NovelToon NovelToon

ENDRO, SANG PENGAWAL

LIBUR SEKOLAH

"Aku, Nummi Srikhan Ghaniah. Putri tunggal dari Arkhan Ghani dan Desri Winandra. Libur kali ini, aku akan berkunjung ke kota XXX. Disana ada kebun teh yang begitu luas, dan pemandangannya yang indah-indah. Suasananya juga begitu adem." Dia begitu bangga menceritakan rencana liburannya di depan cermin kamarnya.

"Dan satu lagi... Hal yang paling aku tunggu, mendengarkan kisah Om Endro, Sang pengawal tampan Ayah Bundaku dulu. Aku pernah mendengarnya sih, sedikit dari Ayah. Tapi, aku benar-benar masih penasaran dengan kisah hidup beliau."

Tok... Tok... Tok...

Nummi termangap. Dia tidak jadi melanjutkan ucapannya ketika pintu kamarnya diketuk seseorang dari luar. Nummi dengan segera bergegas membukakan pintu kamarnya itu.

"Ayaah..." Serunya dengan malu-malu. Dia terlihat cemas jika ayahnya itu mendengar ucapannya di depan cermin tadi.

"Hay... Putri tujuh belas tahunnya Ayah. Kamu sudah selesai, sayang?" Tanya Arkhan masih berdiri di ambang pintu kamar putrinya.

"Sudah Ayah..." Sahut Nummi kembali bersemangat.

"Ya sudah, kalau begitu ambil barang-barang yang kamu perlukan disana nanti. Ayah akan bantu membawakannya ke depan." Perintah Arkhan dengan begitu lembut.

"Iya Ayah... Tidak apa-apa jika Nummi sendiri yang membawanya kok, Yah." Elaknya seraya kembali masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil koper kecil miliknya.

Mereka melangkah ke ruang utama. Disana telah menunggu Bunda dan keluarganya yang lain.

"Kamu benar bisa berangkat sendiri, Sayang?" Nur, mamanya Arkhan mendekat kearah mereka.

"Iya, Oma. Nummi kan sudah besar. Jadi Nummi akan naik bus saja kali ini. Dan itu pasti lebih mengasyikkan. Jalanan disana juga sudah mulai ramai kok, Oma. Tidak seperti Nummi masih kecil dulu, lengang." Ujarnya meyakinkan Nur.

Desri tersenyum mendengar keyakinan putrinya itu.

"Kak Nummi..." Silvi, putrinya Yuni dan Rival bergelayut manja di lengannya.

"Kamu yakin tidak ingin ikut, Sil?" Tanya Nummi sedikit memanas-manasi adik sepupunya itu.

"Sebenarnya ingin... Tapi, Papa malah buat janji sama Paman Andika untuk liburan ke puncak." Sungut Silvi. Dia persis seperti Mamanya yang begitu manja.

"Tidak apa... Kan sekali-sekali. Lain kali, kita akan liburan sama-sama lagi." Ujar Nummi menenangkan.

"Iya... Tapi kak Nummi harus janji, bagi pengalaman Kakak disana nantinya ya. Dan Kakak harus sering-sering VC sama aku." Pinta Silvi memaksa.

"Iya adekku yang manja..." Nummi mencubit pelan pipi adik sepupunya itu.

Semua dari mereka terlihat begitu senang melihat keakraban mereka. Sayang kakak yang begitu tulus terhadap adiknya, dan begitu juga sebaliknya.

"Paman... Tolong jagain adik manjanya Nummi ini ya. Kalau Nummi dengar dia menangis, maka Nummi tidak akan tegur Paman." Ancam Nummi seraya mendelikkan matanya kearah Rival.

"Siap Tuan Putri..." Sahut Rival segera. Semua terkekeh melihat tingkah Rival yang memperagakan pengawal istana di depan mereka.

"Perlengkapan kamu sudah terbawa semua kan, Sayang? Tidak ada lagi yang tertinggal, bukan?" Tanya Desri seraya mendekat kearah Nummi.

"Sudah kok, Bund. Nanti kalau ada yang tertinggal, Nummi akan beli saja disana. Lagian kalau pakaian, Nummi bisa cuci sendiri setiap habis mandi. Jadi Nummi tidak perlu bawa baju banyak." Tutur Nummi menyahuti pertanyaan Desri.

"Ya sudah. Jangan merepotkan Om 'mu ya, Sayang." Pesan Desri. Dia mengecup dahi putri semata wayangnya itu.

"Iya Bunda..." Nummi sedikit mengangguk. Dia meraih tangan Bundanya dan mengecup lembut punggung tangan Desri.

"Hati-hati, Sayang..." Ujar semua keluarganya ketika Nummi keluar dari rumah bersama Arkhan.

Arkhan akan mengantarkan putrinya itu ke terminal bus yang akan membawa Nummi ke kota Tempat Endro menetap.

*****

Endro. Itulah nama Beliau. Aku memanggilnya dengan sebutan Om. Tapi, Beliau lebih dari sekedar Om bagiku. Dia sangat menyayangiku seperti Ayah menyayangiku.

Aku masih ingat betul bahwa Beliau berjanji untuk membagikan kisahnya kepadaku. Setelah aku berusia tujuh belas tahun, katanya.

Dan usiaku saat ini, sudah aku tunggu-tunggu dari lama. Karena dari itu, aku memutuskan untuk tidak ikut Paman Rival ke puncak. Aku sangat penasaran dengan kisah Om Endro. Mungkin suatu hari nanti, aku bisa membukukannya. Hehe..

Aku juga penasaran, seperti apa kisah beliau yang sebenarnya. Yang aku tahu, begitu tragis kata Ayah. Istri beliau meninggal dengan membawa anaknya yang masih berada dalam kandungan kala itu.

Om Endro... Nummi benar-benar sudah tidak sabar...

Bus melaju dengan begitu santai. Tidak terlalu ugal-ugalan. Angin menyibakkan rambut panjangnya yang tergerai dan membuat rasa kantuk menggerayang matanya.

Beberapa kali Nummi menguap. Namun, dia lebih memilih menikmati pemandangan yang terlukis di sepanjang jalan yang dilaluinya.

Berkali-kali dia melirik jam tangannya. Terlihat jelas raut ketidak sabaran terpancar di wajahnya saat itu.

.

.

.

.

.

Akhirnya, kembali lagi bersama Radetsa. Mohon dukungannya ya teman-teman semua.

Terimakasih😊😊

OM ENDRO

"Om Endroooo..." Seru Nummi ketika mendapati sesosok lelaki yang cerita orang tuanya pernah menjadi pengawal keluarga Ayahnya ketika dahulu.

Waktu tiga jam lebih, akhirnya membawa Nummi sampai di kota tempat Endro terlahir.

"Sayang..." Sahut Endro tak kalah berseru. Dia segera mendekat kearah gadis yang menyerunya itu dengan senang.

"Om Endro, Nummi kangen..." Nummi memeluk Endro. Tidak terasa air matanya menitik saat itu juga.

"Om kangen kamu juga, Nak." Endro membalas pelukan Nummi dengan begitu erat. Sayangnya terhadap Nummi terlihat bagai sayangnya seorang ayah terhadap putri kandungnya. Begitu tulus dan bijaksana.

"Kamu benar-benar nekat, ya. Datang kesini sendirian, pakai bus pula lagi." Ujar Endro seraya melepaskan pelukannya.

"Gadis tujuh belas tahun gitu Om." Balas Nummi membangga. Dia melebarkan senyumannya.

"Hmm... Sudah tujuh belas tahun ya? Tapi kok masih cengeng begini?" Endro seolah meledek. Dua ibu jarinya menyeka air mata Nummi yang keluar karena bahagia.

"Nummi bahagia kali, Om. Ini air mata kerinduan yang Nummi rasakan untuk Om." Sungut Nummi memonyongkan bibirnya.

"Beneran Nummi kangen sama Om? Perasaan baru tiga minggu tidak bertemu, masa gadis manja Om ini sudah kangen saja." Endro berlagak tidak yakin dengan perasaan Nummi.

"Ih, Om Endro... Nummi beneran kangen sama Om. Kalau Om tidak percaya, ya sudah." Nummi membelakangi tubuh Endro dan bersiap hendak meninggalkan lelaki paruh baya itu.

"Iya... Iya... Om percaya." Cegat Endro segera. Dia meraih koper mini yang dipegangi Nummi dan merangkul bahu gadis itu.

"Memangnya Om tidak rindu Nummi juga?" Tanya Nummi mulai tenang.

"Siapa bilang? Saking rindunya, Om tinggalin semua pekerjaan Om untuk menjemput kamu ke terminal ini, Sayang." Sahut Endro terlihat jujur.

"Beneran?" Nummi berlagak tidak yakin.

"Heemm... Sepertinya perang berbalas nih." Ujar Endro pura-pura ketus.

Nummi terkekeh. Dia mengeratkan rangkulan lengannya di pinggang Endro.

"Nummi percaya kok, Om. Terbukti, Om sudah nungguin Nummi di terminal tadi. Terimakasih ya, Om." Ujarnya sambil cengengesan.

"Iya Sayang... Sama-sama." Mereka berjalan sambil berpapahan satu sama lain. Seperti ayah dan putrinya.

*****

Sedan yang mereka tumpangi membawa mereka pergi meninggalkan terminal itu. Dan saat itu, Endro sendiri yang menyetir mobilnya.

"Kamu sudah menghubungi Ayah dan Bundamu, Nak?" Tanya Endro sedikit menoleh kearah Nummi yang duduk di bangku sampingnya.

"Oh iya, Nummi lupa, Om." Sahut Nummi segera merogoh tas kecil yang berselempangan di bahunya.

"Huummm, saking kangen sama Om ya? Kamu sampai lupa mengabari orang tuamu." Ledek Endro sambil menyengir.

"Biasanya tidak pernah mengabari Ayah Bunda juga..." Gerutu Nummi sambil mengotak-atik ponselnya yang pipih.

"Iya. Biasanya kamu kesini bersama mereka. Berbeda dengan kali ini, Sayang. Kamu kesini sendiri, pakai bus pula lagi." Ujar Endro seraya mengacak rambut Nummi dengan tangan kirinya.

Tut... Tut... Tut...

"Hallo, Assalamu'alaikum Ayah..." Sapa Nummi ketika merasa panggilannya telah diterima Ayahnya dari seberang.

"Wa'alaikumussalam... Iya Sayang?." Terdengar Arkhan menyahuti panggilan putrinya dari suara ponsel Nummi yang di loudspeakerkannya.

"Ayah... Nummi sudah sampai disini. Sekarang Nummi sudah bersama Om Endro, Yah. Kami lagi dalam perjalanan ke rumah Om Endro..." Ujar Nummi mengabari ayahnya dengan begitu antusias.

"Ya sudah... Kalau ada apa-apa, segera hubungi Ayah ya, Nak."

"Aku bahkan berencana menahan Nummi disini selamanya..." Potong Endro cepat.

"Coba saja jika kamu berani... Saya akan menjemput Nummiku dengan segera, dan tidak akan mempertemukannya lagi denganmu setelah itu." Suara Arkhan terdengar mengancam.

"Nummi tidak akan bisa hidup tanpaku, tadi saja dia menangis karena saking rindunya terhadapku. padahal, baru saja tiga minggu tidak bertemu tuh..." Balas Endro penuh kemenangan.

"Kurang ajar..." Umpat Arkhan.

Endro dan Nummi terbahak mendengar suara Arkhan yang terdengar kesal di balik ponsel itu.

"Ayah... Sudah dulu ya..."

"Tuh kan... Nummi saja sudah malas berbicara denganmu." Ledek Endro lagi memanas-manasi mantan majikannya itu.

"Ih Om Endrooo... Bukan begitu kok Ayah..." Nummi terlihat cemas. Dia takut jika Ayahnya benar-benar percaya dengan ucapan lelaki paruh baya di sampingnya itu. Endro kembali menyeringai dan terbahak melihat ketakutan di wajah gadis itu.

"Iya... Tidak apa-apa kok, Sayang. Ayah mengerti. Nanti kamu telpon Ayah lagi, jika sudah tidak berada di dekatnya." Ujar Arkhan tidak mempermasalahkannya. Dia tahu, alasan kenapa putrinya itu segera ingin menutup panggilan mereka. Ya, tidak mau mendengar keributan yang dia dan Endro ciptakan di dekat Nummi.

"Beneran Ayah tidak marah kan?" Tanya Nummi lagi masih sedikit merasa tidak enak.

"Iya Sayang..."

"Titip salam buat Bunda dan Oma ya Ayah. Silvi pasti sudah berangkat sama Bibi dan paman kan, Yah?" Ujar Nummi merasa lega karenannya.

"Iya Sayang... Nanti Ayah sampaikan. Silvi sudah berangkat, waktu Ayah baru saja sampai rumah waktu habis nganterin kamu tadi."

"Humm... Ya sudah Yah, Assalamu'alaikum Ayah..." Ucap Nummi.

"Wa'alaikumussalam, Sayang..." Telpon pun berakhir.

Endro kembali cengengesan.

"Om ada-ada saja..." Gerutu Nummi seraya bernafas lega kembali.

Endro kembali mengacak-acak rambut Nummi. Dia begitu gemas melihat keluguan gadis yang sudah dianggapnya sebagai putri kandungnya itu.

.

.

.

.

.

.

Oh iya, Radetsa sampai lupa. Untuk teman-teman yang baru mampir di karya Radetsa ENDRO, SANG PENGAWAL ini. Radetsa kasih catatan ya. Tentang keluarga Ghani yang di ceritakan disini, sudah diceritakan sebelumnya di SUAMI CACAT PILIHANKU...

jadi, jika teman2 tidak mengerti, teman2 bisa mampir dulu di SCP. Sudah tamat ya... 105 episode...

MENAGIH JANJI

Mobil yang di tumpangi Nummi dan Endro sampai di sebuah rumah yang terbilang sederhana disana.

Gadis itu turun dengan semangat dari mobil yang telah menjemputnya ke terminal tadi. Dia memejamkan matanya, dan perlahan mengatur nafasnya sejenak. Rumah yang tidak asing baginya, mampu menyegarkan kembali tubuh lelahnya.

"Sebegitu senangnya?" Tanya Endro seraya menghampiri Nummi yang berdiri menatap rumah itu, dengan tatapan yang dipenuhi binar-binar kerinduan.

"Senang sekali, Om. Nummi sudah lama tidak kesini, Om saja yang selalu datang mengobati rindu Nummi kesana." Sahutnya. "Tapi rindu ke rumah ini sama sekali tidak terobati karenanya."

"Iya, kamu kan sekolah. Maka dari itu Om tidak mengajakmu untuk datang." Endro merangkul bahu Nummi. "Ayo masuk... Bi Hana dan Pak Harun juga merindukan kamu loh." Ajak Endro membawa Nummi masuk ke dalam rumahnya.

Rumah peninggalan almarhum Ayahnya. Tempat dimana Mentari, istrinya pergi dengan tragis kala itu.

Nummi menurut. Tampaknya, dia begitu senang ketika Endro mengatakan dua asisten rumah itu juga merindukan dirinya.

"Assalamu'alaikum..." Ucap mereka ketika sudah mencapai ambang pintu.

"Wa'alaikumussalam..." Sahut seorang perempuan yang sudah hampir berusia lanjut dari dalam rumah itu. "Oalah... Non Nummi akhirnya sudah sampai." Sapa perempuan itu dengan wajah menggambarkan kebahagiaan.

"Bi Hanaaa... Nummi kangen Bibi." Serunya seraya berlari memeluk perempuan itu.

"Bibi juga kangen sama Non Nummi..." Ujar Bi Hana membalas pelukan Nummi. "Yaa ampun... Non makin tinggi saja ya." Pujinya sembari melepas dekapannya. "Tambah cantik juga..."

"Ah Bibi bisa saja. Terimakasih Bibi..." Nummi terlihat bersemu meski yang memujinya Bi Hana. "Oh ya Bi, Pak Harun mana? Kok tidak kelihatan?" Nummi celingak-celinguk mencari keberadaan Pak Harun.

"Hadir Non..." Lelaki yang sedikit terlihat tua dari Bi Hana, datang dengan tergopoh-gopoh mendekati mereka.

"Pak Harun dari mana saja? Kenapa tidak menyambut Nummi? Apa Pak Harun tidak merindukan Nummi?" Sungutnya sambil melontarkan banyak pertanyaan kepada lelaki yang sudah terlihat tua itu.

Endro tersenyum melihat tingkah Nummi dan mendengar kecerewetan gadis itu. Seperti Murai berkicau, pikirnya. Bahkan, dia sampai tertawa geli dibuatnya.

"Bukan begitu, Non. Sedari tadi Bapak sudah menunggui Non Nummi, tapi panggilan alam membuat Bapak harus mundur..." Ujar Pak Harun membela diri.

"Memangnya nggak bisa ditahan sebentar, Pak?" Semburan tawa Endro terdengar menggelegar setelah Nummi dengan polosnya bertanya kepada Pak Harun, Nummi masih terlihat merengut.

"Coba saja jika itu di posisimu, Sayang. Apa kamu bisa?" Ujar Endro. Dia sedikit terpingkal karenanya.

"Hehe... Nummi bercanda kok, Pak. Bapak apa kabar?" Cengir Nummi seraya menyalami tangan Pak Harun.

"Alhamdulillah, Non... Bapak baik... Hanya saja semakin bertambah tua." Sahut Pak Harun dibumbui sedikit gurauan.

"Semua orang pasti semakin menua Pak ee... Mana ada orang kembali menjadi muda." Bi Hana menyerocos. "Ayo Non, Bibi antar ke kamar. Lama-lama dengerin Bapak, bisa-bisa semakin bertambah tua." Ajak Bi Hana. Dia meraih koper mini milik Nummi dan membawanya ke kamar yang sebelumnya memang sudah menjadi tempat peraduan gadis itu jika berlibur kesana.

"Iya, Sayang. Kamu istirahat ya, Nak..." Timpal Endro sembari mengelus lembut kepala Nummi.

"Oke Om. Tapi janji Om tidak lupa, kan?" Nummi menagihnya.

"Janji?" Kening Endro mengkerut. Dia berusaha mengingat kembali tentang janji yang pernah dia ikrarkan kepada gadis itu.

"Iiih... Om jangan pura-pura lupa begitu?" Nummi terlihat merengek.

"Apa kamu ingin ke makam Bibi, Kakek dan Nini?" Terka Endro.

"Itu juga... Nummi merindukan mereka. Tapi ada satu lagi..." Sahutnya masih bersungut.

"Om beneran lupa loh sayang..." Ujar Endro menyerah.

"Om kan sudah janji sama Nummi, kalau Nummi sudah berusia tujuh belas tahunan, Om akan ceritakan semua tentang kehidupan Om sama Nummi." Tutur Nummi kembali mengulangi ikrar Endro yang beberapa tahun lalu dibuatnya kepada gadis itu.

"Oh iya... Nanti ya, Sayang... Sekarang kamu istirahat saja dulu. Kamu pasti kelelahan..." Bujuk Endro menenangkan Nummi.

"Sebenarnya sih Nummi mau secepatnya, tapi tidak apalah, yang penting liburan kali ini tidak boleh kosong seperti liburan sebelum-sebelumnya. Ayah saja sudah menceritakan semuanya kepada Nummi tentang kisah Ayah dan Bunda dulu, bahkan sudah beberapa kali malah." Ujar Nummi.

"Hemmm... Tapi kali ini, Om janji... Om akan ceritakan semuanya kepada kamu, Sayang." Ikrar Endro meyakinkan Nummi. "Sekarang, kamu istirahat dulu ya. Besok pagi-pagi, kita ziarah."

"Siap Om..." Wajahnya kembali semangat. Dia kembali melangkah mengikuti Bi Hana.

"Kalau ada apa-apa, panggil Om segera..." Seru Endro ketika Nummi hampir menghilang di balik dinding pemisah ruangan.

"Oke Oom..." Sahut Nummi setengah berteriak.

.

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!