Namaku Rina. Aku adalah seorang murid kelas 3 SMA. Saat ini aku baru saja memasuki semester pertama. Kehidupan sekolah ku biasa saja, berada di kelas IPA dengan kecerdasan rata-rata. Aku bukan siswa yang aktif berorganisasi tapi bukan berarti aku siswa cupu atau kutu buku.
Pacaran?
Iya, aku punya pacar. Aku dan pacarku beda sekolah. Dan mirisnya dia adalah adik kelasku. Kenapa aku bilang miris? Karena jujur, aku penasaran berhubungan dengan pria dewasa. Tapi selama ini, belum ada satupun pria dewasa yang mencoba untuk mendekatiku. Apa aku begitu tak menarik untuk pria dewasa?
Entahlah.
Setiap ada yang mendekatiku, pasti dia berusia di bawahku. Seringkali aku memandangi diriku di balik pantulan cermin. Wajahku tak buruk lah, rambut sebahu tanpa poni, karena menurutku poni terlalu imut dan membuatku tampak seperti gadis kecil. Body? Lumayanlah. Atau mungil ya? Tinggi 157, berat 48. Saat melihat d**a, cup-nya C loh, cukup s**i kan?
Ah sudahlah?
Hp-ku berbunyi nyaring, menunjukkan incoming call dari Dika pacarku.
"Sayang, aku udah di luar," kata Dika di seberang sana.
"Iya, aku udah siap tunggu bentar." Aku pun segera memutus sambungan telepon dan beranjak keluar. Sebelumnya aku sudah pamitan kepada kedua orang tuaku.
Apakah orang tuaku mengenal Dika?
Ya benar.
Larangan terbesar untukku adalah merahasiakan segala sesuatu dari orang tuaku termasuk pacar, teman, apapun itu.
Orang tuaku beralasan, jika aku bisa jujur maka mereka akan percaya padaku apapun yang aku lakukan selama itu masih dalam batas wajar.
Setelah menutup gerbang rumah, aku segera menghampiri Dika yang gagah dan tampan itu. Ya walaupun dia masih muda, beda setahun tepatnya, dia punya postur tubuh yang lebih tinggi dariku. Bahkan tinggi ku hanya sampai telinganya. Dia tampan, tapi sering kekanakan. Itulah yang yang kurang aku suka dari dia. Bukan hanya dari dia tapi pacar-pacar brondong ku sebelumnya.
"Sini aku pasangin," kata Dika sambil mengaitkan kancing helm di kepalaku.
"Kok pakai motor ini sih, nggak nyaman tahu nungging," gerutu ku sesaat sebelum menaiki motor sport Dika.
"Pakai Nmax ngangkang, pakai ninja nungging, terus kamu sukanya pakai apa sayang?" tanya Dika sambil mulai melajukan motornya.
Berangkat sendiri bareng ayah kalau nggak gitu naik ojek aja. Batinku.
"Rina sayang kok diam sih."
Aku hanya tersenyum. Dia pun meraih tanganku untuk berpegangan di perutnya.
Kalau ada yang tanya bagaimana caranya dia tahu kalau aku senyum, kan dia nyetir di depan sedangkan aku di belakang. Jawabannya so simple, tinggal lihat spion lah.
"Maunya duduk di pelaminan," jawab ku.
"Sabar dong sayang, tunggu beberapa tahun lagi. Nggak seru ah kalau mau kawin pakai
sidang-sidang apa itu," terangnya.
"Anak kecil mah gitu, ngeles melulu kalau diajak ngomong," cibirku.
Ckittt!
Dika mendadak berhenti.
"Apa sih, nggak safety banget!" protesku.
"Emang kamu beneran pengen nikah sekarang?"
"Iya, dan bocah kayak kamu pasti belum sampai mikir nikah. Ya kan?"
"Siapa bilang," ucapnya sambil berjalan memutar arah.
"Eh apaan sih ini!" panik ku sambil memukul-mukul bahunya.
"Nggak usah ke sekolah deh sayang, aku mau ngomong sama orang tua kamu kalau kamu ngajak nikah sekarang," terangnya sambil terus berjalan menuju rumahku.
"Enggak, enggak, enggak!" panik ku sambil mempererat pelukanku di pinggangnya.
"Aku bercanda kok, kita ke sekolah yuk, ya sayang ya," ucapku manja.
"Nanggung nih, mumpung belum jauh."
"Sayang aku bercanda, ih kamu mah."
Dia diam tak menjawab.
"Dika, aku bakal mutusin kamu kalau kamu ngeyel!"
Ckittt!
"Kamu doyan banget ngancam ya."
"Aku bercanda sayang, ya ampuuuunnn..."
"Jadi sekarang gimana nih?" tanya Dika sambil menyandarkan tubuhnya padaku yang sedang memeluknya dari belakang.
"Ke sekolah ya, keburu telat nih. Perjalanan dari sekolahku ke sekolah kamu kan juga enggak cukup lima menit."
"Tenang sayang, telat sekali nggak bikin aku dikeluarin kok. Pihak sekolah nggak mungkin dengan mudah melepaskan murid berprestasi seperti aku."
"Sombong sekali kau adik," ucapku dengan nada mengejek.
"Sekali lagi bilang adik, cus langsung ke KUA nih."
"Astaga, bercanda sayang."
"Sekarang pegangan yang kenceng, biar kita sama-sama nggak telat," ucapnya sambil mulai melaju dengan kecepatan diatas rata-rata.
Hingga tak berapa lama tibalah kami di sekolahku.
"Rin, nanti aku ada ada meeting persiapan olimpiade robotik, mungkin jemput nya agak telat, kamu tunggu ya."
Murid berprestasi memang bukan hanya sekedar bualan Dika saja, dia memang berprestasi. Dia dan timnya akan mewakili sekolahnya untuk olimpiade robotik di tingkat provinsi bulan depan. Dia menjadi satu-satunya peserta dari kelas XI, sedangkan lainnya adalah dari kelas XII.
"Kalau kamu sibuk aku bisa pulang sendiri kok."
"Tapi sayang, aku nggak tega ngebiarin kamu naik ojek atau angkot."
"Lagian naik ojek sama kamu boncengin kan sama aja, sama-sama naik motor dan kepanasan."
"Ya bedalah, pertama kalau kepanasan bisa neduh dan istirahat dulu kalau sama aku, terus lagi mana ada tukang ojek yang sekeren dan sewangi aku."
Sudahlah, aku hanya mengangguk malas. Meskipun yang dikatakan benar adanya, namun tingkat kepedean ya bikin aku males juga. "Ya udah berangkat gih."
"Sayang, deketan dikit dong."
Aku hanya menaikkan alisku seolah bertanya apa?
"Udah sini deketan dikit," pintanya lagi.
"Apa sih," protes ku namun tak urung aku tetap melakukannya.
Cup
Refleks aku mundur dan menyodorkan helm yang baru aku lepas dengan kuat ke arah perutnya. "Ngawur banget sih! Ini di sekolah tahu!" geram ku dengan suara tertahan.
"Udah buruan masuk sono, nggak ada yang lihat juga. Cuma dikit aja heboh," ucapnya dengan nada menggoda.
"Apaan sih nggak jelas!" Aku terus menggerutu sambil berjalan masuk melewati gerbang sekolahku.
"Cie cie, yang pagi-pagi udah dicium brondong."
Aku tersentak dan menoleh sejenak. "Mingkem enggak tuh mulut!"
"Galak bener Bu."
"Diem nggak! Nggak lihat ini orang lagi kesel!" omelku pada Nita.
"Lagian tuh brondong sweet banget sih, mau dong aku dikasih satu yang nggak gitu."
"Tuh ambil aja, pusing aku lama-lama sama dia."
"Emang kenapa sih?"
"Dia kekanakan banget ya ampun."
"Namanya juga berondong Rin, disabarin ajalah," ucapnya.
"Emang tipe cewek idaman para cowok-cowok dewasa itu yang kayak gimana sih? Masa iya aku sama sekali nggak masuk kriteria mereka," ucapku dengan nada memelas.
Nita mendadak menghentikan langkahnya. Dia mengamati ku dari atas hingga bawah seolah sedang menilai. "Kayaknya ada satu cara," ucapnya dengan nada serius.
"Apa, apa, apa gimana," tanyaku antusias.
"Kamu cari deh tuh cowok dewasa yang kamu maksud, kamu ajak ke mana kek ke rumahmu apa kamu ke rumahnya gimana gitu, yang penting ada ruang buat kamu sama dia. Terus tinggal tanggalin semua b*** kamu. Dijamin deh mereka langsung klepek-klepek." Dia mengucapkan barisan kata laknat itu dengan santainya.
Senyum yang semula mengembang sempurna di bibirku kini layu sudah. "Nita ggiiiilllllaaaaasaa......!!!"
Nita yang sudah yakin bahwa aku akan segera menghajarnya pun segera berlari sekuat tenaga. Akhirnya pagi ini ini harus ku awali dengan kegiatannya berkejar-kejaran bersama sahabatku ini.
TBC
Hi Dear, Senja datang lagi.
Semoga karya ini bisa diterima ya.
Bagi yang udah mampir jangan lupa tinggalkan jejak.
Terimakasih.
"Hey Rina, hey Rina, dirimu sedang apa (pakai nada hey tayo ya, 🤭)," tanya Nita kepada Rina saat dia baru saja menghampiri di tempat duduknya.
Kepala yang sebelumnya menelungkup di atas meja pun diangkat oleh Rina. "Bisa nggak sih enggak usah berisik," desis Rina kemudian.
"Wow wow wow...., ada apa nih. Kecut bener tuh muka dari pagi."
Rina menggeleng dan kembali menelungkup kan kepalanya di atas meja. Nita kemudian melakukan hal yang sama dengan Rina. Kini wajah mereka berhadapan.
"Ada apa sih, coba deh cerita. Siapa tahu kita bisa cari jalan keluarnya bareng-bareng."
Rina segera menegakkan tubuhnya. Otomatis wajahnya pun terangkat.
"Kayaknya jadi jomblo bukan ide yang buruk deh."
Nita mengernyit heran. "Kamu sama Dika putus?" tanyanya.
Rina menggeleng.
"So next?"
"Aku ngerasa nggak cocok aja sama Dika."
Nita menghela nafas. "Oke, on what cases?"
Rina kemudian mengernyitkan dahinya. Dia nampak berpikir.
Melihat Rina yang diam dan sedang berfikir, Nita kembali bertanya, "kamu nggak tahu masalahnya apa?"
Rina mengangguk.
"Tapi pengen putus?"
Rina mengangguk lagi.
"Kamu naksir sama orang lain?"
Rina terdiam. "Aku emang pengen punya pacar yang lain, maksudku yang lain dari Dika..." Rina menggantung ucapannya. "Aku pengen punya pacar anak kuliahan deh seenggaknya," lanjutnya kemudian.
"Anak kuliahan? Siapa emang?" tanya Nita penasaran.
"Ya nggak tahu, cuma aku capek pacarannya sama brondong melulu."
Brak!
"Ya ampun!" teriak Nita sambil menggebrak meja. Sontak Rina segera menutup telinganya.
"Ckckckck," dia berbicara dengan kepala menggeleng-geleng.
"Apaan sih. Santai aja kali, nggak usah teriak-teriak. Aku nggak budeg kampret," desis Rina dengan geramnya.
"Emang masalahnya apa sama usia Dika. Selama ini dia bisa ngimbangin cara pikir kamu. Malah menurutku, kayaknya kamu yang lebih kekanak-kanakan daripada dia."
"Bela aja terus. Sekalian pacarin aja tuh bocah," ketus Rina.
"Ih apaan, aku kan lagi mesra-mesranya sama Niko."
"Nah kan, kalau dikasih berondong juga nggak mau kan," cibir Rina.
"Yaaa. Aku kan cintanya sama Niko, makanya aku jadian sama dia. Lagian ya, kalau nggak suka kenapa diterima. Yang nembak duluan tuh bocah kan bukan kamu."
Rina diam sambil meniup-niup poni di dahinya.
"Ya kan dulu aku suka," ucap Rina tak bersemangat.
"Terus sekarang nggak suka?"
Rina mengangguk lemah.
"Nggak suka sama apanya?" tanya Nita lagi.
"Aku nggak mau sama brondong."
"Ya ampun...." ucapan Ita menggantung saat bel pulang berbunyi dengan nyaring.
"Udah deh kayaknya kalau masalah ginian aku nggak bisa bantu. Aku balik dulu ya, Niko udah nungguin."
"Mau ke mana sih?" tanya Rina penasaran.
"Mau mojok..." ucap Nita sambil berlalu.
"Eh, Nit!" panggil Rina.
"Bye Rina..." ucap Nita sambil melambaikan tangannya.
"Yah ditinggalin deh," gumam Rina sambil merapikan alat sekolahnya.
Ddrrrrt ddrrtttt ddrrrtt
Rina melihat sekilas siapa yang kini menelponnya. Dia nampak ragu namun akhirnya nya dia pun menerima panggilan itu. "Halo."
"Halo sayang, udah pulang kan?" tanya seseorang di seberang sana.
"Eemmm, udah bel ini. Aku siap-siap mau pulang."
"Tunggu aku di gerbang ya, aku jemp..."
"Kalau repot enggak usah aku bisa pulang sendiri," potong Rina cepat saat Dika belum menyelesaikan ucapannya. Iya, yang sekarang menelpon Rina adalah Dika, adik kelas yang sekarang menjadi pacar Rina.
"Kamu ngomong apa sih, nih aku udah berhenti di gerbang sekolah kamu. Kamu cepet keluar ya, aku tunggu."
Bip
Dan panggilan pun berakhir. Rina memandang layar ponselnya tak percaya.
"What the...., aaarrgghhh!"
Rina kemudian menggendong ranselnya dan berjalan menuju gerbang sekolah dimana Dika menunggunya. Dia berjalan sambil ngedumel tak jelas.
"Awhhh!"
Rina nyaris saja jatuh ketika tanpa sengaja dia menginjak tali sepatunya yang terlepas. "Ya ampun apa-apaan sih ini." Rina kembali menggerutu sambil berjongkok dan mengaitkan tali sepatunya.
Nampak dua orang siswi berjalan dengan katawa-ketiwi dan menatap genit terhadap suatu objek."Eh lihat deh, tuh cowok cakep bener sih."
"Iya, ya ampun gemes deh."
"Tapi kayaknya bukan dari sekolah kita deh, lihat aja seragamnya."
Rina kemudian mendongak untuk melihat siapa yang tengah mereka. Dan ternyata benar firasatnya, yang dimaksud adalah Dika.
Maunya sih bodo amat, tapi panas juga kupingnya mendengar pacarnya dipuja seperti itu.
"Eh lihat deh, dia ngelihat ke arah kita, ya ampun!" pekik salah seorang gadis dengan rambut sebahunya.
"Ya ampun, dia melambaikan tangan."
Rina hanya mendengus sebal, kemudian dia berjalan melewati ketiga gadis itu. Dia sengaja berhenti tak jauh dari gerbang dan pura-pura mengecek ranselnya. Melihat Sang Kekasih berhenti, Dika pun berjalan menghampirinya.
"Ada apa Rin," tanya Dika saat melihat Rina mengaduk-aduk tasnya seakan tengah mencari sesuatu.
Dasar cewek centil, mampus kalian. Mau ganjen ternyata pacar orang. Rina kemudian menyunggingkan senyum kemenangan sambil melirik ke arah ketika gadis yang semula memuja kekasihnya. Nampak jelas mereka menunjukkan raut wajah kecewa melihat Rina adalah sosok yang tengah dinanti cowok tampan yang ternyata itu adalah Dika.
"Nyariin pujaan hati aku, eh ternyata bukan nya di dalam tas tapi malah udah berdiri di hadapan aku."
Dika cengo.
Ini beneran Rina kan? "Bisa ngegombal juga ya kamu," ucapnya sambil mencubit gemas hidung Rina.
Rina hanya mendongak pasrah sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi.
"Udah yuk," ajak Dika sambil menggenggam tangan Rina.
Saat Rina sedang bersiap memasangkan helm, tiga gadis yang tadi memuja kekasihnya itupun berjalan melaluinya.
"Sayang," panggil Rina manja.
Dika pun menoleh karena merasa dipanggil.
Rina menunjukkan helmnya yang belum dikancing. Dika pun segera meraih kancing helm Rina dan mengaitkannya.
"Iiihhhhh, mau dong dipakein helm," ucap salah satu dari mereka.
Rina hanya memutar bola matanya.
Dika hanya tersenyum melihat tingkah kekanakan Rina. Bahkan hingga Rina sudah berada di atas motor, Dika tak kunjung menyalakan mesin motornya.
"Loh kok nggak nggak cepetan jalan sih," tanya Rina.
Dika kemudian menarik tangan Rina dan melingkarkan di perutnya. Dika kemudian menoleh dan menginterupsi Rina untuk sedikit memajukan kepalanya. "Tahu kan kalau cowok kamu itu keren?"
Rina sama sekali tak bereaksisi, Rina hanya memandang datar kekasihnya.
"Ngerti nggak?" tanya Dika lagi.
Rina pun mengangguk dengan malas.
"Nah, biar nggak di godain cewek lain, deketan dikit kalau aku boncengin," ucap Dika dengan senyum kemenangan.
"Ih nggak jelas," ketus Rina.
"Jelas kok, jelas banget aku keren."
"Ihhh," kesal Rina sambil berusaha menarik tangannya yang melingkar di perut Dika.
Namun sebelum itu terjadi, Dika segera melajukan motornya secara mendadak.
Hampir saja Rina terjengkang jika iya tak kembali mengeratkan pelukannya pada Dika.
Rina kemudian memukul bahu Dika secara brutal sambil menggerutu.
"Udah udah udah, pegangan yang benar, kita lagi dikejar waktu," pungkas Dika.
"Eh kok ke sini sih arahnya, harusnya tadi kan belok kanan kalau mau pulang."
"Emang belum pulang, ini ke sekolahku dulu ya, aku belum selesai meeting," terang Dika.
"Kalau belum selesai ngapain jemput aku segala sih."
"Aku nggak tenang ngebiarin kamu pulang sendirian."
"Tapi aku belum ijin sama..."
"Udah, aku tadi udah izin sama tante," potong Dika cepat.
"Udah sekarang pegangan yang benar," lanjut Dika.
Rina hanya menghela nafas kemudian melakukan apa yang diinstruksikan pacar berondongnya ini. Dika pun mulai menambah kecepatan motornya. Hingga motor pun melaju dengan kecepatan tinggi membelah padatnya jalanan kota.
TBC.
Alhamdulillah, done part ini.
Yang udah mampir semoga suka ya.
Jangan lupa tinggalkan jejak.
Terimakasih.
...*HAPPY READING* ...
Sebuah motor memelankan laju sebelum memasuki sebuah gerbang sekolah yang terbuka itu.
"Pak..." sapa Dika pada satpam yang berjaga di gerbang sekolahnya.
"Dik, ada jaket nggak?" tanya Rina pada Dika.
"Ya ampun, manggilnya jangan gitu bisa nggak sih," protes Dika yang tak suka dipanggil seperti itu oleh pacarnya.
"Kenapa emang?"
Dika tak langsung menjawab, dia masih fokus memarkirkan motornya. Sesaat setelah turun dari motor, Rina segera melepaskan helm dan menyerahkan pada kekasih berondongnya.
"Kalau kamu manggil nama aku kayak gitu, kesannya kayak manggil adik sayang," terang Dika sambil mencubit hidung Rina.
"Emang adik, adik kelas," ucap Rina sambil memanyunkan bibirnya.
Cup!
Benda kenyal tiba-tiba menyambar bibir Rina. Ia melotot mendapatkan serangan kilat dari Dika.
"Apa sih kamu!" protes Rina.
Dika tak lantas menjawab, dia malah membungkuk untuk mensejajarkan tinggi badannya dengan Rina, kemudian berhenti di depan telinga.
"Itu hadiah buat kamu..." bisik Dika setelahnya.
Mendapatkan perlakuan seperti itu, Rina berusaha menjauh. Namun belum juga ia mundur, Dika sudah lebih dulu menahan bahunya.
"Biar kamu enggak ngomong sembarangan," lanjut Dika sebelum akhirnya menegakkan kembali tubuhnya.
Rina hanya bisa menahan geram, namun tak dapat dipungkiri kalau ada sesuatu yang hangat di dadanya. Dika kemudian meraih dan menggenggam tangan Rina membawanya berjalan menyusuri lorong sekolah yang mulai sepi.
"Kamu tadi nanyain jaket?"
Rina hanya mengangguk dengan terus mengikuti langkah Dika.
"Buat apa?"
"Kalau aku bilang dingin nggak mungkin ya?"
Dika tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Mau ngomong apa sih?" tanya Dika pada Rina.
Rina celingak-celinguk memperhatikan situasi di sekitar mereka. Memang sepi sih, tapi setiap ada siswa yang tak sengaja ditemuinya, mereka selalu menatap aneh ke arahnya.
"Aku ngerasa jadi tontonan dengan seragam yang berbeda kayak gini," tutur Rina sambil memperlihatkan seragamnya.
Memang hari ini hari rabu, dimana setiap sekolah mewajibkan para siswa mengenakan seragam identitas sekolahnya masing-masing. Dika dengan celana hitam dan batik krem, sedangkan Rina mengenakan bawahan rok span burgundy dengan atasan batik dengan warna dasar putih tulang.
Dika tersenyum kemudian mengacak rambut Rina.
"Iiihhhhh, apaan sih kamu," protes Rina.
"Ke kelas bentar ya kalau gitu, tadi jaketku masih di sana."
Rina hanya mengangguk dan mengikuti langkah Dika.
"Eh, tunggu bentar," Dika tiba-tiba berhenti di depan pintu sebuah kelas yang Rina perkirakan itu adalah kelasnya.
"Ini kelas kamu bukan?" tanya Rina.
"Ssttttt...., kamu dengar sesuatu nggak?" bisik Dika.
Rina pun turut menajamkan pendengarannya.
"Engh......"
Ya ampun, itu suara hantu bukan ya? Batin Rina.
Brak Brak Brak!
"Woi ini sekolah woi!" teriak Dika di depan pintu kelasnya.
Ya ampun, nih bocah apaan lagi. Masa iya hantu diancam? Rutuk Rina dalam hati.
Tanpa sadar Rina tiba-tiba mengapit kuat sebelah tangan Dika dengan mata terpejam.
"Kamu kenapa?" tanya Dika heran.
"Aku takut, balik aja yuk," lirih Rina dengan suara bergetar.
Dika sedikit mendorong tubuh Rina, agar tangannya lepas dan bisa segera membuka pintu. Namun bukannya lepas, kini Rina malah memeluk pinggang Dika dengan erat. Kaget dengan perlakuan tiba-tiba Rina, membuat Dika sedikit hilang keseimbangan dan menubruk pintu.
Cklek!
Brugh!
"Wah wah wah, si bongsor ternyata."
Dika POV
Jatuh telentang di lantai dengan posisi tubuh Rina menimpaku.
"Wah wah wah, si bongsor ternyata."
Seseorang yang tiba-tiba membuka pintu dan membuatku berada di posisi ini pun tertawa. Rina segera bangkit saat menyadari betapa akward posisi kami saat ini.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku pada Rina yang kini tengah merapikan seragamnya. Dia nampak canggung dan hanya mengangguk.
"Jadi mau gantian tempat nih ceritanya?" ledek Uka.
Aku pun segera berdiri.
"Sialan lu," decih ku dengan mendaratkan bogeman di perutnya.
Bukannya membalas dia malah terkekeh. Rina masih saja menunduk malu, berbeda dengan satu lagi wanita yang tadi membuat polusi suara bersama Uka. Dia dengan santai dan percaya diri merapikan seragamnya yang berantakan dengan kancing yang terbuka di bagian atas. Dia masih saja tak tahu malu seperti dulu.
"Nggak modal banget sih, mojok di kelas."
"Ellah, jangan sok lu. Bukannya lu juga mau?" cibir Uka sambil meraih pinggang Lusi kekasihnya.
"Nggak lah, gila aja," sanggahku.
"Terus ini apa?" ucap Uka sambil menaik turunkan alisnya. Dia kemudian memperhatikan Rina sejenak.
"Dia bukan murid sekolah ini kan?" pekik Uka kala melihat perbedaan yang mencolok pada seragam Rina.
"Yap, dan kita ke sini bukan mau mesum tapi mau ngambil jaket!"
Aku melewati tubuh Ukka yang berdiri di pintu begitu saja. Aku terus melangkah menuju tempat dudukku dan segera mengambil hoodie hitam untuk Rina kenakan.
"Makasih," ucap Rina.
"Ayo", aku ajak Rina untuk segera pergi dari tempat ini.
"Woy, buru-buru amat? Mau kemana!?" Teriak Uka yang berdiri tak jauh dari pintu.
Rupanya Uka tak membiarkan kami pergi begitu saja.
"Bener-bener ya itu anak." Aku berdecih sambil terus membawa Rina menjauh.
"Itu temen kamu?" tanya Rina yang kini mengamit erat lenganku.
"Teman sekelas," jawabku.
"Yang cewek tadi pacarnya?" tanya Rina.
"Emm, iya."
"Aku tadi ngerasa aneh ya sama itu cewek," gumam Rina.
Aku menghentikan langkah dan berbalik menatap wajahnya lekat.
"Iya kan? Kamu juga ngerasa kan?" lanjutnya.
"Emang kamu ngerasa apa?" tanyaku sambil mengangkat dagunya.
"Pandangannya..." ucapan Rina menggantungkan.
"Emmm, susah ngejelasinnya," lanjutnya setelah sempat berfikir sejenak.
"Udah, jangan dipikirin," pungkasku. Aku memeluknya singkat sebelum kembali berjalan.
"Jangan dipikirin juga apa yang mereka lakuin di kelas tadi," bisikku di sela langkah kami.
Langkah Rina terasa memelan. Ia sedikit tertinggal di belakang meski tangannya tengah ke genggam. Tak mau lebih banyak menduga, kuputuskan untuk berhenti saja. Ternyata kudapati Rina menunduk dengan wajah bersemu merah.
"Kok bisa merah gini sih?" tanyaku menggodanya.
Rina tampak cemberut dengan bibir mengerucut.
"Katanya mau meeting, mau sampai kapan berdiri di sini," ucap Rina sambil berusaha menyembunyikan wajahnya.
"Ya udah, yuk."
Aku segera mengajak Rina menuju lab di mana team ku tengah berkumpul. Namun tepat di ambang pintu Rina mendadak menghentikan langkahnya.
"Ka," panggil Rina dengan menahan tanganku.
"Ayo, kok malah berhenti?" heranku.
"Aku tunggu di luar aja ya, enggak enak di dalam cowok semua," kata Rina.
Aku memperhatikan keadaan sekitar. Sekolahku sudah lumayan sepi.
"Udah di dalam aja, ada tempat duduk kok."
Rina kemudian melepas genggaman tanganku dan segera berlari menuju sebuah kursi panjang di bawah pohon tak jauh dari laboratorium ini.
"Aku tunggu sini aja ya, kayaknya adem di sini," ucapnya setelah duduk di sana.
"Tapi kamu ntar sendiri loh."
"Nggak masalah," jawab Rina dengan gerakan tangan seolah tengah menyuruhku masuk segera.
Aku tak segera masuk dan justru menghampirinya.
"Oke. Kamu tinggal masuk kalau udah bosan di luar," ucapku sambil mengusap puncak kepalanya.
Rina hanya mengangguk sambil memperlihatkan senyum manisnya.
Dika POV End
Rina duduk seorang diri di sebuah kursi panjang di bawah pohon. Sesekali dia mendongak menatap langit yang tampak luas tak bertepi.
"Hai," sapa seorang gadis yang kini menghampiri Rina.
Rina yang kini duduk harus mendongak untuk dapat menatap wajah gadis yang tengah berdiri di dekatnya ini.
"Hai juga." Eh, ini cewek yang tadi bukan ya? Lanjut Rina dalam hati.
"Kamu ceweknya Dika?" tanya gadis itu lagi. Tanpa permisi ia tiba-tiba duduk begitu saja di samping Rina.
"Iya," jawab Rina dengan senyum di wajahnya.
"Kenalan boleh dong, kita juga sempat bertemu bentar tadi," ucap gadis itu dengan senyum manis namun tak terlihat tulus.
Rina sejenak menatap gadis itu dan sebelum perlahan mengulurkan tangannya.
"Rina."
"Lusi."
Setelah menyebutkan namanya, Lusi menatap Rina seolah sedang menilai. Perlakuannya ini membuat Rina tak nyaman.
"Sejauh mana hubungan kamu sama Dika?" tanya Lusi setelahnya.
"Maksudnya?" tanya Rina tak paham.
Gadis itu hanya menanggapi dengan senyum misteriusnya.
Senyum macam apa ini. Kenapa aku ngerasa ada yang nggak beres. Batin Rina.
"Ya udahlah, kayaknya nggak ada yang perlu aku khawatirkan dari kamu," ucapnya sambil bangkit.
"Aku duluan ya, bye."
Gadis itu sempat melambaikan tangan sebelum terus berjalan lurus ke depan.
"Rin!"
Rina menoleh saat merasa ada yang memanggilnya. Ternyata ada Dika yang kini tengah berdiri di ambang pintu. Buru-buru Dika menghampirinya saat sadar Lusi baru saja dari sana.
"Lusi tadi ngapain?"
Rina menggeleng.
"Ikut aku ke dalem ya, jangan disini sendiri."
Dika pun segera membawa Rina bersamanya.
TBC
Alhamdulillah, part ini done dear.
Makasih banget ya yang udah mampir.
Jangan lupa tinggalkan jejak.
Happy reading.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!