Jika kalian mencari bacaan yang ada tantangannya maka jangan baca novel ini. Jika kalian mencari novel dengan konflik yang berat-berat maka jangan mampir di novel ini. Jika kalian mencari novel dengan karakter wanita bodoh dan mudah ditindas maka jangan mampir di sini. Karena novel ini alurnya ringan tanpa menguras adrenalin.
Novel Istri Nakal Dokter Aziz. 1-133 episode (Tamat)
Selanjutnya Sequel Istri Nakal Dokter Aziz. Dengan judul "Mengejar Cinta Istri"
......🍁......
Di belakang sekolah, seorang wanita berpakaian seragam putih abu-abu sedang duduk di bawah pohon sambil memandang langit yang cerah. Gadis itu memegang beberapa roti sarinda. Dan sekali-kali dia memasukan roti tersebut ke dalam mulutnya, mengunyah lalu menelannya.
"Semoga aku bisa mendapatkan beasiswa untuk lanjut keperguruan tinggi" batinnya. Tanpa sadar, roti yang dia pegang telah habis.
"Awww" wanita itu menjerit, saat tanpa sengaja ia menggigit jarinya. Beberapa detik kemudian, terdengar kekehan kecil yang keluar dari mulutnya. Wanita cantik itu baru menyadari, bahwa roti yang ada ditangannya telah habis.
"Amrita Venisa...!!" tiba-tiba terdengar seseorang sedang memanggilnya. Dia menoleh mencari asal suara. Dari kejauhan, dia melihat temannya berlari cepat ke arahnya.
Amrita Venisa. Gadis cantik dan sangat nakal namun baik. Kerap dipanggil Amrita. Umurnya baru delapan belas tahun. Dia anak yatim piatu yang hidup seorang diri setelah Ibu angkatnya meninggal dunia. Saat Ibu angkatnya meninggal, Amrita masih berada di Sekolah Dasar kelas enam. Dari uang hasil memulung dan mencuci motor. Ia bisa membiayai hidupnya. Hingga suatu hari dia diusir dari rumah karena masa kontrak telah habis. Sejak saat itu Amrita mulai berteman dengan anak jalanan. Kurangnya didikan, membuatnya menjadi gadis nakal namun ia pandai menjaga kesuciannya.
"Amrita!!" suara itu kembali terdengar. Suara seseorang dari samping sekolah. Pemilik nama menatap gadis sebayanya secara intens dan penuh tanya.
"Hanin, ada apa?" tanya Amrita saat Hanin sudah berdiri di depannya dengan napas memburuh tak karuan.
Hanin Inaya, adalah sahabat Amrita. Mereka berteman sejak mereka berada di kelas satu Sekolah Menengah Pertama. Hanin memiliki orang tua yang kaya raya. Namun, kesibukkan Ibu dan Papanya membuat gadis itu kurang perhatian. Hingga sejak lulus Sekolah Dasar, Hanin sudah berteman dengan anak jalanan.
"Cepat berdiri, Pa Sofyan mencarimu" kata Hanin. Wanita itu terlihat kelelahan mencari sahabatnya diseluruh sudut sekolah dan ternyata, sahabatnya itu sedang duduk menghayal di belakang gedung sekolah. Amrita mengambil tas sekolah miliknya. Lalu berdiri.
"Ayo temani aku. Aku takut masuk ke dalam ruangan Pa Sofyan. Kamu tahu sendiri kan bagaimana sikap Pa Sofyan jika berhadapan dengan kita berdua" tuturnya lalu keduanya berjalan beriringan sambil berpegangan tangan.
Ruang Kepala Sekolah
Amrita mengatur napasnya pelan. Setelah merasa tenang, dia menatap sahabatnya Hanin yang kini berdiri dihadapannya. Ingin rasanya dia kembali di belakang sekolah. Namun, panggilan kepala sekolah tidak mungkin dia abaikan. Terlebih lagi, dua hari ke depan adalah hari kelulusan.
"Hanin, kamu tetap di sini ya. Ingat! Jika dalam waktu tiga puluh menit aku nggak keluar juga, itu tandanya aku sudah mati dan yang membunuhku adalah Pa Sofyan" kata Amrita dengan serius, dia menatap manik mata sahabatnya lalu menganggukan kepala padanya.
Sejahat apakah Pa Sofyan itu? Apakah dia memiliki taring atau hal lainnya yang menakutkan? Atau ada sesuatu dan lain hal yang membuat keduanya takut pada Pa.kepala sekolah. Pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh Amrita Venisa dan Hanin Inaya.
"Iya, aku akan ingat. Berdoa dulu sebelum masuk" kata Hanin. Ia menyemangati sahabatnya.
Tok tok tok...
Amrita mengetuk pintu ruangan Pa Sofyan. Selang beberapa detik, terdengar sahutan dari dalam. Amrita berdoa dalam hati lalu meraih handle pintu dan membukanya.
Cek-lek... (Pintu terbuka lebar)
"Silahkan duduk" ujar Pak Sofyan, Kepala sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan Yapmi Kota Makassar.
Amrita duduk di kursi tepat di depan meja Kepala Sekolah. Di samping Amrita, ada seorang pria yang lebih tua darinya. Namanya Aziz Zakri. Aziz adalah pria berumur 27 tahun yang berprofesi sebagai Dokter di salah satu rumah sakit yang ada di kota Makassar.
"Amrita, kamu tahu apa tujuanku memanggilmu ke sini?" tanya Pak Sofyan menatap lekat siswinya yang terbilang siswi ternakal di sekolah.
"Tidak Pak, saya tidak tahu" balas Amrita dengan jujur. Tangannya gemetar, keringat dingin bercucuran di dahinya. Amrita pandai berkelahi, tapi kelulusannya ada di tangan kepala sekolah. Sekalipun nilainya bagus, bila dia memukul kepala sekolah maka masa depannya akan terancam. Jadi, manusia di dunia yang Amrita takuti adalah Kepala Sekolah.
Pria yang bernama Aziz Zakri mengerutkan keningnya saat melihat Amrita berkeringat dingin. "Apa Papa bersikap kejam di Sekolah? Kenapa siswinya terlihat takut seperti ini" batin Aziz. Dia hanya menatap wanita yang kini duduk menunduk dengan tangan gemetar.
Di luar ruang kepala sekolah. Hanin terlihat mondar mandir. Sesekali ia melihat ke arah pintu, berharap sahabatnya segerah keluar dari dalam sebelum tiga puluh menit berlalu. Tiga puluh menit telah berlalu, namun Amrita tak kunjung keluar. Sesuai janji, Hanin memberanikan diri untuk masuk.
BRAAKKK!!!!
Hanin menendang pintu ruang kepala sekolah hingga terbuka lebar. Matanya membulat saat melihat Amrita menatapnya tajam.
"Hanin...!" teriak Pak Sofyan.
"Maafkan aku Pak, aku hanya mengikuti perintah" jelas Hanin menunduk.
"Apa! Perintah? Siapa yang memberimu perintah untuk mendobrak pintu ruangan ku!!" hardik Pak Sofyan dengan geram. Suaranya yang nyaring membuat ruangan itu seakan runtuh.
"Jadi Papa sangat kejam saat di sekolah. Pantas saja siswinya berkeringat dingin" batin Aziz.
"Cepat jawab!" bentak Pak Sofyan.
"Pak, harap tenang. Apa Bapak tidak takut, penyakit jantung yang Bapak derita kambuh lagi" ujar Amrita asal.
"Apa katamu! Penyakit jantung! Sepertinya kalian berdua bekerjasama untuk membuat saya marah" ujar Pak Sofyan dengan geram. "Sekarang juga, kalian berdua keluar dari sini dan berdiri di lapangan sampai jam pulang" titah Pak Sofyan.
Amrita dan Hanin mengangguk paham. Keduanya ke luar dari ruang kepala sekolah menuju lapangan untuk menerimah hukuman. Saat Amrita dan Hanin sudah jauh dari ruangan Pak Sofyan, Aziz membuka suara.
"Papa, apa Papa kasar di Sekolah? Kenapa mereka takut pada Papa?" tanya Aziz.
"Hanya mereka berdua yang takut pada Papa dan hanya mereka berdua yang nakal di sekolah ini" jelas Pak Sofyan sembari memijat keningnya yang terasa pening.
Lapangan
"Ini semua salahmu!" gerutu Hanin, ia menendang bekas kaleng fanta.
"Awww..." jerit Fakri. Ketua kelas tertampan di sekolah. Pria dengan nama asli Fakri Zakri itu nampak kesal saat kaleng fanta mengenai dirinya.
"Hanin! Apa kamu ingin cari masalah denganku!" teriak Fakri.
"Siapa yang mencari masalah denganmu!" hardik Hanin. Dia berjalan menghampiri Fakri. "Kamu mau memukulku? Pukul saja aku..." hardik Hanin di depan Fakri.
"Kembali ke lapangan dan temani Amrita menerimah hukuman" titah Fakri lalu pergi meninggalkan Hanin yang tengah mencibir takkaruan.
"Dasar ketua kelas muka mesum!" umpat Hanin. Ia kembali menendang kaleng fanta yang tadinya dia tendang.
"Hanin...!!" teriak Pak Sofyan saat kaleng fanta yang ditendang Hanin mengenai botak Pak Sofyan.
"Pak, marahi aku saja. Aku yang membuat Hanin marah" kata Fakri. Ia membujuk Pak Sofyan untuk tidak memarahi Hanin.
Amrita yang sedari tadi hanya diam saja kini menghampiri Hanin, Fakri dan juga Pak Sofyan. "Maafkan Hanin, Pak" kata Amrita. Ia memohon pada Pak Sofyan.
"Kalian bertiga berdiri dilapangan sampai jam pulang. Jangan coba-coba untuk kabur" kata Pak Sofyan menggeram kuat.
"Baik Pak" balas mereka bertiga bersamaan. Amrita dan Hanin serta Fakri berjalan menuju lapangan. Ketiganya berdiri dipinggir Tiang Bendera. Hampir 1 jam mereka berdiri dilapangan, wajah Amrita terlihat pucat begitupun dengan wajah Hanin.
Brukkkk!!
Amrita jatuh pingsan, selang satu detik, Hanin pun ikut terkapar di lapangan sekolah. Fakri berlari meminta bantuan, para siswa dan siswi berlari menuju lapangan sekolah.
"Ada apa di sana?" guman Aziz. Dengan penasaran, Aziz menghampiri kerumunan. Matanya membulat saat ia melihat dua wanita yang tadi membuat papanya marah.
"Cepat bawa ke UKS" ujar Aziz. Ia menghampiri Amrita dan juga Hanin.
"Kakak... jangan sentuh Hanin" teriak Fakri. Ia berlari mengangkat tubuh Hanin sedangkan Aziz mengangkat tubuh Amrita.
Ruang UKS
Fakri menggenggam tangan Hanin. "Tunggu aku sampai di rumah, aku akan memarahi Papa" kata Fakri geram.
Aziz menyentil adiknya. "Kamu dan teman-temanmu yang membuat Papa marah tapi kamu juga yang mau marah pada Papa" ujar Aziz.
"Apa kedua temanmu ini nakal? Kenapa Papa bisa menjadi jahat bila berhadapan dengan mereka?" tanya Aziz pada adiknya.
"Mereka berdua kepala geng di Sekolah Menengah Kejuruan Yapmi. Di mana ada kekacauan pasti mereka berdua yang bosnya" jelas Fakri.
"Ck ck ck... masih sekolah sudah jadi mafia" ujar Aziz. Ia menatap kedua gadis muda yang belum sadarkan diri.
"Aku di mana?" tanya Amrita, ia memegang kepalanya yang terasa sakit.
"Kita di UKS, kamu dan Hanin pingsan" ujar Fakri.
"Di mana Hanin?" tanya Amrita lagi, ia berusaha untuk bangun. Matanya melirik ke bagian kiri tempatnya berbaring. Seketika air matanya menetes saat melihat Hanin belum sadarkan diri. Amrita bangun lalu menghampiri Hanin. "Hik hiks hiks. Hanin bangun" ujar Amrita. Tangisnya semakin deras.
"Kamu terlihat jelek jika menangis seperti itu" balas Hanin yang tiba-tiba membuka mata.
"Aku senang kamu sudah sadar. Apa kamu mau aku traktir makan? Anggap saja sebagai tanda maafku padamu" ujar Amrita.
"Untuk beli gas saja kamu tidak punya uang, berlaga mau traktir aku" sindir Hanin lalu tertawa lepas.
Amrita maupun Hanin menatap Fakri. "Terima kasih sudah membantu kami" ucap Amrita dengan senyum.
"Bukan aku yang membantu kamu tapi---" Fakri tidak melanjutkan kalimatnya saat kakaknya sudah pergi tanpa pamit.
"Siapa yang menolongku?" tanya Amrita. Ia menatap Fakri penuh tanya.
"Sudah, tidak usah bahas itu lagi. Ayo kita pulang, semua siswi dan siswa sudah pulang" kata Fakri, beranjak dari kursi yang ia tempati duduk.
Amrita dan Hanin mengikuti langkah kaki Fakri. Kedua wanita itu tertawa terbahak bahak mengingat raut wajah Pak Sofyan saat kaleng Fanta mengenai botaknya. "Aku yakin, botak Pak Sofyan pasti bengkak" ujar Hanin tertawa renyah.
"Berani sekali mereka menertawakan papaku" batin Fakri. Ia berjalan begitu cepat menuju gerbang sekolah.
"Fakri tunggu!!" panggil Hanin. Hanin berlari kecil mengejar Fakri. "Terima kasih" kata Hanin lalu berbalik ke arah Amrita. Berhubung Sekolah dan tempat tinggal Amrita tak jauh dari Sekolah maka Amrita selalu jalan kaki sedangkan Hanin dijemput oleh supir ayahnya.
...🍁🍁...
Pondok Mega
Amrita merebahkan tubuhnya di sprinbed kecil yang hanya bisa ditempati oleh satu orang saja. Wanita itu memejamkan mata dari siang menjadi malam. Dan terbangun saat dia mendengar ketukan pintu. Dengan mata yang masih sulit dibuka, Amrita berjalan menuju pintu kamarnya.
"Ayo cepat mandi, Bapak Kos mengajak kita ke rumahnya. Kamu bisa makan gratis di sana" kata Kak Yuli, tetangga kamar Amrita yang kuliah di Unhas atau Universitas Hasanudin Makassar.
Mendengar kata makan gratis membuat mata Amrita terbuka lebar. "Tunggu aku mandi" ujar Amrita dengan girang, mengambil handuknya lalu masuk ke dalam kamar mandi. Tak membutuhkan waktu lama, Amrita ke luar dengan handuk yang dililitkan ditubuhnya.
"Alhamdulilah. Uangku tidak ke luar malam ini" gumam Amrita sembari menatap wajahnya dicermin. Amrita memakai baju kaos lengan panjang dan celana jins sobek-sobek, rambut dibiarkan terurai dan wajah tanpa polesan bedak maupun lipstik yang biasa wanita gunakan pada umumnya.
"Kak Yuli, aku sudah selesai" ujar Amrita berjalan munuju kamar Kak Yuli.
Amrita dan tetangga kamar lainnya memesan Grab mobil untuk ke rumah Bapak Kos yang berada di Jalan Mongonsidi. Hampir sepuluh menit menunggu, Grab pun datang dan berhenti tepat di depan pondok Mega Blok A2/7. Amrita mengambil gambar kemudian mempostingnya di instagram miliknya dengan caption "Makan gratis di rumah Bapa Kos. Terima kasih Bapa Kos terbaik sejagat raya(smile hati)"
"Sesuai alamat ya Pak" kata Kak Yuli pada Om Grab.
Empat puluh menit kemudian, Grab berhenti dititik lokasi yang dipesan. Amrita dan anak kos yang lainnya turun dari mobil. Terlihat seorang ART keluar dari rumah menghampi Amrita dan yang lainnya.
"Ini uang untuk bayar Grab" kata Bi Sumi. Kak Yuli mengambil uang dari tangan Bi Sumi lalu membayar ongkos Grab.
"Ayo masuk. Ada bapa kos dan keluarganya di dalam" kata Bi Sumi.
"Bibi, ada nggak laki-laki tampan di dalam rumah?" tanya Amrita dengan senyum lebar.
"Ada, namanya Dani. Dia anak yang paling tua. Dani kuliah di Amerika dan sekarang lagi pulang kampung untuk merayakan ulang tahun Pa Zein" balas Bi Sumi.
Amrita hanya menganguk anggukan kepala mendengar penjelasan Bi Sumi. "Assalamualaikum" Amrita mengucapkan salam saat masuk ke dalam rumah.
"Waalaikumsalam" balas mereka yang di dalam rumah. Amrita dan anak kos lainnya masuk ke dalam lalu duduk diruang keluarga. Mereka berbincang-bincang cukup lama lalu ke meja makan untuk makan makanan yang sudah Bi Sumi siapkan.
Waktu menunjukan pukul 21:00, Amrita dan yang lainnya pamit pulang. Kali ini mereka pulang diantar oleh Kak Dani, anak tertua Pa Zein. Dalam perjalanan, semuanya diam membisu. Mereka tidak akrab dengan Dani karena memang Dani tidak pernah ke Kos.
...🍁🍁...
Pondok Mega
Dani memakirkan mobilnya di depan pondok mega. Amrita dan yang lainnya pun keluar lalu menutup pintu mobil. Sebelum masuk, Amrita menghampiri Dani. "Terima kasih" ujarnya dengan senyum ramah.
"Iya sama-sama. Cepat masuk, ini sudah larut" kata Dani membalas Senyuman Amrita. Amrita masuk ke dalam kos sedangkan Dani melajukan mobilnya menuju jalan raya.
"Aduh, aku lupa beli air" gumam Amrita. Ia kembali membuka pintu utama. Amrita keluar di depan kompleks di mana ada warung yang terbuka. Setelah selesai membeli air, Amrita memilih untuk jalan-jalan di depan Kampus Stimik Dipanegara. Sesampainya di sana, ia melihat mobil Avanza warna silver menabrak tiang listri.
"Tolong... ada yang orang terluka..." teriak Amrita. Orang-orang mulai berdatangan saat mendengar seseorang meminta tolong.
"Cepat panggil ambulance" pintah Amrita. Selang beberapa menit, ambulance pun datang. "Dek, kami minta kamu ikut ke Rumah Sakit" kata seorang wanita yang ada ditempat kejadian.
"Baik kakak" balas Amrita lalu masuk ke dalam ambulance. Amrita menatap wajah pria yang kini terluka parah. "Sepertinya aku pernah melihatnya tapi di mana?" gumam Amrita.
Rumah Sakit Unhas
UGD
Amrita mengikuti petugas medis yang membawa pria yang tertabrak, pria itu adalah Dokter Aziz. Dokter Aziz dibawa masuk ke dalam ruang UGD dan langsung ditangani oleh beberapa Dokter, mereka melakukan penanganan pertama. Setelah selesai, Dokter meminta Amrita untuk masuk. Amrita pun masuk dan berdiri di samping Dokter Aziz.
"Apa Om ini sedang bertengkar dengan istrinya? Kenapa bisa dia menabrak tiang listrik" gumam Amrita, ia menatap lekat wajah Dokter Aziz.
...🌷🌷...
Pagi hari, Amrita membuka matanya. Ia berdiri dan mengecek apakah pria yang ia panggil "Om" sudah siuman apa belum.
"Om, cepat bangun. Badanku sakit semua tidur dilantai. Lagian uangku tidak ada untuk membayar biaya rumah sakit" bisik Amrita.
Aziz yang sudah sadar sejak subuh mendengar curhatan hati wanita yang menolongnya. "Ambil ponselku" titah Aziz yang tiba-tiba bersuara tanpa membuka matanya.
"Baru kali ini aku menyaksikan orang kecelakaan yang belum sadar, tapi bisa mengigau" gumam Amrita pelan.
"Tolong ambilkan ponselku" pintah Aziz dengan mata terbuka. Amrita mengulas senyum manisnya.
"Alhamdulilah. Akhirnya Om sadar juga. Dengan begitu, aku tidak perlu membayar biaya rumah sakit" ujar Amrita. Ia menyunggingkan senyum menatap Aziz yang tengah menatapnya aneh.
Amrita mengambil ponsel Dokter Aziz lalu menyerahkannya pada sang pemilik ponsel. "Om, tadi ada yang menelepon. Saat hendak mengangkatnya, panggilannya mati" jelas Amrita.
"Jangan kemana-mana, tetap disitu sampai aku sembuh" titah Dokter Aziz.
"Aku mau pulang, aku belum mencuci seragam sekolah ku. Mana besok aku harus ke sekolah" ujar Amrita. Yang benar saja pria yang baru sehari ia lihat memintanya untuk tetap tinggal.
"Berani kamu pulang, aku pastikan kamu akan dikeluarkan dari Sekolah" Dokter Aziz mengancam Amrita.
"Terserah Om, toh aku sudah selesai ujian Nasional dan besok pengumuman kelulusan" ujar Amrita dengan santai sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Itu lebih bagus, berani kamu pulang, aku pastikan kamu tidak akan lulus sekolah" Dokter Aziz kembali mengancam Amrita.
Jangan lupa likenya kakak-kakak, vote juga ya . Dan... jangan lupa bagikan Novel ini di beranda fb, ig, twitter dan Watshap kalian 😁
"Siapa namamu?" tanya Aziz pada Amrita. Amrita tak menjawab bahkan dia tidak menatap Dokter Aziz. Amrita justru membenturkan kepalanya di bibir tempat tidur rumah sakit.
"Kenapa hidupku sial begini. Aku menolongnya dan dia malah mengancam masa depanku" gumam Amrita dengan pelan, membuat Aziz tersenyum saat mendengarnya.
Tiba-tiba, seorang Dokter dan dua perawat datang menghampiri Dokter Aziz. Mereka memindahkan Dokter Aziz di ruang VVIP. Sesampainya di dalam ruangan VVIP, Amrita duduk di sofa dan hanya menatap kedua perawat serta Dokter yang tengah memeriksa keadaan Dokter Aziz.
"Apa anda istrinya?" tanya Dokter Hendri, Dokter yang menangani Dokter Aziz.
"Apa aku terlihat tua, Dok? Aku masih sekolah dan besok dengar hasil" Amrita memegang kedua pipinya lalu mengambil ponselnya. Ia menatap wajahnya lewat camera ponsel.
"Maafkan saya. Saya tidak tahu kalau kamu masih sekolah" kata Dokter Hendri dengan senyum.
"Tidak apa-apa, Dok. Lain kali jangan diulang lagi" kata Amrita dengan senyum manisnya.
"Dok," panggil Amrita saat Dokter Hendri hendak ke luar. "Semoga kita bisa bertemu lagi" lanjutnya sembari mengedipkan sebelah matanya.
Aziz membulatkan mata memperjelas penglihatannya. "Apa kamu tidak punya malu, kamu baru mengenalnya tapi sudah main mata padanya" ujar Dokter Aziz tak percaya.
Hendri terkekeh. "Datanglah di rumah sakit dan kamu akan terus melihatku" balas Dokter Hendri. Ia membalas senyuman Amrita lalu ke luar dari dalam ruangan. Di dalam ruangan tinggalah Amrita dan Dokter Aziz.
"Om, kenapa kita harus pindah di ruangan ini? Bukankah bayarannya mahal. Apa Om punya uang untuk membayar biaya rumah sakit? Aku yakin, mobil yang semalam Om kendarai adalah mobil rental" tuding Amrita, ia duduk di samping Dokter Aziz.
"Apa dia pikir aku akan memintanya untuk membayar tagihan rumah sakit" batin Dokter Aziz.
"Ahhaa... aku punya ide" kata Amrita dengan girang. Dokter Aziz menoleh menautkan kedua alisnya. "Bagaimana kalau nanti malam kita ke luar dari rumah sakit. Om bisa tidur di kosanku dan nanti aku tidur ditetangga kamar" jelas Amrita mendekat menatap wajah Dokter Aziz.
"Jangan berpikiran yang aneh-aneh" balas Aziz. Ia memilih memejamkan matanya dibandingkan mendengar rencana gila Amrita.
"Om, bagaimana? Aku tidak punya uang. Aku yakin, Om pasti akan memintaku membayar biaya rumah sakit!" gerutu Amrita saat Aziz tak kunjung membuka matanya.
Cek-lek... suara pintu terbuka. Amrita menoleh, ia melihat seorang wanita paruh baya yang elegan hendak melangkah masuk. Dibelakangnya ada seorang pria yang Amrita kenal.
"Pak Sofyan" Amrita membulatkan mata. Begitupun dengan Pak Sofyan. Pria paruh baya itu tidak menyangkah akan bertemu siswinya di rumah sakit.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Pak Sofyan.
"A--aku---" Amrita terlihat gugup dan takut.
"Papa, jangan menakutinya. Dia pasti gadis yang menolong anak kita" kata Tante Eka. Istri Pak Sofyan.
"Apa benar apa yang dikatakan istri saya?" tanya Pak Sofyan dengan dingin.
"I-iya, Pak" balas Amrita menunduk.
Pak Sofyan mendekati Amrita lalu memegang kedua bahu Amrita, membuat tubuh Amrita gemetar. "Terima kasih karena kamu sudah menyelamatkan anak saya" kata Pak Sofyan dengan suara halusnya lalu menjauhkan tangannya dari bahu Amrita.
"Apa aku mimpi? Tapi bagaimana mungkin" gumam Amrita. Ia mencubit pipinya. "Awww... sakit sekali!" gerutunya.
"Hahahahahaha. Kamu lucu sekali" ujar Tante Eka disertai tawa. "Apa suami saya terlalu kejam padamu hingga kamu begitu takut padanya?" tanyanya.
"Tidak Tante, Pak Sofyan sangat baik" balas Amrita dengan senyum.
"Ibu, aku lapar. Minta wanita itu untuk membelikan aku nasi padang" ujar Aziz.
"Dasar manja!!" umpat Amrita di dalam hatinya.
Tante Eka membuka tasnya lalu mengambil uang 100 ribu. "Siapa namamu?" tanya Tante Eka sembari menyerahkan uang pada Amrita.
"Amrita, Tante" balas Amrita dengan ramah.
Tante Eka tersenyum. "Minta tolong belikan nasi padang dua bungkus dan kamu beli apa yang kamu mau beli" kata Tante Eka.
Amrita mengangguk ke luar mencari rumah makan. Ia berjalan menelusuri lorong rumah sakit Unhas. Rumah makan sangat jauh, dengan terpaksa Amrita berjalan sampai di depan jalan raya. Ia menyebrang lalu mencari rumah makan nasi padang. Amrita berhenti di depan Restoran sederhana masakan padang. Ia memesan dua bungkus nasi padang lalu duduk di kursi yang ada di dalam rumah makan.
"Pantas saja Om itu mengancamku, ternyata dia anak Pak Sofyan. Dan sepertinya aku pernah melihat Om itu. Tapi di mana?" gumam Amrita, ia mengingat di mana ia bertemu dengan pria yang ia panggil "Om".
"Ahhaa... aku ingat. Om itu yang duduk di sampingku kemarin. Ya ampun... baru juga kemarin dan aku sudah melupakannya" gumamnya sembari memukul kepala pelan.
"Ini pesanannya, 24 ribu semuanya" kata pegawai restoran sembari menyerahkan bungkusan nasi padang yang berada di dalam kantong plasik.
Amrita menyerahkan selembar uang merah kemudian menunggu kembalian. Selang beberapa detik, pegawai restoran yang tadi datang menyerahkan uang kembalian pada Amrita. Amrita beranjak dari kursi lalu menyebrang jalan menuju rumah sakit. Hampir 10 menit, ia pun sampai di depan ruangan VVIP.
Amrita membuka pintu, ia melihat Tante Eka sedang duduk disebelah kanan tempat tidur sedangkan Pak Sofyan dibagian kiri. Amrita melangkah masuk ke dalam. Ia melihat Fakri sedang duduk di sofa. Amrita meletakan bungkusan nasi padang di atas nakas.
"Tante, ini kembaliannya" kata Amrita sambil menyerahkan kembalian uang belanja nasi padang.
"Ambil saja Amrita, kamu gunakan uang ini untuk bayar gojek atau grab saat kamu pulang ke rumah nanti" kata Tante Eka.
"Tidak perlu Tante, aku masih punya uang untuk bayar grab" ujar Amrita. Dengan terpaksa, tante Eka mengambil uang kembalian dari tangan Amrita. Amrita tersenyum, menghampiri Fakri yang tengah berbaring di sofa.
"Fakri, kamu di sini juga" bisik Amrita.
Fakri bangun lalu duduk di samping Amrita. "Iya Amrita. Sebenarnya Pak Sofyan adalah Papa aku" jelas Fakri dengan pelan.
"Apa...!" Amrita membulatkan matanya dengan mulut terbuka. Pak Sofyan, Tante Eka maupun Aziz menatap Amrita dengan penuh tanya.
"Maafkan aku, aku sedikit terkejut" kata Amrita. Ia tersipu malu saat mendapatkan tatapan dari Tante Eka dan Pak Sofyan.
"Jangan bilang kamu selalu melapor pada Papa kamu saat kami menjelek jelekannya" tanya Amrita menyelidik menatap Fakri dengan intens.
"Amrita, Fakri selalu bercerita tentang kamu yang ingin memukul botak saya, menelan saya hidup-hidup dan bahkan ia berkata, kamu akan memberi pelajaran pada saya" ujar Pak Sofyan yang sedari tadi memperhatikan Fakri dan Amrita.
Amrita menelan salivanya dengan susah payah sedangkan Tante Eka dan Aziz tertawa terbahak-bahak. "Ya ampun sayang, sebegitu bencinya kamu sama suami Tante" Tante Eka hanya menggelengkan kepala.
" Ma--aafkan aku Pak" ujar Amrita dengan gugup.
"Pak Sofyan, Tante Sofyan, aku pamit pulang. Banyak cucian di kos" pamit Amrita. Ia memilih pulang daripada berlama-lama dengan Pak Sofyan.
"Amrita" panggil Pak Sofyan.
Amrita menoleh menatap Pak Sofyan. "Ingat! Istriku namanya Eka, bukan Ibu Sofyan" kata Pak Sofyan yang disambut tawa oleh Tante Eka, Aziz dan Fakri.
JANGAN LUPA LIKE, SHARE, VOTE SERTA KRITIK DAN SARAN 😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!