Sepuluh tahun sudah berlalu semenjak peristiwa perang besar yang terjadi dalam sejarah kekaisaran Wei. Perang sepuluh tahun lalu itu merupakan perang terbesar dan perang terdahsyat yang pernah terjadi sepanjang catatan sejarah.
Tapi dalam sejarah itu pula baru tercatat seorang pendekar yang mampu menggemparkan beberapa negara tetangga Kekaisaran Wei. Seorang pendekar yang mengguncangkan langit dan bumi. Sampai akhir dunia sekalipun, nama pendekar itu takkan pernah dilupakan oleh seluruh rakyat Kekaisaran Wei.
Siapa lagi kalau bukan Shin Shui si Pendekar Halilintar? Hanya dia saja yang mampu melakukan hal-hal di luar jangkauan manusia. Setelah kejadian perang itu, Shin Shui disebut-sebut sebagai jelmaan dewa karena kekuatannya yang sangat mengerikan.
Jangankan untuk bertarung dengannya, mendengar namanya saja akan membuat bulu kuduk berdiri.
Sekarang ini sekte Bukit Halilintar sudah berkembang dengan pesat. Bahkan sekte itu memiliki murid terbanyak dari sekte lainnya.
Yashou sudah meninggal tiga tahun silam. Dia terserang sakit keras, hampir sebulan tidak sadarkan diri, lalu akhirnya dia meninggal. Yashou di semayamkan di Bukit Awan. Berdekatan bersama sahabatnya, Manusia Batu, seperti apa yang dia minta sebelum meninggal.
"Jika aku meninggal, aku ingin di semayamkan di dekat sahabatku si Manusia Batu," kata Yashou sebelum meninggal.
Meskipun semua murid merasa bersedih hati, tapi semua itu bisa segera terobati karena adanya Shin Shui dan Yun Mei Xiaoruan. Sepasang suami istri itu memimpin sekte Bukit Halilintar dengan adil.
Sehingga siapa pun menaruh hormat padanya. Nama Shin Shui harum di mana-mana. Meskipun dia jarang turun gunung, tapi siapa saja yang mendengar nama Pendekar Halilintar, maka pasti akan segan.
Kejahatan sudah berhasil di netralisir. Sehingga kehidupan menjadi aman tentram, paling hanya ada kejahatan-kejahatan kecil saja yang dilakukan oleh orang-orang tak bermoral. Tapi semua itu bukanlah sebuah ancaman.
Anak Shin Shui dari hasil perkawinan dengannya diberi nama Shin Chen Li. Shin mengambil nama dari ayahnya, Chen berarti laki-laki yang dermawan dan pemberani. Sangat menggambarkan sosok anak Shin Shui. Sedangkan Li, bermakna kekuatan.
"Laki-laki dermawan dan pemberani, serta memiliki kekuatan."
Saat ini Chen Li baru berusia sepuluh tahun. Tapi kegagahan dirinya semakin tampak jelas. Wajah yang merupakan perpaduan antara kecantikan ibunya dan ketampanan ayahnya, semakin terlihat.
Semua murid sekte Bukit Halilintar sangat menghormati dirinya. Tapi sama seperti ayah dan ibunya, dia bukanlah anak yang gila akan kehormatan. Apalagi dengan harta. Chen Li bergaul dengan siapa saja, bahkan dia tidak merasa tinggi hati meskipun ayahnya seorang tokoh nomor satu dalam dunia persilatan Kekaisaran Wei.
Selain itu, Chen Li juga merupakan anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Karena itulah dia semakin di sayang oleh semua orang.
Meskipun usianya baru sepuluh tahun, tapi dia sudah di gembleng ilmu bela diri oleh Shin Shui sendiri di luar jam kerjanya di sekte Bukit Halilintar.
Tidak ada kata tidak latihan dalam setiap harinya. Setiap hari dia harus melakukan latihan. Shin Shui sengaja mendisiplinkan anaknya, apalagi Chen Li merupakan anak laki-laki satu-satunya.
Seperti saat ini, waktu sudah menunjukkan sore hari. Tapi Chen Li masih disuruh untuk terus berlatih. Dia sedang berlatih jurus-jurus yang sudah diturunkan oleh ayahnya.
"Chen Li, sudahi latihanmu. Segera bersihkan diri kemudian kau beristirahatlah. Ayah dan ibu akan ke tempat biasa (tempat bicara santai di belakang sekte)," kata Shin Shui sambil menghampiri anaknya yang sudah mandi keringat.
"Baik ayah. Chen'er akan segera melaksanakan perintah ayah," kata Chen Li kecil.
Anak itu pun berlari sambil bergembira, senyuman selalu ada dalam setiap dia bicara. Betapa bahagianya orang tua yang memiliki anak penurut. Tapi sayang, tidak semua anak selalu nurut perkataan orang tua ketika masih kecil, apalagi jika sudah dewasa. Hal ini wajar, karena semakin dewasa maka pikiran akan semakin terbuka.
Setelah dipastikan anaknya melaksanakan apa yang dia suruh, Shin Shui pun lalu pergi ke tempat bersantai para kepala tetua ditemani oleh istrinya.
###
Kekaisaran Wei saat ini sudah jauh berbeda. Saat ini masih dibawah pemerintahan Kekaisaran Wei An, negara itu begitu subur dan makmur.
Ekonomi berjalan lancar. Rakyat hidup dalam kebahagiaan karena Kaisar itu memerintah dengan penuh rasa keadilan dan penuh kasih sayang. Tidak ada rakyat yang tidak diperhatikan olehnya. Semuanya diperhatikan.
Jangankan kota besar, desa-desa pelosok saja dia perhatikan. Jalur perdagangan dibuka lebar-lebar, sehingga semakin banyak saja para pedagang besar yang datang dari berbagai negara tetangga.
Kehidupan di istana kekaisaran begitu damai. Kaisar Wei An dianugerahi satu orang puteri yang cantik jelita. Usianya baru sekitar sembilan tahun. Beda setahun dengan anak Shin Shui.
Tapi meskipun masih terbilang kecil, kecantikan ibunya sudah nampak pada anak itu. Kelembutan dan keberanian ayahnya sudah tergambar jelas padanya. Anak itu diberi nama Wei Annchi. Annchi berarti seorang bidadari yang cantik. Sesuai dengan pemilik namanya.
Wei Annchi, nama yang indah, seperti pemilik namanya. Anak itu dikenal seorang periang, tutur katanya halus dan senyuman tak pernah hilang darinya. Wei Annchi tidak tumbuh menjadi seorang putri yang manja, meskipun dia hidup serba dalam kemewahan.
Sebaliknya, Wei Annchi justru menjelma menjadi anak yang rajin membantu ibunya dan pandai membuat tersenyum kedua orang tuanya.
Seperti sekarang ini misalnya, Wei Annchi sedang belajar membaca dan menulis bersama ibunya.
"Chi'er, ayo belajarnya sambil makan. Sini ibu suapin," kata istri kaisar Wei An.
"Tidak mau ibu. Aku maunya di suapin oleh ayah … ayah … ibu nakal," kata Annchi sambil berlari menghampiri kaisar Wei An yang daritadi melihat istri dan anaknya sambil tersenyum.
"Kasian anak ayah … sini ayah suapin, makan yang banyak ya. Nanti ibu … ayah pukul, ayo Chi'er buka mulutnya," bujuk kaisar Wei An.
Melihat ini, istri kaisar Wei An yang bernama Lin Hua hanya tersenyum gemas. Anaknya memang suka manja seperti itu. Meskipun sepasang suami istri itu merupakan orang paling dihormati di Kekaisaran Wei, tapi jika dihadapan puteri kecilnya, keduanya bukanlah apa-apa selain hanya menjalankan peran sebagai ayah dan ibu.
Begitulah, semenjak kejadian paling bersejarah sepuluh tahun silam itu, kehidupan di Kekaisaran Wei semakin damai dan tenteram.
Baik dalam kehidupan bernegaranya, maupun dalam kehidupan dunia persilatannya.
Andaikan kehidupan nyata ini damai seperti kehidupan mereka. Pasti siapa pun akan berbahagia. Tidak ada lagi kesedihan, tidak ada lagi kekhawatiran. Akan tetapi, mustahil semua itu akan terjadi. Apalagi manusia terkenal dengan sifat yang sangat berambisi.
Agaknya, kehidupan di Kekaisaran Wei pun akan mengalami lagi kekacauan. Karena tidak akan ada yang namanya perdamaian abadi, semuanya sudah ada pasangan. Inilah kehidupan didunia.
Selamat datang di kehidupan baru. Di dunia yang keras dan penuh dengan gelombang. Di saat terjadi kekacauan, saat itulah akan muncul pendekar baru. Penerus baru. Seorang pahlawan yang baru pula.
Hari sudah hampir larut malam, keadaan di sekte Bukit Halilintar pun sudah sepi sekali. Para tetua yang lain sudah tertidur bersama mimpi mereka dengan sangat pulas. Begitu pun dengan semua murid yang kini jumlahnya hampir tiga ribuan.
Bintang bertaburan diatas cakrawala. Angun dingin berhembus memanjakan tubuh. Akan tetapi sinar rembulan perlahan redup tertutup oleh awan yang kelam.
Pada bangku di bawah pohon yang ada di taman belakang rumah, Shin Shui sedang berbaring sendiri. Tak ada yang menemani, Yun Mei sudah tertidur pula. Apalagi anaknya, dia sedang terbuai kenyamanan bersama pelukan ibunya.
Memang setelah perang berakhir, semua yang dulu menemani Shin Shui sudah kembali ke tempatnya masing-masing karena tugas mereka sudah selesai.
Phoenix biru sudah lama pergi, begitu pun dengan Cun Fei sang Naga Emas. San Ong dan Ong San pun sama, awalnya mereka memang tidak mau berpisah dengan Shin Shui, tapi karena Shin Shui memaksa, pada akhirnya mereka menyetujuinya dengan alasan masih tetap akan menjaga walaupun dari kejauhan dengan cara mereka sendiri.
Harus Shin Shui akui bahwa dirinya memang kadang merasa sangat rindu sekali kepada mereka. Bagaimana tidak? Para siluman itulah yang selama ini menemaninya hingga menjadi seperti sekarang.
Mereka yang selalu ada dalam setiap suka maupun duka. Mereka selalu menjaga, bahkan membimbing Shin Shui. Khususnya phoenix biru dan Cun Fei. Jadi rasanya, sampai mati pun Shin Shui tidak akan bisa melupakan mereka semua.
Seperti saat ini contohnya, jika dia sedang rindu kepada teman-temannya itu, maka Shin Shui memilih untuk menyendiri. Memilih untuk bercerita kepada alam semesta.
Karena baginya, bercerita kepada alam lebih baik daripada bercerita kepada manusia yang belum dapat dipercaya secara sempurna.
Akan tetapi rasa rindu kali ini sedikit berbeda karena Shin Shui juga merasakan ada hal lain. Entah apa. Yang jelas firasatnya mengatakan akan terjadi suatu hal. Alasan inilah yang membuat Shin Shui sampai larut malam seperti ini belum bisa tidur.
Tiba-tiba saja dia membayangkan kejadian-kejadian yang telah lalu dilewati. Ekspresi wajahnya berubah-ubah, kadang terlihat gemas kadang juga terlihat tersenyum. Mungkin dia lebih memilih untuk membayangkan kejadian yang indahnya saja.
Perlahan tapi pasti, Shin Shui mulai merapatkan kedua matanya juga hingga akhirnya dia benar-benar tertidur di bangku taman tersebut.
Mungkin karena terlalu kelelahan, sehingga walaupun baru sebentar, dia sudah tertidur dengan pulas.
Namun, senyuman yang tadi dia perlihatkan kepada sang malam, kini perlahan menghilang. Wajahnya menggambarkan ekspresi bermacam-macam. Sebab dalam tidurnya itu, Shin Shui bermimpi sesuatu yang aneh.
Di alam sana, Shin Shui seperti berada di dalam sebuah tempat yang aneh dan sangat asing baginya. Shin Shui berada di sebuah goa yang cukup besar. Awalnya di sana tidak ada siapa-siapa kecuali dirinya sendiri.
Akan tetapi tak berselang lama, tiba-tiba muncul cahaya putih yang sangat menyilaukan mata. Bahkan sampai membuat Shin Shui harus menutupi kedua matanya.
"Guru … phoenix biru … se-senior Cun Fei … ba-bagaimana kalian bisa berada disini? Dan tempat apa ini sebenarnya?" tanya Shin Shui.
Hatinya langsung merasa bahagia ketika dia tahu siapa saja yang ada di hadapannya saat ini. Benar, mereka adalah orang-orang yang berarti dalam kehidupan Shin Shui.
"Tenanglah Shui'er. Kau berada di alam lain. Kami disini memang sengaja membawamu kemari. Kami meminjam jiwamu sebentar karena ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan kepadamu," kata Lao Yi.
"Tentang apa itu guru? Murid siap mendengarkan," jawab Shin Shui.
"Pertama, mungkin ini adalah pertemuan yang pertama dan terkahir antara kami denganmu, bahkan diantara kami semua pun, mungkin ini pertemuan yang terakhir. Harus kau ketahui Shui'er, phoenix biru dan Cun Fei kini sudah tewas. Mereka terbunuh dalam sebuah perang dahsyat yang terjadi beberapa waktu lalu. Perang itu terjadi di negeri siluman, tempat kediaman Kaisar Naga Merah berada."
"Di sana telah terjadi sebuah malapetaka yang bahkan lebih mengerikan daripada perang sepuluh tahun lalu yang terjadi di Kekaisaran Wei. Saat ini Kaisar Naga Merah dan beberapa pengawal pribadinya sedang bersembunyi di suatu tempat. Kedudukannya runtuh akibat perang tersebut, kini negeri siluman dikuasai oleh seekor siluman yang jahat dan sangat ganas. Bahkan kekuatannya sangat mengerikan."
"Karena alasan itulah kami membawamu kesini untuk dimintai pertolongan. Tolong kau pergi ke negeri siluman, selamatkan negeri itu dan rebut kembali kekuasaan Kaisar Naga Merah. Hanya dia seorang saja yang bisa memimpin negeri siluman dengan damai. Dan hanya kau lah yang dapat merebut kembali kekuasaan itu."
"Dan yang kedua, terkait dengan Kekaisaran Wei dan anakmu,"
"Degg …"
Jantung Shin Shui tiba-tiba berdebar hebat. Ada apa dengan anaknya? Ada apa dengan tanah airnya?
Berbagai pertanyaan muncul dibenak Shin Shui. Tapi dia tidak mau bertanya, Shin Shui lebih memilih untuk menjadi pendengar yang baik.
"Aku mempunyai ramalan bahwa sekitar satu atau dua tahun lagi Kekaisaran Wei akan mendapatkan sebuah malapetaka. Perang yang sebelumnya sudah terjadi, akan terjadi lagi untuk saat ini dan untuk masa yang akan datang. Ketahuilah Shui'er, ada dua Kekaisaran yang mengincar akekaisaran Wei. Yang satu adalah kekaisaran Tang, dan satu lagi adalah kekaisaran Sung. Maka dari itu, beritahukan kepada Kaisar Wei An bahwa dia harus siap-siap menghadapi bencana yang akan segera terjadi. Begitupun kepada sekte-sekte lainnya. Tapi jujur aku sendiri tidak yakin bahwa negerimu akan menang dari perang nanti. Selain diserang oleh dua Kekaisaran, hal terberat lainnya adalah para pendekar di dua Kekaisaran itu bahkan lebih kuat daripada para pendekar Kekaisaran Wei, termasuk dari dirimu sendiri."
Shun Shui semakin tertegun mendengar ramalan tentang gurunya. Bukan tanpa alasan, semuanya memiliki alasan yang jelas. Dan yang paling membuatnya tidak menyangka adalah bagaimana bisa Kekaisaran Tang berniat menyerang juga? Bukankah istri Kaisar Wei An merupakan puteri dari Kekaisaran Tang?
Tapi lagi-lagi Shin Shui tidak mau bertanya, dia menyimpan semua pertanyaan itu dalam hatinya yang kini sedang kelam.
"Dan tentang anakmu, ketahuilah Shui'er, yang bisa mengembalikan kedamaian dunia hanya anakmu seorang. Anakmu sudah ditakdirkan sebagai penyelamat dunia, wakil Parra Dewa, wakil umat manusia. Dia bahkan menanggung beban yang lebih berat daripada bebanmu pada masa lalu. Tapi percayalah, dia bisa menjalankan takdirnya meskipun harus berjuang beberapa kali lipat lebih keras darimu. Suatu saat nanti anakmu akan menjadi seorang pendekar yang kekuatannya setara dengan Para Dewa, itu merupakan puncak kekuatannya. Kelak, bakal ada seorang Dewa yang ditugaskan langsung untuk mendidik anakmu jika sudah tiba waktunya hari pembalasan."
"Tapi seperti yang kau ketahui, semakin tinggi pohon, maka semakin besar juga angin yang bakal menerpanya. Begitu pun dengan perjuangan anakmu nanti. Semakin dia kuat, maka para iblis dan semua musuh pun semakin kuat. Karena itulah, para dewa dan kami semua memberikan bekal kepada anakmu."
"Dan bekal itu sudah kami berikan tanpa kau ketahui. Mulai sekarang, sebelum anakmu mampu menguasai seluruh kekuatannya, maka selama itu matanya akan terpejam. Bukan karena dia buta, tapi justru di dua mata itulah kekuatan yang sesungguhnya. Kelak jika anakmu marah, kau akan tahu apa yang telaw diberikan. Kau harus bisa membuat bekal itu tunduk kepada anakmu, jika memang kau selamat dari perang nanti Shui'er. Jika tidak, maka terpaksa anakmu harus menjalani perjalanan hidup yang penuh dengan lika-liku."
"Apakah kau sudah mengerti tentang apa yang aku bicarakan?" tanya Lao Yi.
"Sudah guru," jawab Shin Shui dengan mantap.
"Bagus. Kami percaya kepadamu, bahwa kau takkan mengecewakan. Sekarang kembalilah, selamat tinggal murid kebanggaanku," kata Lao Yi sambil melemparkan senyumannya. Begitupun dengan Cun Fei dan phoenix biru.
Ketiganya pergi dan takkan pernah kembali lagi. Mereka semua pergi dengan meninggalkan sebuah harapan besar kepada Shin Shui dan anaknya.
Shin Shui tak bisa lagi berucap. Bahkan menjawab ucapan gurunya, Lao Yi pun rasanya sangat susah. Mulutnya terasa seperti terkunci dsn tenggorokannya kering. Pendekar Halilintar itu hanya bisa mematung melihat kepergian tiga orang yang sangat ia sayangi itu.
Tanpa mereka, Shin Shui tidak akan menjadi seperti sekarang. Dan tanpa mereka pula, mungkin Pendekar Halilintar tidak akan pernah ada.
Shin Shui masih terus memandangi kepergian Cun Fei, phoenix biru dan Lao Yi. Semakin lama mereka berubah menjadi cahaya putih lalu berubah lagi menjadi serbuk-serbuk yang beterbangan tertiup angin.
Ketiganya pergi dengan senyuman kebanggaan. Senyuman itu nampak tulus dari dalam jiwa.
Setelah itu, tiba-tiba Shin Shui terbangun dari tidurnya. Ia mengusap pipinya yang terasa basah. Ternyata dia telah menangis. Dikira hanya mimpi, akan tetapi mimpi itu benar-benar terasa nyata.
Suasana di Sekte Bukit Halilintar semakin sepi sunyi. Tak ada seorang pun yang masih terjaga dari tidur kecuali dirinya. Semua orang sudah terlelap bersama mimpi-mimpi mereka. Bahkan suara binatang malam pun telah lenyap.
Shin Shui hanya sendiri ditemani sang rembulan yang memancarkan sinar indah di cakrawala. Bintang-bintang berkelipan menambah syahdunya suasana. Shin Shui masih melamun, Pendekar Halilintar itu sedang memikirkan apa yang tadi sempat di ucapkan oleh gurunya.
"Aku merasa tadi hanyalah mimpi. Tapi ternyata, mimpi itu sangat terasa nyata olehku. Sepertinya ini memang bukan sembarang mimpi. Baiklah kalau begitu, besok aku akan putuskan langkah apa yang akan di ambil terlebih dahulu," gumam Shin Shui sambil terus memandangi rembulan yang mulai tertutup awan kelabu.
Tak lama setelah bergumam sendiri, Shin Shui lalu pergi dari sana dan berniat untuk menuju ke kediamannya lagi. Dia khawatir, pasti Yun Mei sudah menunggunya dari tadi.
"Sushi, kau dari mana saja? Aku menunggumu sejak tadi," tanya Yun Mei saat Shin Shui baru saja masuk kamar.
"Aku habis cari angin Memei. Kenapa kau belum tidur?" tanya Shin Shui.
"Aku tidak bisa tidur. Aku menunggumu dari tadi," kata Yun Mei sedikit manja.
"Dasar manja," ucap Shin Shui sambil mencubit hidung istrinya tersebut.
"Li'er sudah tidur?" Shin Shui menanyakan anak semata wayangnya kepada Yun Mei sambil membuka jubahnya, bersiap untuk istirahat.
"Sudah. Dia pun tadi mencarimu Shushi,"
"Dia memang manja kepadaku. Mungkin karena kau kadang keras mendidiknya," kata Pendekar Halilintar sambil tersenyum.
"Ayah dan anak sama saja," jawab Yun Mei tak mau kalah.
"Sudah, sudah. Mari tidur sayang," ucap Shin Shui sedikit romantis.
Ia naik ke tempat tidur, lalu mencium kening Yun Mei sebelum akhirnya berniat untuk tidur sambil memeluk istrinya.
###
Hari sudah pagi. Suara burung-burung berkicau merdu di Bukit Awan dan di atas atap Sekte Bukit Halilintar. Yun Mei bangun lebih dulu seperti biasanya. Istri dari Pendekar Halilintar itu mulai melakukan pekerjaan rumahnya.
Setelah sarapan sudah siap, Yun Mei segera membangunkan Shin Shui dan Chen Li.
"Li'er, bangun sayang. Ibu sudah membuat sarapan untukmu," kata Yun Mei sambil mengusap kepala anaknya.
"Aku masih ngantuk bu," Chen Li merengek dan berniat untuk tidur kembali.
"Ini sudah pagi sayang. Ayo cepat, ayah sudah menunggu di meja makan," kata Yun Mei.
"Li'er, bangun sekarang. Jangan manja seperti anak gadis. Kau itu pria," teriak Shin Shui dari ruang meja makan.
Mendengar ayahnya memanggil, seketika Chen Li langsung terbangun. Dia duduk di pinggiran tempat tidur, sementara Yun Mei membereskannya terlebih dahulu.
Namun hal aneh terjadi. Di mana Chen Li tidak bisa membuka matanya. Padahal ia sudah berusaha keras. Bocah itu mengucek matanya beberapa kali, tapi tetap saja kedua mata itu tidak terbuka.
"Ibu, mataku kenapa ibu. Apa yang telah terjadi dengan mataku. Aku tidak mau buta bu," kata Chen Li kepada ibunya.
"Kamu kenapa sayang? Coba buka matamu lagi. Jangan membuat ibu cemas Li'er," Yun Mei mulai panik saat mendengar perkataan Cen Li bahwa matanya tidak bisa terbuka.
"Tidak bisa bu. Aku sudah mencobanya, tapi mataku tidak bisa terbuka," kata Chen Li lalu mulai menangis meratapi nasibnya.
"Shushi, cepat kemari," teriak Yun Mei memanggil Shin Shui.
Mendengar teriakan istrinya, Shin Shui segera menuju ke kamar Chen Li. Dia mendapati Yun Mei sedang memeluk putranya dengan erat. Chen Li menangis di pelukan ibunya, sementara Yun Mei kebingungan dengan apa yang terjadi sekarang.
"Ada apa Memei?" tanya Shin Shui.
"Li'er, mata Li'er tiba-tiba tidak bisa terbuka. Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi," kata Yun Mei semakin panik.
Shin Shui tidak langsung bicara. Dia lalu duduk di samping Cen Li. Yun Mei melepaskan pelukannya. Kini giliran Shin Shui yang memeluk.
"Ayah, kenapa dengan mataku. Aku tidak mau jadi orang buta ayah. Aku ingin normal seperti yang lainnya. Aku ingin bermain, aku ingin melihat dunia yang indah," Chen Li menangis semakin kencang di pelukan Shin Shui.
"Sabar anakku. Kau tidak akan buta, pasti kau nanti bisa melihat kembali. Sekarang, mari kita sarapan dulu. Nanti ayah akan membantumu," ucap Shin Shui membujuk Cen Li.
Shin Shui sendiri tiba-tiba lupa dengan mimpi yang semalam ia alami. Di mana Lao Yi berkata bahwa mulai sekarang Chen Li tidak bisa membuka matanya kecuali saat sedang marah. Kelak jika memang sudah saatnya Chen Li bisa mengendalikan kekuatan alami yang ia miliki, maka mata itu akan terbuka kembali.
Sebenarnya mata Chen Li hanya tidak bisa dibuka saja. Tapi ia tidaklah buta. Bahkan dalam keadaan tertutup matanya seperti sekarang, Chen Li masih bisa melihat sesuatu yang ada di dekatnya. Hanya saja dia belum mengerti karena memang masih anak-anak.
Chen Li terus meraung-raung memegangi matanya dengan kedua tangan. Air matanya kian deras membasahi pipi yang lembut itu. Shin Shui memeluk Chen Li untuk memenangkannya. Sementara Yun Mei semakin kebingungan. Ia sendiri tidak mengerti atas apa yang terjadi menimpa anaknya.
"Mari kita pergi ke sekte. Ayah akan meminta mereka untuk mengobatimu Li'er," ucap Shin Shui sambil mengelus-elus rambut Chen Li.
Bocah menggemaskan itu menganggukan kepalanya. Namun ia masih dalam keadaan menangis. Shin Shui lalu memangkunya dan berjalan menuju ke Sekte Bukit Halilintar diikuti Yun Mei di belakangnya.
Sepanjang jalan, Chen Li tak henti-hentinya merengek layaknya anak kecil pada umumnya. Namun tangisannya saat ini lebih tenang daripada sebelumnya.
Begitu sampai di ruangan para tetua Sekte Bukit Halilintar, mereka semua kaget karena melihat Chen Li yang tak biasanya menangis, kini mereka melihatnya histeris.
"Kepala Tetua, apa yang terjadi dengan Li'er?" tanya Lu Xiang Chuan, salah satu dari tiga murid mendiang Yashou.
"Entahlah Tetua. Tiba-tiba saja mata Li'er tidak bisa di buka lagi saat baru bangun tidur," ucap Shin Shui.
Para tetua yang lain pun kebingungan. Mereka lalu mengerubungi Shin Shui untuk melihat keadaan Chen Li.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!