NovelToon NovelToon

Peppermint Kiss

Prolog

24 Desember 2013

Pagi ini salju masih turun, meskipun tidak deras namun sanggup membuat tubuh yang tidak mengenakan pakaian tebal akan menggigil. Malam natal akan segera tiba, dan laki-laki yang sedang duduk di tengah keramaian stasiun itu sama sekali tidak menyukai natal tahun ini.

Laki-laki itu tidak sedang menunggu seseorang, melainkan menunggu waktu berjalan sangat lamban. Jelas tergambar di wajahnya yang tertunduk menatap kosong lantai stasiun. Entah mengapa?

"Hei, Shin Hyeok-ah, apakah itu kau?" seruan yang menyeruak diantara hiruk pikuk stasiun di sekelilingnya itu berhasil membuat wajahnya terangkat. Sepasang mata hitam pekatnya itu menangkap seorang laki-laki separuh baya sedang berdiri beberapa meter darinya. Laki-laki itu berpakaian formal, menandakan kalau ia akan pergi bekerja dengan kereta.

"Ternyata memang kau." Serunya dengan senyum lebar kemudian berjalan mendekat. "Lama sekali tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu sekarang?" pertanyaan itu berhasil membuat laki-laki berwajah muram itu tersenyum simpul.

"Seperti kelihatannya, aku baik Paman Han," jawabnya seraya mengangkat kedua bahunya. "Bagaimana dengan Bibi Han?" tanyanya berbasa-basi. Setidaknya hal ini bisa membuatnya sedikit melupakan apa yang akan ia temukan setelah ini.

"Dia baik," Paman Han adalah tetangga ayahnya—yang sewaktu ia kecil sering menemaninya bermain. Waktu itu Paman Han baru beberapa tahun menikah dan bayi perempuannya yang mungil sudah dianggapnya sebagai adik perempuannya sendiri. Paman Han bahkan berlaku melebihi ayah kandungnya ketimbang ayahnya sendiri.

"Lalu Ha-Ni?" tentu Shin Hyeok tidak melupakan adik perempuannya itu.

"Dia akan lulus kuliah tahun ini. Tidak terasa ya, waktu cepat sekali berjalan. Kautahu, dia terkadang menanyakanmu dan begitu merindukan masa kecil kalian. Kubilang saja kauterlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Dia pasti akan senang melihatmu pulang natal kali ini."

Shin Hyeok hanya menarik ujung-ujung bibirnya. Menatap paman Han membuatnya rindu yang selama ini selalu ia abaikan meluap. Sejak lulus sekolah dan memilih kuliah jauh dari rumah, Kim Shin Hyeok tidak pernah mengagendakan pulang pada setiap liburannya.

Pulang ke rumah bukanlah hal yang menyenangkan untuknya. Banyak anak yang akan bersuka cita ketika kembali saat libur natal telah tiba, tapi untuknya adalah pengecualian. Baginya keluarga bukanlah sesuatu yang penting. Dan kalaupun ia terpaksa harus pulang, itu bukan karena keluarga. Melainkan ia ingin mengambil sesuatu yang tertinggal, setelah itu ia tidak punya banyak waktu untuk sekadar melepas rindu dengan orang yang ada di rumah, karena ia tidak pernah punya rindu untuk mereka.

"Shin Hyeok, Appa mohon. Pulanglah untuk kali ini saja. Appa ingin memperkenalkanmu dengan seseorang." Permintaan ayahnya itu terus terngiang di kepala Kim Shin Hyeok ketika sampai di halaman rumah berlantai dua. "Dia putri ibumu."

Tiba-tiba saja Shin Hyeok menyesal ketika mengingat ayahnya menghapalkan 'ibumu' di telinganya. Sungguh ia tidak suka sebutan itu, karena perempuan yang disebut 'ibumu' oleh ayahnya, bukanlah ibu yang melahirkan. Wanita itu hanya istri kedua ayahnya dan sampai kini Shin Hyeok tidak pernah menganggapnya sebagai pengganti ibunya.

Entah bagaimana ayahnya berhasil membujuknya untuk sampai lagi ke bangunan yang disebut rumah oleh ayahnya ini.

"Welcome hell!" gumamnya seraya melangkahkan kakinya masuk. Ke dalam rumah yang berbulan-bulan tidak pernah ia singgahi.

"Shin Hyeok, kaukah itu?" suara lembut namun tegas itu memenuhi telinganya. Setelah sekian tahun, pagi ini ia bisa mendengarkan suara ayahnya secara langsung. Tidak banyak perubahan dalam diri ayahnya, kecuali wajahnya yang mulai keriput.

Ayahnya tetap terlihat tampan dengan rambut hitam mengkilap. Tubuhnya yang jangkung, masih bisa berdiri tegak. Ini pertama kalinya Shin Hyeok menatap ayahnya sebegitu lama setelah hampir sepuluh tahun berlalu.

"Aku yakin kaupasti akan pulang." Laki-laki separuh baya itu langsung memeluknya sedangkan ia hanya terpaku. Sejujurnya ia juga punya rindu yang ingin ia sampaikan pada laki-laki itu namun kebenciannya pada laki-laki itu menutup segala rindunya.

Hanya dengan menatap kedua mata ayahnya saja, ia bisa kembali mengenang kebahagiaan sewaktu kecil ketika ibunya masih hidup. Namun semuanya sirna ketika Shin Hyeok melihat seorang perempuan paruh baya berdiri di samping ayahnya dengan senyum yang membuatnya ingin muntah.

"Natal tahun ini akan terasa membahagiakan." Kata perempuan itu dengan senyum sumringah. Senyum yang terlihat tulus, tapi Shin Hyeok tidak pernah menyukai senyum itu, juga perempuan itu.

Shin Hyeok melepaskan diri dari pelukan ayahnya dan berpamitan untuk ke kamarnya. Ia mengeluh kecapaian dan mengatakan baru akan keluar kamar ketika makan siang.

"Anyeonghaseyo, Oppa..."

Suara lembut yang begitu asing baginya itu berhasil menghentikan langkahnya. Shin Hyeok tahu siapa yang sedang menyapanya itu. Ia bisa menebak kalau orang itulah yang membuat ayahnya memaksa pulang. Dan jika saja tidak ada panggilan Oppa yang begitu mengganggu pendengarannya, barangkali Shin Hyeok sudah melanjutkan langkahnya.

"Jangan panggil aku Oppa! Aku tidak suka ada yang memanggilku Oppa di sini kecuali Ha-Ni." Katanya menegaskan.

"Kenapa Oppa? Aku ini anak istri ayahmu, berarti aku adalah adikmu bukan?" ucapan itu terdengar memuakkan bagi Shin Hyeok.

"Kumohon berhentilah memanggilku Oppa karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah menganggap ibumu sebagai ibuku. Aku bukan—" Sepasang mata hitam Shin Hyeok membola ketika mendapati seorang gadis berambut panjang tengah tersenyum ramah padanya.

Bukan senyum yang menampakkan kecantikan itu yang membuat Shin Hyeok terbelalak tak percaya. Kali ini, ketakjuban Shin Hyeok bukan untuk paras cantik gadis itu. Ada hal lain yang membuat Shin Hyeok ingin menanyakan banyak hal pada gadis itu. Banyak sekali.

"Kau?" Shin Hyeok

Gadis bermata hitam kecokelatan itu semakin melebarkan senyumnya. Oppa..."Ia sudah meramalkan reaksi Shin Hyeok saat ini. Ia juga sangat yakin kalau tidak akan sulit bagi Shin Hyeok untuk mengenalinya. Meski ini adalah pertemuan pertama mereka...lagi.

**

Chapter 1

23 November 2012

Lampu jalan yang temaram dan tumpukan salju yang membuat telapak kakinya kedinginan akibat hanya mengenakan sandal kamar mandi tak begitu dipedulikan gadis yang tengah memburu waktu itu. Langkahnya—atau tepatnya lariannya begitu cepat. Orang-orang di jalanan yang menatapnya penuh keheranan tak lagi dipedulikannya. Yang ada di dalam pikirannya hanyalah, bagaimana caranya bisa lolos dari kejaran pria-pria berjas hitam yang masih berusaha menangkapnya.

"Jangan lari, Agassi (nona)!" seruan itu membuat gadis yang mengenakan syal merah di lehernya itu semakin mempercepat larinya. "Nona Jung Eun So! Jangan lari!"

Sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang, pria-pria itu agak tertinggal darinya. Namun itu tidak membuatnya berangsur lega. Eun So semakin cemas karena kedua kakinya seperti mulai lelah. Sekeliling pinggangnya mulai merasa nyeri sementara ia belum menemukan tempat persembunyian. Yang ia takutkan ketika tubuhnya tidak tahan lagi berlari sehingga pria-pria itu bisa menangkapnya.

Gadis berpostur 169 cm itu berbelok dan berhenti tepat di depan sebuah taman kanak-kanak. Kepalanya menoleh ke belakang dan tak menemukan pria-pria itu namun derap lariannya bisa tertangkap jelas oleh telinganya.

Tanpa pikir panjang lagi, gadis itu menaiki pagar taman kanak-kanak yang tidak begitu tinggi lalu melompat ke dalam. Eun So menunduk dan merapatkan tubuhnya dengan tembok pagar sementara telinganya mengawasi suara yang semakin dekat lalu hilang.

Napas Eun So masih memburu meski ia sudah merasakan sebuah kelegaaan karena berhasil bersembunyi dari pria-pria yang sangat ingin menangkapnya itu. Kaki-kaki mungilnya yang sejak setengah jam yang lalu tak berhenti berlari kini mulai susah digerakkan. Eun So meringis, menahan rasa nyeri di sekeliling pinggangnya. Air matanya sampai jatuh karena menahan rasa yang luar biasa sakit.

Di balik tembok pagar Taman kanak-kanak itu, Jung Eun So tergeletak tak berdaya.

**

Laki-laki bermantel hitam itu baru saja keluar dari salah satu restoran menara Namsan. Cuaca yang dingin membuatnya berhenti sejenak lalu mendongak ke langit malam yang terang-temaram oleh lampu menara. Salju yang terus-menerus turun mengenai kepalanya sedikit mengganggu pandangannya. Meski tidak sederas satu jam yang lalu, tetap saja laki-laki itu merasa risih karena beannie hat yang ia kenakan mulai dilumuri salju.

Namsan tower adalah tempat favorit Seung Ho. Ia sering datang. Berjalan-jalan di sekitar menara untuk melihat lalu lalang pengunjung kemudian menikmati seoul view di malam hari atau hanya sekadar menyesap teh hangat di cafe N-Grill adalah jadwal wajibnya. Kelakuannya seperti turis mancanegara saja.

Berada di Namsan meskipun hampir setiap hari adalah pengalaman pertama bagi laki-laki yang memiliki tinggi 179 cm itu sehingga ia akan terus datang seperti turis asing yang akan selalu penasaran dengan landmark dari kota Seoul ini.

Bagi Park Seung Ho, Namsan Tower seperti rumahnya sendiri sehingga ketika ia merindukan keluarganya dia akan pergi ke Namsan untuk mengurai rasa itu sendiri.

"Jika kaurindu keluargamu kenapa tidak menelepon, bukannya seperti sebatang kara yang tak tahu arah dan tujuan hidup!" sindiran Shin Hyeok—housemate—selalu tak diacuhkannya.

Seung Ho merasakan sebuah getaran di dalam saku jaketnya. Itu getar ponsel miliknya. Seung Ho segera mengambilnya lalu mengeceknya.

Satu pesan singkat masuk.

Seung Ho-ya, eodi-yo? (kau dimana) Aku sudah berulang kali memanggilmu, tapi kau tidak juga keluar! Cepatlah! Aku mulai kedinginan.

Pesan dari Shin Hyeok.

Seung Ho mengulas senyum simpulnya. Dia baru ingat kalau tidak meninggalkan kunci di bawah keset yang berada tepat di depan pintu masuk. Pantas saja housemate­-nya itu memburunya untuk cepat pulang. Seung Ho bisa membayangkan bagaimana paniknya Shin Hyeok menahan dingin sambil menunggunya pulang.

Baiklah! Aku pulang, sekarang!

**

Mendapati Shin Hyeok menggigil dan mendekap erat tubuhnya yang tanpa jaket di teras rumah membuat Seung Ho menyeringai jahil. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai-sampai merasa adegan yang ia lihat barusan adalah acara komedi di dalam televisi.

"Kauseharusnya memakai perlengkapan musim dingin jadi tidak perlu menungguku hampir beku begini." Seringai Seung Ho menasehati Shin Hyeok yang masih saja menggigil karena cuaca mencapai minus 20 derajat celcius.

"Bisa tidak kaubuka saja pintunya tanpa mengomel?" Shin Hyeok mendesah, lalu buru-buru masuk dan mencari minuman penghangat di dapur.

Salah satu alasan Shin Hyeok jauh dari keluarganya adalah tidak tahan dengan nasihat-nasihat keluarganya yang ia rasa terlalu—sok tahu—dan ketika mendapat housemate seperti Seung Ho, Shin Hyeok merasa dirinya selalu dikelilingi kesialan. Mungkin itulah sebabnya kenapa laki-laki yang memiliki rambut menyerupai landak itu lebih senang bermain dengan gadis-gadis di luar.

"Seung Ho-ya, sepertinya kau harus menambah persediaan soju kita. Dingin sekali hari ini."

"Kenapa harus aku? Memangnya cuma aku saja yang akan mati kedinginan tanpa soju, hah?" rasanya Seung Ho ingin sekali menendang bokong Shin Hyeok ketika temannya itu hanya bisa menghabiskan persediaan makan mereka.

"Oh, tentu memang hanya kausaja karena besok aku bersenang-senang di Jeju-Do bersama kekasih baruku." Katanya seolah itu sudah biasa.

Seung Ho terkesiap, "Geurae?" ekspresi wajahnya seperti tidak terima. "...dan kaubaru memberitahuku sekarang? Keterlaluan sekali! Ssshhh!" Seung Ho mendesis untuk menahan rasa geramnya.

Sementara rekan serumahnya itu hanya mengangkat kedua bahu dengan respon datar dan berlalu ke kamarnya di lantai atas. Karena berdebat dengan Seung Ho bukanlah tipe dari seorang Kim Shin Hyeok.

"Ya, apa kausudah mendapat izin dari kantor?" Seung Ho berteriak, namun rekannya itu tidak menjawab.

**

Chapter 2

Ditengah gerimis salju yang menghalangi pandangan, Seung Ho menyimpan DSLR-nya ke dalam ransel lalu melanjutkan langkahnya. Sekarang waktunya menikmati suasana Namsan seperti seekor burung. Ia ingin menikmati secangkir kopi di salah satu restauran favoritnya.

Baru ingin menjejakkan kakinya ke teras sebuah kafe, Seung Ho merasa kakinya menginjak sesuatu sehingga ia refleks menunduk dan mendapati benda kecil di bawah kakinya. Sebuah amigurumi berbentuk kepala kelinci yang berwarna biru. Sangat lucu. Seung Ho meliarkan pandangannya untuk mencari si pemilik yang tidak sengaja menjatuhkannya. Sejurus kemudian kedua matanya menangkap seorang gadis bermantel merah yang baru saja membuka pintu kaca kafe dan entah bisikan dari mana Seung Ho menyusul gadis itu.

"Jeogiyo (permisi), apa barang ini milikmu? Barang ini terjatuh tadi." Kata Seung Ho sambil menunjukkan amigurumi yang tadi ia temukan.

Gadis itu menoleh lalu terkesiap melihat benda mungil di tangan Seung Ho. "Aigo ...! Gamsahamnida!" gadis itu membungkukkan tubuhnya, meminta maaf.

"Ah!" Seung Ho mendesah. "Gwaenchanayo,"

Amigurumi itu kini sudah berpindah tangan ke pemiliknya, gadis dengan rambut hitam sebahu dan bermata besar—setidaknya untuk ukuran orang Korea.

"Terima kasih," Gadis itu berhenti karena tidak tahu nama laki-laki yang telah menemukan gantungan tasnya.

"Joseonghamnida, aku menginjaknya tadi." Seung Ho menggigit ujung bibirnya sebagai tanda penyesalannya.

"Tidak apa-apa. Kau tidak sengaja kan?" gadis itu malah tersenyum, bukannya mengeluh karena kepala boneka mungilnya itu sedikit berubah bentuk "Mau ke dalam juga?" gadis itu menunjuk ke arah restauran.

Seung Ho hanya mengangguk lalu mendahului gadis itu untuk membuka pintu. Bahasa tubuh keduanya terlihat sepakat datang bersama lalu memilih tempat duduk yang sama. Tidak ada obrolan melainkan saling diam hingga pramusaji menyatat segelas peppermint tea dan segelas cokelat panas lalu pergi dari meja mereka keduanya baru saling melempar kalimat pembuka, perkenalan lalu mengobrol layaknya dua orang bersahabat.

"Jadi kau ini reporter Morning News di stasiun TV ternama itu? Hebat sekali...!" puji gadis bernama Eun So itu. Baru saja mereka bertukar cerita tentang dirinya, profesinya dan apa saja yang menjadi kesukaan mereka.

"Belum sehebat yang kaubayangkan karena aku masih seorang asisten reporter, belum menjadi reporter sungguhan." Sangkal Seung Ho seraya menyesap cokelat hangatnya. "dan kausendiri? Kauakan tinggal di mana selama liburan ke Seoul?"

Senyum gadis itu memudar dan berubah menjadi cemberut yang berhasil membuat Seung Ho keheranan. "Aku baru saja tiba dan belum berpikir sampai sana." Dan senyumnya kembali mengembang.

Baru beberapa jam berkenalan Seung Ho sudah bisa memastikan bahwa gadis di hadapannya kini mudah sekali mengubah ekspresi wajahnya.

"Yang benar saja..." desis Seung Ho tak percaya bahwa Eun So seceroboh itu. Bagaimana mungkin berada di kota besar seperti Seoul belum punya rencana akan tinggal di mana?

"Kupikir aku bisa sekalian mencarinya ketika sampai. Apa kaupunya rekomendasi?"

Mendengar sahutan enteng dari Eun So, Seung Ho hanya menggeleng kepala. "Nona, kautidak bisa semudah itu memintaku merekomendasikan suatu penginapan untukmu."

"Kenapa memangnya?" sepasang matanya membola.

"Karena aku tidak bekerja di jasa penginapan. Aku tidak punya rekomendasi apapun untukmu."

Eun So berdecak lidah. "Kupikir kau ini warga Seoul yang ramah pada turis lokal. Baiklah, aku akan mencarinya sendiri. Aku tidak butuh bantuanmu sama sekali." Terlihat wajahnya yang berubah menjadi sangat kesal.

Sedangkan Seung Ho hanya tertawa kecil melihat ekspresi gadis itu. "Baiklah... baiklah...! Aku hanya bercanda." Seung Ho menyeringai. "Aku akan membantumu setelah cokelat panasku habis."

Sebentuk senyum pun menghiasi wajah pucat Eun So. Gadis itu memang mudah sekali mengubah ekspresi wajahnya.

"Punyaku sudah tidak panas lagi." celetuknya seraya menyesap dan menghabiskan cokelat panasnya—yang sudah tidak panas lagi.

**

Seung Ho dapat mencium aroma peppermint menyeruak di kedua lubang hidungnya ketika Eun So berjalan di sebelahnya. Ya, setelah percakapan di restauran tadi, Seung Ho langsung mengajak Eun So ke sebuah penginapan yang terdekat sehingga mereka hanya berjalan kaki saja.

"Sekali lagi, aku sangat berterima kasih kaumau kurepotkan untuk mencarikan penginapan termurah, Seung Ho-ssi," ucap Eun So.

Sekarang keduanya tengah menyusuri trotoar jalan menuju penginapan yang akan ditunjukkan oleh Seung Ho. Sementara Eun So, sama sekali tak protes sedikitpun. Gadis beraroma peppermint itu hanya mengikutinya saja tanpa protes sedikitpun.

"Tidak apa-apa. Sebentar lagi kita akan sampai. Penginapan ini tidak jauh dari Namsan. Kaupasti akan dengan mudah pergi ke Namsan setiap hari,"

Eun So mengukir senyum terbaiknya, "Terima kasih," ucapnya sekali lagi.

Tidak ada obrolan yang terjadi selanjutnya sehingga perjalanan menuju penginapan menjadi sangat jauh sekali. Beberapa kali mereka saling melempar tanya, hanya setelah salah satu menjawabnya, keadaan kembali hening akan suara keduanya. Selebihnya, hanya bunyi langkah dan kendaraan yang berpacu di jalan raya.

"Berbelok sekali lagi maka kita akan sampai," ucap Seung Ho memecahkan keheningan.

Beberapa langkah setelah Seung Ho mengucapkan kalimat itu, Eun So dapat menemukan sebuah tikungan beberapa meter di depan mereka. Sebuah gang kecil yang tidak diketahuinya ke mana ujungnya. Namun Eun So begitu memercayai Seung Ho dan mengikuti arah kakinya melangkah.

Eun So mengedarkan pandangannya ke sekeliling, berusaha menemukan hal baru. Namun yang ditemukan bukanlah sesuatu yang diharapkan. Eun So membelalak ketika menyadari kehadiran pria-pria mengenakan jas formal beberapa meter di depannya. Eun So mulai panik dan tidak menemukan ide.

Ia berpikir, jika ia berlari seketika itu juga, dua orang yang ia lihat tadi akan menjadi curiga dan dapat memergokinya. Dan yang terlintas di dalam pikirannya hanyalah mencari dinding untuk ditatapnya—dengan membelakangi trotoar, Eun So berharap kedua pria berjas hitam itu tidak menyadari keberadaannya.

"Hey, apa yang terjadi?" Seung Ho kebingungan dengan tingkah gadis yang beberapa jam lalu baru dikenalnya ini. Gadis itu tiba-tiba menghilang dari sisinya dan berdiri menatap dinding sebuah pertokoan souvenir.

Eun So berbalik dan menarik tubuhnya, "Tolong, lindungi aku. Berdirilah di depanku. Pelase...!" gadis itu tampak gelisah.

"Memangnya kenapa?" Seung Ho mengernyit. "Ada apa?"

"Please—" Eun So melongokkan kepalanya dan langsung terbelalak ketika menangkap orang-orang yang ditakutinya semakin dekat.

"Hey—ada—" Seung Ho tak sempat melanjutkan karena Eun So sudah membuatnya terkesiap dengan menarik lehernya dan mengadu bibir mereka secara kilat. Gadis itu telah memberikan sensasi peppermint di bibirnya.

Lima belas menit telah berlalu, dan bibir mereka masih saling menempel. Eun So membuka matanya perlahan-lahan, dan langsung melepaskan dirinya dari Seung Ho ketika memergoki laki-laki itu terpaku karena pertahanannya.

"Maaf—" keduanya menjadi salah tingkah.

Eun So kemudian mengedarkan pandangannya lalu mengembuskan napas lega.

**

Seung Ho baru saja menyelesaikan sarapan paginya yang sangat sederhana. Semangkuk Dakjuk—sup bubur ayam—hasil olahan sendiri. Seung Ho bukanlah tipe pria mandiri yang bisa memasak banyak menu, sehingga Dakjuk merupakan menu paling spesial yang pernah dibuatnya—selain Ramyoen. Sekitar satu jam lagi Seung Ho harus sampai di kantornya untuk menemani salah satu reporter stasiun TV tempatnya bekerja. Menjadi asisten reporter—yang kerjanya mengangkat, memindahkan kamera atau beberapa pekerjaan sepele lainnya dalam lokasi liputan—selama beberapa bulan ini menjadi salah satu pekerjaan yang menyenangkan untuknya. Ia tidak akan pernah mengeluh sebelum impiannya menjadi reporter sungguhan benar-benar tercapai. Baginya, menyenangkan sekali membangun sesuatu dari bawah, sehingga ketika nanti ia sudah berada pada puncaknya ia akan mengenang kerja kerasnya itu dengan senyuman bangga.

Begitu membuka pintu, Seung Ho dikagetkan oleh penampakan seorang gadis bermantel merah di teras rumahnya.

"Eih, siapa dia?" desahnya yang tidak bisa begitu saja mengacuhkan orang asing memasuki kawasannya.

Gadis itu terlihat sedang tertidur dengan posisi duduk di atas kursi kayu sambil memeluk lututnya. Seung Ho segera mendatangi gadis itu lalu memerhatikan dengan saksama. Meskipun separuh wajah gadis itu tertutup hoody, Seung Ho bisa mengenali gadis itu. Seung Ho bertambah shock ketika benar-benar yakin bahwa gadis itu adalah gadis yang bersamanya tadi malam. Gadis yang membuatnya sulit melupakan aroma peppermint di bibirnya.

"Jung Eun So???" Seung Ho hampir tidak memercayai apa yang ia lihat. Seingatnya gadis itu sudah ia antar sampai penginapan yang akan dihuninta. Lalu bagaimana bisa gadis itu tertidur nyenyak di teras rumahnya? Bagaimana kalau para tetangga tau?

"Nona... Nona Jung...!" Tangan Seung Ho menyentuh bahu kiri gadis itu, menggoyang-goyangkan tubuh Eun So agar gadis itu segera bangun. "Nona Jung..." ternyata Eun So sulit sekali dibangunkan.

Beberapa detik kemudian, Eun So terlihat menggerakkan kepalanya pelan. Tak lama setelahnya wajahnya yang polos mendongak disertai tangannya yang terentang dan mulutnya yang terbuka lebar—menguap. Gadis itu terbangun dari mimpinya yang entah apakah itu indah atau malah buruk. Matanya yang besar mengerjap-ngerjap berulang kali sampai ia benar-benar mendapatkan pandangan yang jelas.

"Eih, Seung Ho-ssi...!" sapanya tanpa dosa.

Yang membuat Seung Ho begitu keheranan, bagaimana bisa gadis itu tidur dengan nyenyak di atas kursi dan bangun dengan perasaan puas seperti yang ia lihat sekarang. Apakah itu tidak menyiksa tubuhnya?

"Seung Ho—ssi, kau rapi sekali. Sudah mau berangkat kerja ya?" tanyanya santai. Ia tidak tahu apakah laki-laki di hadapannya kini senang atau tidak melihatnya sepagi ini.

"Apa semalam kaumengikutiku?" hardik Seung Ho tanpa perlu basa-basi. Ia harus tahu alasan perempuan ini berada di teras rumahnya dengan kondisi mencengangkan. Tertidur pulas.

Eun So menelan ludah. Ia terdiam dan seperti tidak ingin menjawab pertanyaan Seung Ho barusan.

"Bukannya semalam kausudah kuantar ke penginapan yang lebih nyaman dari teras rumahku?!" ujar Seung Ho bernada sindiran.

Eun So masih mengunci rapat mulutnya ketika Seung Ho mulai menyerbunya dengan berbagai pertanyaan yang bernada sindiran. Gadis itu sama sekali tidak punya jawaban secepat Seung Ho bertanya padanya.

"Nona Jung...," Seung Ho melipat kedua tangannya di dada namun pandangannya semakin lama semakin sinis. "Sekarang apa kaubisa menjawab semua pertanyaanku dengan cepat?"

"Aku... aku..."

Seung Ho masih berdiri tegak di hadapan gadis itu. Matanya yang dihalangi kacamata sesekali melirik jam tangannya.

"Aku tidak mau tinggal di penginapan, Seung Ho-ssi...!" Eun So masih menyembunyikan wajahnya dari tatapan Seung Ho yang kian lama kian sinis. Bahkan ia tidak yakin kalau Seung Ho yang ada di depannya sekarang adalah Seung Ho yang mengembalikan amigurumi-nya tadi malam.

"Tapi tidur di teras rumahku bukan pilihan yang bijak, Nona Jung!"

"Aku memang tidak punya pilihan, Seung Ho-ssi..." Eun So berkata lirih.

Seung Ho mencebik ketika mendengar nada yang hampir menangis seperti itu. "Nona Jung, apa kausedang mencoba membuatku kasihan padamu?" tanyanya seraya mengembuskan napas berat.

Refleks Eun So mengangkat wajahnya lalu menggeleng dengan mantap. "Bukan begitu..."

"Lalu?" Seung Ho masih menanti dengan gestur yang sama.

"Aku—aku..." Eun So kembali terbata. Ia memang tidak punya jawaban selain 'tidak ingin berada di penginapan manapun' untuk satu alasan yang tidak bisa ia ceritakan pada orang lain.

"Ssshhh!" Seung Ho mendesis kesal. "Kausudah membuang waktuku." Berada di hadapan Eun So benar-benar menyita waktu yang seharusnya sudah ia gunakan untuk berangkat ke kantor. "Nona Jung, aku sudah terlambat ke kantor. Kuharap setelah aku pulang nanti kausudah berada di penginapan barumu, tapi yang jelas bukan di teras rumahku." katanya penuh penekanan.

Sejurus kemudian Seung Ho memutar tubuhnya lalu pergi meninggalkan Eun So sendirian di teras rumahnya. Sesuai dengan apa yang ia katakan, ia tidak mau tau bagaimana caranya tapi yang terpenting ia ingin gadis itu segera pergi dari rumahnya.

"Seung Ho—ssi... bisakah aku menumpang di rumahmu untuk beberapa hari?" teriak Eun So yang tentu saja membuat langkah Seung Ho terhenti seketika itu juga.

Seung Ho memutar tubuhnya dan menampakkan wajah kesalnya pada gadis mengulum senyum memohon padanya.

"Nona Jung... Kau—ssshhh!" Seung Ho mendesis menahan kesal.

"Beberapa hari saja..." ujarnya seraya mengacungkan dua jarinya yang mirip huruf 'V' pada Seung Ho. "Pleaseee..."

Seung Ho tidak berbicara banyak, tapi langkahnya yang mendekat meyakinkan Eun So bahwa Seung Ho menyanggupi permintaanya.

"Nona Jung, aku tidak punya banyak waktu untukmu karena aku harus.... Kuharap kau..." katanya seraya membuka pintu rumahnya.

"Tidak apa-apa, Seung Ho-ssi. Aku akan beradaptasi sendirian dengan rumahmu." Potong Eun So, berlaku seolah-olah ia tamu istimewa yang sangat diharapkan.

Alih-alih menyangkal setiap kalimat Eun So, Seung Ho malah menatap gadis itu dengan tatapan tak terdefenisikan. Air mukanya datar namun lirikan matanya seolah menusuk.

"Ya..." Seung Ho mengangguk-anggukkan kepalanya, "Sepertinya kaumemang sudah beradaptasi dengan tidur di kursi." Lanjutnya dengan nada penuh sindiran.

Kedua pipi Eun So memerah menahan malu.

"Silakan masuk!" kata Seung Ho penuh penekanan.

Sepertinya Eun So sedang membiasakan diri dengan semua kalimat-kalimat sarkastis Seung Ho mengingat ia sangat butuh tinggal bersama warga Seoul yang tidak punya hubungan keluarga dengannya.

"Seung Ho-ssi, kautinggal sendiri? Rumah ini cukup besar untukmu, kautahu?" celetuknya sembari meliarkan pandangan ke segala sudut ruangan.

"Sekarang apa rumah ini masih terlalu besar untuk kita?" Seung Ho menaikkan sebelah alisnya. Sepertinya Seung Ho masih berusaha menyembunyikan kekesalannya lewat kalimat-kalimat sarkastis.

"Seung Ho-ssi, kedengarannya kau tidak suka denganku ya?" wajah gadis itu berubah cemberut.

"Tentu. Aku pasti akan lebih membencimu kalau sampai kaumembuatku terlambat ke kantor." Ucapnya dengan pandangan lekat pada jam tangannya. "Aku harus pergi sekarang!" ujarnya seraya berbalik dan berlari-lari menuju halte.

Eun So menatap kepergian laki-laki itu dengan kening mengernyit. "Lalu... kamarku di mana?" gumamnya ingin protes tapi percuma saja, Seung Ho sudah terlanjur jauh.

**

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!