. Security dan karyawan mini market tampak tak berdaya menghadapi puluhan orang yang datang menjarah. Mereka hanya berdiri mematung di depan toko sambil saling menatap cemas.
Di saat yang sama, tepat di sebrang jalan yang Indira lalui, Indira juga melihat beberapa mesin ATM milik Bank-bank Swasta dirusak beberapa orang tak dikenal. Nampaknya penjarahan juga terjadi di mesin penghasil uang otomatis itu.
Indira makin bingung saat melihat toko-toko di sepanjang jalan yang biasanya masih melayani pembeli pun tampak tutup. Indira tak mengerti mengapa hampir di semua rolling door toko tertulis 'MILIK PRIBUMI'. Ada juga tulisan 'MILIK HAJI DULLOH', 'MILIK USTAZAH SAMIRAH' dan sebagainya. Rata-rata tulisan itu menginformasikan bahwa toko adalah milik warga Indonesia asli dan bukan milik warga asing. Di kemudian hari Indira baru tahu bahwa tulisan tersebut dibuat sebagai isyarat agar toko tidak dijarah warga.
Kondisi saat itu sangat kacau. Di semua tempat terlihat rusuh dengan orang-orang yang berteriak, saling memaki dan berlarian kesana kemari. Meski pun begitu perjalanan Indira terbilang lancar dan aman. Karena tak seorang pun dari perusuh itu mengganggunya.
Di sepanjang jalan Indira juga melihat ibu-ibu yang berbaris sambil menangis. Rupanya mereka mencari suami atau anaknya yang belum pulang. Mereka kawatir jika keluarganya jadi korban salah sasaran karena banyaknya warga yang terluka akibat kerusuhan massal saat itu.
Indira dan warga lainnya masih berjalan kaki karena tak ada satupun kendaraan umum yang lewat. Banyak pemilik motor yang tiba-tiba jadi 'ojeg motor' dadakan karena ingin mencari sedikit keuntungan dari kondisi saat itu. Meskipun ongkos yang diminta terbilang fantastis, tapi banyak juga orang yang menggunakan jasa ojeg dadakan tersebut. Indira memilih tetap jalan saja. Selain tak bawa uang lebih, Indira merasa tak sendirian karena hampir semua orang melakukan hal yang sama dengannya.
Hingga tak terasa malam pun tiba. Sepanjang jalan gelap karena pemutusan aliran listrik besar-besaran dari PLN. Meski gelap, namun jalan tetap ramai dan bising karena hampir semua orang turun ke jalan.
Saat melintas di depan deretan perkantoran, Indira melihat banyak orang berseragam yang sembunyi di kegelapan. Mereka juga menggenggam senjata api laras panjang sambil terus mengamati situasi. Indira tahu mereka adalah petugas gabungan TNI, POLRI dan security kantor yang tampak siaga menjaga kemungkinan terburuk dari warga yang sedang 'mengamuk'.
Indira sempat berhenti beberapa kali karena lelah. Indira baru sadar jarak yang dia tempuh selama ini ternyata sangat sangat jauh. Sambil beristirahat Indira berusaha tetap tenang. Untuk mengusir ketakutan Indira pun berbincang ringan dengan orang-orang di sekitarnya. Setelah cukup istirahat, Indira kembali melanjutkan perjalanannya.
Saat melintas di depan SPBU, Indira kembali dihadapkan pada kekacauan yang sama. Merasa bukan hal aneh lagi, Indira memutuskan mengabaikannya. Dalam hati Indira tak putus berdoa. Dia berharap orang tua dan saudaranya dalam keadaan selamat.
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam, akhirnya Indira tiba di depan pemukiman tempat ia tinggal. Sama seperti tempat lain, pemukiman Indira juga gelap. Rupanya saat itu PLN melakukan pemutusan aliran listrik secara menyeluruh.
Indira tersenyum melihat keluarganya dan para tetangga sedang berkumpul di depan rumah.
Helaan nafas lega dan ucapan syukur terdengar dari mulut semua orang saat Indira mengucap salam. Bahkan Bu Siti langsung menghambur memeluk Indira dengan erat saking bahagianya. Indira pun membalas pelukan ibunya itu dan terharu saat tak sengaja melihat air mata di wajah sang ibu.
\=\=\=\=\=
Indira memasuki rumah dengan langkah gontai dan tubuh berpeluh. Setelah istirahat sejenak Indira pun bergegas membersihkan diri.
Tepat saat jam menunjukkan pukul sembilan malam, listrik kembali 'on'. Terdengar seruan kelegaan bukan hanya dirumah Indira tapi juga di semua rumah.
Ali adik Indira bergegas menyalakan TV untuk meng-update berita hari itu. Semua anggota keluarga turut menonton televisi di ruang keluarga. Hampir semua chanel TV menayangkan peristiwa kerusuhan massal yang terjadi hari itu.
Ayah Indira ( yang saat itu masih menjadi anggota TNI aktif ), tak bisa pulang karena sedang bertugas menjaga keamanan di daerah Jakarta Pusat.
Setiap jeda iklan, Indira dan ketiga saudaranya bergantian menceritakan pengalaman masing-masing hari itu.
" Wah Lo bisa dibilang jadi saksi sejarah juga ya Mbak ...," kata Adi.
" Betul. Kondisi Jakarta yang dipenuhi kerusuhan ini juga lagi jadi bahan pembicaraan di manca negara lho," sambung Ali.
" Masa sih. Emang heboh banget ya sampe beritanya mendunia begitu ?" tanya Indira.
" Iya Mbak !" sahut Adi dan Ali bersamaan.
" Mudah-mudahan damai semua lah. Jangan sampe Sembako langka apalagi meroket harganya. Mudah-mudahan kerusuhannya juga cepet diatasi. Para pimpinan juga harusnya tau apa yang diinginkan sama rakyatnya. Jangan sampe keributan di atas merembet ke bawah. Ibu jadi takut kalo kaya gini. Inget jaman perang dulu," kata ibu Indira cemas.
" Sudah qodarullah Bu. Kan kalo mau berubah harus ada yang dikorbanin. Dengan kata lain ini memang sudah jalannya," sahut Indira.
" Semua menuntut Pak Harto segera mundur dari jabatannya. Apa prediksi Lo Mas Adi ?" tanya Ali sambil meremas ujung bajunya.
" Kalo menurut Gue sih yang terbaik beliau mundur untuk meredam kekacauan ini, selain karena udah sepuh, toh Beliau juga sudah terlalu lama memimpin negara Kita. Sebenernya dengan mundur beliau ga kalah kok, justru lebih terhormat karena memberi kesempatan yang lain untuk maju jadi pemimpin ...," celetuk Indira.
Ucapan Indira membuat Adi dan Ali tersenyum.
" Itu suara hati Lo atau Lo justru lagi mewakili suara temen-temen Lo Mbak. Dalem banget sih kayanya ...," kata Adi sambil mengunyah pisang goreng buatan sang ibu.
Indira terdiam. Dia ingat kejadian kemarin. Salah satu teman memberinya masker untuk melindungi diri dari serangan gas air mata yang dilontarkan petugas keamanan. Tapi Indira menolaknya saat itu. Selanjutnya sang teman menuduh Indira tak solider dan egois karena membiarkan teman-temannya 'turun gunung' untuk memperjuangkan haknya. Meski kecewa dengan sikap sang teman, Indira memilih diam.
Tanpa sepengetahuan sang teman tadi, Indira dan teman-temannya yang lain yang tak bisa ikut turun melakukan aksi demo, juga ikut memberi support dari belakang. Mereka mengumpulkan uang untuk dibelikan makanan, minuman dan obat-obatan. Kemudian barang-barang tersebut dikirim ke lapangan untuk membantu rekan-rekan yang sedang 'berjuang'.
Tiap hari ada saja cerita teman yang terluka akibat gas air mata, atau terjatuh karena menghindari kejaran petugas gabungan dari TNI dan POLRI.
Hingga akhirnya tepat tanggal 21 Mei 1998 , bapak Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden. Ribuan mahasiswa yang menduduki gedung MPR/DPR RI saat itu bersorak gembira mendengar pernyataan itu.
Diiringi lagu Sorak Sorai Bergembira , mahasiswa mundur teratur. Hari itu juga menandakan berakhirnya era pemerintahan Orde Baru. Selanjutnya tampuk pimpinan (Presiden) dijabat oleh bapak B.J. Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai WaPres.
Tumbangnya Orde Baru juga menumbangkan ekonomi masyarakat. Meski sesaat, tapi memberi dampak yang besar bagi masyarakat. Sisa penjarahan dan pembakaran masih terlihat dimana mana. Banyak korban yang jatuh. Selain korban meninggal, hilang, luka, juga banyak wanita etnis tertentu yang menjadi korban perkosaan. Hal itu menambah panjang deretan cerita kelam yang mengiringi proses tumbangnya Orde Baru.
Jakarta seolah lumpuh. Peristiwa dengan berbagai 'rasa' itu pun menjadi catatan sejarah untuk dikenang dan diceritakan pada anak cucu kita kelak.
Life must go on, hidup harus terus berjalan. Yang telah terjadi biar lah terjadi. Slogan ini setidaknya cukup mewakili perasaan rakyat Indonesia saat itu.
Dengan perlahan tapi pasti Indonesia pun bangkit dari keterpurukan. Semua orang, termasuk pemerintah dan warga masyarakat, saling bekerjasama untuk mengembalikan keadaan agar normal kembali. Dan perlahan tapi pasti juga akhirnya Indonesia berhasil melewati masa kelam itu.
Bangkit dan berjayalah terus Indonesiaku 🇮🇩.
\=\=\=\=\=\=
Setelah masa reformasi, kehidupan normal kembali dijalani oleh masyarakat, termasuk Indira dan keluarganya. Dan Indira masih bisa menikmati perannya sebagai mahasiswi kala itu.
Indira nampak berjalan cepat menyusuri koridor kelas. Karena tergesa-gesa Indira tak memperhatikan jalan di depannya dan hampir menabrak seseorang. Begitu orang tersebut menoleh, Indira pun tersenyum.
" Tumben telat. Pak Yunus udah dateng daritadi Dir ...," sapa Elmo.
Ucapan Elmo membuat hati Indira berbunga-bunga. Bagaimana tidak, dari ucapannya Elmo jelas memperlihatkan perhatian yang tak biasa kepada Indira.
" Kok Lo tau kalo Gue mau masuk kelas pak Yunus, El ...?" tanya Indira basa-basi.
" Cuma nebak aja kok. Emang bener ya ?" tanya Elmo.
" Iya ...," sahut Indira.
" Kalo emang Lo mau masuk kelas Pak Yunus, bareng Gue aja. Gue juga mau ke kelasnya Pak Yunus karena Gue kan ngulang matkul nya semester ini," kata Elmo.
"Ooo ... gitu. Ayo buruan El. Ini salah satu matkul favorit sekaligus tersulit buat Gue. Makanya Gue harus extra serius supaya ga ngulang kaya Lo," ajak Indira antusias.
" Ok. Ntar duduk deket gue ya Dir," pinta Elmo.
" Iya ...," sahut Indira santai.
Kemudian Indira dan Elmo berjalan beriringan lalu masuk ke dalam kelas. Keduanya menuju kursi kosong di bagian belakang. Karena mata kuliah ini banyak peminatnya, maka tak heran 2/3 kursi yang tersedia sudah terisi meski pelajaran baru saja dimulai.
Teman sekelas Indira nampak kasak kusuk melihat kedekatannya dengan senior yang bernama Elmo itu. Indira sudah bisa memastikan akan ada gosip yang bakal beredar setelah ini. Tapi Indira tampak tenang karena dia yakin Elmo tak memiliki kekasih. Jadi tak salah kan dekat dengan lawan jenis yang juga sedang jomblo ?.
Indira berkenalan dengan Elmo di semester satu di halte bus. Indira yang punya selera khusus dalam menentukan pasangan pun tertegun saat pertama kali melihat Elmo. Indira merasa apa yang dicarinya selama ini dijumpainya pada sosok Elmo. Awalnya Indira tak menduga jika Elmo kuliah di kampus dan fakultas yang sama dengannya.
Dan setelah berapa kali pertemuan di halte bus, akhirnya Indira memberanikan diri menyapa Elmo dan berkenalan dengannya. Hal ini jelas berbeda dengan sifat dan kebiasaan Indira. Nampaknya kehadiran Elmo telah mampu menghancurkan dinding yang Indira bangun susah payah.
Kala itu Indira yang baru saja naik bus nampak kebingungan mencari kursi kosong. Saat melihat kursi kosong di samping Elmo, Indira pun bergegas menghampiri.
" Kursi ini kosong kan ya ...?" tanya Indira.
" Iya," sahut Elmo sambil menepi agar Indira bisa duduk.
" Alhamdulillah, akhirnya dapet duduk juga. Biasanya hampir sampe baru dapet duduk," gumam Indira sambil tersenyum.
" Ketauan yang jarang dapet duduk. Segitu senengnya bisa duduk saat tujuan masih jauh," ledek Elmo sambil tersenyum.
" Iya dong. Norak ?, bodo amat," sahut Indira.
Elmo tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat sikap cuek Indira.
Entah dapat keberanian darimana, tiba-tiba Indira menoleh lalu memperkenalkan diri.
" Gue Indira, semester satu Teknik Arsitektur," kata Indira.
" Gue Elmo, semester tiga Teknik Arsitektur," sahut Elmo sambil tersenyum.
Sejak saat itu Indira dan Elmo kian dekat meski tanpa status. Indira tahu Elmo menyukainya, begitu pun sebaliknya. Tapi sayang Elmo tak punya keberanian mengungkapkan perasaannya. Sikap pasif Elmo itu membuat Indira ragu dan mulai menjauh.
" Masa Gue juga yang harus duluan nembak, ga mau ah, tengsin Gue. Kenalan Gue yang mulai, masa yang ginian juga Gue yang mulai sih," batin Indira setiap kali bertemu Elmo.
Hingga akhirnya, Indira yang lelah menunggu pun mulai berpaling dan mencari tambatan hati yang lain.
Rupanya reformasi tak hanya terjadi pada bangsa Indonesia tapi juga hati Indira. 😊
\=\=\=\=\=
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!