Gemerlap bintang bertaburan menghiasai gelapnya malam. Seorang gadis cantik duduk merenung di sudut kamar yang cat dindingnya mulai pudar.
Ia adalah Dini, remaja SMA yang tinggal bersama ibunya. Ayahnya sudah meninggal ketika ia masih bayi. Ibunya seorang pembantu rumah tangga yang harus bekerja dari pagi hingga malam di rumah tetangganya.
Tookk... Tookk... Tookk....
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
"Dini, ada Andi di depan, kamu mau ngerjain tugas bareng?" tanya ibu Dini dari balik pintu.
"Iya Bu, Dini keluar."
Dengan membawa bertumpuk-tumpuk buku di tangannya, Dini keluar menuju balai-balai depan rumahnya. Andi adalah teman baik Dini, mereka bertetangga. Ayah Andi seorang buruh pabrik sedangkan ibunya merupakan satu-satunya penjahit di daerah itu.
"Mukamu kenapa kusut banget Din?" tanya Andi
"Laper hehehe," jawab Dini sambil tertawa.
"Kalau gitu ayo beli bakso, Bang Yono di depan tuh."
Bang Yono adalah penjual bakso langganan mereka yang tiap malam berhenti di sebrang rumah Dini.
"Kok malah beli bakso, ini tugasnya belum dikerjain."
"Makan dulu aja biar fokus ngerjainnya."
"Ya udah ayo buruan, aku laper."
Andi segera mengikuti langkah Dini menuju tukang bakso langganannya.
"Bakso dua bang, kayak biasanya ya!" pinta Dini pada Bang Yono.
"Siap, tunggu bentar ya neng!".
Dini dan Andi mengacungkan jari jempolnya.
Beberapa menit kemudian, Bang Yono memberikan bakso pesanan Dini dan Andi.
"Saya itu suka lihat kalian berdua, bikin saya jadi inget masa muda saya," celetuk Bang Yono.
"Kok bisa gitu Bang?" tanya Dini.
"Saya dulu juga sering nongkrong di pinggir jalan sama istri saya waktu masih pacaran, ya kayak kalian gini."
"Lah, kita kan nggak pacaran Bang!" bantah Dini.
"Nah ini, saya dulu juga gitu, nggak diakuin pacar pas di depan orang, malu katanya hahaha...." ucap Bang Yono sambil tertawa puas.
"Udah, iyain aja," ucap Andi pelan sambil tersenyum.
"Saya do'ain kalian berdua langgeng sampe' nikah terus punya banyak anak," ucap Bang Yono.
Huukk.... Huukk... Huukk...
Dinipun tersedak mendengar kata-kata Bang Yono. Dengan sigap Andi segera memberikan es tehnya pada Dini.
"Minum Din."
"Thanks Ndi, Bang Yono ngomongnya ada-ada aja sih."
Andi dan Bang Yono tertawa melihat Dini yang tiba-tiba tersedak.
Berbeda dengan Dini, Andi justru mengAminkan ucapan Bang Yono tadi. Andi dan Dini memang sudah berteman dari kecil karena rumah mereka berdekatan. Dari SD sampai saat ini mereka SMA, mereka selalu bersama-sama, bermain bersama, berangkat sekolah bersama dan banyak menghabiskan waktu bersama.
Ketika Dini masih kecil, ia dijauhi teman-teman seusianya karena ia tidak memiliki ayah. Ia diejek dan dikucilkan. Hanya Andi yang mau berteman dan bermain dengannya. Sampai saat ini hanya Andi teman dekat Dini.
Semua hal tentang Dini, Andi pasti tahu. Tentang kesedihan yang ia sembunyikan dibalik tawanya, tentang bagaimana ia sangat menyayangi ibunya dan tentang masa depan yang selalu menghantui pikirannya.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, Andi dan Dinipun mengembalikan mangkok dan gelas es tehnya pada Bang Yono.
"Berapa Bang?" tanya Andi pada Bang Yono.
"Gratis buat kalian berdua," jawab Bang Yono sumringah.
"Loh, kok gratis Bang?" tanya Dini.
"Alhamdulillah, saya ada rezeki hari ini, ada yang pesan 100 porsi buat besok, jadi ini dua porsi terakhir saya kasih gratis buat kalian."
"Alhamdulillah, terimakasih Bang."
"Iya sama-sama."
Dini dan Andi kembali kerumah. Di balai-balai depan rumah Dini, mereka segera mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan esok hari. Dengan serius mereka mengerjakan satu per satu soal yang ada di buku mereka.
Tak jarang mereka saling bertukar jawaban, dan saling menjelaskan jika salah satu dari mereka tidak paham atas pertanyaan-pertanyaan yang ada di soal mereka. Di selingi tawa dan obrolan ringan, mereka akhirnya menyelesaikan semua tugas-tugas yang diberikan oleh guru mereka.
Merekapun merapikan buku masing-masing dan duduk berdampingan.
Dini menyandarkan kepalanya di bahu Andi.
"Din, kamu tahu nggak kenapa bintang-bintang disana sangat banyak?" tanya Andi sambil menunjuk ke arah langit.
"Karena udah takdir, hehehe," jawab Dini asal.
"Serius Din,"
"Eh, serius ya, kirain bercanda,"
"Jawab aja deh Din!"
"Males mikir ah Ndi, baru juga ngerjain tugas banyak banget."
"Jadi kamu mau tau jawabannya nggak?"
"Iya, kenapa emang?"
"Kenapa dilangit banyak bintang? karena mereka mau nemenin kamu, biar kamu tau kalau kamu nggak sendirian."
"Terus?"
"Biar kamu juga tau kalau pasti ada keindahan disetiap gelapnya hidup kita."
"Tapi besok pagi mereka hilang Ndi, mereka udah nggak ada."
"Ada Din, mereka hanya tak terlihat, apa yang tak terlihat bukan berarti nggak ada kan?"
"Iya Ndi, kamu bener."
"Sekarang tugas kamu apa?"
"Apa?"
"Tugas kamu, kamu cari bintang-bintang di hidup kamu biar kamu tau indahnya hidup yang selama ini kamu anggap gelap ini."
"Aku udah nemu Ndi, kamu sama ibu, itu bintang-bintangku."
"Din, kamu jangan terlalu mikirin yang macem-macem ya, jalani aja apa yang udah ada, aku selalu disini buat kamu."
"Iya Ndi."
"Ya udah aku pulang dulu, kamu jangan tidur malem-malem ya!"
"Iyaaa."
Setelah Andi pulang, Dini segera masuk ke kamarnya. Ia memikirkan kata-kata Andi. Selama ini Dini selalu menganggap hidupnya begitu kelam. Ia tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah dari kecil dan ibunya harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pesan Bu Ranti -ibu Dini- padanya adalah untuk selalu fokus belajar agar bisa sukses, karena jika tidak, mau tak mau ia harus menikah dengan laki-laki kaya yang ibunya pilihkan.
Meski Dini merasa tak setuju, ia tidak berani menolak permintaan ibunya, karena yang ia miliki saat ini hanyalah ibunya. Ia harus bisa membanggakan ibunya dengan prestasi yang diraihnya atau jika memang harus ia akan menikah dengan lelaki pilihan ibunya.
"Din, kesini sebentar sayang!" panggil ibu Dini dari luar kamarnya.
"Iya Bu."
"Tadi ada temen kamu kesini, ngasih ini buat kamu," sambil menyodorkan sebuah kotak dengan pita merah diatasnya.
"Kapan Bu? Siapa?" tanya Dini penuh penasaran.
"Tadi waktu kamu keluar sama Andi, ibu juga nggak kenal siapa,"
"Laki-laki apa perempuan Bu?"
"Laki-laki, pacar kamu?"
"Ibu ada-ada aja, aku kan nggak punya pacar," jawab Dini sambil berjalan masuk ke kamarnya.
Di dalam kamar, Dini semakin penasaran tentang kotak misterius itu, siapa pengirimnya dan apa isi dari kotak itu, ia tak tahu karena selama ini tidak ada laki-laki yang dekat dengan Dini kecuali Andi.
Pagi yang cerah, mentari dengan gagahnya bertengger di ujung timur singgasananya. Namun Dini masih belum terbangun dari tidurnya. Selimutnya masih terlihat rapi menutup seluruh badannya.
"Dini, ayo bangun sayang, udah siang lo!"
"Jam berapa Bu? ibu kok belum berangkat?" tanya Dini yang masih enggan untuk beranjak dari tidurnya.
"Jam setengah tujuh, ini ibu mau berangkat, kamu buruan mandi ya!"
Dini terperanjat, ia segera menanggalkan selimutnya, karena terburu-buru tanpa sengaja ia menjatuhkan kotak dengan pita merah yang semalam ia dapat dari ibunya.
"Din, ibu berangkat ya, sarapannya udah ibu siapin di atas meja," ucap ibu dari balik pintu kamar mandi.
"Iya Bu, hati-hati," jawab Dini dengan suara yang tak begitu jelas karena ia masih menggosok gigi.
Selesai mandi dan memakai seragam, Dini segera keluar dari rumah. Di depan sudah ada Andi yang menunggunya.
"Tunggu ya, aku telat bangun tadi," ucap Dini sambil mengikat tali sepatunya dengan berdiri, karena terburu-buru ia pun terjatuh.
"Aduuhhh."
Melihat Dini yang terjatuh, Andi segera membantunya berdiri dan mendudukkannya di kursi.
"Kamu sarapan dulu aja, aku bawa sepeda ayah kok jadi nggak bakal telat," ucap Andi sambil mengikat tali sepatu Dini.
"Ayah kamu libur?"
"Iya, lagi libur."
Setelah selesai sarapan dan mencuci piringnya, Dini dan Andi segera berangkat ke sekolah menggunakan sepeda motor milik ayah Andi.
Dini dan Andi biasa ke sekolah dengan berjalan kaki, oleh sebab itu mereka harus berangkat lebih pagi agar bisa sampai tepat waktu di sekolah.
Hanya ketika ayah Andi libur, Andi bisa memakai sepeda motor milik ayahnya, karena jika tidak sudah pasti sepeda motor satu-satunya itu akan dipakai ayahnya untuk bekerja di sebuah pabrik yang agak jauh dari rumah mereka.
Sesampainya di sekolah, Andi segera memarkirkan motornya setelah menurunkan Dini di depan gerbang sekolah. Dini menunggu Andi di lorong dekat dengan loker para murid.
"Din, aku ke ruangan OSIS dulu ya, kamu ke kelas duluan aja!" ucap Andi yang terlihat terburu-buru.
"Oh, oke," jawab Dini dengan jari yang membentuk huruf O.
Sebelum masuk ke kelas, Dini berniat mengambil bukunya yang memang sengaja ia tinggalkan di loker setiap hari. Ketika ia membuka lokernya, ia melihat selembar kertas berwarna merah diatas bukunya. Ia yakin itu bukan miliknya. Ketika ia mengambil kertas itu betapa terkejut nya ia karena kertas itu berisi sebuah ancaman kepadanya.
"Jangan macem-macem atau beasiswa kamu bakal dicabut"
Dini bergidik membacanya, karena panik dan takut ia segera merobek kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah di dekat loker.
Dini tidak tahu siapa yang menulis ancaman itu kepadanya. Ia merasa tidak punya musuh di sekolah.
Ia memang tidak banyak bergaul dengan teman-temannya. Ia lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku di perpustakaan.
Meski begitu, ia tak pernah punya masalah dengan siapapun. Walaupun teman-temannya juga tak pernah dekat dengannya, tapi mereka juga tak pernah melakukan hal-hal buruk pada Dini.
Mereka hanya menganggap Dini orang yang aneh, karena ia sangat jarang berbicara dan sangat suka menyendiri. Hanya ketika bersama Andi ia bisa sangat berbeda, banyak bicara dan begitu ceria.
Bel masuk berbunyi, Dini segera berjalan ke kelasnya, mencoba melupakan apa yang ia lihat di lokernya tadi.
Di dalam kelas, Dini berusaha keras agar bisa fokus dengan materi yang disampaikan gurunya.
Beberapa kali ia sempat melamun, memikirkan tentang apa yang ia lihat di lokernya tadi. Ia tak habis pikir, apa yang telah ia lakukan sehingga membuat seseorang mengancamnya seperti itu.
Bagi Dini, beasiswa itu adalah separuh hidupnya, itu adalah satu-satunya harapan Dini dan ibunya, tak hanya untuk masa depan Dini, tapi juga untuk ibunya.
Dini menghela napas panjang, ia berusaha tenang dan melupakan apa yang membuatnya resah.
Bel istirahat berbunyi, Dini segera berjalan ke arah perpustakaan disusul Andi dibelakangnya.
"Din, kamu lagi ada masalah?" tanya Andi tiba-tiba.
"Ee, enggak," jawab Dini gugup. Ia tak mau memberi tahu Andi tentang ancaman itu. Untuk masalah ini, Dini berniat untuk mencari tahunya sendiri.
Ia tak mau membebani Andi, karena ia tau Andi sudah cukup sibuk dengan posisinya sebagai ketua OSIS di sekolahnya saat ini.
"Kamu dari tadi banyak ngelamun Din, ayo lah cerita."
"Bukan ngelamun Ndi, tapi ngantuk, hahaha," jawab Dini asal.
"Ya udah, aku rapat OSIS dulu ya."
"Iyaaa."
Dini berjalan mondar mandir di lorong buku-buku di perpustakaan. Ia mencari sebuah buku yang sudah beberapa hari ini ia baca.
Hampir semua bagian rak buku ia lihat dengan teliti tapi ia tidak bisa menemukan apa yang ia cari.
"pasti sudah ada yang meminjamnya," batin Dini.
Memang seharusnya ia meminjam buku itu agar ia bisa membacanya kapanpun ia mau. Tapi ia tidak memiliki cukup uang untuk meminjamnya.
Baginya, menabung uangnya lebih penting jika ia bisa membaca buku-buku itu dengan gratis, meski dengan resiko seperti ini, harus berhenti membaca karena bukunya yang sudah dipinjam murid lain.
Itu bukan masalah bagi Dini, karena ia bisa membacanya lagi ketika buku itu sudah dikembalikan.
Ketika Dini masih mencari-cari buku, pandangannya tertuju pada tumpukan buku yang berada di atas meja panjang di sudut perpustakaan.
Ya, buku-buku itu memang sengaja ditumpuk karena baru dikembalikan oleh peminjamnya dan mungkin si penjaga perpustakaan belum sempat menatanya kembali di tempat yang seharusnya.
Buku dengan gambar pohon di sampulnya itu begitu menarik perhatian Dini. Tertulis "Hidup Sekali, Berarti, Lalu Mati" di sampulnya. Buku karya Ahmad Rifa'i Rif'an itu pun diambil oleh Dini. Ketika akan membacanya tiba-tiba pikirannya kembali pada selembar kertas ancaman yang ia temukan tadi pagi.
"Jangan ngelamun aja," ucap Andi yang tiba-tiba datang dan memukul pelan punggung Dini dengan buku yang ia bawa.
"Eh, Andi, katanya kamu rapat."
"Nggak jadi, kamu mikirin apa sih dari tadi di kelas ngelamun terus."
"Mikirin kamu hahaha," jawab Dini sambil berlalu meninggalkan Andi.
Andi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Dini. Merekapun kembali ke kelas. Ketika berjalan di lorong hendak melewati loker, dari jauh Dini melihat seseorang membuka lokernya dan menaruh sesuatu di dalamnya. Dini segera berlari meninggalkan Andi.
"Heeiii," teriak Dini pada Anita, seseorang yang telah menaruh sesuatu di lokernya.
Anitapun menoleh dan dengan gugup segera pergi meninggalkan loker Dini. Dini terus mengejarnya hingga ia berhasil menarik tangan Anita.
"Kamu mau naruh apa di lokerku?" tanya Dini penuh intimidasi.
Belum sempat Anita menjawab, dengan paksa Dini mengambil amplop merah yang dipegang Anita. Dini segera membuka amplop itu meski Anita melarangnya. Ternyata isi amplop itu adalah.......
Ada selembar kertas di dalam amplop merah yang dipegang Dini. Ia segera membacanya dan begitu terkejut ketika mengetahui isi dari surat itu.
Bait-bait kata mesra tertulis rapi dan indah. Ternyata itu adalah sebuah surat cinta, ungkapan rasa dari hati yang terdalam seorang Anita kepada Andi. Dinipun merasa bersalah dan meminta maaf kepada Anita.
"Maaf ya, aku nggak tau kalau isinya kayak gini," ucap Dini penuh rasa bersalah.
"Nggak papa Din, emang caraku aja yang salah."
"Jadi kamu suka sama Andi?" tanya Dini sambil mengembalikan amplop milik Anita.
Anita tak menjawab, hanya tersenyum malu.
"Kenapa kamu masukin ke lokerku tadi?"
"Aku nggak tau kalau itu loker kamu, aku pikir itu loker Andi."
"Loker Andi ada dibawah lokerku, nomer 23."
"Jadi salah paham gini gara-gara salah loker, maaf ya Din."
"Aku juga minta maaf, udah buka isi surat kamu, kamu mau masukin ke loker Andi sekarang?"
"Enggak Din, nggak jadi."
"Loh kok gitu, kenapa?"
Belum sempat Anita menjawab, Andi sudah berada diantara mereka.
"Kalian ini kenapa sih?" tanya Andi bingung.
"Nggak papa kok," jawab Dini sambil menyenggol lengan Anita.
"Eh iya, nggak papa, cuma salah paham," ucap Anita gugup.
"Nggak lagi berantem kan?"
"Enggak, udah ayo ke kelas, udah mau bel," ajak Dini.
Dini, Andi dan Anitapun berjalan berdampingan menuju ke kelas.
"Eh, kamu mau kemana?" tanya Andi pada Anita.
"Ke kelas."
"Laahh, kelas kamu kan disana," ucap Andi sambil menunjuk kerah sebaliknya.
Merekapun tertawa bersama. Anita memang bukan teman satu kelas Dini dan Andi. Dini dan Andi berada di jurusan IPS, sedangkan Anita memilih jurusan IPA. Anita adalah anak dari kepala sekolah di SMA itu. Meski tak terlalu menonjol dalam bidang akademik, ia beberapa kali menjuarai perlombaan non akademik di sekolahnya. Selain itu, ia juga dikenal sebagai anak yang baik, cantik dan ramah kepada semua teman-temannya.
Di kelas.
"Din, kamu tadi beneran nggak berantem kan sama Anita?" tanya Andi yang masih penasaran.
Dini tak menjawab, ia hanya menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sebagai isyarat agar Andi berhenti berbicara.
"Aku cuma khawatir Din," lanjut Andi.
"Andi Putra Prayoga," panggil Pak Dedi, guru matematika yang terkenal galak di sekolah.
"I.. iya Pak," jawab Andi terbata-bata.
"Ngapain kamu? udah pinter ya, udah nggak perlu belajar lagi?" tanya Pak Dedi dengan nada tinggi.
"Ini Pak, Dini ngajak ngobrol," jawab Andi berbohong.
Dini hanya mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Andi.
"Keluar kamu, Dini juga!"
"Andi bohong Pak, saya..."
"Keluar atau saya skors kalian dari mata pelajaran saya."
Dinipun terpaksa mengikuti Andi keluar. Tak lupa ia membawa buku dan peralatan tulisnya.
Di luar kelas, Dini tetap memperhatikan dan mencatat materi yang disampaikan Pak Dedi melalui jendela. Sedangkan Andi, tanpa rasa bersalah masih terus menanyakan hal yang sama kepada Dini. Dini ingin marah saat itu, tapi ia tahan, ia tak mau tertinggal materi dari Pak Dedi.
Begitulah Dini, ketika di kelas, mata dan pikirannya hanya tertuju pada materi yang disampaikan oleh gurunya.
Setelah bel berbunyi dan Pak Dedi keluar kelas, Dinipun memukul Andi dengan bukunya, mencubit lengannya hingga meninggalkan bekas merah kebiruan. Ya, Dini memang paling tidak suka jika ia diganggu ketika sedang fokus mendengarkan materi dari gurunya.
"Aduuhhh, iya iya aku minta maaf," ucap Andi memelas sambil menggosok-gosok lengan tangannya yang terasa sakit karena cubitan Dini.
Dini tak menjawab apapun, ia segera masuk ke kelas disusul Andi dibelakangnya.
"Kamu masih marah ya?" tanya Andi.
Dini tak menjawab, hanya memberikan lirikan tajam ke arah Andi. Andipun terdiam.
Jam 14.00 bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Ada yang menuju tempat parkir, ada yang masih duduk di pinggir taman sekolah dan mereka yang menunggu angkutan umum segera berjajar rapi di depan gerbang sekolah.
"Din, kamu pulang duluan ya, aku ada rapat OSIS." ucap Andi pada Dini.
Dini hanya mengangguk.
Andipun hanya menghela napas panjang melihat Dini yang masih dingin padanya.
"Hati-hati ya Din."
Dini sama sekali tak menghiraukan Andi, ia berjalan meninggalkan Andi yang masih berdiri mematung di depan kelasnya.
Di perjalanan pulang, Dini dibuat kaget dengan seorang anak kecil yang tiba-tiba datang memberinya sebuah permen kapas bertulisan "Love" di bungkusnya.
"Ini tulisan tangan yang sengaja ditulis, tintanya pun masih basah," ucap Dini dalam hati.
Belum sempat Dini bertanya, anak kecil itu sudah menghilang dari pandangan Dini.
Dini masih membawa permen kapas itu dan berniat memberikannya pada anak kecil yang sering ia jumpai di dekat rumahnya.
"Dek, mau ini?" tanya Dini pada anak kecil berambut keriting.
Anak kecil itu hanya mengangguk dengan masih mengutak atik mainan di tangannya.
Dinipun melanjutkan langkahnya untuk pulang setelah memberikan permen kapasnya pada anak kecil itu.
Kini Dini tak hanya memikirkan tentang surat ancaman yang ia terima, tapi juga permen kapas yang tiba-tiba ia dapat dari anak kecil dengan tulisan "Love" di bungkusnya.
Ia sama sekali tak tau apa maksud dari semua ini. Ia pun tiba-tiba teringat dengan kotak misterius yang ia terima dari ibunya.
"Surat ancaman, kotak misterius, permen kapas, apa maksudnya? siapa yang ngasih semua itu? kalau semua ini hanya satu orang pelakunya, berarti permen kapas tadi juga dari orang yang memberiku surat ancaman, itu artinya permen kapas itu....."
Dini segera berbalik, ia tak melanjutkan langkahnya untuk pulang ke rumah. Ia segera kembali ke toko mainan, tempat ia sering bertemu anak kecil berambut keriting tadi. Ia berharap anak kecil itu belum memakan permen kapas yang ia beri tadi, ia begitu takut jika hal yang buruk terjadi dengan anak itu gara-gara permen kapas yang ia beri.
Ketika sampai ditoko mainan, ternyata tak ada siapapun disana, tokonya pun tutup.
Dini bertanya pada orang yang tinggal di sebelah toko itu .
"Permisi Bu, apa ibu liat anak kecil, perempuan, rambutnya keriting yang sering duduk di depan toko mainan itu?"
"Oh, itu anaknya Pak Amir, pemilik toko mainan itu."
"Kenapa tokonya tutup ya Bu, apa Pak Amir sudah pulang?"
"Iya neng baru aja tutup, tiba-tiba anaknya masuk rumah sakit, jadi tutup lebih awal."
Deg!
Jantung Dini seakan berhenti berdetak saat itu juga. Setelah menanyakan rumah sakit tempat anak Pak Amir dirawat, Dini segera kesana, kebetulan rumah sakit itu berada di dekat sekolah Dini.
Dini berlari dengan pikiran kacau. Ia begitu takut. Sesampainya di rumah sakit, Dini segera menanyakan dimana kamar anak Pak Amir berada.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!