NovelToon NovelToon

My Secret Oppa (Me Vs Mom)

Langganan

“Samira!!!!!! Lari 4 keliling lapangan basket!” teriak seorang wanita paruh baya yang tengah meradang menahan emosi. Sebuah penggaris coklat dengan panjang 50 cm tertunjuk pada Samira yang masih berusaha mengumpulkan kesadarannya setelah terlelap beberapa saat lalu.

Matanya masih mengerjap-ngerjap kecil, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk, lalu terbuka lebar saat sadar kalau teman-teman sekelasnya sedang memperhatikannya.

“Iya bu!” sahut Samira yang melenggang keluar kelas tanpa Beban. Terdengar tawa, bisikan bahkan decikan sinis dari teman-temannya, semua di abaikan Samira. Sang guru hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Samira yang begitu acuh dan tanpa rasa bersalah itu.

Ini kali kedua di minggu ini Samira terkena hukuman karena tidur di dalam kelas. Tapi selama ia sekolah hingga sekarang kelas 3 SMA, entah sudah berapa kali ia mendapat hukuman yang beragam dari sekolahnya. Jika bukan karena tidur di kelas, ia asyik memandangi dedaunan di luar jendela yang bergerak terkena hembusan angin. Lengkingan suara Bu Isma , sudah jadi hal biasa di telinga Sammy, begitu biasa ia di panggil.

Samira mulai menyetel lagu di playlist ponselnya. Sebuah headset berwarna putih telah terhubung dengan lubang telinganya. Alunan musik favoritnya menggetarkan gendang telinga Samira.

“Huft!” Samira mendenguskan nafasnya kasar. Cuaca sangat terik menerpa ubun-ubunnya, namun ia harus tetap menjalankan hukumannya yang sudah ia anggap sebagai hal biasa.

Dengan langkah konsisten, Samira mulai berlari mengitari lapangan basket. Beberapa pasang mata melihat kearahnya, namun tidak pernah ia pedulikan karena baginya itu bukan hal yang istimewa.

“Samira, mau abang temenin gag olahraganya? Hahaha ” terdengar suara godaan sekaligus ejekan dari anak laki-laki yang melihat Samira mulai berlari di pinggir lapangan. Tak ada suara yang masuk ke rongga telinganya, selain alunan musik yang menambah semangatnya berlari mengitari lapangan basket.

Samira mengatur nafasnya yang terasa mulai memburu. Satu putaran sudah ia lewati, putaran kedua dan seterusnya menunggu untuk di selesaikan. Ia terus berlari tanpa jeda sedikitpun. Hingga selesai putaran ke empat, samira segera pergi ke samping lapangan dan duduk di bawah tenda besar di pinggir lapangan. Ia menyelonjorkan kakinya dan terus menggerak-gerakan pergelangan kakinya yang terasa pegal. Tetesan keringat membasahi wajah dan leher Samira dan tampak berkilauan saat terkena cahaya matahari. Ia masih berusaha mengatur nafasnya yang tak beraturan.

“Nih!” seorang remaja laki-laki menyodorkan sebotol air mineral di hadapan Samira. Samira menolehnya lalu menerima minuman tersebut saat tahu siapa yang memberikan minuman tersebut.

“Thanks!” sahut Samira seraya meneguk isi botol dengan segera. Samira melepas headset yang ada ditelinganya lalu menggulungnya bersama handphone dan menyimpannya di saku rok abunya.

“Lo kenapa tidur lagi di kelas?” tanya Bagas yang merupakan teman sekelas sekaligus temannya bermain basket.

“Ngantuk!” jawab Singkat Samira.

“Gue tau kalo tidur gara-gara ngantuk, terus kenapa lo sering banget ngantuk di kelas?”

Samira menoleh Bagas yang berjongkok di sampingnya.”Bukan urusan lo!” sahut Samira seraya membenamkan botol air mineral di dada Bagas. Bagas mengulum bibirnya menahan senyum. Gadis cantik di hadapannya selalu membuatnya merasa tertantang untuk lebih mendekat.

Samira segera berdiri tanpa memperdulikan laki-laki yang tengah memandanginya dengan penuh perasaan. Ia mulai berjalan dengan santai.

“Sam, tunggu!” Bagas segera meraih tangan Samira. Langkah Samira terhenti. “Lo mau ke kantin kan? Yuk bareng!” ajak Bagas.

“Lo mau ke kantin ya ke kantin aja, gag perlu juga pegang-pegang tangan gue, gue gag jompo!” cetus Samira seraya mengibaskan tangan Bagas.

“Hem, okey sorry.” Bagas mengangkat kedua tangannya ke udara. Samira hanya mengerlingkan matanya malas.

Dalam beberapa saat Samira meneruskan langkahnya dan Bagas berada persis 2 langkah di belakang Samira. Bagas tersenyum sendiri seraya mengusap tengkuknya kala memandangi  sosok yang dikejarnya berjalan tepat di depannya. Ia memandangi tangan Samira dan tangannya bergantian, entah kapan mereka bisa berjalan bergandengan tangan seperti yang kerap  muncul di lamunan dan mimpi Bagas. Untuk saat ini, ia hanya bisa seperti ini. Menyimpan harapannya dan menyimpan kedua tangannya kembali ke dalam saku celana.

****

Kantin sudah penuh dengan para siswa yang sedang beristirahat. Seorang gadis melambaikan tangannya ke arah samira. Samira yang jelas mengenalnya bergegas menghampirinya.

“Hay Bagas…” sapa gadis tersebut pada Bagas yang berdiri di samping Samira. Sepertinya Samira tak peduli, ia segera duduk di hadapan gadis tersebut.

“Hay Sell…” Bagas menyahuti dengan segaris senyum merekah di wajahnya.

“Bagas, lo nemenin samy di hukum ya? So sweet banget sih…” ungkap Selly dengan mata berbinar kagum seraya menopang dagunya dengan tangan kanan, membuat Bagas salah tingkah. Bagas menggaruk kepalanya walau tidak gatal. Ia menoleh Samira yang tampak anteng saja dengan benda persegi di tangannya.

“Mana makanan gue?” sergap Samira yang tidak ingin mendengar basa-basi sahabatnya.

“Yah, belum gue pesenin.”cetus Selly dengan senyum kaku.

“Gue aja yang pesenin, lo mau makan apa?” tawar Bagas dengan cepat. Samira menatap Bagas sejenak.

“Gag usah, gue bisa pesen sendiri.” Sahut Samira seraya berdiri. Bagas melirik Selly namun selly hanya mengangkat kedua bahunya acuh.

Samira memesan menu makanan yang diikuti oleh Bagas. Setelah menu makanan siap, Samira membawanya ke meja untuk dinikmati bersama Selly.

“Gue denger, guru olahraga kita ganti sam, tapi sampe saat ini gue belum tau  siapa  gantinya.” Tutur Selly dengan mulut penuh makanan.

“Emang pak aris kemana?” Samira mulai menikmati mie ayam yang ada di hadapannya.

“Gue denger istrinya sakit, jadi dia focus jaga istri sama anaknya.” Terang Selly.

“Guru penggantinya masuk senin depan, jadi besok kita olahraga sendiri di lapangan.” Sambung Bagas yang mengambil kursi di samping Samira.

“Cewek apa cowok guru penggantinya gas?” Selly terlihat antusias

“Kalo cowok kenapa kalo cewek kenapa?” Bagas balik bertanya sambil menatap Selly.

“Ya kalo cowok kan lumayan kalo cakep bisa sekalian cuci mata, kalo cewek gue males. Biasanya suka resek.” Cetus Selly seraya mengerucutkan bibirnya  sebal.

Samira hanya berdecik mendengar jawaban sahabatnya.

“Dasar cewek,ngeliat cowok dari tampang mulu. Cowok tuh yang penting tanggung jawab sama setia sama pasangannya.” Tukas Bagas seraya melirik Samira.

Samira menghentikan kunyahannya. Ia menaruh sendok dan garpu yang sejak tadi di genggamnya. Di teguknya jus jeruk dengan cepat hingga habis. Untuk beberapa saat Selly dan Bagas saling berpandangan. Mereka berusaha menerka gestur yang di tunjukkan Samira.

“Lo udah selesai makan?” Selly ingin memastikan.

“Hem…” sahut Samira tanpa memandang Selly. Bagas menatap Selly penuh tanya. Sepertinya dia sudah salah bicara, namun entah di bagian mana.

“Lo mau ke kelas sekarang sam?” Selly ikut menaruh sendok dan garpunya.

“Lo belum selesei makan. Habisin dulu.” Tukas Samira sambil meraih handphonenya di saku rok.

“Emmm okey….” Sambung Selly yang kembali menyantap makananya.

Samira kembali menyumpal telinganya dengan headset sebagai pertanda ia tidak ingin di ganggu dan tidak ingin mendengar apapun. Selly sudah paham benar dengan sahabatnya, ia pasti sedang memikirkan sesuatu. Samira tenggelam dalam alunan lagu yang menggema di telinganya. Pikirannya pun melayang entah kemana. Ia asyik dengan isi kepalanya sendiri, mengenang laki-laki yang begitu di cintainya. Laki-laki yang setia dan penuh tanggung jawab, yang kini hanya tinggal kenangan. Mungkin itulah yang membuat Samira menyelesaikan makannya dengan cepat.

****

Bell akhir pelajaran telah berbunyi. Para siswa berhamburan keluar kelas. Terlihat Samira dan Selly yang sedang membereskan buku serta alat tulisnya.

“Sam, bunda udah pulang. Lo mau ikut gue ke rumah kan? Dia kangen sama lo…” seru Selly dengan senangnya.

“Iya, gue juga kangen. Yuk cabut!” sahut Samira tanpa berfikir panjang.

“Girls, kalian mau pada kemana? Nonton gue tanding basket gag?” cetus Bagas yang tiba-tiba menghadang Samira dan Selly.

Samira hanya memalingkan wajahnya seraya menyilangkan tangannya di depan dada. Selly paham benar maksud sahabatnya.

“Gue sama samy udah ada janji. Jadi sorry yaa kita gag bisa nonton lo tanding….” Sahut Selly seraya menepuk bahu Bagas.

Air wajah Bagas seketika berubah murung walau ia coba tutupi dengan sebuah senyuman yang ia tujukan pada Samira.

“Padahal gue pengen banget lo nonton gue tanding sam…” lirih bagas sambil mengacak rambutnya.

Samira menatap Bagas sejenak. Ia menghembuskan nafasnya dengan malas. Selama ini Bagas memang selalu bersikap baik, walau terkadang sedikit berlebihan. Dan hal itu yang sering membuat Samira tidak merasa nyaman. Namun apapun itu, samira harus bisa menghargai sedikit sikap Bagas, walau ia tidak terbiasa berpura-pura nyaman.

“Lain kali,sekarang gue ada urusan.” Ujar Samira yang sontak merubah kembali air muka Bagas. Andai saja waktu itu Samira tidak berjanji untuk memenuhi 1 permintaan Bagas yang sudah membantunya, mungkin ia tidak akan merasa tidak enak seperti sekarang. Perasaan seperti itu benar-benar di hindari Samira. Ia sangat tidak terbiasa.

“Wah bener ya sam, gue janji, gue bakal masuk final supaya lo bisa dateng nyemengatin gue.” Seru Bagas dengan menggebu-gebu.

“Hem…” sahut samira, singkat.

“Okey, udah seneng kan lo, jadi sekarang lo minggir dulu, gue sama samy mau lewat.” Selly mendorong pelan tubuh Bagas agar menyingkir dari jalannya.

“Okeeyy, hati-hati di jalan yaa girls” balas bagas seraya melambaikan tangan. Selly hanya tersenyum membalasnya.

Samira dan Selly berjalan menuju tempat parkir dimana Selly memarkirkan mobilnya. Setelah menekan kunci mobilnya, Selly duduk di balik kemudi dengan Samira di sampingnya. Selly mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

“Kapan bunda balik sel?” Samira memulai pembicaraannya.

“Tadi malem… dia bawa oleh-oleh banyak banget, tapi banyaknya buat lo. Bikin gue sebel aja!” dengus Selly dengan seringai tipis.

“Wajarlah bunda bawa oleh-oleh banyak buat gue, kan gue kesayangan bunda.” Tukas Samira sambil melirik sahabatnya yang terlihat kesal.

“Hahaha sialan lo!” cetus Selly.

Samira tersenyum lebar melihat kekesalan sahabatnya. “Sam, gue pikir si bagas tuh suka deh sama lo. Lo jangan jutek-jutek napa…” ujar Selly seraya melirik samira.

“Gue gag mikirin yang begituan! Kalo lo minat, ambil aja.” Timpal Samira yang tetap fokus memandangi jalanan padat di depannya.

“Lo kira si bagas barang, main ambil-ambil aja! Lagian ya sam, dia udah baik banget sama Lo. Jadi lo juga baik dikit lah sama dia. Minimalnya lo anggap dia temen gitu, jangan judes-judes.”

“Gue gag nyaman sama sesuatu yang berlebihan.” Samira menyandarkan kepalanya ke jok lalu memejamkan matanya.

“Wajar lah dia agak berlebihan, dia kan pengen nunjukin sikap dia yang terbaik depan lo. Lumayan lah punya pacar pas SMA, nambah semangat belajar.” Ujar Selly sambil terkekeh.

“Gue pikirin…” sahut Samira tanpa membuka matanya.

“Maksud lo, mau lo pikirin buat punya pacar?” Selly begitu antusias.

“Bukan! Cuma sekedar baik sama dia doang!” ketus Samira.

“Hahahha gue kirain…. Kalo lo sampe punya pacar, gue bikinin perayaan sehari semalam bareng anak sekelas.” Selly tergelak sambil memukul-mukul setir kala merasa gemas sendiri membayangkan cewek sedingin Samira mempunyai pacar.

“Sialan Lo! Kalo lo tahan jomblo selama 3 bulan, gue buatin perayaan juga buat lo!” Samira menyerang balik sahabatnya yang kerap gonta-ganti pacar.

“Ähahaha… amit-amit gue kalo sampe jomblo lebih dari 3 bulan. Ini baru seminggu aja , kuping gue udah gatel gag ada yang manggil sayang. Hahahaa…” timpal Selly

Mereka tertawa dengan renyah. Hanya dengan Selly, Samira bisa banyak bicara dan tertawa lepas. Terkadang hal kecil saja bisa jadi bahan tertawaan mereka. Tapi saat di hadapan orang lain, Samira bisa sangat dingin bahkan terkesan judes.

****

I miss U

“Saaamm!!!!” seru Dina saat melihat Samira yang datang bersama putrinya. Ia memeluk Samira dengan erat, layaknya seorang ibu yang merindukan anak gadisnya. “Ästaga, liat anak bunda tambah cantik aja….” Imbuh Dina seraya mengecup pipi kiri dan kanan Samira lalu menatapnya dengan hangatt.

“Bunda, anak bunda tuh ini… kok malah samy lagi samy lagi..” protes Selly dengan bibir mengerucut.

“Kamu kan udah bunda kelonin semaleman. Sekarang giliran Samy.” Dina menyahuti seraya mengusap rambut Selly yang tengah kesal.

“Tau nih selly serakah banget bun…” timpal Samira sambil tersenyum geli. Selly hanya mengerlingkan matanya. “Bunda gimana kabarnya? Samy kangen sama bunda.” ungkap Samira seraya menggenggam tangan Dina dengan erat. Mereka bersama-sama duduk di sofa tanpa melepaskan pandangan satu sama lain.

“Bunda baik sayang. Kamu gimana kabarnya?”

“Samy juga baik bun… gimana urusan bisnisnya, lancar?”

“Iya sayang, Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Bunda juga ketemu pak handoko, dia nanyain kabar kamu.” terang Dina seraya mengusap rambut lurus gadis cantik dihadapannya. Samira hanya tersenyum tipis. Dina sepertinya paham saat ekspresi wajah Samira berubah begitu cepat saat nama Handoko di sebut.

“O iya, bunda bawa oleh-oleh buat kamu, ayo kita liat.” Dina berusaha mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Samira hanya terangguk setuju.

Beberapa papper bag tersusun rapi di atas meja. Berbagai merk terkenal menjadi label pada masing-masing papper bag tersebut.

“Wah, banyak banget bun…” Samira takjub sendiri melihat beberapa kantong oleh-oleh yang ada di hadapannya. “Ini pasti ngerepotin bunda banget.” imbuh Sambira sambil membuka satu per satu papper bag yang ada di hadapannya. Selly ikut senang, ia duduk di samping Samira dan ikut membukanya.

“Enggak sayang, gag ngerepotin sama sekali.” Dina mengusap lembut puncak kepala Samira. Samira tersenyum dengan senang.

Walaupun Dina bukan ibu kandungnya, ia sangat dekat dengan bundanya Selly ini. Dina adalah sahabat dari ayah Samira..

“Gimana di sekolah, baik-baik aja kan?” Dina masih asyik mengelus rambut hitam Samira yang terasa begitu halus.

“Samy di kejar-kejar cowok-cowok bun…” cetus Selly sambil terkekeh.

Dengan cepat Samira menyikut lengan Selly, matanya membulat dengan sempurna. “Hus asal ngomong aja. Selly tuh bun, baru putus sama pacarnya, sekarang lagi nyari cowok baru.” Timpal Samira seraya menjulurkan lidahnya pada Selly.

“Hem… dua anak bunda ini ternyata jadi incaran para laki-laki yaaa….” Goda Dina sambil tergelak. "Dan selly, kok gag bilang kalo udah putus lagi? Pacar yang mana nih?" selidik Dina yang penasaran dengan sang putri.

Samira dan Selly saling berpandangan. Mereka menaruh kembali papper bagnya dan suasana mendadak hening. Mereka lupa kalau Dina hanya tau satu pacar Selly, yaitu anak dari rekan bisnisnya. Padahal entah sudah berapa anak laki-laki yang menggantikan mantan pacarnya tersebut.

"Em... Anu bun, aku ngambil minum dulu." sahut Selly dengan cepat. Ia segera pergi meninggalkan Samira dan Dina yang masih diliputi rasa penasaran.

Kini tatapan Dina beralih pada Samira. Jelas terlihat, Dina memerlukan penjelasan.

"Samy gag ikutan bun. Cuma denger doang." ungkap Samira dengan perlahan.

"Yakin, kamu gag tau?" Selidik Dina yang seolah bersiap menerkam Samira.

"Beneran bun..." Samira mundur menjauh dari Dina. Ia sudah bisa menebak serangan seperti apa yang akan diberikan oleh Dina.

"Bilang, atau....." Benar saja, Dina mulai menggelitik pinggang Samira hingga tertawa terpingkal-pingkal.

"Hahahahaha... ampun bun... ampun..." protesan Samira tak lantas menghentikan aksi Dina. "Selly, bantuin gue!!!" serunya yang mulai kewalahan.

Namun Selly hanya terkekeh mendengar suara Samira.

"Bunda gag akan berhenti sebelum kamu jawab." Dina tak pantang menyerah.

Suasana rumah Selly berubah menjadi hangat. Suara gelak tawa terdengar begitu nyaring. Melihat Samira tertawa lepas adalah kebahagiaan tersendiri bagi Dina dan Selly. Karena mereka tau, masalah besar yang selalu dihadapi gadis cantik ini.

****

“Bun, aku pulang dulu ya…” ucap Samira seraya mengecup punggung tangan Dina.

“Sayang, apa gag sebaiknya kamu tinggal di sini aja sama bunda dan selly? Rumah ini juga rumah kamu.” tutur Dina dengan tatapan cemasnya.

“Bun, bunda kan udah setuju aku pengen mandiri. Jadi jangan paksa aku buat ngerubah keputusan…” pinta Samira dengan penuh keyakinan.

“Tapi bunda selalu cemas kalo ngebayangin kamu sendirian di apartemen itu. Gimana kalo kamu mau laper malem-malem atau butuh sesuatu.” Dina masih berusaha membujuk Samira.

“Ish bunda, sekarang zamannya udah canggih, gag mungkin aku mati kelaperan kan…” sahut Samira yang tersenyum tipis. Dina memeluk tubuh langsing Samira yang tingginya melebihi Dina. Ia mengusap kepala Samira dengan lembut, seolah begitu banyak kecemasan yang tersimpan di dadanya.

“Kalo ada apa-apa, kabarin bunda ya nak….” lirih Dina

“Ïya bun…”Samira menyahuti. Ia melepaskan pelukannya. “Gue pulang dulu, jangan kebanyakan ngerengek lo sama bunda, kasian bunda capek!” imbuh Samira pada Selly.

“Iyaaa, iyaa… ada bunda lo jadi bawel deh!” timpal Selly seraya tersenyum.

Setelah mengucap salam, Samira segera menaiki taksi online yang sudah dipesannya. Lambaian tangan menjadi akhir pertemuannya dengan Dina dan Selly. Dan bayangan Samira pun menghilang di balik pintu mobil. Dina menoleh Selly dan menarik tangannya untuk masuk ke dalam pelukan.

"Kamu bantu bunda jagain dia kan sayang?" Tanya Dina yang masih memandangi jalanan walau taksi itu sudah membawa Samira pergi.

"Hem... Jangan cemas bun, dia kuat seperti biasanya." sahut Selly.

Pandangan Dina beralih menatap manik coklat sang putri. Bibirnya melengkungkan sebuah senyuman. " Terima kasih sayang..." tandasnya seraya mengecup dahi Selly.

Di dalam mobil, Samira kembali membuka 2 papper bag yang ada di sampingnya. Ia tersenyum memandangi coklat-coklat dan biscuit oleh-oleh dari Dina. Betapa ia bersyukur dalam hidupnya masih ada orang yang menyayanginya dengan tulus.

"Makasih bun, makasih selly." batinnya seraya tersenyum.

Mobil berhenti di depan sebuah apartemen berlantai 16. Di apartemen ini lah Samira tinggal seorang diri. Waktu yang panjang, ia nikmati seorang diri dalam sebuah sepi yang tidak pernah berakhir. Saat pintu unitnya terbuka, kembali ia sadar kalau ia hanya sendirian dan kesepian.

****

Semburat lembayung di sore itu terlihat sangat indah, membuat Samira ingin sejenak saja berjalan kaki menikmati indahnya sore itu. Ia duduk di salah satu bangku yang berada di taman apartemen. Anak-anak berlarian berkejaran dengan riang. Orang tua mereka menemaninya sambil sesekali mengambil foto anak-anak yang tertawa bahagia. Terkadang ada yang menangis di antara mereka, namun dengan cepat para orang tua tersebut menenangkannya. Sungguh pemandangan yang sangat indah bagi Samira.

Samira merasakan kehampaan dalam hatinya. Dimana, masa itu telah lama ia lewati tidak bisa terulang bahkan hanya cukup untuk dikenang. Hatinya merasa iri, melihat anak-anak yang tertawa riang kala rengekan manjanya di turuti oleh ayahnya. Mereka berseru senang, saat pelukan hangat ibunya mendekap mereka dengan erat.

Sesuatu hal yang sangat mahal, bahkan dengan uang sebanyak apapun kebahagiaan itu tidak pernah bisa Samira miliki. Itulah salah satu alasan Samira tidak ingin menggunakan segala fasilitas mewah yang dimiliki orangtuanya. Cukup dengan kesendirian dan kenangan yang tak pernah lekang dari ingatannya. Dengan semua itu, ia bisa bertahan walau sesekali harus meringis. Tapi nyatanya, ia merasa lebih kuat.

Samira melangkahkan kakinya menuju apartemen, menaiki lift dan menekan tombol lantai 6. Saat pintu lift kembali terbuka, dari kejauhan ia melihat seorang laki-laki tengah berdiri di depan pintunya. Ia tersenyum seraya mengangguk melihat kedatangan Samira.

“Selamat sore non samy…” sapa laki-laki paruh baya bernama Handoko.

Samira tak membalasnya sama sekali. Wajahnya berubah dingin tanpa ada garis senyum sedikitpun.

“Ada apa?” Tanya Samira tanpa menatap Handoko sediikitpun.

“Ini, saya membawakan beberapa makanan kesukaan non samy.” Ujar handoko, seraya menyodorkan sebuah papper bag yang sama seperti yang di pegangnya.

“Hem, saya sudah memiliki banyak di sini dan saya rasa cukup.” sahut Samira seraya mengangkat paper bag di tangannya.

Handoko terpaku. Benar, oleh-oleh yang ia bawa pasti sama dengan yang saat ia di pegang Samira, karena Dina juga yang memilihkannya. Handoko menghembuskan nafasnya perlahan, lagi langkahnya terlambat untuk meraih hati sang nona mudanya.

"Tidak ada urusan lain kan?" Samira menyadarkan Handoko dari lamunannya.

"Iya non samy, kalau begitu saya permisi." pamit Handoko

“Hem…” jawaban singkat Samira.

Samira menempelkan ibu jarinya ke kunci apartemen. Kemudian masuk dan menutup pintunya rapat-rapat. Handoko membungkukkan badannya saat bayangan Samira menghilang di balik pintu unit apartemennya.

Samira menaruh papper bag tersebut di atas tempat tidurnya. Di lemparnya tas sekolah dengan sembarang. Ia merobohkan tubuhnya dengan menelungkup di atas tempat tidur. Cukup lama ia terdiam dan merasakan tubuhnya yang terasa lelah, ia berbalik. Kini ia duduk bersandar pada head board ranjangnya. Samira membuka paper bag yang diberikan oleh Dina. Ia teringat paper bag yang sama yang di bawa handoko.

“Cih! Dia pikir dia bisa baik-baikin gue pake coklat dan biscuit juga?!” Samira berdecih.

Perhatiannya beralih pada meja riasnya. Ada sebuah kotak hitam yang beberapa hari lalu juga diberikan oleh Handoko. Hingga saat ini Samira belum membukanya. Ia beranjak dari tempat tidurnya, dengan langkah malas ia duduk di depan meja rias dan memandangi kota hitam tersebut.

Samira mulai penasaran. Ia membuka kotak tersebut dan ternyata isinya adalah sebuah kalung dengan liontin bulat. Samira membuka penutup liontin tersebut. Ia tersenyum sendiri saat wajahnya dan sang ayah tersenyum dengan gembira di sana. Rupanya ini adalah liontin Samira saat ia berulang tahun yang ke 7. Ulang tahun terakhirnya yang ia rayakan bersama sang ayah.

Saat itu, karena dalam kondisi marah, Samira memberikan liontin ini pada Handoko. Liontin yabg membuatnya keluar dari rumah mewah miliknya.

"Mau apa dia sebenarnya? Selalu sangat menyebalkan dengan berpura-pura baik padahal gue tau, dia melakukannya dengan terpaksa." lirih Samira.

Ia membenamkan liontin tersebut dalam genggamannya dan menempatkannya di dada. Perlahan buliran bening mulai menetes dari sudut matanya.

"I miss you..." lirihnya seraya terisak.

****

Kalung dady

Flash Back

Rasa gerah dan lelah di rasakan Samira yang saat itu baru pulang dari sekolah. Handoko sudah menyambutnya di depan pintu dengan senyum ramah yang biasa ia berikan.

“Selamat siang non. Bagaimana sekolahnya hari ini?" sapa Handoko dengan hangat.

"Sama seperti biasanya." sahut Samira seraya memberikan tas sekolahnya pada Handoko.

"Non samy ganti baju dulu, nanti saya minta pelayan siapkan makan siangnya.” tutur Handoko seraya mengambil tas punggung milik Samira.

“Hem…” Samira menjawab singkat.

Di ruang keluarga, ia melihat keluarga dari ibunya tengah berkumpul. Mereka tertawa terbahak-bahak namun entah apa yang mereka bicarakan. Samira lewat begitu saja, tidak memperdulikan orang-orang yang ada di sekitarnya.

“Heh, kamu!” sebuah suara memanggilnya dan membuat langkahnya terhenti. Samira menoleh pada pemilik suara yang tengah menatapnya tajam. “Kasih salam dulu sama om andreas, tante vina dan kak tania.” perintah wanita tersebut yang tak lain adalah Ananta, ibu kandungnya.

Samira hanya mengangguk tanpa sepatah katapun. Bahkan air mukanya tidak berubah.

“Samira apa kabar? Gimana hari ini, gag bikin masalah lagi kan di sekolah?” tanya Vina dengan nada menyindir.

Samira tidak menjawab. Walaupun ia baru kelas 1 SMP, Samira bisa membedakan, pertanyaan mana yang memang menunjukkan kepedulian dan pertanyaan mana yang hanya ingin mencibirnya.

Samira hanya menarik garis bibirnya sebelah kanan. Tatapannya penuh kebencian. Ia segera berlalu tanpa memperdulikan orang-orang yang selalu mengganggu hidupnya. Ya, samira merasa bahwa orang-orang yang sekarang ada di hadapannya, hanya orang-orang yang selalu mengganggu hidupnya, mereka selalu disibukan dengan menghitung jumlah bagian dari harta kekayaan ayahnya tanpa peduli pada dirinya.

Samira bergegas pergi, tanpa memperdulikan mereka.

“Heh, mau kemana kamu?” gertak Ananta, namun Samira tidak bergeming, ia terus melanjutkan langkahnya menuju tempatnya yang dirasa paling nyaman dari seluruh bagian di rumah mewah tersebut. Ya, kamarnya.

“Dasar anak gag tau di untung!” Ananta mengumpati.

Hati samira kembali tergores. Entah umpatan ke berapa yang selalu ia dengar sejak ia mengerti bahasa orang dewasa. Hatinya terasa kebas, dengan kata-kata yang kerap keluar dari mulut Ananta. Kata-kata yang selalu menunjukkan ketidak sukaannya pada Samira, bahkan sejak ia masih kecil.

Masih jelas terdengar ocehan Ananta yang semakin lama semakin terredam. Samira berusaha untuk tidak mendengarnya, itulah mengapa ia lebih senang menggunakan headsetnya dalam kondisi apapun.

Samira mengganti bajunya. Perutnya terasa begitu lapar, bahkan beberapa kali berbunyi dengan nyaring.

“Non samy, ayo makan siang dulu…” suara Handoko terdengar dari balik pintu kamarnya. Sepertinya ia paham benar yang dirasakan Samira.

Samira membuka pintu, Handoko menyambutnya dengan senyuman.

Samira berjalan di depan Handoko, dengan langkah malasnya. Dia sudah bisa membayangkan, meja makannya saat ini pasti dipenuhi orang-orang yang tidak ingin di lihatnya.

Benar saja, kursi meja makan sudah di tempati orang-orang yang tersenyum sinis padanya. Handoko menarikkan kursi untuk Samira. Dengan beragam hidangan mewah telah tersaji di atas meja. Namun semuanya hanya sisa, sisa dari orang-orang yang kini duduk berhadapan dengannya.

“Non samy mau makan sama apa? Biar saya ambilkan…” tawar salah satu pelayan.

“Äyam aja.” jawab Samira, singkat.

Dengan sigap pelayan tersebut mengambilkan sepotong ayam ke atas piring Samira. Jejeran gigi putih samira mulai mengigit makanan dari sendoknya.

“Mulai hari ini tania tinggal di sini. Kamarnya sebelah kamar kamu.” ujar Ananta tanpa basa basi, bahkan tanpa menatap Samira sedikit pun. Tentunya ini bukan permintaan izin tapi pemberitahuan yang bahkan Samira tidak punya hak untuk menolaknya.

Samira hanya terdiam. Ia tidak peduli dengan ucapan ibunya.

“Tante, aku mau kalung kayak punya samy, boleh?” tutur Tania dengan manja.

“Boleh dong sayang… nanti kita ke mall nyari kalung yang sama.” Ananta menyahuti dengan senyum hangatnya. Senyuman yang tidak pernah sekali pun Samira terima selama hidupnya.

“Tapi aku maunya sekarang tan….” Tania merengek, membuat suasana hati Samira kesal.

“Kamu, pinjemin dulu kalungnya. Nanti di balikin kalo tania udah beli.” titah Ananta sambil menyodorkan tangannya.

Samira menggenggam kalung di lehernya dengan erat. Ia menatap Ananta yang memalingkan wajahnya. “Maaf ini kalung dari dady, aku gag mau pinjemin…” tolak samira dengan yakin.

“Dasar kamu pelit!” Tania melemparkan sendok yang ada di tangannya ke arah Samira.

“Aww!” Samira mengaduh saat sendok itu menghantam keningnya.

"Makanya jangan pelit!" cetus Tania dengan bibirnya yang menyeringai puas.

“Non tania, tidak boleh begitu…” bela pelayan tersebut seraya menghampiri Samira dan memeriksa dahinya.

“Apa kamu pelayan! Berani-beraninya bentak-bentak tania!” sentak Ananta seraya memukul meja.

“Maaf nyonya, tapi non samy…”suara pelayan tersebut terdengar bergetar.

“Pergi kamu!” teriak Ananta dengan mata melotot. Bahkan ia tidak peduli pada sang putri yang tengah kesakitan. Bukan hanya di dahinya tapi juga di hatinya.

Air mata meleleh di sudut mata Samira. Samira segera berdiri dan mendorong kursinya hingga terjatuh. Walaupun kemarahan Ananta di tujukan pada pelayannya, namun nalar Samira tidak bisa menerima perilaku Ananta yang selalu acuh dan semena-mena terhadap ia dan orang-orang di sekitarnya.

“Mau kemana kamu! Duduk! Selesaikan makanmu!” teriak Ananta tidak kalah keras.

Serasa kebal, telinga Samira tidak bisa menerima kalimat yang di lontarkan Ananta padanya. Ia segera berbalik dan bergegas meninggalkan orang-orang yang tengah menatapnya entah dengan perasaan seperti apa, Samira tidak peduli.

“Hey!!!! Kamu coba melawan saya hah?!” Ananta menghampiri Samira dan membalikkan tubuhnya dengan kasar.

“Saya? Melawan anda?! Bukannya selama ini anda tidak pernah memperdulikan apa saya menerima atau melawan perlakuan anda terhadap saya?!” untuk pertama kalinya Samira menjawab perlakuan Ananta, entah dari mana keberanian itu datang.

“Anak kurang ajar!”,

“PLAK!”

Sebuah tamparan mendarat di wajah Samira. Bibirnya berdarah dengan pipi yang memerah dalam sekektika. Samira menyentuh wajahnya yang terasa panas dan sakit bahkan telinganya terasa berdengung. Ia menangis tanpa isakan, terasa lebih perih dan menyakitkan.

Tangan kanannya mengepal, ingin rasanya ia membalas perlakuan Ananta. Dadanya terasa sesak dan nyaris meledak. Tanpa berfikir panjang Samira segera berlalu.

“Kalau kamu pergi, jangan harap kamu bisa menerima perlakuan saya yang lebih baik!” ancam Ananta.

“Perlakuan yang lebih baik?! Perlakuan lebih baik seperti apa yang anda maksud? Dengan memaki saya? Memukul saya? Atau mengumpati saya? Bukannya memang anda tidak pernah mengharapkan saya ada di hidup anda? Selamat, mimpi anda akan segera terwujud!” teriak Samira yang sudah tidak bisa menahan amarahnya.

Ia berlari menuju kamarnya. Handoko menghalanginya. Ia menggenggam tangan Samira kuat-kuat. Kepalanya menggeleng tanda tidak setuju.

“Cari kan saya apartemen! Dan ini, silakan anda berikan pada wanita itu!” ujar Samira seraya melepas paksa kalungnya dan membenamkannya di tangan Handoko.

Samira berlari menuju kamarnya. Ia mengambil koper berwarna merah muda. Koper yang biasa ia gunakan untuk berlibur bersama dady nya. Ia masukan baju-bajunya dengan sembarang. Juga beberapa barang berharga miliknya.

“Non samy, tolong pikirkan lagi baik-baik. Nona tidak bisa seperti ini…” lirih Handoko sambil memegangi tangan Samira.

Samira mengibaskannya.

“Carikan saya apartemen, atau besok saya akan mencari penganti anda!” ancam Samira dengan tatapan tajam. Lebih tepatnya tatapan penuh kesakitan seorang anak yang tidak berdaya, namun berusaha kuat. Pertama kalinya, ia merasa Handoko tidak mengerti perasaannya, tidak berada di pihaknya dan ia masuk dalam barisan orang-orang yang ia benci.

Handoko mengalah. Ia menuruti permintaan Samira. Samira membawa kopernya seorang diri. Suara roda koper terdengar nyaring menuruni anak tangga.

Ananta yang masih mematung, hanya bisa terdiam melihat Samira yang berlalu di hadapannya. Perasaannya campur aduk. Untuk pertama kali, gadis lemah yang biasa dia perlakukan seenaknya, melawannya dengan sekuat tenaga. Sementara Tania menyeringai puas melihat bayangan Samira menghilang di balik pintu.

# Flash back off

Samira menangis seraya memeluk kedua kakinya yang tertekuk. Ingatannya kembali mengorek luka lamanya yang bahkan belum kering. Terasa sangat perih dan kembali menganga. Samira membuka genggaman tangannya. Ia menatap kalung yang ada di tangannya.

“Bukan ini yang aku tangisi, tapi perlakuan mereka yang terlalu melukaiku…” lirih Samira dengan tangis yang hampir mencekik lehernya. “Äku  bisa memberikan apa saja yang mereka minta, tapi tolong perlakukan aku dengan baik. Jika suatu saat ada waktuku untuk kembali, maka tak ada satu pintu pun yang terbuka yang bisa mengarahkanku ke hadapan mereka.” tekad Samira sambil kembali mengeratkan genggamannya.

Kilatan amarah terlihat jelas di matanya. Bibirnya menipis menahan perasaan marahnya yang meluap-luap. Samira sadar, ia tidak boleh menyiksa dirinya sendiri dengan kondisi seperti ini. Ia bertekad, hidupnya harus ia sendiri yang mengendalikan. Ia akan berusaha kuat untuk itu.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!