NovelToon NovelToon

The Ex'S Mission

Her World

Di sebuah rumah dengan isi puluhan kamar kos, seorang gadis cantik dengan kuncir ekor kuda yang tinggi berjalan cepat menuju dapur. Kedua tangannya memegang empat buah mangga yang tampaknya baru dicuci di westafel kamar mandi. Westafel dapur mereka sedang rusak sebab keran airnya patah dan belum juga di perbaiki oleh penjaga kosan.

Gadis itu ternyata sudah di tunggu oleh kedua temannya didapur. Saat mereka berkumpul cepat mereka memulai agenda mengupas kulit mangga untuk dijadikan smoothies dingin yang nikmat di santap di siang hari yang sangat panas ini.

"Kana, jadi gimana? Masa sih lo gak punya rasa sama Kak Aruna? Gila aja! Mahkluk seganteng dan sebaik itu, Kanaaa!" celoteh gadis bernama Mega yang sedang mengupas mangga dengan sebuah cutter sebab kedua teman lainnya sudah memakai semua pisau yang ada di dapur.

"Iya nih si Kana! Aneh banget, semua orang suka sama si Kak Aruna. Dia sendiri doang nih yang jaim ngaku suka. Sebel deh. Selera lo siapa sih? Si Agung joki tiket konser Sheila on 7 itu?!" timpal Dian dengan semangat.

Gadis bernama Kana yang sedang diajak ngomong oleh Dian dan Mega itu lalu tertawa kecil. "Hey, lo boleh aja ngomongin si Kak Aruna. Tapi jangan mendiskreditkan Agung juga dong. Dia itu berjasa banget buat gue. Berkat dia loh gue gak pernah absen acara dan konsernya Sheila on 7! Seneng gue berteman dengan dia tuh!"

"Loh, daripada lo pergi ke konsernya Sheila on 7 sama Agung, mendingan banget sama Kak Aruna," ucap Mega sambil membuang kulit mangga hasil kupasannya.

Alis Kana berkerut, "Emang dia suka Sheila on 7, gitu?"

"Hm! Eh kuncir kuda, jahat emang lo ya! Follow dong twitternya Kak Aruna. Akun lo aja di follow sama dia!" tukas Dian sambil mengacungkan pisau yang ia pegang.

"Oh iya ya?! Ga sadar gue dia follow!" Cepat-cepat Kana meletakkan pisau lalu mengelap tangannya pada lap dapur. Ia langsung membuka ponsel dan akun twitternya. Dengan segera Kana kemudian mengerti apa yang Dian maksud. Ada sebuah cuitan dari akun Aruna Wira Mahendra tentang betapa ia rindu dengan konser band ternama dari Jogja itu yang sudah cukup lama tidak mengadakan konser besar di kota gudeg ini.

Mulut Kana membentuk huruf O setelah membaca cuitan itu dan segera ia menyimpan kembali ponsel di saku celananya. "Oh, I see. Udah gue follow ya Kakak Ganteng lo itu," ujar Kana kemudian sambil menuangkan hasil potongan mangganya ke dalam blender.

"Lagian, kata siapa gue jaim ngaku suka sama Kak Aruna?" Kana membalik badannya dan kini bertatap muka dengan dua sahabatnya itu. "Gue suka-suka aja kok. Lagian dia emang baik orangnya."

Dian memutar bola matanya dengan sebal. "Dih, dia itu baiknya beda ke elo, Kana. Masa lo ga bisa bedain sih? Dia itu baiknya beda karena suka sama lo!"

***

Tubuh Kana terasa berat, ia berusaha memegangi kepalanya yang terasa berputar. Memaksa sekuat tenaga untuk bangun dari posisi yang saat ini ternyata sedang tertidur, jemari Kana bergetar hebat. Ia tahu dan sangat kenal reaksi ini. Lalu dengan terburu-buru, Kana berlari ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutnya sore itu.

Jemari Kana yang masih bergetar mengelap mulutnya dari sisa-sisa muntahan. Ia lalu mengambil sebuah langkah besar melewati muntahannya di lantai dan membuka keran dari selang shower. Air segera mengalir dan membersihkan lantai dari muntahan Kana. Sore itu, Kana berakhir dengan berendam di bathtub dengan baju lengkap setelah begitu lelah menyikat lantai kamar mandi agar tidak menyisakan bau muntah menjijikkan.

Di sela hening dan helaan nafas Kana, ia teringat lagi akan mimpinya tadi. Mimpi-mimpi itu adalah potongan kilas balik dari kejadian hidup yang pernah ia alami. Dan setiap kali terbangun dari mimpinya, Kana selalu merasa mual dan mengigil. Sering kali hal ini yang membuat perempuan muda berumur 24 tahun ini membenci hari libur. Ia lebih baik bekerja terus menerus sepanjang hari tanpa libur dari pada harus diseret pada kenangan-kenangan lama yang menyesakkan jiwa dan perlahan membunuh karakternya.

Kenangan itu adalah bagian dari kesalahan terbesar di hidupnya. Kisah yang sangat Kana sesali. Baginya, kenangan 3 tahun yang lalu adalah bagai merobek jalan pintas kehidupannya menuju jalan pintas neraka. Dan sekarang bagi Kana, hidup yang ia jalani ini tidak ada bedanya dengan kegelapan. Baginya, susah sekali meraih kebahagiaan saat ini. Seolah stok kebahagiaan untuknya sudah habis sebab hari-hari yang telah ia jalani 2 tahun belakangan ini terasa penuh derita. Semua hal yang ia lakukan terasa sulit. Bahkan hanya untuk sekedar tersenyum.

Sudah satu jam Kana berendam, jemarinya mulai keriput dan perutnya terasa lapar. ia beranjak perlahan dari kamar mandi, mengeringkan tubuhnya dan segera berpakaian. Kana membuka kulkas dan mengambil sebuah apel, lalu mencucinya. Ia mengigit dengan keras menyebabkan bunyi 'krauk' yang memecah sunyi. Sambil menikmati hujan dan menunggu rambut panjangnya yang basah kering, Kana menikmati makan malamnya yang memang hanya sebuah apel merah tadi. Sebab, jika karena tidak dilihat orang lain dan agar tubuhnya masih berfungsi untuk hidup, Kana mungkin lebih baik mengunyah udara kosong. Baginya, sulit sekali memperoleh nafsu makan. Ah, jangankan nafsu makan. Nafsu untuk menjalani hari esok saja sudah tidak ada.

Perempuan muda itu berjalan dan berhenti di depan sebuah kalender. Jemarinya menunjuk sebuah tanggal di kolom hari senin. Besok adalah hari kerja dan merupakan hari penting bagi Kana. Ia akan mempresentasikan final project yang sudah ia kerjakan selama 5 bulan terakhir. Menghela nafas, Kana memilih untuk segera tidur saja. Semua hal untuk besok sudah ia siapkan dari waktu yang cukup lama. Dan tidak perduli seberapa keras usaha yang Kana lakukan nanti atau seberapa hebat pencapaian tentang hasil projectnya ini, ia sudah tau akan akhir dari hari senin besok. Ya, akhirnya akan biasa saja. Kana akan dipandang so-so. Tidak hebat, tidak spesial. Yah, meski begitu mau tidak mau Kana bersyukur. Paling tidak ia selalu menerima gaji tiap akhir bulan. Paling tidak, ia bisa menghidupi dirinya sendiri. Paling tidak, ia bisa sekedar... hidup.

Sebelum tidur, Kana duduk tenang sambil memejamkan matanya. ia sedang berdoa. Berdoa pada tuhan tentang betapa terpuruknya Kana sendirian menghadapi hari ini. Namun di doanya, Kana bersyukur, bahwa hari ini akhirnya berakhir pada malam juga.  Ia lalu menghembuskan nafas panjang dan menarik selimutnya. Namun, sebelum ia jatuh pada pelukan lelap, jauh di lubuk hati Kana yang sudah lama ia paksa bisu, ada sebuah nama yang terselip dalam doanya.

"Semoga kamu bahagia disana, tidak merasakan kegelapan, derita, penyesalan, kesepian dan kehilangan seperti yang ku rasakan setiap hari. Selama ini, Aruna."

***

Deru kaki-kaki bersepatu putih bersih berjalan cepat diiringi empat pasang roda dari sebuah tempat tidur besi. Diatasnya terbaring kaku sebuah tubuh dengan kulit pucat. Selang dan masker oksigen yang terikat di mulut pasien tersebut tidak lagi berembun. Seolah organ nafasnya sangat lemah bekerja. Ah, jangankan organ nafasnya, alat vital kehidupan yang ia miliki sekarang tampaknya tidak lagi berdetak.

"Aruna! Aruna! Aruna bangun, Nak! Jangan tinggalkan Mama! Bangun, Nak!" teriak seorang ibu sambil meronta-ronta dipegangi oleh pria tua yang merupakan suaminya. Disamping perempuan itu ada juga menemmani seorang wanita dewasa dengan pakaian necis. Ketiga dari mereka itu bertampang sedih dan penuh derita.

Sementara itu, pasien yang bernama Aruna Wira Mahendra tadi sedang di bawa masuk kedalam ruangan ICU. Begitu pintu tertutup, seorang suster tampak menyerahkan alat kejut jantung pada dokter yang mengulurkan tangan. Suasana mencekam dan penuh fokus saat alat itu menghentak tubuh kurus pemuda tampan yang pucat di tempat tidur. Sekali percobaan, "Lagi!" ucap sang dokter.

Dua kali.

"Aruna! Bangun! Ayo Nak! Mama disini!" gaung suara itu bergema di lorong rumah sakit.

'Beep! Beep... beep...'

"Huuft," Sang Dokter menghela nafas lega mendengar dan melihat alat monitor detak jantung pasien didepannya itu bekerja kembali. Masih tidak melepas fokusnya, ia lalu memerintah pada susternya, "pasang ventilator!"

Selang beberpaa menit saat situasi terlihat lebih terkendali, Sang Dokter mengangguk. Menandakan mereka bisa segera bubar dan menyerahkan pasien pada penjagaan suster di ICU. Sementara sang dokter pergi untuk mengabari keluarga pasien yang histeris di luar ruangan tindakan, sepasang suster yang merapikan tempat tidur pasien dan alat-alat medis lainnya membuka pembicaraan.

"Ikutan gugup saya mbak, pasti itu tadi ibunya sedih banget. Anak ganteng begini, masih muda, sekarat, duh loro ati ku gusti," ucap seorang suster yang terlihat masih muda.

"Iya. Makanya, punya anak ya disayang segenap hati. Kita kan gak pernah tau umur. Kadang yang muda duluan pergi. Cantik, Ganteng, Muda, Kaya bukan jaminan. Waktu adalah hal yang dianugerahkan pada kita. Selama masih diberi waktu, sayangi sebaik dan sepenuh hati orang-orang terdekat kita," ujar suster yang lain sambil mengangguk, menandakan ajakan pergi meninggalkan sang pasien istirahat sejenak lagi.

Ruangan ICU itu sejenak sepi, hanya terdengar bunyi beep teratur dari suara monitor dan detik jam yang menunjukkan pukul 01:30 Fajar.

Seorang suster jaga yang sedang menulis dokumentasi laporan mendadak merinding. Ia lalu melirik ponselnya dan segera paham bahwa suhu ruangan mendadak turun sebab cuacanya ternyata hujan. Notifikasi aplikasi ramalan cuaca menunjukkan 'Thunderstorm.' Badai yang dingin sedang berlangsung di luar sana.

Anehnya, jemari kaki Aruna bergerak-gerak. Ia juga merasakan dingin yang menjalari telapak kakinya. Aruna lalu mendadak terduduk dan segera mendekap tubuhnya sendiri.

"Sial! Dingin banget AC nya!" serunya saat terduduk dan membuka mata.

"Hah? Dimana nih gue?" Ini seperti bukan ruangan kamar apartmen miliknya. Apa ia sedang di rumah orangtuanya?

"Ma?! Pa?!" Aruna menjulurkan kepalanya. Pandangan lurusnya terpaku pada seorang perempuan yang sedang duduk disebuah meja sibuk menulis sesuatu.

"Permisi?!" teriak Aruna. "PERMISI! HEY! HALO!" urat leher Aruna sampai muncul saking ia berusaha membuat perempuan berbaju suster itu melihat padanya.

Alih-alih melihat, suster tadi hanya sejenak berhenti menulis sambil melirik ponselnya. Sedetik yang lalu ada notifikasi dari aplikasi ramalan cuaca pada ponselnya. Suster itu lalu kembali menulis lagi, tidak menghiraukan teriakan Aruna.

***

Halo!

Selamat datang di Novel baru saya.

Semoga suka ya!

Jangan lupa selalu dukung saya ya! Agar semangat mengisi waktu pembaca yang baik dengan karya jemari-jemari dan ide halu saya!

Stay safe!

Love,

Author

His World

Seorang lelaki muda berperawakan tinggi dan tegap sedang terlihat sibuk menyiapkan diri. Ia mondar mandir beberapa kali dari satu tempat ke tempat lain, dari ruangan satu ke ruangan lain, sambil membawa-bawa tas selempang berwarna hitam. Setelah semua dirasa komplit, tas itu ia letakkan di tempat tidur dan ia menyempatkan diri berkaca sambil menyematkan jaket komunitas Harley yang baru ia dapatkan seminggu yang lalu. Di jaket kulit itu terukir nama "Aruna Wira Mahendra."

Hari Minggu pagi ini adalah hari pertama kali Aruna akan touring bersama komunitas motor Harley setelah resmi diangkat menjadi anggota. Aruna merasa sangat bersemangat. Terlebih lagi komunitas yang ia masuki ini terkenal elit. Semua anggotanya termasuk dalam jejeran pemilik black card, sebuah kartu akses ke fasilitas elit sebagai jaminan bayar sebab sudah diakui oleh bank mengenai saldo diatas 10 Juta USD.

Pencapaian ini membuat dada Aruna semakin sesak dipenuhi oleh rasa adrenalin yang membuncah. Kehidupannya dua tahun belakangan ini benar-benar seperti diatas awan. Sukses di awal karir, bisnisnya mulai meraup keuntungan, investor dan jaringan bisnis yang mulai bermunculan di tiap daerah merupakan mimpi-mimpi masa kecilnya yang mulai terwujud satu per satu.

Sebuah pintu garasi samping rumah yang sangat besar perlahan membuka dengan bunyi 'nit...nit...nit...' menampilkan pemandangan pria gagah di atas motor Harley yang mengkilap. Suara deru knalpot yang halus namun berat penuh wibawa seakan mengumumkan betapa mahalnya harga kendaraan yang ia tunggangi itu. Aruna lalu menggembungkan dadanya, mengisi paru-paru dengan sebanyak oksigen yang dapat ia hirup. Hidupnya seperti sangat sempurna hari ini.

"Hati-hati, Den Aruna!" ucap seorang petugas keamanan saat melepas Aruna pergi.  Sementara seorang petugas keamanan yang berada di dalam pos yang mengoperasikan buka-tutup gerbang hanya melambai dengan tersenyum.

Begitu rekan satpamnya masuk, si petugas buka-tutup gerbang itu membuka pembicaraan. "Eh, Ujang! Bukannya anak itu baru pulang selepas shubuh tadi ya? Sudah pergi lagi? Bah, udah kayak Ironmen ku tengok!"

"Yah, namanya juga anak muda, Bang Togar! Biarlah! Mumpung masih sendiri, katanya tahun depan mau dinikahkan dia sama Bos Besar," jawab Si Ujang sambil mengipasi dirinya dengan topi.

Togar lalu mendengus kesal, "nge-fans kali kau sama dia ya ku tengok! Tak tau aja kau dia itu cacat juga sebenarnya!"

"Ah, cacat gimana bang? Ganteng, rupawan, tegap, putih, ningrat pula!"

"Duda dia itu, duda! Udah pernah nikah itu dia! Diceraikannya perempuan itu! Macam habis manis sepah dibuang!" Kata-kata Togar barusan diucapkan dengan nada kesal tertahan. Ia tahu kalau ia tidak bisa sembarangan membicarakan 'Sang Bos Muda.'

"Masa sih, Bang!" Ujang langsung merubah raut wajahnya, antara terkejut dan sangat ingin tahu. Muka Togar yang tampak serius seperti menjanjikan sebuah obrolan yang akan mengubah pandangannya terhadap sosok Aruna.

Membenarkan posisi duduknya, satu tangan kanan Togar menutup pintu sementara tangan kirinya berpangku di lutut. "Brengs*k juga dia itu, tau kau?! 3 tahun lalu dia nikahi adik kelasnya di kuliah. Pongah dia sok bergaya menentang keluarga besar ini. Setelah nikah, habis dinikmatinya manis perempuan itu, ditinggalkannya! Balik lagi dia ke rumah ini. Sebab uang dan harta ini membuatnya sadar bahwa berjuang membangun rumah tangga bersama mantan istrinya itu tidak masuk akal. Sekarang melenggang macam tak ada dosa dia, itu!"

"Hah, gimana-gimana bang?! Dia udah pernah nikah bang?"

"Iya! Udah hamil istrinya, tega dia niat ceraikan, tau kau?! Dulu dia nikah di tentang habis-habisan sama orangtuanya. Gengsi orangtuanya menerima perempuan biasa jadi menantu. Dulu kagum kali aku, bah! Ku pikir tak sama lah anak muda satu ini dengan orangtuanya yang sombong itu. Maunya dia sama perempuan dari kalangan biasa. Eh, setelah setahun, tak tahan juga dia hidup tanpa uang orangtuanya. Ditinggalkannya istrinya itu! Disitu lah habis rasa hormatku sama dia," jelas Togar sambil mulai menghidupkan rokoknya.

Setelah dua kali hembusan, Togar kembali berkomentar. "Sekarang gonta-ganti dibawanya perempuan. Dari kalangan-kalangan terhormat. Hanya karena kaya bisa dia hapuskan sejarah kelam itu. Sekarang sudah macam pria terhormat tanpa cela."

"Lalu kenapa kau sepertinya benci kali, bang?" tanya Ujang perlahan. Mendadak wajah istrinya terlintas di pikirannya. Betapa ia bersyukur bahwa Elis, istrinya, mencintai dirinya tanpa pandang harta.

"Sebab malam mereka bercerai, ku saksikan sendiri dengan mata kepalaku di depan gerbang rumah ini. Menangis histeris perempuan itu, saking sedihnya dia, sampai tiba-tiba perempuan itu memegangi perutnya kesakitan. Mengucur darah dari kakinya. Kau tahu apa yang anak itu lakukan?" Mata Togar membesar dan wajahnya memerah marah. Ujang sampai menelan ludah menunggu kelanjutan cerita Togar.

"Pergi dia, Ujang! Di tinggalkannya perempuan itu berlutut menangis dan penuh darah. Begertar seluruh badan dan tanganku. Untung masih bisa ku tahan amarahku karena ingat bekerja disini sumber penghasilanku. Kalau tidak, Ujang, lepas ku masukkan ke ambulan perempuan itu sudah pasti kucari dia di kamarnya, ku hantam dia pakai tinju ini!" Togar menghembuskan nafasnya, melepaskan amarah.

"Sudah berlalu dua tahun, tetapi tiap kali hujan deras, masih terngiang di ingatanku tangis perempuan itu di depan gerbang. Rasa bersalah kadang-kadang masih terasa, kenapa tidak ku hantam muka anak kurang ajar itu," ucap Togar sambil menghempaskan diri bersandar di kursi.

Ujang menutup mulutnya yang sedari tadi ternganga mendengar kisah kelam Aruna. Ia memang baru 3 bulan bekerja disini. Belum banyak hal ia dengar tentang Aruna maupun keluarga ini. Tetapi Ujang tahu bahwa ia tidak pernah mendapat perlakuan ramah dari kedua orangtua Aruna.

"Bang," sapa Ujang takut-takut. Ia menelan ludah saat Togar menatapnya. "Perempuan itu, mati bang?"

Tentu saja itu adalah pertanyaan logis. Angan-angan Ujang sudang membayangkan hidupnya akan di penuhi oleh kengerian kisah mistis hantu perempuan yang menangis di depan gerbang saat sedang bertugas jaga malam.

"Ah, kau ini. Kebanyakan nonton sinetron kau! Tak kau simak ceritaku? Kan sudah ku tolong! Ku telepon ambulan, ku gendong, ku masukkan ke dalam ambulan! Sudah di tangan yang tepat dia!"

"Tapi, abang yakin dia selamat?" tanya Ujang masih dengan nada curiga.

Togar mendecak kesal. "Selamat, dah pernah jumpa beberapa kali aku sama perempuan itu. Yang bikin aku marah adalah, dulu seingatku perempuan ini...ah siapa namanya ya, lupa aku! Si.. Si.. Beti lah umpama ya. Si Beti ini cantik dan enerjik! Sekarang suram kali dia. Macam bunga layu! Jauh beda dari yang pernah ku lihat sebelum dia ditinggalkan si Aruna!"

"Oh, saya pikir dramatis. Si perempuannya mati, lalu jadi hantu. Hiii!" ucap Ujang sambil memeluk dirinya sendiri berlagak ngeri.

Alis Togar malah semakin berkerut, "drama kali kau, bah!"

Diam sejenak, Togar lalu berkata lagi, "sesekali aku sering berjumpa dengan Si Beti itu. Ah! Kana! Kana namanya. Baru ingat aku!"

"Kalau membahas seperti ini lagi rasanya ada panas di dadaku. Entah dendam entah kesal. Aku dan istriku bertahun-tahun menunggu dikaruniai anak. Sementara cecunguk muda ini, sudah kaya, tampan, hidup enak, bisa menikah muda, dapat istri baik, pintar dan cantik lalu langsung bisa punya anak, malah dia sia-siakan semua karunia Tuhan itu. Benar-benar tidak bersyukur!" Diujung ocehannya, Togar menekan mati puntung rokoknya di asbak.

Ujang menelan ludah, seketika sosok majikan mudanya itu tak lagi bersinar seperti sebelum mendengar cerita Togar. Jika benar Aruna meninggalkan Kana hanya karena lebih memilih kembali kepada orangtua dengan alasan hidup bergelimang harta, sungguh rasanya itu jahat sekali. Ujang menghela nafas. Ia menatap derasnya hujan dari jendela pos. Rasanya, ia tidak ingin mendengar cerita Togar. Cerita gelap itu, sungguh tidak pernah cocok dengan sosok Aruna yang selama ini ia lihat.

***

Langit semakin gelap, iring-iringan tour motor komunitas Harley yang disegani di Kota ini tampak sedikit memacu kecepatan untuk sampai pada titik rest area terdekat. Seorang Road Captain mengirimkan signal untuk mengurangi kecepatan karena gerimis mulai turun membasahi jalanan.

Aruna mengerjapkan matanya dan menahan nafas saat seorang sweeper tengah melanjutkan pemberian sinyal untuk kelompok belakang termasuk dirinya.  Ini adalah touring pertamanya, Aruna berharap perjalanan ini bisa mulus, dan gerimis ini sungguh membuatnya tidak senang.

Sebuah motor perlahan mendekati Aruna, ia adalah sweeper belakang yang mendahului beberapa pengemudi. "Bro, kita pisah kelompok dulu. Yang depan udah terlanjur basah kena hujan. Kita stop dulu, berhenti di depan ada warung warga."

Aruna menggeleng, ia yakin hanya tinggal 10 menit lagi akan sampai di rest area sebagai tempat pemberhentian pertama sesuai rencana. Ikut berhenti saat ini di warung warga akan membuatnya kehilangan kesempatan untuk mengobrol dekat selama istirahat dengan senior-senior di klub ini yang urutan motornya ada di depan rombongan. "Gue ikut rombongan depan aja, bro!" balasnya sedikit berteriak dan langsung memacu kecepatan motor mengejar sweeper tengah dari kelompok depan.

Tak lama, Aruna kini sudah bergabung dengan kelompok tengah. Dan sesuai dugaannya, meski cukup basah diguyur hujan, ia sudah sampai di rest area kurang dari 10 menit. Senyumnya terukir saat memarkirkan motornya. Segera Aruna turun dari motor dan hendak bergegas bergabung bersama para senior elite di bawah atap rest area. Sambil setengah berlari, ia melepas tali pengaman helm.

Namun, aneh. Saat Aruna melepas helmnya, bukan rombongan para senior yang ia lihat. Aruna justru kini menatap langit dan bulir-bulir hujan yang jatuh mengenai wajahnya. Tiba-tiba telinganya berdengung sampai ia tak lagi bisa mendengar apapun. Dari kedua lobang hidungnya, mengalir cairan hangat. Aruna mengerjapkan matanya beberapa kali dan berusaha menggerakkan badannya, tapi tidak bisa. Satu menit kemudian, ia melihat rombongan senior yang ia tuju tadi mengerubungi dirinya dengan tatapan ngeri dan panik.

Sementara itu, ditengah rintik hujan yang kian deras dan rombongan ramai orang-orang di lokasi tergeletaknya tubuh Aruna, sebagian orang sibuk mengamankan lokasi dan sebuah truk yang terguling hingga ke sisi parkiran motor di rest area.

Beberapa detik yang lalu, baru saja terjadi sebuah kecelakaan tunggal sebuah truk pasir besar yang rodanya tergelincir jalan yang licin. Badan mobil lori yang besar itu terbanting ke arah parkiran motor dan menubruk seorang pengendara yang sedang memarkirkan motor seketika.

***

 

 

 

 

 

 

Time

"There is a fine line between life and death. It’s called Time" - by Cheryl Haggard

Lelaki muda dengan poni yang berantakan duduk di ujung tepi lantai teratas gedung rumah sakit. Ia tidak lagi merasa takut sebab ia benar-benar sudah mencoba berkali-kali untuk menjatuhkan diri namun nyatanya ia malah kembali lagi pada tempat ia berdiri. Kesimpulan yang ia dapatkan adalah, saat ini ia sedang tidak hidup dan juga tidak bisa mati. Di dalam kebingungan dan kekalutannya, ia mencoba duduk tenang dan mencari penjelasan yang bisa ia terima tentang keadaannya saat ini.

"Aruna, selamat malam..."

Secepat kilat lelaki muda itu membalik badannya mencari suara yang menyapanya. Arah pandangnya menyapu seluruh arah di tengah kegelapan malam dan dinginnya cuaca. Tidak ada siapun. Aruna menghela nafas lagi, ia berusaha keras mengendalikan diri dari kebingungan dan kekalutan yang berkecamuk di kepala dan dadanya saat ini.

Baru saja Aruna kembali duduk ke tempat semua, seseorang berbaju piyama putih bersih dan bercahayaar mendadak muncul dengan senyum lebar.

"Waaaaaaaa!!!"

Terpelanting jatuh tiga langkah ke belakang, Aruna mencengkram dada saking kagetnya. Makhluk kurus berpiyama putih itu tampak merasa bersalah telah mengejutkan lelaki muda malang didepannya, tapi juga tidak bisa menahan tawa.

"Haha, ubbpphhff, haha, ups! Maaf. Maaf sudah mengejutkan kamu, Aruna. Jangan takut," bujuk makhluk berbaju putih itu.

"Siapa kau? Malaikat maut ya?" tanya Aruna masih dengan raut terkejut.

Cahaya putih perlahan memudar, memperlihatkan jelas bahwa makhluk tersebut berupa seorang lelaki muda juga. Dari perawakannya terlihat seperti hanya terpaut satu dua tahun lebih tua saja dari Aruna. Lelaki berpiyama putih itu melompat turun dari tepi dinding tempat Aruna duduk dan terperanjat jatuh tadi. Ia berjalan mendekati Aruna dan mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku, tetapi aku punya tugas untuk membantu mu," jawabnya singkat saat Aruna sudah berdiri.

Alis aruna berkerut, "membantu apa? Memangnya aku butuh bantuan apa?"

Si Piyama putih mengangkat bahunya, "memangnya kau tidak bingung kenapa keadaanmu seperti ini?"

Menghela nafas, Aruna berjalan perlahan menjauhi Si Piyama putih sambil menatap langit. "Apa aku sudah mati?" tanyanya kemudian.

"Belum. Kau berada diantara itu," jawab suara dari belakang Aruna.

"Lalu, apakah aku bisa hidup kembali?"

"Kau akan tahu jawabannya nanti."

Jawaban barusan membuat Aruna berbalik dengan perasaan berat. "Maksudmu aku akan mati?"

"Kita semua akan mati. Semua yang hidup pasti akan mati, kan? Hanya saja kita semua menunggu waktu yang tepat."

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Menunggu?" tanya Aruna lagi.

"Well, kau bisa menunggu... untuk waktu yang lama. Sangat lama, mungkin hingga kau bosan. Dan sangat bosan. Atau, kau bisa mempercepat masa tunggu ini," kata Si Piyama Putih sambil berjalan mendekati Aruna.

"Caranya?"

"Menyelesaikan apa-apa yang belum kau selesaikan, Aruna."

Aruna menghela nafas panjang. "Pekerjaanku, ah benar! Tender Pak Tedy belum ku tandatangani, Project Skywave bisa tertunda karena ini. Ah, aku harus--"

"Bukan itu!" potong Si Piyama putih.

Alis Aruna terangkat seolah berkata 'lalu apa?' tanpa suara.

Si Piyama putih lalu tersenyum. "Aruna, hal-hal semacam yang kau khawatirkan tadi itu sangat tidak berguna. Pegang tanganku sekarang, agar kau mengerti kenapa hal semacam tadi tidak patut kau khawatirkan."

Meski sedikit meragu, Aruna meraih tangan yang terulur didepannya dan detik itu juga lantai tempat ia berpijak amblas dan membawanya jatuh melayang diantara cahaya putih yang membutakan.

***

Di sebuah ruangan kantor megah dengan tatanan modern dan terasa sangat nyaman, cahaya mentari pagi masuk dengan leluasa dari arah jendela besar di ujung ruangan. Pemandangan dari jendela itu pun sangat luar biasa. Langit begitu cerah, dan pemandangan taman kota dari lantai 55 gedung ini benar-benar mencerminkan keistimewaan status pemilik ruangan ini.

Tepat disebuah meja kerja kaca mewah, terdapat sebuah papan nama akrilik bertulisan nama 'Aruna Wira Mahendra' sebagai seorang direktur. Benar. Ini adalah perusahaan milik Aruna, namun aneh. Seharusnya ruangan ini dikunci, tetapi kenapa ada seseorang yang duduk di kursi tamunya?

"Ini kantorku, seharusnya ruangan ini di tutup selama aku terbaring di Rumah Sakit, kan?" tanyanya tanpa menoleh pada Si Piyama putih. Ia lalu berjalan mendekati orang yang sedang duduk di kursi tamunya. Dan seolah ada iblis di depan Aruna, wajahnya tiba-tiba berubah bengis.

"Elo! Sial! Ngapain lo ada di kantor gue? Berani-beraninya lo datang kesini, hey!" teriak Aruna tepat di depan wajah seorang pria gemuk yang sedang duduk nyama tak bergeming.

"Dia gak akan bisa dengar dan melihat lo, Aruna. Tenang dan perhatikan saja," ujar Si Piyama putih sambil berjalan-jalan melihat isi ruangan Aruna.

Tak berapa lama, ada suara tawa dari arah pintu masuk dan sangat familiar di telinga Aruna.

"Selamat Pagi, Jay! Terimakasih sudah mau datang," sapa seorang bapak tua yang tak lain adalah Papa Aruna.

Lelaki yang disapa Jay tadi dengan cepat berdiri dan menyambut kedatangan Papa Aruna dengan uluran tangan. "Pagi, Pa!" jawabnya dengan senyuman lebar.

"Maaf harus mendadak memintamu pulang dari London. Barang-barang mu bahkan masih di lobby. Apakah kamu perlu minuman untuk meredakan jetlag?" tanya Papa Aruna - Abraham Mahendra sambil memberikan gestur mempersilahkan Jay duduk kembali.

"Tidak, terimakasih, Pa. Saya... turut berduka dengan kabar kecelakaan Aruna. Pasti berat banget untuk Papa dan Tante Lastri. Saya ikut sedih," ucap Jay dengan tatapan iba.

"Dasar ular! Penipu! Lo gak pernah simpatik dengan gue! Lo adalah orang yang paling senang kalau gue mati, bangs*t!" Aruna kehilangan kesabarannya, ia berusaha meninju sosok Jay tapi sayang, kepalan tinjunya hanya seperti menembus angin saja.

"Sepulang dari sini, saya akan mampir dan menjenguk Aruna, Pa!"

"Gaperlu! Gue gak butuh!" teriak Aruna lagi, yang tentu saja tidak ada gubrisan dari orang-orang didalam ruangan.

Pak Hendra mengangguk pelan dengan air muka yang sedih. "Kasihan Aruna, dia masih sangat muda dan begitu gemilang. Semua kerja keras dan pencapaiannya sampai saat ini sangat berhasil. Tapi tiba-tiba keadaan sangat jauh berubah seperti ini. Sudah hampir dia minggu ia masih belum siuman juga."

Ada helaan nafas berat sebelum Pak Hendra kembali berbicara. "Walau bagaimanapun, bisnis ini harus tetap berjalan. Permasalahannya adalah, ada banyak hal yang harus segera ditangani dan diambil keputusan demi berjalannya kembali kantor ini. Papa punya permohonan... dan meski memberatkanmu, tolong bantu Papa, jangan menolak permohonan ini," ucap Pak Hendra sambil menunduk lesu.

Aruna yang sedari tadi duduk disamping Papanya menggelengkan kepala dengan keras. "No, Pa! No! No! Please don't do that!"

"Tolong gantikan Aruna dan jalankan perusahaan ini," Pak Hendra menahan nafasnya saat mengucapkan kalimat ini, menandakan bahwa ini juga merupakan keputusan yang berat untuknya.

Jay terdiam, air mukanya datar dan ekspresinya tidak terbaca. "Tapi Pa, sekolah PhD saya-"

"Cuti dulu dari program doktoral kamu, Jay. Maaf harus mengalihkan beban ini ke pundakmu," ucap Pak Hendra pelan.

Suasana menjadi sangat hening hingga Jay dan Pak Hendra keluar ruangan. Sementara itu, Aruna masih duduk memegangi kepala dan sesekali mengusap muka hingga rambutnya.

Sanjaya Mahendra adalah anak dari madu Ibu Aruna. Saat itu, ibu Aruna sudah sangat ditekan oleh keluarga besar karena tak kunjung hamil. Padahal sudah melakukan berbagai pemeriksaan dan usaha medis lainnya termasuk mencoba metode in vitro fertilization (IVF) atau bayi tabung. Terpaksa, Abraham Mahendra harus menikahi seorang perempuan muda lainnya demi mendapatkan keturunan.

Hidup terkadang memang suka bercanda dan menguji iman. Tepat sebulan setelah pernikahan kedua Abraham Mahendra dengan Kaliandra, ibu dari Sanjaya Mahendra, Lastri justru hamil anak pertama mereka. Prahara terjadi dikarenakan Lastri yang murka akan tekanan yang selama ini ia hadapi. Lastri menuntut semua haknya dikembalikan. Yakni kemampuannya menghasilkan keturunan diakui, juga sebagai istri tunggal Abraham. Baru setahun pernikahan Abraham dan Kaliandra, mereka harus menghadapi perceraian, tepat setelah kelahiran putra mereka, Sanjaya.

Konflik terjadi karena meski Aruna adalah keturunan Abraham, tetapi Sanjaya juga memiliki darah konglomerat itu. Terpaksa Abraham meminta agar Kaliandra dan Sanjaya untuk hidup jauh dari keluarga Abraham dan Lastri.

Kaliandra merasa tidak diperlakukan adil, terlebih lagi karena kehadiran Sanjaya dipelukannya. Dengan masih menyimpan dendam pada Lastri dan keluarga besarnya, Kaliandra menuntun sejumlah harta yang sangat besar demi jaminan hidupnya dan Sanjaya. Persetan ia dikata sebagai makhluk penghisap darah, baginya kebahagiaan hidup Sanjaya adalah segalanya.

Yang membuat Aruna membenci Sanjaya adalah karena ia tahu, dendam Kaliandra turun dan mengalir pada anaknya. Di setiap kali ada kesempatan, maka Kaliandra dan Sanjaya tidak segan menelusup masuk mencoba mengambil alih dengan dalih darah Hendra mengalir juga pada Sanjaya.

Ya, hal itu pula lah yang menyebabkan Aruna mencoreng sejarah hitam dalam hidupnya. Yakni meninggalkan istri sahnya demi mempertahankan tahta keluarga Mahendra agar tidak jatuh ke tangan Sanjaya dan Kaliandra sebagai satu-satunya keturunan Mahendra dan Lastri.

Aruna kembali menghela nafas, ia merasakan tangan dan kakinya begitu dingin. Perlahan perasaan putus asa menelusup kedalam lubuk hatinya. Beginikah rasanya mati? Segalanya akan direnggut paksa oleh orang-orang yang masih memiliki nafas?

"Hey, Aruna, mau aku bantu simpulkan? Terkadang yang kamu anggap penting dalam hidup ternyata tidak seberarti itu. Setelah kamu tak lagi disana, dunia dan seisinya masih akan terus baik-baik saja," lirih Si Piyama putih sambil bersiur memaparkan mukanya pada sinar mentari pagi.

Perlahan, Aruna mengangkat wajahnya dengan mata sembab. "Aku sudah mengerti. Dan jika aku sudah mengerti berarti waktu ku sudah tiba, kan? Aku akan mati?" Tanpa sadar, air mata jatuh membasahi kedua pipi Aruna. Ia mulai menangis, lalu semakin keras, dan akhirnya menghempaskan diri di sofa tak berdaya.

"Tidak, atau mungkin belum. Kau akan tahu jawabannya nanti. Kan sudah pernah ku bilang," jawab Si Piyama putih.

Si Piyama putih lalu mengulurkan tangannya, "Aruna, kau akan tahu jawabannya setelah tugasku selesai. Jika kau mau tahu jawabannya, maka kau harus bekerjasama denganku. Begitulah syaratnya. Jika kau tidak mau, maka kau akan terus menunggu."

Masih mengulurkan tangannya, ia melanjutkan, "jabat tanganku dan aku akan sebutkan namaku. Begitu kau mendengar namaku, maka kontrak kita akan terikat."

Aruna menoleh lemah dan menjabat tangan si Piyama putih tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Namaku, Chas," ucap Chas, Si Piyama putih. Sebuah tali berwarna putih berpendar melingkari tangan Chas dan Aruna yang masih terjabat.

"Tugasku adalah, membantumu menyelesaikan sesuatu yang belum kau selesaikan," lanjutnya lagi.

Masih dengan suara lemah, Aruna bertanya, "semua yang tak ku selesaikan sekarang baik-baik saja seperti yang kau bilang tadi, kan? Jadi tugasmu sudah selesai!"

"Tidak, belum. Ada seseorang yang tidak baik-baik saja setelah kau tinggalkan. Dan kau harus menyelesaikan sesuatu tersebut, hingga orang tersebut baik-baik saja."

Aruna tidak sepenuhnya memahami apa yang Chas ucapkan. Tetapi ia merasakan sesuatu yang sangat berat di dadanya. Seolah dadanya di timpa ribuan ton batu bata.

"Apakah kau merasakannya sekarang?" tanya Chas dengan mata berbinar.

Chas mendekatkan wajahnya lalu berkata dengan wajah puas, "Aruna, Itu adalah beban yang kau tinggalkan, sembunyikan dan selalu berusaha lari dari semua kesibukanmu. Itu adalah perasaanmu... pada Kana, mantan istrimu."

***

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!