NovelToon NovelToon

THE LOST EMPRESS

1. PROLOG: Festival Zhong Qiu Jie

(Kota Xi'an, China, 1 Oktober 2020)

Brukk!!

Bunyi berdebam menguar dari ruang depan apartemen sederhana milik Zhao Zhangyi. Tak dipedulikan oleh sang empunya yang meringkuk malas di tempat tidur kecilnya.

Pasti bocah itu tersandung lagi, pikirnya.

Sementara di sisi lain, sinar matahari sudah menyilau dari ufuk timur. Menembus jendela kaca apartemen di sudut barat Xi'an yang meriah. Menyoroti sepasang tangan pria kurus yang cekatan mengolah sarapan di sudut dapur.

"Zhang-jie*, sarapan sudah siap!" teriak si pria yang tak lain adalah adik kandung si empunya hunian.

(jiejie artinya panggilan untuk kakak perempuan)

"Aku akan pergi ke Toko Bao untuk membeli kue bulan sekaligus ke tempat teman-teman," tambahnya.

Tak ada sahutan. Zhangyi hanya menggerak kepalanya sedikit sambil menatap pintu di balik kamarnya. Berharap adiknya bisa merasakan tatapannya, lalu segera pergi. Ia masih mengantuk.

Lima belas menit lagi, batinnya.

...****************...

Zhangyi sudah lelah menelusuri gambar di ponselnya ketika matanya tertumbuk pada lukisan yang tergantung di dinding seberang tempat duduknya. Lukisan seorang wanita agung peninggalan mendiang ibunya.

Ratu Shen, begitu kata ibu saat Zhangyi kecil penasaran dengan sosoknya.

Lukisan itu berbentuk sketsa wajah cantik yang begitu detail, dengan kertas lukis menguning dalam pigora yang menua termakan zaman. Entah sudah berapa lama lukisan itu, Zhangyi tak pernah bertanya pada ibunya. Ia hanya tahu, itu adalah salah satu leluhur yang menjadi kebanggaan ibunya.

Bahkan ketika beranjak di bangku sekolah, ia akhirnya sedikit mengetahui sejarah Ratu Shen dari mata pelajaran di sekolahnya. Namun, tidak ada cerita spesifik atau istimewa mengenai sosok tersebut karena posisi Ratu tidak begiu mendominasi di zaman dahulu, selama Raja masih menjadi Kepala Pemerintah. Yang mana emansipasi wanita jelas belum ada di masa itu.

Tiba-tiba ponselnya bergetar menyentak kesadaran Zhangyi.

"Halo Zhang-jie, apa kau sudah makan?" Suara di seberang terdengar diiringi tawa di belakangnya.

"Ya, aku sudah makan. Kapan kau kembali?" jawab Zhangyi sambil menyomot cemilan keripik kentang di atas meja.

"Mungkin nanti sore setelah aku dan teman-teman berkumpul, Kak. Aku sudah bilang kau akan ikut kami ke Kelenteng dan berjalan-jalan nanti malam. Jadi pastikan kau sudah siap saat aku pulang nanti."

"Ya."

Tak lama, sambungan terputus. Zhangyi berdiri dan berjalan menuju kamarnya kembali. Ia berencana malas-malasan karena saat ini ia libur lebih panjang dari biasanya karena Festival Zhong Qiu Jie* di pertengahan musim gugur. Syuting film di ibukota dihentikan sejenak untuk perayaan kali ini. Jadi, baik stuntwoman seperti dirinya maupun seluruh kru film akan libur dan pulang ke keluarganya untuk merayakan.

(Zhong Qiu Jie adalah festival musim gugur atau Tiong Ciu di setiap bulan purnama tanggal 15 bulan 8 penanggalan Tionghoa. Perayaan panen raya yang identik dengan kue pia/kue bulan khas Tionghoa.)

...****************...

Berenam, mereka berjalan menuju Kelenteng Agung yang berada dekat dengan taman kota. Suasana hiruk pikuk memenuhi jalan. Pedagang-pedagang di pinggiran seperti food street tak luput menyajikan kue bulan sebagai pendamping khusus di festival kali ini. Bertahtakan lampion-lampion merah menyala di atas kepala dan ornamen naga juga ikut memeriahkan.

Zhangyi datang bersama empat teman dekat adiknya, Yuanli, yang sudah seperti keluarga baginya juga, untuk bersembahyang di Kelenteng Agung. Bergantian mereka mengambil dupa yang sudah disiapkan disana.

Tak sengaja, mata Zhangyi bertemu dengan mata seorang pria. Seseorang yang amat dikenalnya sejak kecil. Matanya mengekori tubuh si pria yang bergerak kearahnya.

"Yi'er, benar ini kau?" ucap si pria dengan senyum menawannya dan berdiri di depan Zhangyi seraya memegang kedua pundaknya takjub.

Zhangyi mengangguk masih dalam keterkejutannya sendiri.

"Wah, Zheng-gege*!"

(gege adalah panggilan untuk kakak laki-laki)

Ucapan Yuanli menyadarkan Zhangyi yang kemudian tersenyum kaku dan beringsut sedikit malu. Jiang Liuzheng, teman masa kecilnya yang sudah lama tidak bertemu.

"Kau sudah kembali kemari, Kak. Kenapa tidak mengabari kami, eh?" tanya Yuanli.

"Aku baru sampai dari Jerman siang ini dan sebenarnya akan mengabari kalian esok setelah selesai membereskan barang-barangku di rumah. Ternyata, takdir mempertemukan kita disini." Mata Liuzheng menyipit karena senyumnya melebar menatap Zhangyi dan yang lain.

Usai sedikit bercuap-cuap, mereka pun memutuskan berjalan bersama menyisir jalanan sambil acapkali berhenti membeli makanan di pinggiran.

Zhangyi sesekali menanggapi cerita dua orang teman perempuan adiknya sambil mencuri pandang pada Liuzheng yang berjalan bersama para pria di depan mereka. Menatap rambut pendeknya yang tertiup angin musim gugur yang hangat. Betapa ia rindu memegang rambut itu, pikirnya.

"Lihat, di ujung sana ada tenda peramal!" Salah seorang perempuan pejalan kaki di samping Zhangyi memekik senang sambil menunjuk ke ujung jalan. Mereka bertujuh pun ikut mengarahkan pandangan kesana.

Tenda hitam kecil, berhias bordir emas berbentuk naga tampak berbeda dibanding tenant penjual makanan di sekitarnya yang rata-rata berwarna merah.

"Kak, ayo kita coba kesana!" ajak dua teman perempuan Yuanli kepada Zhangyi yang tanpa bantahan mengekori. Mereka pun berjalan disusul oleh empat pria di belakangnya.

Antrian belum banyak, hanya ada dua orang perempuan yang tadi memekik di samping Zhangyi, berada di depan mereka.

Tiba giliran Zhangyi sendiri, ia gugup tanpa sebab, lalu menoleh ke belakang menatap Yuanli dan Liuzheng yang membalas tatapannya.

"Apa Zhang-jie takut masuk kesana?" tanya Yuanli menyadari kegugupan kakaknya.

"Tidak. Hanya berpikir apa yang akan kutanyakan padanya," jawab Zhangyi terkekeh kecil menutupi kegugupannya yang aneh.

"Cobalah peruntunganmu, mungkin kau bisa tahu kapan jodohmu datang, Yi'er." Liuzheng tersenyum kecil mencoba menenangkan Zhangyi.

Zhangyi berjalan masuk ke tenda hitam. Aroma dupa menusuk hidung mancungnya, menenangkan. Lampu kuning berkelip kecil terpasang di sekeliling kain tenda menampilkan kesan redup yang cantik.

Seseorang duduk di depannya, mengenakan jubah hitam yang menutupi kepala sehingga Zhangyi tidak bisa melihat wajahnya yang tertelan kegelapan.

"Duduklah," pinta si Peramal.

Zhangyi baru sadar jika si Peramal adalah seorang pria tua saat ia meminta telapak tangan Zhangyi untuk dibaca. Oh, jadi begini ramalan garis tangan.

"Sungguh malang, takdir cinta yang terhalang karena masa lalu. Kau harus mengulang sejarahmu sendiri jika ingin bertemu dengannya, atau..." Ucapan Peramal itu terputus, ia menatap tajam Zhangyi dengan mata hitam kelam yg mengintip di remang-remang.

"Atau apa?" cecar Zhangyi tidak sabar.

"Atau ia akan berpisah sekali lagi denganmu, karena ia tidak menyadari keberadaanmu."

Peramal itu meletakkan tangan Zhangyi ke meja di hadapannya, lalu merogoh sesuatu di bawah mejanya yang diberi alas kain hitam bersulam naga seperti tendanya.

"Pakailah ini mulai sekarang." Peramal itu mengeluarkan sebuah gelang giok hijau yang dingin begitu terpasang di pergelangan tangannya.

"Bulan purnama kali ini adalah waktu yang sama. Sebaiknya kau bersiap," imbuh si Peramal halus seperti mengusir ia pergi.

Beranjak dari tempat duduknya menuju pintu keluar yang dibatasi kelambu, tiba-tiba kepalanya terasa pening hebat. Dunia seolah berputar di matanya yang terasa kian berat untuk dibuka. Hal terakhir yang diingatnya sebelum tubuhnya terjatuh menyentuh aspal adalah sepasang tangan merengkuhnya, diikuti sebuah bisikan samar.

"Tetaplah bersamaku, Zhangyi!"

Lalu, semuanya menggelap.

...****************...

Hola.. Ini cerita pertamaku di noveltoon. Kalau mau disebut novel pertama sih bukan ya, karena udah pernah bikin tapi udah lama banget waktu dulu masih bergelut di dunia literasi 7tahun lalu.. hehe

Tapi rasanya kagok bener nulis lagi karena udah lama gak pernah mikir bikin tulisan lagi. Jadi kayak stuck pikiranku haha.

Semoga novel ini bisa lancar yaa..

Kritik-saran, jempolnya, votenya aku tunggu ya ❤️

C U next~

2. Musim Semi Pertama

(Kerajaan Zhou, 781 SM)

Musim semi pertama tahun kelima belas. Shen Huoji sudah menunggu waktu ini dengan bermacam persiapan untuk kehidupannya kedepan. Menikah dengan seseorang yang dicintai. Hmm, betapa indahnya! pekiknya dalam hati.

Siapa sangka, ternyata ia harus terpilih untuk menghangatkan ranjang Putra Mahkota, Ji Gongsheng tahun ini. Sungguh takdir yang buruk!

Kenapa dari sekian banyak lelaki di sekitarnya, ia harus berhadapan dengan lelaki muka dua. Manis di bibir lain di hati sepertinya. Meski ia masih untung tidak harus menikah dengan mereka yang jauh lebih tua darinya. Tapi tetap saja, ini benar-benar buruk!

"Ayah, apakah tidak ada pilihan lain untukku selain menjadi istri Putra Mahkota?" bujuk Huoji pada Ayahnya.

"Jika saja Ayahmu ini bisa memilih, kau sudah Ayah bawa pergi dari tempat terkutuk ini, Huo'er." Wajah Sang Ayah tampak sama lesunya dengan gadisnya.

Mereka duduk berdua di ruang kerja sang ayah yang dikelilingi berkas-berkas dan buku bertumpukan. Selepas jamuan makan yang diadakan di Istana Chang'An Gong, tak henti-hentinya Huoji membujuk, agar pernikahannya dengan Sang Putra Mahkota tidak terlaksana.

Pucuk di cinta, ulam pun tiba!

Hari pernikahan yang semestinya dilaksanakan dua bulan lagi, malah dipercepat menjadi dua minggu!

Huoji ingin sekali bersembunyi ke lubang tikus atau menyelam bersama ikan-ikan di halaman belakang kediaman. Upaya untuk memiliki reputasi buruk di wajah Sang Putra Mahkota harus ia telan mentah-mentah saat itu karena yang menunjuk dirinya adalah Sang Raja, Ayah si Putra Mahkota.

Andai saja Ayahnya, Marquess Shen, bukanlah pejabat kemiliteran, nasibnya mungkin bisa sedikit longgar. Apa mau dikata, kadang keinginan memang seperti memeluk gunung. Sudah begitu menjadi putri tunggal Sang Marquess. Pupus sudah kebebasan yang ia miliki selama ini.

Jika bukan karena Putra Mahkota adalah lelaki busuk dengan banyak simpanan dimana-mana. Mungkin ia masih bisa menerima dengan berbesar hati. Nahas, Putra Mahkota yang hanya berselisih setahun lebih tua darinya itu sudah menumpuk calon benih dimana-mana. Entah sudah berapa puluh selir yang menghangatkan istana belakangnya.

Lalu, nasibnya apakah akan seperti mereka? Jika sudah bosan akan dibuang? Tak mampu ia meneruskan kemungkinan-kemungkinan di depan.

...****************...

Istana Chang'An Gong hari ini sudah dihias banyak ornamen pernikahan. Keseluruhan langit-langit dan tiang-tiang peyangga sudah dipenuhi warna merah dan emas seperti festival mahabesar.

Dayang-dayang hilir mudik dengan jajaran pengawal istana memenuhi sudut-sudutnya. Para tamu kerajaan duduk menyebar di kursi yang disediakan menunggu prosesi pernikahan antara Putra Mahkota, Ji Gongsheng dan Putri dari Marquess Shen, Shen Huoji, selesai dilakukan.

Berbalut busana merah, biru dan emas, keduanya tampak mencolok mencuri perhatian mata-mata yang penuh tanda tanya. Apakah ini gadis yang akan menjadi Putri Mahkota?

Mengingat hanya pernikahan dengan gadis inilah yang diselenggarakan paling mewah diantara gadis-gadis penghuni istana belakangnya yang lain. Bahkan, Sang Raja Xuan mengundang pemimpin-pemimpin dari berbagai wilayah yang dikuasainya.

Di sudut tamu, tampak seorang pria muda mengamati sang mempelai perempuan. Wajahnya yang tegas dengan garis rahang kuat, tampak dingin tanpa emosi. Hanya matanya yang tidak pernah pergi menatap sepasang sejoli yang duduk di samping Raja Xuan dan Permaisuri Jiang.

"Sepertinya malam ini sungguh buruk untukmu, Anakku, Xian'er?" Suara seorang pria tua membuyarkan fokus si pria muda.

"Hmm, kupikir Ayah datang kesini sudah siap untuk mabuk. Tidak mencampuri minat anaknya." Mata pria yang dipanggil Xian'er itu beralih menatap sekitar.

Sosok Marquess Shen, Shen Bo Hu, yang biasanya tampak tenang dan berwibawa khas petinggi militer itu menarik pehatiannya. Malam ini pria tua yang seumuran Ayahnya, Marquess Zeng, tampak sedikit muram dan kaku. Mungkinkah pria tua itu tidak rela putri semata wayangnya menikah dengan Putra Mahkota?

Ya, bila dipikir-pikir orangtua mana yang sebenarnya rela menjadikan anaknya salah satu penghuni bilik cinta milik Putra Mahkota yang dikenal seperti pemangsa daun muda. Bahkan umurnya masih enam belas tahun!

"Apakah kau masih mengagumi gadis itu, Xian'er? Bukankah sudah tiga tahun berlalu sejak pertemuan pertama itu?" Lagi-lagi Ayahnya yang ramah ini menganggunya.

"Bukankah bujangan tua seperti Ayah juga akan terpesona pada dia jika saja dia bukan anak Si Tembok Batu?"

Marquess Zeng langsung memberikan tatapan menusuk pada anaknya, Zeng Hexian. Mulut pria muda ini benar-benar seperti racun. Mematikan!

Andai saja dia memang bisa kembali muda, ya kenapa tidak? Toh, tidak ada istri yang harus dia duakan. Hanya ada gadis-gadis dari bilik cinta yang terpikat padanya yang sudah hampir setengah abad.

Gadis itu bahkan bisa memikat seribu lelaki, andai saja Ayahnya, Si Tembok Batu, Shen Bo Hu tidak mengurungnya di kediaman seperti sapi. Sayang seribu sayang, meski begitu ia masih saja terperangkap dalam mulut buaya di kerajaan Zhou. Berkat kerendahan hati Dewa, tentu saja! Hukuman pada Si Tembok Batu, pikirnya.

"Jaga mulutmu yang pedas itu untuk dirimu sendiri, Xian'er. Ayahmu ini sudah lelah mengarungi banyak wanita yang lebih matang," dengus Sang Marquess.

Hexian hanya memutar mata mendengar jawaban ayahnya.

Di sisi lain, Shen Huoji merasa ingin menenggelamkan diri ke danau. Pakaian yang berlapis-lapis, ruangan bak lautan manusia. Berapa lama lagi ia bisa melarikan diri dari pesta ini. Pipinya kelu berkali-kali menampilkan senyum instan di hadapan tamu-tamu penting kerajaan.

"Ji'er, sebentar lagi acara minum-minum akan dilakukan. Silakan kau pergi ke kamar pengantin bersama pelayan." Permaisuri Jiang tersenyum tulus pada Huoji. Ia tahu putri Shen Bo Hu itu tidak terbiasa pada situasi seperti ini.

"Terima kasih Yang Mulia Permaisuri, Yang Mulia Raja, dan Pangeran, hamba pamit undur diri dahulu." Huoji menunduk penghormatan untuk beranjak pergi. Tiga orang tersebut mempersilakannya, disusul Permaisuri Jiang yang juga beranjak dari tempatnya kemudian.

Malam pernikahan adalah waktu para pria. Dimana arak terbaik seluruh pelosok negeri disajikan di cawan-cawan para tamu. Raja Xuan memimpin tegukan pertama dengan sebuah pengharapan baik untuk pernikahan anaknya, Ji Gongsheng. Disusul cawan para pangeran dan tamu yang diangkat keatas, tanda disambutnya doa baik Sang Raja.

...****************...

Huoji meringis di pagi hari setelah terbangun dari tidurnya. Sepasang tangan melingkupi tubuh tanpa busananya di balik selimut sutera merah yang bersulam benang emas dengan motif naga.

Sejenak kilasan memori semalam menghantamnya. Ia tidak bisa mencegah dirinya sendiri untuk menghangatkan tempat tidur Sang Putra Mahkota. Dalam keadaan sedikit mabuk, pria itu masuk dan menyeruduk lembut dirinya yang sudah setengah tertidur.

Tak mungkin ia menolak karena sebagai istri, itu sudah menjadi kewajibannya sekarang. Walau hatinya ingin berontak, ia menuruti suaminya dalam diam. Hanya Dewa yang tahu betapa tersiksanya ia.

"Yang Mulia Pangeran," cicit Huoji perlahan berharap sang pemilik tangan terbangun. Ia ingin segera beranjak membersihkan diri yang terasa lengket sisa semalam.

"Ji'er, kau sudah bangun?" Suara Gongsheng serak dan terkesan menawan, tapi bagi Huoji terasa memuakkan.

Bagaimana bisa ia terpesona pada lelaki yang entah sudah berapa kali meniduri berbagai macam perempuan di luar sana. ********, pikir Huoji.

"Hamba harus segera membersihkan diri, Pangeran," sela Huoji sebelum buaya busuk itu kembali tertidur dan mengurungnya.

"Tunggulah sebentar, aku masih ingin memelukmu." Pelukan buaya itu semakin erat. Huoji semakin ingin berteriak meminta perlindungan Ayahnya.

"Tapi hamba sudah tidak sanggup menahan keinginan buang air, takut jika akan mengotori tempat tidur, Pangeran." Jika saja ini pria lain, Huoji mungkin akan sangat senang berlama-lama di tempat tidur. Menghangatkan sampai mungkin terbakar!

Benar-benar!

Dengan kerelaan hati, Ji Gongsheng melepaskan pelukannya dan menatap istrinya itu dengan sayu. Pengaruh arak semalam masih sedikit tertinggal di sudut otaknya. Membuatnya kembali merebahkan kepala semakin dalam.

Secepat kilat Huoji melesat anggun dan meminta bantuan pelayan pribadi yang dibawanya dari kediaman untuk membantunya mandi.

"Yangmi, bantu aku membersihkan noda-noda di tubuhku ini sebelum aku menguliti diriku sendiri," ujar Huoji berbisik pada pelayan kesayangannya itu.

Sementara Yangmi yang memahami betul perasaan majikannya hanya tersenyum simpul dan mengangguk. Gadis itu amat membenci perangai suaminya sejak dahulu. Sungguh ketidakberuntungan, ia harus menjadi istrinya.

Ia hanya berdoa, suatu saat majikan kesayangannya itu akan berbahagia. Sudah cukup kesepian sejak kecil yang dia alami, tak perlu ditambah penyiksaan kehidupan setelah menikah. Tapi mungkin doanya masih belum didengar Dewa.

...****************...

Author's note:

Marquess : mengacu pada jabatan pemimpin suatu wilayah yang bertanggung jawab langsung pada Raja sebagai Kepala Pemerintahan Tertinggi. Umumnya akan diikuti nama klan yang menunjukkan wilayah kekuasaan klan tersebut. Contoh Marquess of Shen adalah pemimpin wilayah Shen, sebuah distrik luas seperti provinsi dengan tampuk kepemimpinan dibawah pengawasan klan Shen.

Ok, segini dulu ya.. C U next~

Main Character

Hola..

Jadi ini adalah ilustrasi karakter utama 'The Lost Empress'

(Gambar bukanlah milik author, cuma referensi. Tujuh karakter teratas adalah hasil edit author dng foto artis yang di 'crossbreeder' wkwk. Credit: Pinterest, Google & Artbreeder)

Untuk cantuman usia bukanlah patokan pada saat cerita berlangsung karena ini hanya sebagai patokan jarak usia masing-masing tokohnya.

Untuk sementara ini dulu ilustrasi main characternya, ya..

Kalo yang punya penggambaran lain silakan hoho

C U next~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!