"Tahun ini Lo mau kemana Ir?" Tanya Siska, teman yang duduk sebangku dengan Irna sambil menyodok Irna dengan siku kirinya. Siska adalah teman yang sangat dekat dengan gadis itu.
Siska gadis cantik, dan ramah. Rumahnya terletak agak jauh dari rumah Irna. Mereka sering terlihat bersama-sama.
Sejak di bangku SMP Siska adalah satu-satunya teman yang selalu ada di mana ada Irna. Tak sekalipun mereka pernah bertengkar ataupun berebut. Siska dan Irna seperti dua bersaudara, tak ada yang mengira jika mereka hanyalah teman.
"Hemm, mungkin ada rencana ke villa Tante gue di pegunungan yang di tepi laut itu. Katanya kosong udah lama gak ada yang nyewa" Jawabnya asal saja sambil membuka buku di atas meja. Membolak-balik begitu saja malas membaca.
Irna terlihat sedikit tomboy, karena lebih sering memakai celana jeans ketimbang memilih gaun yang cantik. Sedangkan Siska lebih tampil feminim dan anggun.
"Wah, seru tuh! ajak gue juga ya? Henry sama Dido juga!" Teriak Siska tak sabaran. Siska ingat jika Henry dan Dido adalah teman terdekat mereka.
Jika ada sesuatu yang menyulitkan mereka berdua maka Henry dan Dido yang terlebih dahulu ada untuk membantu mereka menyelesaikan masalah.
"Berempat? kayak kencan pasangan aja Lo!" Timpal Irna sembari tertawa ringan. Irna selalu berkata ceplas ceplos dan apa adanya.
"Gak juga sih, cuma mereka aja yang lumayan dekat dengan kita." Sahut Siska datar. Dan kembali tersenyum melihat wajah Irna yang tersenyum juga.
"Ya, ya, tapi Lo aja yang ngundang mereka kalau gua ogah! ntar mereka kepedean!" Irna tidak ingin temanya itu salah faham jika sampai dia yang menghubungi mereka.
Walaupun mereka dekat tapi Irna tidak pernah menghubungi mereka terlebih dahulu.
"Bereeees bos!" Sahut Siska senang sambil membuka obrolan dengan Henry dan Dido melalui ponselnya.
Siska dengan wajah berseri-seri memencet nomor telepon Dido.
"Halo do, besok pas liburan, kamu ada rencana ke mana?"
"Kayaknya gak ada deh sis." Jawab Dido dari seberang.
"Bagaimana kalau kamu ikut aku dan Irna liburan ke villa tantenya?" Tawar Siska pada Dido.
" Hem, boleh juga tuh."
"Kamu ajak Henry sekalian bagaimana?" Tanyanya lagi.
"Iya nanti kupastikan dia ikut ke sana!" Ujar Dido dengan nada bersemangat.
"Yes! mereka setuju Ir, kira-kira besok jam berapa kita ngumpul berangkat ke sana?"
"Jam 6 pagi ngumpul di rumah gue!"
Ujar Irna sambil tersenyum melihat wajah cerah Siska, kemudian memasukkan bukunya ke dalam tasnya.
***
Keesokan harinya mereka sudah berkumpul di rumah Irna, lalu berangkat menuju villa Tante Rina yang terletak jauh di pegunungan, jalanan yang ditumbuhi pohon Pinus di sepanjang jalan yang lumayan jauh, tak lama kemudian mulai terdengar debur ombak lautan, di dekat pesisir pantai nampak sebuah villa kecil yang lumayan indah diitari tanaman merambat berbunga ungu muda, berdinding batu.
Setelah memarkir mobil mereka berempat bergegas mengambil barang-barang dari bagasi untuk di bawa masuk ke dalam rumah.
"Sial kok gak ada sinyal Ir?" ucap Siska kesal mengotak-atik ponselnya sambil berjinjit mencari sinyal.
"Aneh, padahal lokasi tempat ini tidak begitu jauh dengan perkotaan, tapi kenapa bisa tidak ada sinyal di sini?" Ujar Dido dalam hatinya.
"Coba ponsel elo Do!?" ucap Henry setelah menurunkan seluruh barang.
"Sama Hen, punya gua juga!"
Irna hanya tersenyum melihat ketiga temannya kebingungan mencari sinyal yang tiba-tiba lenyap dari ponsel mereka. Lalu berjalan membuka pintu villa tersebut.
"Kreeekkk, krincing, krincing...." Suara pintu terbuka seiring lonceng berdenting memukul kepala Irna.
Gadis itu dengan sangat santai melangkah masuk ke dalam ruangan yang sudah beberapa pekan terakhir tidak di huni orang sama sekali.
Tangannya menghalau sarang laba-laba yang menghalanginya untuk masuk ke dalam vila.
Sembari menengok ketiga temannya yang masih berdiri saling bertukar pandang satu dengan yang lain. Lalu memberi isyarat kepada mereka agar mengikutinya dari belakang.
Ruangan yang sangat gelap berdebu menyambut kedatangan mereka berempat.
Lampu kuno tergantung di tengah ruangan, perlahan bergoyang terkena hembusan angin, sontak membuat sekujur bulu kuduk Siska berdiri.
Siska melihat kaca lampu di tengah ruangan dan sekilas melihat bayangan wanita tua dengan wajah keriput terkekeh-kekeh ke arahnya.
Lalu berpaling ke arah Irna yang sedari tadi cuek membuka pintu-pintu kamar dan ruangan yang akan di tempati ketiga temannya itu.
"Serem amat Ir.. kok gue tadi ngelihat ada nenek tua?" Bisik Siska sambil memegang ujung jaket Irna yang masih memeriksa ruangan di depannya.
"Sssttttt.... jangan keras-keras, nanti dia dengar lalu jemput elo di sini!" Desis Irna tertawa menggoda Siska yang semakin ketakutan.
"Kayak Lo udah akrab aja sama hantunya!Yakin Lo mau kita nginap di sini nanti malam? banyak sarang laba-laba juga." Ujar Siska menghalau laba-laba dengan tangan kanannya.
Siska masih berdiri mengikuti Irna, seperti takut kehilangan pegangan.
"Udah jauh-jauh juga bro! masa mau balik ke kota? lagian udah tengah hari bentar lagi gelap, mending kita beresin dulu ini barang terus buat api unggun! " Tukas Henry pada Dido, dan Siska.
Irna tersenyum melihat keberanian Henry. Dan mengangguk setuju. Akan tetapi beberapa menit kemudian terdengar suara aneh.
"Krataaaakkk, Blaaaammmmm!" Suara pintu terbuka dan terbanting di koridor samping vila tersebut.
Irna mempertajam kembali pendengarannya. Memastikan apa yang sedang di dengarnya saat itu.
"Srek...sreeek....sreeek.." Terdengar langkah kaki menyeret lantai nyaring memenuhi ruangan. Lalu suara itu tiba-tiba berhenti.
"Apa itu Ir?! jangan-jangan suster ngesooot?!" Ucap Siska dengan tubuh menginggil, juga suara bergetar ketakutan. Siska menggeser tubuhnya berdiri lebih dekat dengan Irna.
"Jangan ngaco dong Lo Sis... kita kan mau rayain tahun baru, masa mau tahun baruan sama hantu? kan ga lucu ..." Ucap Dido gagap dengan kedua kaki bergetar.
"Kriciiik! kriciiik! cuuuurrrr..."
"Kok gua dengar suara orang nuang air Ir?" tanya Henry pada Irna yang masih terlihat serius mendengarkan ke arah suara berasal.
"Tuh! lihat belakang Lo!" Tunjuk Irna pada celana Dido yang basah kuyup.
"Lo ngompooool Dooooo!!" Serempak teriak Irna, Henry dan Siska.
"Eh, i, iyaa...gue ngompol Ir..." Ujar Dido tergagap. Dido menjinjing celanaku yang basah.
"Ssstt gue cek dulu di koridor samping, kalian tunggu di sini, Hen lo nyalakan lampunya sebentar lagi gelap" Ucap Irina sambil membetulkan ikatan rambutnya.
Ketiga temannya mengangguk, lalu Irna bergegas membuka pintu samping menuju koridor. Irna melangkah dengan sangat perlahan, sambil terus melihat sekitar. Dia hawatir jika sewaktu-waktu seseorang muncul di sekitarnya.
Dari kejauhan nampak bayang-bayang seseorang berjalan tertatih-tatih, dengan sebuah tongkat. Orang tersebut menyeret sesuatu yang berat dalam karung menggunakan tali.
"Nenek tua?" Bisik Irna dalam hatinya sambil terus melangkah ke depan. Langkah kaki Irna sangat pelan, dia takut akan mengejutkan orang tua tersebut.
Irna masuk ke dalam koridor berjalan dengan langkah lebar menuju sosok tersebut. Namun langkahnya terhenti ketika jarak di antara mereka tinggal lima meter.
Irna melihat sosok tersebut dengan jelas, nenek tua berambut putih acak-acakan, mata kirinya tertutup, sedang mata sebelah kanannya tidak memiliki kornea.
Jemari kanannya memegang tali memiliki kuku-kuku hitam runcing dan sangat tajam.
"Siapa kamu?!" Tanya Irna dengan tubuh menginggil menahan takut. Tubuh gadis itu gemetaran. Namun dia masih tetap berdiri menatap wajah menyeramkan yang ada di depannya.
"Hii..hiiii...hiiii..hiii, aku penjaga villa ini. Oh kamu gadis manis yang dikirim wanita itu kemari. Tunggu giliranmu nanti, nenek akan mengurusmu." Tiba-tiba asap berkumpul lalu orang tua tersebut lenyap perlahan.
Tidak ada jejak sama sekali, wanita tua itu menghilang begitu saja. Dan tidak menyisakan apapun.
Irna merasa sekujur tubuhnya lemas tanpa tenaga. Dengan susah payah mengembalikan kekuatannya untuk berlari menuju ketiga temannya.
Langkahnya semakin berat, gadis itu terus berlari menuju ketiga temannya berada. Sesampainya di depan pintu dengan wajah histeris dia terus menggedor pintu.
"Tok! tok! tok!" Tidak ada jawaban sama sekali dari dalam ruangan.
"Tok, tok tok! buka pintunyaaa! Hooiii kalian masih di dalam kan?!" Irna terus menggedor pintu samping dengan tidak sabaran. Wajah Irna semakin pucat karena tidak ada yang menjawab teriakan darinya.
Tidak ada jawaban apapun dari dalam, Irna semakin menggila terus menggedor.
"Ini tidak bisa dibiarkan! Braak! braaakkkkkkk!" Gadis itu dengan sekuat tenaga mencoba mendobrak pintu, pintu terbuka dan ketiga temannya tidak ada di sana.
"Siaal! kemana mereka bertiga pergi, barang-barang masih ada di sini. Lampu temaram di tengah ruangan sudah menyala, artinya mereka tidak keluar begitu saja meninggalkan tasnya."
Gadis itu melihat barang-barang ke tiga temannya masih lengkap berada di tempatnya.
Irna memeriksa setiap ruangan di dalam vila, namun tidak menemukan mereka. Irna terus mencari dan beberapa menit kemudian gadis itu melihat sebuah tangga yang menuju ke arah lantai atas.
"Apa mungkin mereka naik ke lantai dua?!" Irna setengah berlari menuju tangga, dan beberapa saat kemudian terdengar suara memanggil namanya.
Suaranya terdengar sayup-sayup seakan berharap dia segera menemukan keberadaannya.
"Irnaaaa, irnaaaaaa...tolooong akuuu.." Suara halus Siska memenuhi ruangan. Irna menoleh ke arah sumber suara, namun tidak menemukannya.
Gadis itu berlari menuju ke beberapa ruangan yang ada di sana.
"Sis, Siska? Lo dimana...?" Tanya Irna dengan air mata tertahan. Dia sangat takut jika terjadi sesuatu pada teman baiknya itu.
Irna menghapus air matanya yang terus menerus mengalir di atas kedua pipinya.
Irna terus mencari di setiap ruangan lantai atas namun tak kunjung menemukan Siska.
Langkah berat kakinya dengan putus asa menuju balkon, kedua tangannya bertumpu dinding tepi balkon kedua matanya melihat ke bawah.
"Di mana kalian sebenarnya? kenapa kalian tidak menungguku?" Bisik Irna dalam hatinya.
Irna menyapukan pandangan pada kejauhan di bawah sana di tepi pantai, nampak tiga orang dalam keremangan malam berdiri mematung.
"Jangan-jangan itu mereka!" Ujar Irna kemudian membalikkan badannya hendak turun ke bawah, akan tetapi belum sempat beranjak dari tempatnya berdiri.
"Sraak! sraaak! sraaak!" Seorang wanita muda dengan wajah pucat, mengenakan gaun malam berwarna putih membawa sebuah pisau mendekat ke arah Irna.
Irna berjalan menggeser tubuhnya ke dinding balkon, berusaha menjauh darinya. Irna merasakan udara mendadak dingin di sekitarnya. Membuat seluruh bulu kuduknya meremang.
Irna mengusap kedua lengan tangannya. Dia ingin berlari tapi sepertinya tiba-tiba kakinya terasa membeku akibat dari rasa takut yang sangat besar.
"Tante? Tante apa yang tante lakukan?" Irna tergagap bersandar di tepi balkon. Dia melihat wajah pucat tantenya yang memiliki vila tersebut, wajah marah dan wajah yang ingin menghabisi nyawanya.
Wajah tantenya sangat berbeda dengan tante yang selama ini dikenalnya. Wajahnya seperti sosok mayat hidup yang berada di bawah kendali seseorang.
Seseorang telah membuat tante yang disayanginya menjadi demikian mengerikan.
Pisau berkilau tajam siap diayunkan menghujam ke arah dada Irina.
"Braaakkkkkkk! bruuk!" wanita itu terhuyung jatuh tersungkur, seseorang entah dari mana datangnya tiba-tiba memukul wanita itu dari belakang.
"Siapa kamu, aku tidak pernah melihat kamu Kenapa kamu tiba-tiba berada di sini?" Tanya Irna dengan suara terbata. Dia masih belum bisa mencerna apapun yang dikatakan oleh pria di depannya itu.
Mereka baru bertemu pertama kali saat itu, tapi seolah-olah pria itu sengaja datang untuk menyelamatkan dirinya dari iblis yang berada di dalam rumah itu.
Pria itu terus menggenggam tangannya dan tidak ingin melepaskannya lagi. Pria itu terus menatap wajah yang kebingungan itu. Dan mencoba meyakinkan padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Percayalah padaku.
"Itu bukanlah hal yang penting sekarang, ayo cepat kita turun. Sebelum wanita iblis ini kembali terbangun."
Ujar pria itu sembari menarik lengan Irna menjauhi tubuh tantenya. Dan mengajaknya berlari meninggalkan lantai atas.
"Bisakah aku mempercayai pemuda ini?" Bisiknya dalam hati sambil terus mencermati wajah seseorang yang memegang tangannya itu.
Sekilas pandangan mata Irna tertuju pada dada kiri pria itu. Ada lubang bekas tusukan dan darah kering di kemeja biru tua itu.
Mereka berlari menuruni anak tangga lalu menuju pintu depan.
"Tunggu dulu, ada ketiga temanku yang masih di sini..." Ucapnya pada pemuda tersebut. Membuat langkahnya terhenti dan menatap wajah Irna.
Tatapan pria itu seolah-olah bukan tatapan yang baru mengenal Irna untuk pertama kalinya.
Namun sebuah tatapan yang menyatakan bahwa aku sudah menanti kedatanganmu! aku sudah menantinya dengan waktu yang sangat lama.
Dan akhirnya aku bisa menemuimu, di sini. Di tempat ini kita kembali bertemu setelah sekian lama.
Irna masih menatap wajah pria yang menggenggam tangannya itu, menatapnya dengan tatapan mata lekat-lekat. Begitu juga sebaliknya pria itu juga menatap jauh ke dalam matanya.
Tatapan yang mengandung rasa kerinduan yang sangat besar dan mendalam. Air matanya meleleh tanpa terduga.
Menimbulkan pertanyaan di hati Irna.
"Kenapa pria ini tiba-tiba menangis, apakah aku sudah salah mengucapkan sesuatu padanya?" Bisik Irna dalam hatinya.
bersambung...
Tentang penulis:
Jangan lupa,like dan klik favorit ya 😚😚 😂😂😂😭😭😭👉 cek juga judul lainnya di profil, gak kalah keren 👍👍😚😚😚😚
"Teman? aku sejak kemarin tidak melihat seorangpun ada di sini." Jelasnya sambil celingukan menoleh, melihat sekitarnya.
"Tapi gue benar-benar kemari sama tiga teman gue, barusan dari atas gue juga lihat ada tiga orang berdiri di dekat pantai." Tukas Irna lagi mencoba meyakinkan pria di depannya itu.
Pria itu terkejut melihat penuturan Irna dan bergegas menarik tangannya menuju ke tempat lain.
"Kamu mau membawaku kemana?" Tanya Irna masih tidak mengerti kenapa dia terus menarik lengannya. Irna hanya mengikutinya saja tanpa berani bertanya apapun.
"Jangan-jangan wanita iblis itu sudah memulai upacaranya!" Gumam pria itu pada dirinya sendiri. Lalu menatap ke arah Irna sejenak, kemudian dia kembali menariknya pergi menuju suatu tempat.
"Kamu siapa? kenapa bisa berada di sini?" Tanya Irna lagi mengulang pertanyaan. Pria itu tidak kunjung menjawabnya. Dia hanya terus berjalan sambil menggandeng tangannya.
"Apa yang dilakukan pria ini sih? kenapa dia terus memegangi tanganku? apa yang terjadi sebenarnya padanya? apa hubungan pria ini dengan tante Rina?" Bisik gadis itu kembali jauh di dalam lubuk hatinya.
"Aku tamu club tempat wanita itu bekerja, dia memasukkan sesuatu ke dalam minumanku. Kemudian menahanku di sini." Jelasnya sembari melihat bagaimana ekspresi wajah Irna, tapi sepertinya Irna masih belum bisa mencerna kata-kata darinya.
Gadis itu masih tetap mematung dan tidak memberikan jawaban apapun padanya, dia masih menatap kosong ke arah yang jauh.
"Apa maksudnya dia berkata seperti itu? aku sama sekali tidak bisa mengerti apa yang dikatakannya." Bisik Irna dalam hatinya.
"Bisakah aku mempercayainya? dia terlihat sangat misterius dan aku juga baru kali ini menemuinya." Bisiknya lagi pada dirinya sendiri.
"Aku ingin mempercayainya, tapi Tante Rina adalah tanteku satu-satunya, bagaimana mungkin dia tega berbuat seperti ini? Itu tidak mungkin."
"Dibandingkan dengan pria ini, tante Rina adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Dialah yang selalu menemaniku sejak aku kecil. Tapi pria ini dia baru datang dan bertemu denganku hari ini. Aku juga baru mengenalnya." Bisikan lirih sambil melirik ke arah pria yang masih memegang erat tangannya sekarang.
(**kilas balik)
Beberapa Minggu yang lalu tengah malam Irna terbangun oleh ketukan pintu. Gadis itu sangat terkejut karena tantenya yang mengunjunginya hari itu. Di saat malam yang dingin dan di teras yang sangat gelap.
Udara dingin perlahan menyapu wajah gadis itu di tengah kegelapan malam. Irna menyisir rambutnya dengan jari tangannya ke belakang telinga.
Gadis itu perlahan-lahan berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu, saat itu kakinya terasa membeku karena melihat pemandangan di depan matanya. Dia bahkan tidak yakin jika itu adalah sebuah kenyataan yang harus dihadapinya saat itu.
Tante Rina dengan gaun putih menatap ke arahnya, seluruh wajah dan tubuhnya terlihat sangat pucat dan dingin. Tatapan matanya kosong.
Seolah-olah dia menatap seseorang yang tidak dikenalnya. Bukan menatap dengan rasa sayang saat perpisahan dengan Irna beberapa tahun lalu.
"Irna... bawalah kunci villa ini, dan datanglah kesana segera. Tante membutuhkan kamu" setelah menyerahkan kunci villa Tante Rina menghilang dalam kegelapan malam.
Entah kemana perginya, Irna masih mematung diam di tempatnya berdiri dia tidak yakin dengan apa yang dia saksikan barusan.
***
Paginya Irna terbangun dengan sebuah kunci berada ditangannya. Dia berfikir itu mimpi namun ternyata bukan. Dia melihat air mata membasahi kedua pipi tantenya itu, Irna yakin kalau itu merupakan sebuah isyarat permintaan bantuan.
Dia berinisiatif untuk menengok bagaimana keadaan yang sebenarnya, dan apa yang sebetulnya terjadi pada tante Rina.
Wajah sedih tantenya terus membayang dalam ingatan gadis itu. Entah kenapa seolah-olah itu baginya adalah sebuah panggilan khusus untuk Irna.
Dia harus segera pergi menemuinya, untuk membuktikan kebenarannya. Dan untuk memastikan segalanya bahwa yang ada dalam ingatannya itu salah, juga sama sekali tidak benar.
Dan di kampus pagi itu, Siska menyinggung hal liburan. Jadi Irna bermaksud untuk liburan sekaligus memeriksa villa. Dia tidak tahu jika nasib sial akan menimpa dirinya juga ketiga temannya.
Ketiga temannya yang tidak mengerti apa-apa, ikut terbawa kesialan yang seharusnya hanya menimpa dirinya seorang diri. Berapa banyak rasa sesal di dalam hatinya saat ini.
Gadis itu terus termangu dan membisu tidak bisa berkata apa-apa. Seandainya saja dia tidak mengajak teman-teman yang sangat dia sayangi mungkin teman-teman yang lain masih baik-baik saja dan berada di rumah mereka masing-masing menikmati liburannya.
"Kamu kenapa? malah melamun?" Tanya pria itu sambil memegang kedua pipi Irna yang tanpa sadar basah dengan air mata. Irna menatap wajah pria di depannya dengan wajah yang sangat sedih.
Dia hanya bisa menyesali segalanya, dan berharap kejadian yang menimpanya hari ini hanyalah sebuah mimpi yang sangat buruk.
Dia berharap segera terbangun di tempat tidurnya yang ada di dalam kamarnya. Namun setelah menunggu lama, hal itu tak kunjung terjadi.
Dia tetap berada di waktu dan jam yang sama, juga segalanya adalah kenyataan pahit yang harus dia hadapi mau atau tidak.
"Aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa sekarang? perasaanku terasa tercampur aduk dan tidak bisa di pilah lagi. Rasa sedih, terluka, rasa sesal yang begitu besar dan rasa ingin kembali pulang bersama teman-temanku." Bisiknya di dalam hatinya.
"Ah, tidak, tidak apa-apa. Elo pergi duluan aja keluar dari villa ini, gue masih harus nyari temen gue, gue khawatir terjadi sesuatu dengan mereka bertiga, kami datang bersama jadi gue juga harus kembali bersama mereka."
Tegas Irna pada pria itu sembari melepaskan kedua tangannya dari pipinya dengan perlahan. Pria itu menatapnya dengan tatapan sendu, dan tidak ingin pergi meninggalkannya seorang diri.
Dia masih terus menatap wajah yang berlinang air mata namun berusaha tersenyum dan tampil baik-baik saja.
"Tapi di sini terlalu bahaya, kamu gak tahu apa yang terjadi pada teman-temanmu! dan wanita itu bukan manusia lagi, dia bukan tantemu!" Ucap pria itu dengan wajah sangat khawatir, memegang kedua bahunya untuk meyakinkan bahwa dia harus segera pergi dari tempat itu.
Tapi wajah gadis itu tetap bersikeras pada keyakinan bahwa dia tetap harus mendapatkan ketiga temannya itu. Dia kembali bergegas hendak meninggalkan pria yang ada di depannya itu.
"Tidak! gue gak akan pergi dari sini sebelum menemukan mereka!" Ujar Irna lagi sambil melangkah tidak tentu arah. Pria itu menahan lengannya agar dia tidak meninggalkannya di sana.
"Okelah! kalau kamu bersikeras! kita cari mereka bersama-sama!" Ucapnya dengan senyuman yakin sembari menyodorkan tangan memperkenalkan dirinya pada Irna.
"Perkenalkan namaku Fredian Derosse." Ujarnya sambil tersenyum menatap wajah sendu di depannya itu. Gadis itu hanya mematung masih merasa begitu sedih dan terluka.
Dia tak kunjung menyambut uluran tangannya dan hanya mematung diam melihat ke arahnya mengamati sosok pria di depannya itu.
Sosok pria dengan tinggi 185 cm, hidung mancung, tubuh atletis, kulit putih bersih. Rambut cokelat lurus agak acak-acakan karena berlarian dan melewati hari yang sulit di sana.
Akhirnya gadis itu menyambut uluran tangannya.
"Irna Damayanti" Mengulurkan tangan, mereka berjabat tangan satu sama lain.
Keduanya mengangguk kemudian berlari menuju keluar, di sana mereka mencari ketiga teman Irna. Setelah berputar-putar mencari ke sekeliling vila, namun tidak menemukannya juga.
"Tunggu sebentar, lihat ini." Tunjuk Fredian pada jejak-jejak telapak kaki di atas pasir tepi pantai. Semakin malam air laut semakin surut.
Dan jejak-jejak itu semakin terlihat sangat jelas. Bekas beberapa jejak kaki menuju ke suatu tempat.
"Ayo kita ikuti saja kemana arahnya jejak ini." Ujar Fredian sambil kembali menggandeng lengan Irna.
Mereka berdua berjalan mengikuti arah telapak kaki tersebut.
Di atas sana di balkon lantai dua villa, nampak seorang wanita berdiri dengan gaun putih membawa pisau berkilauan di tengah cahaya rembulan. Dia menatap mereka berdua dengan tatapan dingin.
Irna menatapnya sekilas mendadak kakinya kembali terasa lemas dan berat sekali.
"Ada apa?" Tanya Fredian mengejutkan Irna yang sejak tadi melihat ke atap vila tempat tinggal tantenya itu, lalu menoleh kearah dimana Irna melihat.
"Barusan gue lihat ada orang mengawasi dari atap sana." Tunjuk Irna ke arah balkon villa. Di mana tempat tantenya itu tadi melihatnya.
Namun anehnya Fredian tidak melihat apapun di sana. Dia melihat wajah ketakutan terlukis di wajah Irna. Dan pria itu tersenyum mencoba untuk menenangkan dirinya.
"Jangan-jangan wanita itu sudah bangun? kita harus cepat!" Ucap Fredian dengan cepat kemudian dia segera menarik tangan Irna untu mengikuti langkah kakinya. Mereka setengah berlari mengikuti jejak-jejak langkah kaki di atas pasir pantai.
"Eh tunggu sebentar, ini bukanya menuju pintu belakang villa?" Tanya Irna pada Fredian yang masih terus mencermati langkah kaki di atas pasir dari beberapa orang tersebut.
Mereka bergegas berlari masuk pintu belakang villa tersebut, pintunya tidak terkunci.
"Aneh? kenapa pintunya tidak terkunci? Jika mereka mengadakan upacara harusnya mereka tidak akan membiarkan siapapun masuk ke dalam sini." Bisik Fredian lagi sambil melangkah ke dalam ruangan dengan sangat hati-hati..
Setelah mereka masuk, jejak kaki tidak terlihat. Mata mereka tertuju pada sebuah gudang di sana. Gudang tersebut tertutup rapat.
Irna dan Fredian berjalan mengendap-endap sambil mengawasi sekitar.
"Kreeekkk...." Fredian membuka pintu tersebut sambil membawa tongkat pada tangan kanannya.
Irna mengikuti dari belakang.
Setelah pintu terbuka tidak nampak siapapun di gudang, mereka berdua memeriksa beberapa barang yang disimpan di sana.
Irna menyusuri dinding, dia merasa ada yang janggal dengan dinding gudang tersebut.
"Fred, coba lo kesini sebentar.."
"Ada apa?" Melangkah mendekat ke arah Irna
"Dinding bagian ini kayaknya ada yang aneh? bagian ini terbagi lima bagian, dengan permukaan yang sama sekali tidak sama..." Ujar Irna menjelaskan
"Semacam sebuah teka-teki maksudmu?" tanyanya lagi
"Yup" Irna mengangguk dengan pasti.
"Oh, aku ingat pola pada kunci yang diberikan Tante Rina malam itu. Mungkinkah ini ada hubungannya...? sebentar, gue rasa kunci itu masih ada di dalam saku" Merogoh saku celana jeans yang ia kenakan.
Beberapa detik kemudian dia menemukannya.
"Ini dia.." Tunjuknya pada Fredian.
"Coba lihat, dinding ini memiliki pasir timbul yang membentuk angka..." Tunjuk Fredian sambil meraba petak-petak di dinding.
"Angka itu tidak terlihat sama sekali jika tanpa diraba.." ungkap Irna.
"Kuncinya juga ada lima, dan masing-masing memiliki nomor" tambahnya lagi.
"Coba ini nomor satu..." Irna mengambil kunci nomor satu lalu menempelkan pada pola sebelah angka yang ada di dinding tersebut, pola tersebut sama dengan ukiran pada gerigi kunci. Lalu menekan ke dalam. Kunci tersebut merekat lalu menyala.
"Sepertinya berhasil!" Seru Fredian
Mereka memasukkan kunci satu persatu hingga selesai.
Dinding bergetar dan bergerak membuka kesamping.
Di dalam sana ada jalan setapak kecil, seperti sebuah lorong.
"Akkkhhh!" Fredian sambil memegang kepala memekik kesakitan.
Wajah Fredian memucat, urat-urat lehernya timbul keluar membiru. Bibirnya tiba-tiba menghitam.
"Lo kenapa Fred? apakah ada yang salah?" Tanya Irna dengan wajah hawatir.
Fredian membalikkan badannya membelakangi Irna. Diam mematung menghadap dinding lorong.
"Fred...." Tegur Irna lagi sambil memegang bahu Fredian.
Tangan Irna serasa menyentuh bongkahan es yang sangat dingin dan basah berlendir.
"Irna.. aku haus sekali....." Membalikkan badannya menghadap ke arah Irna.
Irna terkejut, Fredian wajahnya berubah penuh urat, matanya berubah merah. Kuku tangannya tumbuh meruncing dan memiliki gigi taring.
Irna berjalan mundur dengan kaki gemetar. Sambil menutup bibir dengan kedua tangannya.
Aroma lendir menyeruak memenuhi seluruh lorong.
Fredian terus melangkah mendekat ke arah Irna,
Irna sangat ketakutan, sekujur tubuhnya terasa lemas, tiba-tiba kaki Irna terantuk batu dan terjatuh tersungkur.
Dirinya serasa terkurung terperangkap bersama monster. Fredian telah berubah menjadi sosok yang tidak dikenalnya.
"Akhh! tidak! jangan!" Teriaknya dengan putus asa mencoba menghalau Fredian yang sudah sangat dekat dengannya.
Fredian terus mendekat perlahan dengan tubuh penuh lendir. Jemarinya menyentuh membelai rambut Irna.
"Dia tidak menyakitiku...." Tanya Irna dalam hati.
Fredian terus membelai kepala Irna,
Irna memberanikan diri untuk bangkit duduk. Fredian menyentuh leher, mengusap bibir Irna yang bergetar dengan ibu jarinya.
Kemudian meraihnya dalam pelukan lalu mencium bibir Irna, mengulumnya dengan lembut.
Sembari memeluk pinggang gadis itu dengan sangat erat.
Irna sangat takut mencoba melepaskan dirinya.
"Jangan akh, lepaskan aku!" teriaknya dengan putus asa.
Fredian melepaskan ciumannya lalu beralih menggigit leher Irna, dan menghisap darahnya.
"Akkkk... tidak, jangaaan, Fred lepaskan aku.." Irna memekik menahan nyeri pada lehernya.
Tubuh Irna semakin lemas, pandangan matanya berkunang-kunang.
**Sesuatu tiba-tiba muncul dalam ingatannya.
Diusianya sekitar sepuluh tahun, dirinya sedang berlarian berkejar-kejaran dengan seorang anak kecil laki-laki.
Mereka bermain ayunan bersama di tepi hutan, lalu anak laki-laki itu memakaikan mahkota bunga di atas kepala Irna.
Mereka mengikat janji, dengan jari kelingking.
"Ayo kita terus bersama selamanya..."
"Aku akan menikahimu ketika aku sudah besar nanti, aku pasti akan melindungimu!" Janji anak laki-laki tersebut**.
Lalu Irna kembali tersadar...
"Akh! tidak! jangaaan!" Irna terus meronta, hingga tangan kanannya meraih batu yang tadi membuat dirinya terjatuh.
Irna memukul kepala Fredian dengan batu tersebut.
"Duak! duak! duak!"
bersambung....
Kepala Fredian berdarah karena timpukan batu tersebut. Pria itu tidak mengaduh ataupun merintih kesakitan. Dia diam saja ketika Irna memukuli kepalanya dengan batu sampai berdarah.
Pria itu perlahan melepaskan gigitannya dari leher Irna, dia menatap gadis itu dengan rasa bersalah. Wajahnya diam tertunduk dan air matanya tiba-tiba menetes membasahi kedua pipinya.
"Maaf.. maafkan aku" Fredian menundukkan kepalanya, meneteskan air mata jatuh membasahi pipi Irna yang ada di bawah pelukannya.
Irna dengan nafas terengah-engah berusaha untuk bangkit. Tubuh Irna lemas akibat kehilangan banyak darah. Dia tidak bisa bergerak leluasa, apalagi untuk melarikan diri dari pria monster yang ada di depannya saat ini.
Wajah Fredian perlahan berubah menjadi normal, bahkan luka di dadanya sembuh total dalam sekejap.
"Kamu, sebenarnya siapa?" Tanyanya pada Fredian. Akan tetapi belum sempat mendapat jawaban tiba-tiba kepala Irna terasa pusing dan gadis itu jatuh tidak sadarkan diri.
***
Entah sudah berapa lama dia tertidur, ketika terjaga dirinya sudah berada di atas tempat tidur dengan hiasan yang sangat indah, alas tidurnya begitu lembut, selimut tebal sangat hangat dan nyaman.
Ada kelambu tipis menggantung menghiasi tempat tidurnya. Sebuah kamar yang begitu luas bak kamar istana raja.
"Akh... kenapa kepalaku sakit sekali?" Desahnya sembari berusaha bangun dari tempat tidur.
Dia bangkit perlahan-lahan.
Matanya menatap selang infus di nadi lengan kanannya. Dia terkejut dan sempat berfikir dirinya berada di dalam rumah sakit.
"Ini bukan rumah sakit, tapi kamar yang sangat luas." Bisiknya sambil memijit keningnya, kening Irna terasa masih berdenyut-denyut.
Beberapa orang wanita berdiri berbaris mengitari Irna di sisi tempat tidurnya. Mereka memakai baju seragam. Salah seorang mengangkat bicara.
"Oh syukurlah nona sudah sadar." Sembari membantu Irna duduk di atas tempat tidurnya.
"Cepat panggil tuan!" Salah satu berbicara dengan yang lain.
"Di manakah saya sekarang?" Tanyanya pada pelayan yang membantunya duduk.
"Anda berada di..." Belum selesai pelayan itu menjawab seseorang masuk ke dalam ruangan.
"Kamu berada di rumahku, tepatnya di dalam kamarku." Sahut Fredian memberi jawaban pada Irna sembari duduk di tepi tempat tidur menemaninya.
Irna menjauhkan diri dari Fredian, dia ingat akan hal beberapa waktu lalu. Dia masih merasa ketakutan ketika pria di depannya itu hampir menghisap habis darah yang ada di tubuhnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi, dimana teman-temanku? dan apa yang kamu lakukan sekarang?! kenapa kamu membawaku kemari? antarkan aku pulang me rumahku! jangan bilang ini semua adalah skenario yang kamu buat untukku!!" Sergah Irna meluncurkan serentet pertanyaan bertubi-tubi.
"Semua temanmu berada di tempat yang aman, sedang melakukan perawatan karena cedera. Aku sengaja membawamu ke sini karena kamu pingsan dan kamu terluka akibat dari kesalahanku"
"Lalu Tante Rina?! apa yang terjadi padanya? apakah dia masih hidup?" Tanyanya kembali penuh kesedihan. Tanpa sadar air matanya kembali jatuh merembes membasahi kedua pipinya.
***flashback
"Ayo ke sini Irna...." Tante Rina tersenyum bahagia melambaikan tangannya pada Irna yang masih berusia sepuluh tahun.
Pada waktu itu Tante Rina sedang menjemputnya di sekolah dasar. Irna masih berusia tujuh tahun.
Gadis kecil itu berlari-lari kecil sambil tersenyum bahagia lalu memeluknya erat.
Sejak kepergian kedua orang tuanya Irna menjadi yatim piatu. Kedua orang tuanya meninggal ketika perjalanan bisnis ke Perancis.
Dan satu-satunya orang yang merawatnya semasa kecil sampai usia tujuh belas tahun adalah Tante Rina.
****
"Tantemu sudah meninggal, jasadnya ditemukan di tepi pantai..." Jawab Fredian datar dan tidak berani melihat ke arah Irna.
"Aku harus kembali, kamu pasti berbohong padaku. Aku harus bertemu dengan Tante Rina!" Ujar Irna menahan tangis, mencoba beranjak dari tempat tidur. Fredian segera menahan tubuhnya.
Irna menatap Fredian dengan wajah marah dan kecewa. Hatinya tidak bisa menerima jika tantenya sudah meninggal.
Karena tubuhnya masih sangat lemah gadis itu terhuyung, Fredian menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.
"Jasadnya sudah dimakamkan kemarin, dan kamu tidak sadar selama tiga hari" Ujar Fredian lagi. Membuat gadis itu terisak sambil mengusap air matanya.
"Tantemu menganut ilmu hitam, dan karena dia terlambat mempersembahkan korban. Jiwanya hancur dirasuki oleh iblis."
"Karena tanpa sengaja memergoki tantemu membawa gadis untuk dikorbankan,"
"Aku tertangkap dan ditahan di sana. Dia menyuntikkan racun iblis pada tubuhku, yang pada setiap bulan purnama akan berubah menjadi sosok mengerikan seperti yang kamu lihat."
"Ketika itu terjadi, diriku akan merasa sangat haus akan darah, tubuhku menjadi di luar kendali, dan darah yang aku butuhkan bukan darah biasa! namun darah dari seorang gadis yang masih perawan!" Tuturnya pada Irna.
Irna terperangah mendengar pernyataan dari Fredian. Gadis itu kebingungan tidak mengerti dengan detailnya.
"Aku tidak tahu harus berkata apa padamu, entah terima kasih karena sudah menyelamatkan ketiga temanku."
"Ataukah menyalahkanmu karena sudah melukaiku hingga aku seperti ini." Tuturnya dengan tatapan kosong.
"Tidakkah kamu mengenaliku?" Tanya Fredian menatap wajah Irna lekat-lekat sembari meraih telapak tangan Irna lalu meletakkan di kedua pipi miliknya.
"Aku tidak bisa mengingatnya, begitu banyak kenangan yang tak ingin ku ingat kembali." Jawab Irna datar tanpa ekspresi apapun.
Fredian hanya mengangguk dengan senyuman tipis. Lalu berjalan keluar mengambil beberapa makanan yang sudah disiapkan oleh para pelayannya.
"Kamu belum makan apapun selama tiga hari, makanlah sedikit." Ucapnya lembut, sambil menyuapkan satu sendok bubur ke bibir gadis itu.
Irna menatap wajah Fredian dengan penuh kebencian, dan tidak senang sama sekali.
"Kamu memberikan makanan untukku lalu kamu akan memakanku kembali!" Timpal Irna pedas memalingkan wajahnya dengan jijik ke arah lain.
"Tidak, aku tidak akan membiarkan diriku melukaimu untuk kedua kalinya." Sahut Fredian tegas, pria itu lalu meletakkan mangkuk di atas meja. Dia beranjak berdiri hendak meninggalkan Irna di sana sendiri.
"Jika kamu ingin segera meninggalkan rumah ini, kamu harus makan agar segera pulih kembali, lalu kamu bisa pergi."
"Aku tidak pernah berusaha untuk menahanmu agar tetap di sini." Tambahnya lagi.
Fredian melangkah keluar dan menyuruh beberapa pelayan masuk.
"Bantulah Nyonya supaya dia mau memakan makanannya." Perintahnya pada pelayan yang masih berdiri di luar pintu kamar Irna.
"Baik tuan."
Beberapa pelayan masuk untuk membantu Irna menyuapkan makanan.
Setelah selesai mereka keluar dan melaporkan pada Fredian di ruangannya.
"Apakah nyonya sudah makan?"
"Iya tuan.. bahkan nyonya juga tidak menolak untuk meminum obatnya."
"Bagus, katakan padaku jika nyonya membutuhkan sesuatu."
"Baik tuan." Kemudian pelayan itu undur diri.
***
"Kalian keluarlah, saya tidak nyaman jika ada seseorang melihat, sementara saya tertidur..." Perintahnya pada lima pelayan yang berdiri di sekitar tempat tidurnya.
"Baik nyonya." Jawab pelayan itu serempak.
"Eh, tunggu!" Tahan Irna ketika pelayan itu hendak pergi.
"Apakah nyonya membutuhkan sesuatu?"
"Tidak, tapi kenapa kalian tiba-tiba memanggilku dengan sebutan nyonya? kalian cukup memanggilku dengan nama Irna..."
"Maaf nyonya kami tidak berani, tuan yang memutuskan untuk memanggil anda nyonya"
"Ah sudahlah... kalian keluarlah."
Irna merasa akan percuma berdebat dengan para pelayan itu.
Fredian masih terjaga di ruang baca, dia sengaja memasang cctv tersembunyi pada kamar Irna, untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi.
Fredian terus menerus menatap wajah Irna yang sedang kesal.
Dia tersenyum melihat apa yang dilakukan gadis itu ketika bertanya pada para pelayan.
Irna hendak pergi ke kamar mandi, akan tetapi tubuhnya masih agak lemas.
Dia berusaha keras untuk berdiri, walaupun tidak berhasil.
Dia tetap bersikeras mencoba, karena tidak tahan melihatnya Fredian berlari masuk ke dalam kamar Irna.
Tepat pada saat masuk ke dalam kamar, Irna hendak terjatuh, jika Fredian tidak segera menopangnya.
"Kamu mau pergi ke mana?" Tanyanya lembut
Irna tidak menjawab malah berusaha melepaskan diri dari Fredian.
Fredian diam lalu membopong tubuh gadis itu masuk ke kamar mandi.
"Aku akan keluar, ketuklah tiga kali jika kamu sudah selesai.." Ujar Fredian lagi
Setelah membopong kembali tubuh Irna di atas tempat tidurnya Fredian beranjak pergi, namun Irna menahan tangannya.
"Apa kamu membutuhkan sesuatu?" Tanyanya lagi
"Bagaimana kamu tahu aku akan jatuh?! dan bersegera lari kemari... dan juga kenapa kamu menyuruh pelayan memanggilku dengan sebutan nyonya?!" Tanya Irna penuh nada gusar.
"Karena aku begitu hawatir terjadi sesuatu padamu jadi aku berlari segera ke sini, aku meminta mereka untuk memanggilmu nyonya, karena kamulah satu-satunya yang akan menjadi nyonya di rumah ini." Ungkap Fredian dengan sabar
"Bagaimana kamu bisa begitu yakin jika aku akan menerimamu?!" Tukas Irna sambil cemberut karena kesal.
"Karena aku tidak akan pernah menikah kecuali dengan dirimu" Memegang jemari Irna kemudian menciumnya dengan lembut.
"Aku tidak akan pernah menikah dengan seorang monster!!" Irna merenggut kembali tangannya dengan kasar.
"Aku juga tidak akan pernah mengingkari janjiku pada seorang gadis berusia sepuluh tahun, aku sudah berjanji padanya untuk melindunginya selamanya... " Menatap Irna dengan mata berkaca-kaca.
"Untuk apa kamu bersikeras dengan ocehan anak-anak yang tidak bisa pasti mengingat masa lalunya!? bagaimana jika gadis kecilmu tidak mencintaimu!? dia sudah memiliki seseorang yang menunggunya dan itu bukan kamu!" Sanggah Irna pedas dan memalingkan wajahnya membelakangi Fredian.
Fredian mengakhiri perdebatan, melangkah keluar.
Dia tahu bahwa Irna sengaja memancing amarahnya, supaya dia membencinya.
Fredian tanpa sadar meneteskan air mata ketika melihat gadis yang dicintainya diam-diam terisak sendirian di dalam kamarnya.
"Dia... adalah laki-laki yang terus-menerus muncul di dalam mimpiku, awalnya aku merasa asing. Akan tetapi sekarang semuanya menjadi jelas. Namun aku tidak tahu apakah aku masih memiliki perasaan padanya... setiap mengingatnya hatiku terasa sangat sakit..." Ungkap Irna dalam hatinya.
***
Entah sudah berapa lama Irna menangis lalu tertidur dan ketika terjaga dia merasakan tubuh hangat merengkuhnya, terlelap berada di sebelahnya.
Perlahan Irna membuka kelopak matanya..
Fredian menatap wajahnya sambil tersenyum lembut.
"Sejak, sejak kapan kamu berada di sini?!" tanyanya gugup pada Fredian.
Irna berusaha melepaskan pelukannya, akan tetapi Fredian tetap menahan dan tidak memberikan kesempatan pada Irna untuk melepaskan diri.
"Lepaskan aku, Fred!" Perintahnya pada Fredian, sambil mendorong dada pria itu agar menjauh.
Fredian tersenyum, itu pertama kalinya Irna mau memanggil namanya semenjak kejadian itu. Dia tidak melepaskan pelukannya malah memeluknya semakin erat.
"Kamu gila! lepaskan aku!" Umpat Irna kesal karena tidak bisa melepaskan diri.
"Aku memang sudah lama tergila-gila padamu.." jawab Fredian santai
"Lepas!" Teriak Irna
"Tidak akan!"
"Lepas tidak?!"
"Tidak akan pernah!" Tukas Fredian lagi
"Kecuali jika kamu bersedia menikah denganku.." Ujarnya sambil tersenyum menggoda.
"Akh! aduh! duh!"
Irna mencubit pinggang Fredian dengan kuat, membuat pria itu memekik kesakitan.
"Ini adalah hukuman karena kamu terus menerus menggangguku!"
"Aowwwhh! ampun nyonya!" Goda Fredian tambah membuat Irna kesal.
Irna terus mencubit sampai Fredian terpaksa melepaskan pelukannya dan terguling jatuh ke lantai bersamanya.
"Bruuk!" Mereka jatuh terguling tubuh Irna menimpa Fredian.
Tatapan mereka berdua bertemu,
Wajah Irna memerah..
Kemudian tersadar dan Irna hendak beranjak bangun, Fredian membantunya berdiri, membopong masuk ke dalam kamar mandi.
Fredian menyalakan shower hingga membuat tubuh mereka berdua basah kuyup.
Fredian perlahan menurunkan tubuh Irna di atas bath up.
Irna mengusap wajahnya sendiri yang basah, Fredian menekan kepala Irna hingga bersandar, lalu mengulum bibir gadis itu dengan lembut.
Irna tanpa sadar memejamkan matanya.. terlarut dalam suasana..
Tangan Fredian memeluk pinggang gadis itu, menyusuri hendak melepaskan kancing baju Irna.
Irna tersadar, menangkap tangan Fredian. Kemudian menggelengkan kepalanya.
Memberikan isyarat untuk tidak melakukan apapun terhadap dirinya.
Fredian dengan salah tingkah melepaskan pelukannya.
"Setelah selesai panggilah aku..." Ujar Fredian pergi meninggalkan Irna tanpa menoleh kembali.
***
Fredian melepaskan bajunya lalu masuk ke dalam kamar mandi di kamar lain.
Air shower mengucur deras membasahi tubuhnya.
"Braaakkkkkkk!!" Dipukulkan tinjunya ke dinding dengan penuh penyesalan.
Darah mengalir deras karena luka pada tangan kanannya. Darahnya mengalir bersama air berjatuhan di lantai...
"Bagaimana aku bisa lepas kendali, dia gadis yang sangat lemah. Gadis yang selalu berpura-pura menjadi kuat agar tidak dipandang lemah, aku sangat mencintainya namun aku tidak bisa menjaga perasaannya...."
***
Setelah hari itu Fredian tidak memperlihatkan wajahnya lagi kepada Irna.
Setiap hari Irna hanya bertemu dengan para pelayan.
Sampai ketika dia sudah pulih sepenuhnya, dia hendak berpamitan dengan Fredian. Akan tetapi para pelayan itu berkata bahwa Fredian sedang pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis.
Seorang supir mengantarkan Irna ke rumah lamanya.
Irna merasa bersalah pada Fredian,
"Apakah dia sangat marah padaku? hingga dia tidak ingin melihat wajahku lagi...?" tanyanya pada dirinya sendiri dalam lamunan.
"Nyonya... sudah sampai.." ucap sopir itu pada Irna yang sedari tadi melamun.
"Ah iya pak.. terima kasih karena sudah mengantar saya" ucapnya sambil mengangguk
Irna mengangkat kopernya masuk ke dalam rumah.
Dirinya tiba-tiba merasa ada sepasang mata tengah mengawasi dari kejauhan.
Bulu kuduknya terasa meremang berdiri.
Dia mencoba melihat ke arah sekitar pepohonan, namun tidak menemukan siapapun di sana.
****apakah itu Fredian ataukah sepasang mata iblis yang lain? jangan lewatkan di episode selanjutnya....ya? *** klik 👍+❤️ bantu vote 😭😭😭😭
bersambung...
klik profilku, 👉 temukan judul kisah menarik lainnya ✍️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!