SHERLY NANDIRA ADIJAYA
Bagi kebanyakan orang, terlahir di keluarga kaya raya adalah sebuah anugrah. Namun, tidak bagi seorang Sherly Nandira Adijaya. Ia memang dilimpahi dengan materi yang berlebih, tapi tidak dengan cinta dan kasih sayang.
Kekosongan hati ia isi dengan pelarian pada kehidupan bebas yang menjerumuskan. Sayangnya, kebebasan yang dicecap tak bertahan lama. Karena keserakahan sang Ayah dan demi membalaskan dendam orang tua, Ia terpaksa harus terjerat pernikahan yang tidak diinginkan.
Saat cinta mulai bermekaran di hati, bayang masa lalu mulai menghampiri. Membuat ia akhirnya memilih pergi, mengubur semua mimpi. Meninggalkan segala gemerlap dunia dan memulai hidup baru dari titik terendah dengan segala penyesalan yang membayangi.
Namun, lagi-lagi jalan hidupnya tidak lah semudah yang dibayangkan. Status sebagai seorang istri yang masih disandang, membawanya pada pusaran kehidupan yang semakin berliku.
"Apakah ini karma yang harus aku emban seumur hidup? Apa seburuk itukah diriku, sehingga tak layak mendapatkan cinta tulus walau hanya sedikit saja?"
ALEX CESARIO DINATA
Kepergian sang Ayah karena penyakit yang diderita, membuat dunia seorang Alex Cesario Dinata jungkir balik. Dilahirkan dan dibesarkan di Negara adidaya yang menganut gaya hidup bebas, membuat sosok Alex menjadi pribadi yang liar di mata keluarga besar Ayahnya terutama Sang Kakek.
Namun, janji pada mendiang Ayah yang dikagumi dan dicintai, membuat ia terus bertahan di rumah keluarga besar Dinata yang memegang erat budaya ketimuran. Menjadikan ia seolah terasing dan terpinggirkan di tengah keluarga yang selalu menghujat pergaulannya.
Suatu ketika, pernikahan adik sepupunya yang tinggal menghitung hari dibatalkan lantaran sebuah skandal. Demi menutupi aib kedua keluarga, tunangan sang adik sepupu datang kehadapannya dan meminta untuk dinikahi. Dengan alasan menarik perhatian dan pengakuan Kakek akan keberadaannya, Alex memutuskan menikahi gadis tersebut.
Sebelum menikah hanya satu syarat yang diajukan oleh Alex, sebuah komitmen menjalani rumah tangga yang disanggupi oleh gadis itu. Perlahan ia melepas semua kebiasaan buruk demi menjalani pernikahan yang seutuhnya. Membangun rumah tangga yang dipenuhi cinta dan kasih sayang. Akan tetapi, semua hanya angan belaka saat menyadari, bahwa ia hanya dijadikan alat untuk membalas dendam oleh keluarga istrinya.
Tak pelak pemuda itu mengalami luka yang tak berdarah, tapi terasa perih menyayat hati. Kekecewaan yang menggerogoti jiwa membuat ia membiarkan pernikahannya terombang ambing tak tentu arah. Hingga suatu ketika ia tak sengaja bertemu dengan sang istri yang membuat hidupnya sekelam malam tanpa cahaya bintang.
Bagaimana nasib pernikahan dua insan yang jauh dari kata sempurna?
Apakah mereka akan bertahan pada pernikahan yang dilandasi sebuah kebohongan?
Ataukah manisnya hidup, enggan menyapa keduanya karena masa lalu kelam yang menaungi?
******************************************
Cerita ini sekuel dari cerita Pernikahan Paksa Alea yah gaes.. disarankan untuk baca cerita itu dulu kalau mau tahu latar belakang cerita mereka secara lengkap.. tapi yang mau langsung baca cerita ini juga ga masalah kok.. karena ceritanya berdiri sendiri.. background masa lalu mereka akan diungkap sedikit demi sedikit perlahan.. buat yang udah baca PPA, nanti aku akan bahas lagi kisah awal mereka sekalian ngingetin siapa tau lupa..
Selamat menikmati.. jangan lupa like dan komennya yah.. like dan komen kalian membuat semangat untuk terus ngehalu.. heheheee...
siap menerima kritikan pedas yang membangun yah gaes.. dan terbuka untuk diskusi atau saling lempar argumen... lebih enak lagi kalau masuk group, saling lempar argumen akan semakin seru.. see u...
Nadira menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah bangunan yang tidak terlalu besar. Ia menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menenangkan jantung yang bergemuruh menghentakkan dada dengan kencang. Gadis itu menghembuskan nafasnya perlahan saat irama jantung berdetak lebih tenang.
"Semangat Nadira, kamu pasti bisa," lirihnya perlahan memberi kekuatan bagi diri sendiri agar terus melangkah.
Gadis berpostur tinggi tersebut kembali mengayunkan kaki mendekati bangunan yang terpampang di hadapannya dan menghampiri seorang Petugas Keamanan yang berjaga di sana.
"Permisi, Pak," sapa Nadira dengan suara agak bergetar.
"Iya ... ada perlu apa, Mbak?" tanya Petugas Keamanan dengan papan nama Wardi tersemat di dada sebelah kanan.
"Saya ada panggilan interview di sini," jawab Nadira ragu.
"Oh iya, Mbaknya diminta ketemu siapa?" tanya Petugas Keamanan itu lagi.
"Pak Aldi," lirih Nadia.
"Mari ikuti saya," ucap lelaki yang terlihat masih muda tersebut seraya memasuki gedung kantor bertuliskan De' Advertising.
Setelah berada di dalam gedung, Wardi meminta Nadira menunggu di lobby. Gadis itu kemudian mendaratkan tubuhnya pada kursi berbantalan busa yang empuk di depan sebuah meja yang ditempati seorang wanita muda.
Nadira lagi-lagi menghembuskam nafas perlahan seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang dipenuhi berbagai macam iklan pada media kertas di dalam figura. Iklan dalam bentuk barisan kata dan gambar yang menghiasi setiap jengkal dinding ruangan, cukup membantu Nadira mengusir gugup yang menyergap.
Nadira bukanlah gadis muda yang baru lulus sekolah. Sudah lebih dari tiga tahun ia menamatkan pendidikan sarjana di sebuah universitas swasta terkemuka di Jakarta. Namun, terlahir di keluarga kaya raya membuat ia minim pengalaman kerja.
Dua puluh enam tahun hidupnya, Nadira selalu bergelimang harta, hingga tak pernah terlintas di benaknya untuk bekerja menghasilkan pundi-pundi rupiah demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang dulu ia anggap tak seberapa.
"Mari Mbak, ikuti saya," teguran dari Wardi mengagetkan Nadira yang pikirannya sudah mulai mengembara.
Ia mengangkat tubuhnya dari bangku yang sedang diduduki. Nadira memantapkan hati untuk menemui seseorang yang akan mewawancarinya. Gadis itu sempat melemparkan senyum pada wanita muda yang duduk di balik meja saat mata mereka berserobok, sebelum mengikuti langkah lelaki berseragam putih hitam yang berjalan lebih dulu di depannya.
"Silahkan, Mbak," ucap Wardi mempersilahkan Nadira memasuki sebuah ruangan yang pintunya sudah di buka lebar oleh lelaki itu.
"Selamat pagi," sapa Nadira seraya menyunggingkan senyum pada Pria di dalam ruangan.
"Pagi," jawab Pria itu datar tanpa ekspresi. "Silahkan masuk," lanjut Pria itu sembari memindahkan map di tanggannya ke atas meja. Ia lantas mengalihkan tatapan pada Nadira yang berjalan mendekati meja kerjanya.
Pria itu sempat mengulurkan tangannya sesaat sebelum Nadira mendaratkan tubuhnya di kursi yang terletak bersebrangan dengan kursi yang ditempatinya. Nadira menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya dengan erat. Meski ia belum pernah melewati sesi wawancara kerja seperti saat ini, satu hal yang Nadira pahami, kesan pertama harus ia tanamkan agar memuluskan jalannya mendapat pekerjaan.
Jabatan tangan yang lembut tapi mantap akan selalu meninggalkan kesan saat wawancara kerja. Hal itu menunjukkan kesungguhan dan kepercayaan diri yang dimiliki si pelamar kerja yang bersinergi dengan etos kerja.
"Silahkan duduk," ucap pria yang di meja kerjanya terdapat papan nama bertuliskan Aldiga Danupraja.
"Sherly Nandira ... " imbuh Aldi seraya mengambil kembali map yang telah diletakkannya dan menyasar isinya.
Map berisi daftar riwayat hidup serta data pribadi Nadira. Dimana sudah tak lagi tersemat nama Adijaya yang selalu mengikutinya selama ini. Nama milik sang Ayah yang punya banyak kuasa.
"Baiklah Nona Sherly ... "
"Nadira ... " potong Nadira cepat sebelum Aldi melanjutkan ucapannya. Gadis itu melihat pria itu mengerutkan keningnya heran atas sikapnya. "Saya lebih suka jika dipanggil Nadira," lanjut Nadira dengan nada pasti.
"Oke, Nadira ... Begini, saya cukup tertarik dengan daftar riwayat hidup Anda. Hanya saja saya tak menemukan satu pun Ijazah di dalam berkas yang Anda kirimkan," ucap Aldi langsung pada intinya.
Jantung Nadira serasa dipilin saat Aldi menanyakan hal yang sudah menghantuinya sepanjang pagi ini. Sudah beberapa waktu belakangan Nadira kesulitan mencari pekerjaan lantaran tak memiliki ijazah sama sekali. Bahkan hanya untuk sebuah ijazah sebagai pemberitahuan bahwa ia sudah menamatkan SMA saja Nadira tak menyimpannya.
Namun, Kemal meyakinkannya bahwa hal ini tidak akan jadi masalah. Ia mengatakan bahwa Aldi adalah temannya dan sudah mengetahui secara garis besar persoalan yang membelit gadis yang terhitung masih muda tersebut. Nadira akan diterima bekerja berkat koneksi lelaki yang baru beberapa bulan belakangan, menjadi seseorang yang cukup berarti baginya.
Wajah gadis itu masih nampak pias. Rona merah muda seolah hilang begitu saja dari keceriaan yang selama ini ia banggakan. Berganti pucat pasi karena tak menemukan jawaban yang bisa ia lontarkan pada Aldi.
"Ma-maaf, Pak ... Sa-saya ... " Nadira menggantung kalimatnya saat kegugupan langsung menyerang ulu hati.
Jemari gadis itu saling memilin di balik meja, saat ia berusaha mengusir gugup dan mencari perbendaharaan kata di dalam cerebrum-nya. Namun, ia sama sekali tak menemukan kosa kata yang bisa dilontarkan sebagai alasan.
"Tidak usah khawatir," ucap Aldi cepat ketika menyadari kepanikan yang terpancar dari sorot mata gadis cantik di hadapannya. "Kemal sudah memberitahu banyak hal tentang anda. Saya hanya ingin memastikannya saja," Aldi menjeda kalimatnya. Diperhatikannya dengan seksama sosok gadis di hadapannya yang terlihat berupaya keras menutupi rasa kalut yang menyerang tiba-tiba. Sebuah senyum ragu terurai di bibir tipisnya yang merekah.
"Begini Nona Nadira ... Karena masalah ijazah ini cukup rumit sebetulnya. Saya bisa mempekerjakan Anda disini, hanya saja saya tidak bisa menjadikan Anda karyawan."
Lelaki itu nampak menarik nafas saat menjeda kalimatnya. Membuat kerutan di wajah Nadira semakin dalam. Hatinya tergelitik untuk meluapkan tanya yang memenuhi isi kepala. Hanya saja ia menahannya demi mendengar penjelasan panjang lebar dari Aldi.
"Saya hanya bisa menerima Anda sebagai karyawan magang disini," jelas Aldi.
"Karyawan magang?" pertanyaan yang tak dapat Nadira tahan meluncur begitu saja dari bibirnya.
Bagaimana mungkin wanita seusia dirinya hanya menjadi karyawan magang disebuah perusahaan kecil yang bahkan badan hukumnya saja mungkin masih berbentuk CV, pikir Nadira bergelayut.
"Tapi jangan khawatir, Anda akan tetap menerima hak-hak seperti karyawan lainnya. Anda akan tetap mendapatkan salary yang sesuai dengan beban kerja Anda. Begitu juga dengan hak-hak karyawan lainnya seperti lembur dan insentif. Hanya statusnya saja sebagai karyawan magang, agar tidak menimbulkan masalah bagi perusahaan di kemudian hari. Saya minta maaf, tapi hanya ini yang bisa saya lakukan." Lelaki itu mengakhiri bicaranya.
Nadira terkesiap, sesi wawancara kerja kali ini tak seperti dibayangkan olehnya. Tanpa basa-basi, si pewawancara langsung menjelaskan posisinya jika bekerja di kantor tersebut.
Nadira kembali menghela nafas mengusir rasa yang membelenggu jiwa. Tak ada lagi gengsi yang harus ia pertahankan. Setidaknya ia bisa memperoleh penghasilan. Pekerjaan seperti apa lagi yang bisa ia dapatkan, tanpa selembar ijazah yang membuat daftar riwayat hidupnya punya nilai? Nadira membatin.
"Baiklah, Pak. Saya mengerti. Apa saya akan diterima bekerja disini kalau saya menerima tawaran sebagai pekerja magang?" tanya Nadira akhirnya. Meski Gadis itu sadar, berstatus sebagai karyawan magang akan merugikan dirinya.
Bukan hanya tak akan pernah bisa punya kedudukan dalam perusahaan, Ia bahkan dengan mudah bisa disingkirkan oleh perusahaan. Tak ada hak-hak pekerja yang bisa ia dapatkan seperti para karyawan pada umumnya. Sebagai seorang karyawan magang, ikatan kerja akan mudah diputuskan sepihak tanpa kompensasi yang menyertai.
"Tentu saja," jawab Aldi seraya melemparkan senyum tipis.
Setelahnya, pemuda itu menjelaskan deskripsi pekerjaan yang harus dilakukan oleh Nadira di dalam perusahaan kecil yang masih tergolong baru tersebut. Perusahaan yang hanya memiliki total tiga puluh orang karyawan di dalamnya.
Setelah berbincang cukup lama dengan Aldi di ruangannya, Nadira kini bisa bernafas lega. Kegugupan yang sedari tadi menguasai raga, kini berangsur-angsur memudar.
Sekali lagi ia mengedarkan pandangannya pada dinding-dinding kantor yang akan ditempatinya mulai esok hari. Ada perasaan tak dapat ia mengerti menggerogoti hati, ketika matanya menangkap setiap sudut ruangan dalam lobi. Ia menghampiri seorang gadis muda yang duduk di balik meja penerima tamu. Ia merasa harus melepaskan ketegangan yang mungkin masih bersisa dalam hati hingga membuatnya merasa tak nyaman.
"Permisi Mbak," sapa Nadira pada gadis muda yang masih asik berkutat dengan layar komputernya.
"Iya ... ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya gadis tersebut.
"Saya boleh permisi ke toilet?" tanya Nadira.
"Oh iya ... Toiletnya ada di sebelah sana. Mbak tinggal melewati lorong itu, terus di ujung belok kiri."
Nadira mengikuti arah pandang yang ditunjuk oleh gadis itu. "Makasih yah, Mbak," ucap Nadira seraya mengulas senyum tulus.
Baru saja hendak melangkah menuju toilet, Jantung Nadira berdetak kencang. Irama jantungnya tiba-tiba memainkan simfoni dengan tempo nada yang cepat. Degupan jantung seolah bisa dapat tertangkap jelas oleh telinganya. Bergemuruh menghentakkan dada dengan sangat kencang.
"Mas Alex ... " lirih Nadira seraya menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Mulutnya menganga tanpa bisa terkatup sempurna saat matanya menangkap sosok yang sudah lama tak dijumpai. Sosok tampan nan gagah yang terus memenuhi mimpi-mimpinya, entah sampai kapan.
Hatinya serasa di remas keras, ketika perempuan cantik yang nampak berkelas tertawa renyah disebelah Alex. Ia tak menyangka bahwa pemandangan seperti itu mampu membuat hatinya terluka bak ditusuk sembilu.
Dengan cepat Nadira membalikkan tubuhnya menghadap gadis yang sudah kembali disibukkan dengan deretan angka di layar komputer, saat Alex mengangkat kepala menoleh ke arahnya. Ia tak mau sampai laki-laki yang masih berstatus sebagai suaminya yang sah, mengetahui keberadaannya.
"Maaf, Mba. Boleh saya tanya lagi?" suara Nadira terdengar agak bergetar. Wajahnya yang sudah mulai cerah kini kembali memucat.
"Iya, Mbak. Ada apa?" tanya gadis itu lembut.
"Di dekat sini apa ada kantin atau semacamnya? Sepertinya magh saya kambuh," ucap Nadira asal, sekedar mencari alasan agar bisa menghindari bersitatap dengan lelaki yang sudah memasuki relung hati.
"Di deket-deket sini ga ada kantin sih, Mbak. Tapi kalau Mbak keluar nanti ambil kanan, di pojokan jalan ada tukang bakso. Mungkin bisa membantu mengganjal perut Mbak," jawab si Gadis seraya tersenyum Ramah.
Nadira masih menundukkan pandangan seraya menutup sebagian wajah dengan telapak tangan. Ia menyamarkannya dengan memijat dahi seperti seorang yang terlihat pusing menahan kesakitan.
"Untuk sementara, Mbak bisa makan ini dulu," tawar gadis itu seraya menyerahkan sebungkus roti manakala ia melihat Nadira pucat pasi.
"Eh, ga papa kok, Mbak. Nanti saya makan di luar saja," tolak Nadira halus.
"Ga apa-apa, Mbak, ambil aja. Saya biasa bawa roti, jaga-jaga kalau lagi malas keluar cari makan siang. Tapi hari ini ada teman yang mau mentraktir. Jadi roti ini juga ga akan ke makan," tawar Gadis itu lagi.
"Makasih, Mbak," jawab Nadira terharu akan kebaikan hati perempuan yang bahkan belum ia kenal sama sekali.
Ia jadi teringat akan dirinya yang dahulu. Begitu apatis pada lingkungan sekitar. Padahal akan sangat indah jika saling perduli antar sesama. Jangankan untuk perduli, ia bahkan tak segan membuli. Membuat Nadira tertunduk malu menyesali diri.
"Dimakan aja, Mbak. Mbak nya keliatan pucat banget."
"Eh iya," jawab Nadira seraya membuka bungkus roti dan langsung mengeluarkan isinya.
Jantungnya sudah bekerja dua kali lipat sejak tadi pagi, tentu saja hal itu membutuhkan tenaga ekstra. Tak ada salahnya menerima tawaran dari seseorang yang akan menjadi rekan kerja mulai esok hari. Nadira memakan roti itu seraya mencuri pandang pada Alex yang baru saja melewati meja penerima tamu.
Lelaki itu, berlalu begitu saja tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Alex sepertinya sama sekali tak menyadari keberadaanya. Atau memang ia tak pernah sepenting itu dalam kehidupan Alex? Hingga tak sedikitpun menyadari keberadaan dirinya? Pikir Nadira berkecamuk.
Mata Nadira mulai berkaca-kaca menatap Alex dengan perempuan itu dari kejauhan. Lelaki yang pernah mengisi harinya dengan keindahan rasa, seolah tak pernah kehilangan akan dirinya. Tak ada guratan kesedihan yang sama seperti selama ini yang berusaha Nadira sembunyikan. Lelaki itu bahkan terlihat semakin mempesona dan tampak bahagia menjalani hari-harinya.
Dihempaskannya pikiran yang mulai melantur dari dalam kepala, agar menjauh pergi dan tak lagi menghampiri. Ia menyegerakan memakan sisa roti dalam genggaman tangan. Kemudian meneguk air mineral yang disuguhkan oleh gadis baik hati di hadapannya.
"Mbak, sekali lagi terima kasih banyak." Nadira melempar senyum tulus pada gadis yang juga membalas senyumnya.
"Nadira," ucap Nadira seraya mengulurkan tangannya pada gadis yang langsung menyambut uluran tangannya.
"Rani," sambut gadis itu ramah.
"Mulai besok saya akan bekerja disini, Mbak. Jadi saya harap kita bisa berteman," ucap Nadira kemudian.
"Oh ya? Kalau begitu tidak usah sungkan. Ga usah panggil Mbak. Panggil nama saja, oke," senyum manis kembali disuguhkannya untuk Nadira.
"Kalau begitu saya permisi. Sampai ketemu besok pagi," ucap Nadira seraya berlalu dari hadapan Rani.
Gadis itu langsung ambil gerakan kaki seribu secepat kilat. Ia tak lagi perduli dengan keinginan untuk beranjak ke toilet. Dipikirannya hanyalah bagaimana caranya agar bisa cepat pergi dari sana.
Namun, pikiran tak dapat membohongi hati yang masih memikirkan sang suami. Bagaimana seorang Alex Dinata bisa berada disebuah kantor kecil seperti De' Advertising? lagi-lagi isi kepala Nadira berlarian saling berkejaran mencari jawaban atas pertanyaannya yang merasuki pikiran.
"Sepertinya tidak mungkin kalau BeTrust menjalin kerjasama dengan perusahaan sekecil ini. Apa mungkin Mas Alex ada hubungan khusus dengan perempuan tadi? Tapi siapa perempuan tadi?" gumam Nadira seraya melongok ke kiri dan kanan, memastikan tak ada lagi Alex disekitar gedung itu.
"Ya tuhan, kumohon jauhkan lah lelaki itu dari hidupku, agar aku bisa menjalani hari-hariku dengan lebih mudah," hela Nadira pasrah.
Akhir-akhir ini Nadira merasa seringkali melibatkan tuhan dalam harapnya. Apakah ia harus bersyukur atas kemalangan yang menimpa? Hingga ia menjadi perempuan yang mulai mencari keberadaan Sang Pencipta? Ah, lagi-lagi Nadira menepis pikirannya. Ia harus pulang segera. Bersiap menghadapi esok yang mungkin akan terasa lebih berat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!