NovelToon NovelToon

Misteri Kuteks Merah

Prolog

Sekolah Menengah Atas Dahlia (SMA Dahlia) adalah sekolah swasta terelit di kota besar ini. Delapan puluh persen Siswa Siswinya berasal dari keluarga kalangan atas. Sekolah ini sangat terkenal selain karena elitnya, siswa siswinya juga berprestasi, baik akademik dan non akademik.

Sore hari sekolah ini sudah sepi, banyak siswa, siswi dan guru yang sudah pulang. Tetapi tidak di kelas sebelas IPA yang letaknya di pojok lorong, ternyata masih ada orang di dalamnya, tiba tiba terdengar suara rintihan seseorang meminta tolong.

“Tolong....”

“Jangan.... Aaaa. To...lo...n.”

Suara rintihan tadi berubah menjadi suara orang tercekik, kemudian menghilang.

...***...

Keesokan harinya.

“Breaking News Pagi. Di temukan seorang mayat siswi yang berceceran darah di bagian kepalanya di dalam kelasnya sendiri. Dugaan sementara seorang siswi melakukan bunuh diri dengan menggantungkan diri menggunakan tali tambang yang biasa di gunakan olahraga. Namun karena tali yang sudah usang talinya putus dan membuat korban terjatuh kemudian terebentur lantai yang mengakibatkan kepala bocor. Dan juga di temukan secarik kertas dengan tulisan “MAAF, AKU LELAH.”. Saat ini polisi sedang melakukan olah TKP. Saya Andini melaporkann dari tempat kejadian, SMA....”

“Ahh mama kok di matiin Tvnya?.” Tanya Hani.

“Sekolah! Jangan TV mulu. Sekolah sekarang. Udah ayo berangkat bareng sama mama, papa.” Ucap Ratih, Mama Hani.

“Iya Mama.”

Hani dan keluarganya baru saja pindah ke kota ini. Hani sudah terbiasa berpindah tempat dikarenakan pekerjaan papanya. Untungnya dia cepat beradaptasi di tempat baru dikarenakan sifatnya ceria, ramah, dan mudah bergaul meskipun sedikit tomboy.

Mereka berangkat menggunakan mobil. Jarak sekolah dari rumah cukup dekat, hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk sampai.

Saat sampai di sekolah. Hani, papa dan mamanya terkejut. Karena di sana banyak polisi, dan sekolah pun di tutup dengan garis polisi. Mama Hani dan Hani bergegas turun untuk mencari tau apa yang terjadi. Sedangkan papa Hani memparkirkan mobilnya.

“Han, ayo ikut mama. Kita harus cari guru untuk cari tau apa yang terjadi.” Ucap Ratih, mama Hani.

“Iya ma. Kali aja kan aku libur satu minggu gitu karena ada garis polisi gini.” Ucap Hani cengegesan.

“Huss.”

Hani dan mamanya mencari hanya dengan mengkira dari penampilan saja. Mata Hani dan mamanya megedarkan pandang seluruh penjuru, mencari sosok guru di sana. Tak butuh waktu lama, mata mama Hani tertuju pada satu sosok. Seorang wanita yang tidak asing baginya.

“Kayaknya itu deh gurunya Hani. Mamah cek dulu foto profilnya di chat.”

Mama Hani langsung mengeluarkan Handphonenya dan mengecek. Ternyata benar sama dengan yang di foto profil. Kemudian dia langsung menghampiri wanita itu.

Hani masih terdiam di tempat, mengamati keadaan sekitarnya itu.

“Apa sekolah ini yang di berita tadi ya?.” Gumamnya.

Tiba – tiba ada polisi yang sedang mengangkut jenazah keluar dari sekolah, meminta jalan untuk jenazah yang mereka pikul. Jenazah itu sudah di masukkan ke dalam kantung jenazah. Polisi melintas tepat di depannya. Seketika bulu kuduknya berdiri.

“Duh kok merinding ya?” Gumamnya sambil mengelus tengkuknya.

Setelah jenazah yang di angkut berlalu dan sudah di masukkan ke dalam mobil. Hani merasakan angin dingin berhembus kencang ke arahnya. Tidak lama setelah itu, pundaknya mulai berat.

“Apa lagi nih? Gumamnya lagi sambil memijat kecil pundaknya."

“Perasaanku gak enak nih?”

~ Terima kasih, sudah mampir baca~

Eps 1 Awal Yang Buruk

Saat Hani merasakan angin dingin berhembus ke arahnya membuat bulu kuduknya berdiri, serta pundaknya yang terasa lebih berat. Membuatnya semakin tidak nyaman. Tiba – tiba ada yang menepuk pundaknya. Reflek Hani langsung membanting orang yang menepuk pundaknya dengan gerakan bela diri.

“Argh!!!”Rintih anak laki – laki yang terjungkal itu.

Tindakan Hani itu cukup mengundang banyak perhatian. Tak terkecuali polisi di sana. Semua orang memandang ke arah Hani.

“Ada apa itu?” Teriak salah satu polisi yang sedang berjaga di depan garis polisi.

“Jae, kamu gak papa kan?” Ucap seorang sekaligus membantu anak laki – laki itu berdiri.

“Eh, maaf ya. Reflek tadi.” Ucap Hani dengan sedikit gemetar.

Mama Hani yang mendengar suara Hani langsung berlari kecil menuju Hani. Dia dengan sedikit kesusahan karena berdesakan dengan orang lain yang mengerumuni Hani.

“Ada apa Han?” Tanya Ratih, Mama Hani cemas.

“Anu... Ma tadi aku gak sengaja banting dia ma. Aku reflek ma,” Jelasnya.

“Kamu kenapa sih han?” Bisik mama Hani.

“Maaf semua, ini hanya kesalahan kecil. Maaf sekali lagi. Sini nak, menepi dulu. Saya belikan minum ayo nak.”

Mama Hani mengandeng tangan seorang siswa yang tidak sengaja di banting oleh Hani tadi. Menariknya pelan keluar dari kerumunan. Hani hanya bisa berjalan mengekor mamanya sambil menundukkan kepalanya, karena malu.

“Sini nak duduk dulu ya. Saya belikan minuman dulu. Hani kamu di sini temani dia di sini ya.” Perintah Ratih, mama Hani.

“Iya ma.”

Mama Hani pergi berlalu meninggalkan mereka. Dia menyabrang menuju toko kelontong di sebrang jalan sekolah.

Hani hanya berdiam diri di depan anak laki – laki yang dia banting tadi. Suasana sangat canggung saat itu. Hanya terdengar suara motor, mobil lalu lalang dan juga suara sirine yang menggelegar.

“Maaf ya, beneran tadi aku reflek.” Ucap Hani tiba – tiba.

“Iya gak papa kok.” Jawab siswa itu santai.

“Anak baru ya?” Lanjutnya.

“Iya.”

“Jaelani, Biasa di panggil Jae.”

“Hmm?” Hani terlihat bingung dan mengerutkan keningnya.

Siswa itu hanya tersenyum melihat Hani yang kebingungan.

Tidak lama kemudian, mama Hani datang lengkap dengan dua botol minuman mineral di tangannya. Dia memberikan salah satu botol itu ke Hani. Satunya dia buka penutup botolnya dan memberikannya kepada Siswa itu.

“Ini nak, di minum dulu.”

“Terima kasih tante.”

Mama Hani tersenyum. Siswa itu meminumnya seteguk, kemudian menutup kembali.

“Saya permisi dulu tante.” Ucapnya.

“Loh, istirahat dulu disini ya. Kenapa sih kok buru – buru. Beneran udah gak apa - apa?” Tanya Ratih, Mama Hani khawatir.

“Iya gak papa tante, saya permisi.” Siswa itu langsung beranjak pergi setelah berpamitan dengan Mama Hani.

Sekarang di sana hanya ada Hani dan Mamanya. Mama Hani menatap anaknya heran.

“Kamu kenapa Han?”

“Hmmm. Tadi mah, aku merinding gitu, terus pundak aku rasanya berat ma. Tiba – tiba anak tadi menepuk pundakku. Aku reflek ma, aku banting dia.” Jelas Hani.

Mama Hani menghembuskan nafas berat. Dia tersenyum tipis mendengar penjelasan anak semata wayangnya itu. Mama Hani hanya bisa pasrah saat itu, dia paham situasi Hani, karena Hani memiliki sixth sense, dia sering merasa terancam tiba – tiba. Kemampuan itu baru saja dia dapatkan. Dia masih belum bisa membedakan mana situasi yang berbahaya karena ulah manusia, atau berbahaya karena ulah makhluk halus.

"Hani sayang, anak mama. Lain kali, kamu harus bisa baca situasi. Pokoknya kamu hati – hati ya pakai ilmu beladiri itu.” Ucap Mama Hani sambil mengelus rambut Hani.

Hani hanya bisa mengangguk pasrah. Hani merasa tidak salah melakukan hal itu. Karena pada saat itu, dia merasa kalau dirinya sedang terancam. Perasaanya tidak enak, seakan akan ada orang yang terus memperhatikan dia. Bahkan, sampai siswa itu pergi, dia merasa tetap di awasi entah oleh siapa.

“Oh ya Han. Kata wakil kepala sekolah tadi. Sekolah di liburkan tiga hari. Sekolah di tutup sementara untuk penyelidikan.”

“Tuh kan bener mah. Libur.” Ucap Hani semangat.

Mama Hani hanya tersenyum tipis melihat anaknya itu. Kemudian, dia mengeluarkan ponselnya untuk memanggil taksi online melalui aplikasi.

Lima menit kemudian, mobil berwarna putih datang dan berhenti tepat di depan Hani dan mamahnya. Kaca mobilnya perlahan turun.

“Dengan ibu Ratih?”Tanya sopir taksi.

“Iya, benar. Tolong antar anak saya ya pak. Sesuai aplikasi alamatnya.”

“Baik ibu.”

“Kamu pulang sendiri ya Han. Mama sama papa langsung berangkat kerja.”

“Siap ma.” Ucap hani sambil mengulurkan tangannya.

Mama Hani menyambut uluran tangan Hani. Hani langsung mencium punggung tangan mamanya. Kemudian, dia masuk ke dalam mobil.

Tidak butuh waktu lama, mobil langsung melaju meninggalkan area sekolah. Namun berjalannya lambat, karena arus lalu lintas yang macet karena kejadian di sekolah itu.

Hani menatap keluar jendela, melihat banyak siswa siswi serta orang yang berkumpul di sekitar sekolah. Orang – orang sedang sibuk dengan ponselnya. Sibuk untuk merekam video keadaan sekolah saat ini. Hani hanya menggeleng melihat kejadian itu.

Pundak Hani kembali terasa berat. Dia memijit pelan pundaknya, sambil memutar ringan kepalanya ke kanan dan kekiri.

Pak supir yang memperhatikan Hani dari sepion pun berkata.

“Penggel dek badannya?”

“Iya nih pak.”

“Kayaknya pegelnya bakal lama deh, dek. Soalnya....” Lanjutnya.

“Hah?”

Pak sopir terdiam sejenak, kemudian dia melanjutkan kalimatnya.

“Macet dek, jadi sampainya lama.”

“Oh.... Iya pak. Macet banget kayaknya.” Jawab Hani.

“Iya, soalnya ini lingkungan sekolah. Wajar kalau macet. Orang hari biasa aja macet dek, apalagi ada kejadian ini. Tambah macet.”

“Hmmm.”

Hani masih merasakan tidak nyaman di pundaknya. Punggungnya pun juga lama – lama terasa semakin hangat. Padahal saat ini dia berada di sebuah mobil ber AC.

Dua puluh menit kemudian.

Hani sudah sampai di depan rumahnya. Di turun dari mobil.

“Terima kasih pak.” Ucapnya.

“Hati – hati ya dek.” Sahut pak sopir.

“I- iya.”

Hani menutup pintu mobil taksi itu, dan berjalan menuju gerbang rumahnya. Gerbang rumahnya sanggat tinggi. Rumahnya sangat mewah, berlantai dua dengan tipe modern.

Hani menekan bel di tembok yang menjorok ke dalam di tembok pinggir pagar. Tidak lama kemudian pagar terbuka.

“Sudah pulang, mbak?” Tanya satpam rumah Hani, Pak Herdi namanya.

“Iya nih pak. Oh iya, aku libur tiga hari lo pak.” Jawab Hani sambil berjalan dan melompat kecil masuk ke halaman rumahnya.

“Kenapa mbak?” tanya pak satpam lagi, sambil menutup pagar.

“Sekolah libur pak, karena masih di gunakan penyelidikan pak. Bapak tau berita gak pak? Ada siswi meninggal di sekolah.”

“Oh berita tadi pagi mbak?”.

“Yap, itu sekolahku.”

Pak satpam diam terpaku mendengar itu.

“Aku masuk ya pak.” Lanjut Hani.

“Oh iya mbak, Silahkan.”

Hani berjalan sambil melompat kecil menuju rumahnya. Sambil bersiul dia, membentangkan kedua tanggannya,

“AAAAA LIBUR!!!” Teriaknya, kemudian dia berlari menuju pintu.

Sampai di depan pintu, dia mendorong pintunya kuat – kuat. Pintunya terbuka lebar hingga batas maksimalnya. Kemudian dia melangkahkan kaki perlahan, sambil sedikit berjinjit.

“Welcome back to my sweet home.” Teriaknya.

Brak!!!

Tiba – tiba pintu tertutup dengan sendirinya. Hani terkejut bukan main, tangannya langsung menyentuh dadanya. Dia merasakan jantungnya berdegup sangat kencang. Matanya mengedarkan pandang ke segala arah. Kemudian, terdengar suara pintu terbuka.

Perlahan dia menuju sumber suara, dia mencari mana pintu yang terbuka itu. Ternyata itu adalah pintu kamarnya, terlihat ada jari di pintu yang terbuka itu. Hani melotot, dia memastikan bahwa yang di lihatnya itu benar.

Pintu semakin terbuka lebar perlahan, dan....

~ Terima kasih, sudah mampir baca~

Eps 2 Teror Nana

Pintu semakin terbuka lebar perlahan, dan muncul sosok wanita yang tidak lain adalah asisten rumah tangganya (ART). Hani bernapas lega, melihat ternyata itu adalah asisten rumah tangga di rumahnya.

“Loh, mbak Hani sudah pulang.” Ucapnya.

“Duh... budhe, bikin kaget aja ah.” Ucap Hani

kesal sambil melangkah menuju tangga.

“Kenapa kaget mbak?. Malahan harusnya saya yang keget. Orang sampean masuk gak ada suara pintu terbuka.” Sanggah budhe Inem.

“Orang pintunya aja tadi kebanting kok dhe. Tutup sendiri pintunya. Masak budhe gak denger?” Ucap Hani yang sudah tiba di samping budhe Inem.

Budhe Inem terlihat mencoba mengingat – ingat. Dahinya berkerut, kemudian matanya keatas.

Tapi setelah selesai mengingat – ingat, dia tetap tidak ingat jika mendengar suara pintu yang tertutup paksa.

“Ah, mungkin saya terlalu fokus bersihin kamar mbak Hani. Jadi gak denger.” Ucap budhe Inem.

“Mungkin.”

Hani melanjutkan langkahnya, dia membuka pintu kamarnya. Namun saat di ambang pintu budhe Inem memanggilnya.

“Mbak!?”

“Hmm?”

“Tumben mbak beli kuteks, ciye. Udah SMA sekarang udah pinter dandan. Ciye, udah punya cowok ya mbak. Hayo ngaku – hayo ngaku.” Ucap budhe cepat bagaikan rapper.

“Kuteks?” Tanya Hani Heran.

“Ck, malu ya. Iya deh iya, gak tanya lagi.” Ucap Budhe Inem berlalu meninggalkan Hani.

“Hih budhe, bisa aja.” Gumam Hani.

Hani kembali melangkahkan kakinya masuk ke kamar. Tiba – tiba ia terkejut dengan apa yang di lihatnya. Jantungnya kembali berdegup kencang, napasnya tidak teratur, bulu kuduknya mulai bediri, kali ini tanggannya pun ikut dingin. Secara tidak sadar, dia mengepalkan tangannya. Matanya pelahan terbuka lebar, pupilnya juga perlahan membesar.

Dia melihat ada tulisan nama di kaca kamarnya. “Nana.” Tulisannya berwarna merah darah. Kemuan tercium bau anyir yang entah datang dari mana.

Hani mulai ketakutan, dia ingin sekali lari dari sini. Tapi tiba – tiba badanya tidak bisa bergerak. Dia merasa kaku saat ini. Keringat mulai bercucuran di pelipis Hani, tubuhnya mulai bergetar hebat dan akhirnya dia pingsan.

Tiga puluh menit berlalu.

Hani mulai tersadar dari pingsannya. Perlahan dia membuka matanya, pandanganya yang awalnya buram pun perlahan menjadi jelas. Matanya mengedarkan pandang ke seluruh ruangan.

“Euh? Aku di kamarku kan?” Gumamnya.

Hani mencoba membenarkan posisinya. Dia mencoba untuk merenggankan tubuh di lantai, karena saat ini badanya terasa kaku dan kesemutan. Dia ingin membuat peredarannya lancar terlebih dahulu. Sambil mengatur napas, dia mengingat – ingat apa yang sudah terjadi.

Setelah aliran darahnya normal kembali, Hani mencoba untuk duduk. Kemudian matanya langsung melihat ke arah cermin. Namun di sana masih ada tuisan “Nana.”

Hani yang penasaran pun langsung bangun dan berjalan menuju kaca itu. Sampai di depan kaca, dia mengamati tulisan itu.

“Ini kok? Hmmm... baunya kayak, kuteks ya?”Hani mulai mengendus tulisan itu.

“Ah benar saja, ini kuteks. Nah ini kuteksnya.” Ucapnya kesal.

“Ini pasti ulah budhe.”

“Budhe.... Budhe.... Budhe....” Teriak Hani dari kamar.

“Iya mbak,” Sahut budhe Inem.

Hani melipat tangannya di depan dadanya sambil menunggu budhe datang. Tidak lama, terdengar suara langkah kaki, yang pasti itu budhe Inem. Begitu terlihat budhe berada di depan pintu, Hani langsung cemberut. Budhe yang bingung langsung berjalan cepat ke Hani.

“Ada apa mbak?” Tanya budhe.

“Becandanya gak lucu, budhe.” Ucapnya kesal.

“Kenapa?”

“Aku kaget tau, masa tiba – tiba ada tulisan “Nana” di kaca. Mana bau kuteks lagi. Itu ulah budhe kan?”

Budhe terlihat kebingungan, kemudian dia melirik ke arah kaca yang di maksud Hani.

“Tulisan apa mbak? Gak ada tuh.” Ucap budhe.

“Ini.” Jawab Hani dengan nada tinggi, sambil berbalik badan dan menunjuk cermin.

Hani terkejut, kaca yang ditunjuknya itu bersih tanpa noda. Padahal jelas – jelas Hani tadi melihat ada tulisan “Nana” di sana.

“Tapi... Tapi tadi ada budhe.” Ucapnya mulai melemah.

Budhe Inem hanya memperhatikan Hani yang mulai kelabakan.

“Mbak Hani istirahat aja ya mbak. Tidur dulu.” Ucap budhe lembut.

“Tidur? orang aku habis bangun dari pingsan.” Sanggah Hani.

“Pingsan?!” Budhe terkejut.

“Saya panggilin dokter keluarga ya mbak.” Lanjutnya.

“Gak usah budhe. Saya mau nonton film aja deh. Hah... Biar gak merasa sepi. Budhe kembali aja. Maaf ya budhe.” Ucap Hani merasa bersalah.

“Beneran ya mbak? Saya tinggal dulu.” Jawab budhe Inem, kemudian berlalu meninggalkan Hani di kamarnya.

Setelah budhe menutup pintu, Hani mengacak – acak rambutnya, dan mencubit lengannya.

“Aw... Sakit.” Rintihnya.

Hani merasa heran dengan kejadian hari ini. Mulai awal sekolah dengan bertemu kasus kematian siswi, pintu yang tertutup sendiri dan tulisan di kaca. Lebih herannya lagi, Hani merasa bahwa dia tidak pernah membeli kuteks. Tapi entah kenapa ada kuteks di kamarnya.

Jika itu milik mamanya, kenapa kuteks itu di kamar Hani? Bukan di kamar mamanya? Tetapi setau Hani, mamanya tidak pernah membeli kuteks. Jika mamanya ingin bersolek, biasanya dia bersolek di salon. Yang ada di kamar mamahnya hanya produk skincare saja. Lantas dari mana asal kuteks ini?

“Entahlah, mungkin aku terlalu tegang hari ini. Karena hariku di awali dengan kejadian yang buruk.” Gumam Hani.

Untuk menyegarkan pikirannya. Hani pun bersiap untuk beredam air hangat. Tapi demi mengusir kesunyian, Hani memainkan lagu K-pop kesukaannya keras. Cukup keras sampai terdengar dari dalam kamar mandi.

Untuk saat ini dia menghindari kesunyian, agar dia tidak merasa bahwa dia sedang tidak sendirian.

...***...

Sementara itu....

Di SMA Dahlia, di ruang guru.

Polisi melakukan introgasi singkat di ruang guru. Polisi memanggil Della, Viola dan pak Tony wali kelas korban. Mereka di panggil berdasarkan rekaman CCTV di sekolah.

Terakhir CCTV menayangkan Della dan Viola bersama korban saat sepulang sekolah. Anehnya, setelah itu CCTV mengalami kendala teknis. Memang, secara kebetulan daerah sekolah ada pemadam listrik tapi hanya selama dua jam lamanya.

Tapi secara tidak terduga, setelah di periksa CCTV rusak akibat pemadaman yang tiba – tiba. Maka CCTV hanya bisa merekam kejadian saat terakhir sore hari.

“Adek Della, terakir ketemu sama korban itu di kelas ya?” Tanya seorang polisi.

“Iya pak.” Jawab Della singkat.

“Hmmm... Kalau begitu terakhir kemarin ngapain saja di kelas?” Tanya polisi lagi.

“Ya, saya ngobrol bercanda bareng. Sama Vio juga.”

“Siapa Vio?”

“Vio, sahabat saya sama Nana. Yang keluar kelas bareng saya.” Jelas Della.

“Baik, cukup sampai di sini dulu. Nanti kalau ada panggilan sebagai saksi tolong kooperatif ya dek.”

“Baik, pak.”

Della keluar dari ruang guru dengan raut wajah yang lemas. Viola yang juga sedang cemas menunggu dirinya di panggil, melihat Della keluar. Dia langsung menghampirinya.

Viola langsung memeluk erat Della dan menangis tersedu. Setelah kehilangan sahabatnya, dia sekarang masih menjalankan introogasi yang melelahkan. Bahkan mereka tidak mendapatkan sedikit waktu untuk berduka.

“Della....” Ucap Viola sambi sesenggukan.

Della hanya menepuk –nepuk punggung Viola.

Viola tersadar, apa hanya dia yang berduka? Kenapa Della terkesan santai saja. Ada apa dengan Della? Memang benar, Della adalah anak yang cuek, dan tidak mudah menangis. Tapi, apakah wajar jika tidak terlihat wajah sedih di mukanya saat sahabatnya yang menemaninya selama empat belas tahun meninggal. Bahkan wajahnya terlihat datar. Setelah menatap mata Viola. Della langsung teregesa – gesa meninggalkannya.

“Aku duluan ya. Semoga kamu baik – baik saja di sana.”

Viola mulai curiga dengan Della yang aneh.

“Tunggu dulu, baik – baik saja? Apa interogasinya sangat menyeramkan?” Gumam Viola.

~ Terima kasih, sudah mampir baca~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!