Sore yang mendung, semendung hatiku ada kah jalan keluarnya? Sepertinya tidak, ada sesuatu seperti sebongkah batu yang ingin keluar. Menangis? Itupun sepertinya habis di mataku atau ada yang bisa kulakukan lagi? Tepukan halus membuyarkan lamunanku .
"Arin, Arin, bagaimana? Sedari tadi aku bercerita kenapa kau diam saja? Kau tak mendengarkan aku?" Suara Lestari seperti tepukan kecil di kepalaku.
"Ya, aku tahu, aku dengar ceritamu hampir sama denganku, gagal menikah ya kan?" Jawabku sekenanya. Lestari tersenyum kecil. "Tapi aku tak seperti kamu juga, kamu ditinggal menikah hampir dua kali" Lestari tertawa mengejekku.
"Kamu di tinggal selingkuh, begitu kan?" Aku juga balik mengejeknya.
"Apa bedanya lestari apapun ceritanya intinya sama, kita ditinggal nikah sama calon imam" Ucapku memotong perkataan Tari panggilan sayangku pada lestari.
Dia hanya mengaduk es teh nya lalu meminumnya sedikit "Sabtu depan mantanku akan menikah, aku di undang, aku tak ingin hadir."
Lestari meminta tanggapanku.
"Aku tahu kau pasti akan bilang begitu, tapi menurutku kau harus wajib datang" Bibir Tari mencibir.
"Kamu ingin aku sampai di sana, melihat mantanku Leo menikah lalu bersalaman, keringat dingin keluar, ujung ujungnya pas pulang aku menangis keras seperti kamu waktu itu" Aku terperangah melihat Tari dengan mata melototnya.
"Oh ya Tuhan, benar juga kejadian memalukanku tahun kemarin. Saat putus dan menerima undangan pernikahan mantanku aku tegar seperti karang tak bersedih tapi saat datang memenuhi undangannya aku hanya diam seperti patung. Namun dalam diamku ada yang sangat menyayat dalam hatiku seperti silet lalu di taburi garam, pedih sekali. Tari tertawa kecil.
"Masih ingat kan? Waktu itu kamu sok tegar dan kuat, aku pikir itu benar, kamu dandan secantik cantiiknya. Aku sungguh terpukau dengan penampilanmu, sepertinya kamu ingin mengalahkan pengantinnya, ternyata ha ha ha."
Ku tutup telingaku mendengar tari tertawa "Kau menangis dan berteriak di parkiran" Tari masih terus mengejekku.
"Oh, Tari jangan di lanjutkan lagi aku malu benar benar malu aku kira parkiran sepi ternyata oh my God, banyak yang melihatku" Kututup wajahku, mirip dengan pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula.
"Aku tak akan hadir di pernikahan dia, aku akan pergi liburan saja, kau mau ikut denganku?" Tari bertanya padaku.
"Aku tak tahu, aku sedang banyak pekerjaan, kamu tahu hari ini aku buat kekacauan, banyak yang salah di pembukuannya banyak yang eror" Ku acak rambutku yang tipis ini.
"Ini melebihi di tinggal mantan, aku bisa tak punya uang bila sampai bosku marah karena ini dan hilang pekerjaanku." Lestari hanya tertawa kecil sambil melihat jam tangannya.
"Sudah ..sudah hadapi nasibmu guys, ayo balik ke kantor jam makan sudah hampir habis." Lemaslah aku, tak terbayang kan aku akan menghadapi bosku ku yang cerewet dan terlebih partner kerjanya pun akan datang, matilah aku.
Ternyata apa yang kubayangkan mulai terbukti aku di panggil ke ruangan rapat.
Di tempat itu, bosku duduk bersebelahan dengan partner kerjanya yang wajahnya tertutup oleh buku. Sepertinya fokus sekali melihat angka angka pembukuan ku yang salah.
"Selamat siang" Kataku sambil mengambil kursi tepat di depan mereka.
"Selamat siang" Ucapnya.
"Saya tidak akan berbasa basi lagi, pasti kamu tahu kenapa kamu di panggil kemari?" bosku menatap tajam seperti ingin menusuk diriku, aku hanya mengangguk.
"Ini partner bapak, kamu mengerjakan pembukuan dia dan terus terang masa kerja kami tergantung dengan dia." Bosku berhenti berbicara dia menatap ke arah sebelahnya.
Seorang lelaki mapan, berkacamata dengan kumis tipis yang membuat dia ..ehm lamunanku buyar saat memandangnya. Wajah itu seperti pernah melintas di masa laluku dulu.
"Arina Saputri, lulusan terbaik katanya." Suara itu benar benar dari masa lalu aku.
"Kau ..apa aku mengenal bapak? Sepertinya kita pernah kenal." Kataku mendahuluinya. Rasa penasaran mulai menggelayut dalam pikiranku.
"Ya , aku Dimas kamu masih ingat? Kita teman SMA dulu."
Aku mengangguk, mencuri pandang padanya, dia sangat berbeda, dulu culun sekali. Salah satu cowok yang pernah menembak aku, tapi ku tolak.
"Lama tak jumpa ya Mas? Saya mau minta maaf karena pekerjaanku yang salah, aku sedang tak fokus." Dimas tersenyum kecil.
"I'ts oke, itu karena kamu temanku, aku masih bisa memakluminya, tapi kau tetap harus memperbaiki kesalahanmu ini!" Tegas Dimas padaku. Dia lalu menyerahkan pembukuan itu padaku.
Aku mengangguk, bersyukur dia tak memecatku. Dimas menengok ke arah bosku.
"Mulai hari ini mungkin aku akan berkantor di sini pak, kalau anda tak berkeberatan." Pandangan matanya ke arah bosku yang di balas dengan mengangguk pelan.
"Tentu saja, saya senang anda juga bisa membantu, apalagi kalian berdua sudah berkawan lama, kalian bisa jadi team yang hebat!" Ucap bosku dengan mengetuk ngetuk jarinya di meja.
"Saya hanya membantu menyelesaikan kesalahan saja, saya tak ingin memakai bantuan asisten anda." Dimas tersenyum ke arahku . "Kalau bisa carikan saya seseorang untuk membantu pekerjaan saya selama di sini ." Dimas seperti ingin mengejekku, aku hanya diam. Karena posisiku yang salah aku tak bisa banyak bicara.
"Ku harap besok sudah selesai Arina Saputri, ku tunggu di mejaku jam 8 pagi" Dimas menatapku tajam. Aku hanya menganggukkan kepala tak menjawab.
Ada rasa kesal yang tersimpan di pandangan matanya itu. Aku lalu pamit keluar ruangan, di balik pintu aku terdiam, syukurlah aku tak mendapat marah seekstrim yang kubayangkan. Aku tak menyangka Dimas sekarang jadi atasanku, ko bisa? Mungkin aku harus menanyakan ini kepada bosku.
"Sebenarnya partner bapak itu pak Harun, pamannya nak Dimas, dia menanam modal di sini hampir 50 persen. Karena banyak usaha yang di pegang pamannya, makanya Dimas di sini untuk membantu pak Harun dan saya senang kalian berdua ternyata sudah berteman." Aku diam mendengar penuturan bosku.
"Kamu itu asisten handal Arin, kamu pasti akan sangat membantunya."
"Ya sudah, bapak mau keluar dulu, tolong kamu rapikan ruangan nak Dimas, nanti bapak akan cari orang yang bisa bantu bantu dia selama di sini."
"Baik pak, terima kasih." Aku mengangguk memperhatikan bosku keluar. Sebelum sempat masuk lagi ke dalam kantor seseorang memanggilku.
"Arin..Arin..!." Ternyata Dimas.
Aku takjub memandangnya, ku perhatikan dari sepatunya yang mengkilat, celana hitamnya yang licin hingga ke baju kemejanya yang biru rapi, dia sangat berbeda.
"Ya pak, selamat pagi bapak memanggil saya?" Dimas menghampiriku, bau parfumnya semerbak. Ah aroma lelaki yang menarik, pikiranku jadi nakal aku tersenyum sendiri.
"Ya, aku perlu bantuanmu, bisa kau bawa ini?" Aku tertegun, Dimas menyerahkan setumpuk kertas ke tanganku.
"Kamu periksa, masukkan juga itu ke pembukuan yang kemarin, jangan lupa buatkan aku kopi. Aku tunggu di ruanganku."
"Tapi pak, aku kan..." Belum sempat aku berbicara Dimas sudah memotong pembicaraanku.
"Aku berubah pikiran, sekarang kamu asistenku, aku sudah bilang dengan bos kamu, ok..ayo cepat!"
Apa? Aku asistennya, apa yang sedang terjadi? Sudah terbalikkah dunia ini gerutuku.
Belum sempat aku berpikir Dimas sudah berteriak. "Arin, kopiku ?"
Ya kopi, cepat cepat ku buatkan kopi untuknya, tapi saat di minum alisnya berkerut.
"Arin, ini kopi terlalu pahit, aku tak suka, bisa kamu buatkan lagi?"
"Oh, maaf pak, aku tak menanyakan bapak dulu mau minum kopi apa."
"Ya, sudah tolong cepat tidak pakai lama!" Dimas menggerakkan jarinya agar aku membuatkan lagi.
Dimas hanya tersenyum kecil, seperti ada sesuatu di balik senyumnya itu.
"Arin, ini terlalu manis! Kurangi gulanya sedikit!" Kata Dimas saat meminum kopiku lagi. Padahal dia baru satu tegukan. Tuh kan aku merasa Dimas mulai menjahiliku, hingga kopi yang ke empat Dimas belum juga mau. Oh Tuhan, aku merasa dia benar benar ingin mengerjai aku.
Hingga akhirnya dia hanya ingin air putih segelas. Kesal sekali, tapi aku hanya diam saja, bagaimana lagi.
"Arinn.." Dimas memanggilku.
"Aku akan keluar selama dua jam, untuk itu kau harus menyelesaikan pekerjaan yang ini. Aku kembali, semua sudah harus ada di mejaku !" Perintah Dimas padaku.
"Hah ?
Pekerjaan lagi?" Aku bergumam
"Tapi pak berkas yang bapa berikan tadi...."
"Aku tak mau tahu, harus selesai!" Dimas lalu mengambil ponselnya di atas meja dan pergi begitu saja, membuatku tambah kesal, aku gigit jariku. Apa si maunya? Kerja rodi begini gumamku dengan terduduk lemas.
Hari ini aku benar benar seperti robot dengan baterai baru, mengerjakan apa yang Dimas suruh. Bersyukur semua pekerjaan selesai tepat waktu, tapi ku tunggu dia tak muncul juga.
Katanya hanya dua jam ini sudah lima jam hampir jam makan siang. Bisa bisa aku tak makan hari ini, tiba tiba telepon berdering, ternyata suara Dimas di seberang sana,
"Arin, saya mungkin tak kembali ke kantor, pekerjaan ku belum selesai, bisa kau tangani nanti bila ada klienku datang?" Katanya.
"Ya siap pak Dimas!"
"Ok, aku rasa kamu sudah mengerti !" Belum sempat saya menjawab Dimas sudah menutup teleponnya ih aneh tuh orang.
Ku ceritakan semua pada Lestari dia tertawa dengan senangnya.
"Ha ha masih untung kamu tak di pecat, dapat bos baru pula tampan juga."
"Tapi dia menyuruhku ini itu, pekerjaan yang banyak seperti tidak ingin memberiku nafas." Ku suap makananku.
"Aku rasa dia masih cinta sama kamu" Ucapan Lestari membuatku tersedak. "Cinta..kamu gila, saya hampir tujuh tahun tak bertemu dengan dia Tari!"
"Buktinya, dia masih ingin dekat dengan kamu" Tari memutar mutar sendok makannya.
"Aku masih tak mengerti" Ku tatap mata Tari meminta jawaban.
"Begini, awalnya dia tak ingin berkantor disini, melihat kamu dia jadi kerja di sini lalu dia tak mau kamu jadi asistennya tapi akhirnya dia memilih kamu itu kan aneh, kalau sudah tak cinta buat apa ingin berdekatan dengan kamu terus iya kan?" Menurutku penuturan Tari ada benarnya juga tapi aku hanya menjawab dengan mengangkat bahu maybe yes maybe not. Tari kan terkadang halunya sangat tinggi.
Hari berikutnya masih sama, pekerjaanku semakin banyak Dimas hanya bicara seperlunya padaku tapi kadang ku perhatikan dia suka terdiam entah apa yang ada di pikirannya.Terkadang ku curi pandang juga apabila dia sedang melamun.
Kenapa Dimas tak semenarik ini dulu. Aku masih ingat dia cowok yang jauh dari kata ideal. Mukanya pas pasan, keren juga gak, bicaranya kaku, dia seorang yang sangat datar.
Tapi ku akui aku sempat schok saat Dimas mengatakan cinta padaku. Padahal dia tahu aku sedang dekat dengan Reihan. Meskipun kami beda jurusan sepertinya dia sering memperhatikanku. Pada akhirnya mantanku Reihan yang menikah lebih dulu. Kami putus begitu saja tanpa alasan yang jelas.
Kata kata Dimas datar sekali tanpa ekspresi seperti orang yang sedang jatuh cinta. Saat aku menolak pun dia hanya diam saja, dia hanya minta berfoto bersama. Dia katakan sekolah akan usai, apa salahnya berfoto bersama untuk kenang kenangan.
"Arin..Arin!" Tangan Dimas melambai di depan wajahku mengagetkanku, malu sekali, pasti Dimas tahu aku sedari tadi memperhatikannya.
"Ya, pak ada apa?" Kataku cepat seolah olah sedang baik baik saja."
"Aku mau makan siang, apa kau mau ikut denganku?" Ajaknya padaku.
Apa? Dia menawariku makan, tapi hari ini kebetulan aku membawa makanan sendiri.
"Maaf Pak aku membawa bekal sendiri."
"Oh ya, apa kau memasak sendiri ?" Dimas tak percaya padaku .
"Ya pak , apa bapak mau coba?"
"Ehmm..boleh juga, kau masih seperti waktu SMA selalu membawa bekal." Dia hanya tersenyum.
"Tapi aku tak ingin mencobanya" Dimas seperti ingin mengejekku.
Aku hanya mengangguk, sombong sekali, dulu waktu SMA kalau lihat aku bawa makanan begini pada jam istirahat dia pasti mendekatiku terus, kalau belum di kasih secuil makananku dia tak beranjak pergi.
Sekarang bodo amat aku tak perduli lebih baik aku makan tapi melihat dia sombong begitu aku pikir sangat menarik, cool gitu.
Sudah hampir dua minggu aku menjadi asistennya, tak ada yang spesial menurutku, dataaar sekali dan monoton hanya pekerjaan dan pekerjaaan yang dia berikan padaku.
Padahal aku berkhayal dia ngobrol denganku, bercerita pasti kan asyik tuuuh, mengenang masa masa dulu. Sekarang pergi pagi pulang malam, kaku sekali, dia sangat cuek padaku.
Apa yang mesti kulakukan? Ku mainkan pinsil yang ada di tanganku, aku bosaaan, aku telungkup kan kepalaku ke meja hingga tak terasa aku tertidur.
Entah berapa jam aku tertidur, saat mencoba membuka mataku ruangan di depanku sudah sepi sepertinya sudah pulang tapi lampu ruangan masih menyala.
Memang hari ini Dimas sudah bilang padaku akan bertemu seseorang di luar, aku menengok kanan kiri, melihat ruangan lain yang hanya di batasi dengan kaca..sepi sekali.
Betapa kagetnya aku melihat jam di tanganku sudah jam 9 malam, pantas sunyi Dimas pun mungkin sudah pulang tapi kenapa dia tak membangunkan aku, tak ada seorangpun yangmembangunanku.
Cepat cepat kurapikan tasku, aku juga harus pulang, sudah lewat jam pulang kerja. Saat hendak menutup pintu, aku berpapasan dengan pak satpam kantor.
"Mbak Arin, belum pulang mbak? Aku kira mbak ikut sama yang lainnya" Katanya.
"Ikut dengan yang lain..? Memang ada acara pak? Aku ketiduran di dalam .."
Oh pantas mbak, aku dengar sih mereka ingin ke cafe yang baru buka itu loh mbak, ada promo gratis, mungkin mereka kira mbak Arin pergi sama pak Dimas ke sana."
" Pak Dimas? Oh ya, apa dia sudah kembali kemari?" Pak satpam hanya mengangkat bahu.
"Sepertinya pak Dimas belum balik lagi kemari."
"Ya, sudah pak saya pulang saja takut kemalaman di jalan." Aku lalu bersiap pergi "Baik mbak hati hati di jalan."
Aku berjalan dengan cepat, kemana Dimas sudah malam begini, jangan jangan habis ketemu dengan klien dia langsung pulang. Tapi kenapa dia tak bilang, seharusnya kabarin aku terlebih dahulu tidak seperti ini gumamku, sambil terus berjalan ke tempat parkir.
Suasana begitu sepi, aku suka dengar dan suka nonton film horor di tempat parkir itu suka banyak kejadian yang aneh aneh, perampokan, setan juga, aku jadi merinding.
Aku tengok kanan kiri lagi, mobilku masih di ujung sana. Betapa kagetnya, aku berteriak saat melihat seekor kucing yang melintas di depanku.
Kucoba menyeimbangkan badanku yang akan jatuh, aku merasa ada tangan dingin meraih tanganku dan menangkap ku, ketika tersadar, aku sudah ada di pelukan seseorang.
Ku pukul pukul dia setengah berteriak " Lepaskan ! lepaskan !" Terdengar suara seseorang yang aku kenal.
"Arin..Arin kau kenapa? Ini aku Dimas!" Aku melihat ke arahnya.
Dia masih memegang tanganku, aku terpana " Dimas ..? "
"Ya ini aku? Kenapa kamu menjerit?" Dimas menatapku bingung.
Tatapan mata itu melelehkan aku.
"Tidak pak aku hanya sedikit kaget, aku pikir tadi ada yang melintas, aku kira apa aku hanya terkejut." Aku melirik tangan Dimas yang masih memegangi ku.
Dimas melepaskannya "Oh , maaf aku pikir ada apa aku baru parkir mobilku di seberang sana saat ku dengar teriakanmu."
"Ya makasih " Aku berusaha menghilangkan rasa kagetku.
"Kenapa kamu baru pulang jam segini? kamu pasti menunggu aku, aku lupa memberi kabar" Dimas diam masih memperhatikan aku.
"Aku tertidur pak, aku pikir bapak sudah pulang dan tidak kembali kemari" Aku masih sedikit bingung.
"Ini sudah malam hampir jam 10, lebih baik ku antar kau pulang" Saran Dimas padaku.
"Tak usah pak, aku baik baik saja."
"Arin ..aku takut terjadi apa apa denganmu di jalan, mobil kamu biar saja di sini, kau pulang bersamaku besok kan libur, aku kan suruh orang untuk mengantar mobil ke rumahmu" Dimas tetap memaksa aku untuk menerima ajakannya.
Aku pikir benar juga apa yg di katakannya, apalagi ini mobil kesayangan ayahku, akhirnya aku berikan kunci mobilku padanya, kapan lagi aku bisa pulang di antar oleh Dimas, aku pun mengangguk setuju.
Selama perjalanan kami hanya diam dengan pikiran masing masing, bingung mau bicara apa, padahal biasanya aku cerewet sekali, kenapa kali ini mulutku seperti terkunci aku hanya memandang jalan dan kelap kelipnya lampu yang kulewati.
"Arin, bolehkan ku tanya sesuatu ?
"Dimas bertanya padaku mencoba mencairkan suasana.
"Ya apa?" Sahutku menoleh ke arahnya "Kenapa kau putus dengan Reihan?"
"Reihan? Reihan teman SMA kita dulu maksud kamu?" Aku malah balik bertanya.
Aku tersenyum geli, "Itu kan masa muda, seperti judul lagu kisah kasih di sekolah hanya sebatas itu mungkin di bilang cinta monyet apa cinta panda gitu" Kali ini Dimas yang tersenyum.
"Tapi ku dengar yang terakhir ini mungkin bukan cinta panda atau sama dengan itu, ku dengar kau batal menikah?" Aku terdiam menatapnya."
"Darimana kau tahu aku gagal menikah, aku tak pernah mengatakan apa apa padamu?" Dimas menoleh ke arahku.
"Mungkin bisa di bilang kabar burung atau kabar angin" Dimas menatapku pandangannya kembali ke jalan.
"Ya, aku berpacaran dengannya hampir setahun, setelah putus dengan Reihan aku menjomblo lama, lalu aku menjalin dengan seseorang selama 2 bulan, aku ingin mengenal dia lebih lama tapi dia ingin mengajakku menikah, aku menolak, mungkin itulah kenapa dia akhirnya memilih wanita lain" Sahutku pelan.
"Kenapa?" Dimas bertanya lagi.
"Aku tak tahu dia baik, lelaki yang baik tapi seperti ada yang tidak yakin dalam hatiku, kau tak perlu tahu apa itu, hanya aku yang bisa merasakannya" Jawabku sambil menatapnya.
Kami beradu pandang, bibirnya tersenyum tipis, dada saya bergetar, cepat cepat ku alihkan pandanganku ke depan .
"Kau sendiri, sudah berapa wanita yang singgah di hatimu?" Aku balik bertanya. Dimas diam sesaat.
"Tidak ada, aku tak menjalin hubungan dengan siapapun." Jawabnya datar.
Aku jadi terdiam, itu berarti dia hanya jatuh cinta padaku? Tanyaku dalam hati, apa benar?
"Arin, bila kau ingin bertanya padaku kenapa itu bisa terjadi, aku tak tahu tapi dulu di masa lalu aku menyatakan cinta pada seorang gadis dan di tolak, maka detik itu juga aku seperti tak ingin menjalin dengan wanita manapun" Ada muka yang sedih terlihat di wajah Dimas.
Aku tak bisa berkata apa apa, leherku seperti tercekik, apa benar yang di katakan Dimas itu berarti, hanya aku satu satunya wanita yang di cintainya.
"Arin..Arin.." Dimas menghentikan mobilnya.
"Ya .." Ku alihkan pandangan ku kepadanya, kami bertatapan lagi dadaku tambah bergetar menatap sepasang mata yang hitam itu.
"Ya ada apa?" Tanyaku padanya.
"Sudah sampai, rumahmu masih ini kan?" Alis Dimas mengarahkanku untuk melihat keluar. Kami sudah sampai cepat sekali.
"Ya benar ternyata kau masih ingat rumahku apa kau mau mampir pak? Nada Suaraku berusaha biasa saja meredakan dadaku yang berdegup kencang.
"Tidak terima kasih, sudah malam salamku untuk orang tuamu, ngomong ngomong kalau kita sedang berdua panggil nama saja." Dimas tersenyum lagi tatapan matanya seperti banyak tafsir antara senang dan gugup pula.
"Ya baik terima kasih juga pak!"
Aku lalu turun dan melambaikan tanganku padanya.Ternyata dia masih sendiri ada kesempatanku untuk mendekati dia lagi.
Aku bergegas masuk ke dalam rumah, aku masih senyum sendiri.
"Ayo, Kaka diantar siapa malam malam gini?" Suara Gita mengagetkanku.
"Teman kantor, kamu ngintip yah" Aku mencubit hidungnya .
"Ku kira pacar baru, ngomong ngomong mobil Kaka di mana?" Lalu Gitapun duduk di ruang tamu.
"Ada, kaka tinggal di kantor besok ada yang antar, habis tadi kemalaman, takutnya ada apa apa di jalan makanya dia mengantarku pulang." Akupun lalu ikut duduk di samping Gita .
"Tumben kamu belum tidur adikku sayang biasanya jam segini sudah mimpi" Gita bergeser lebih dekat padaku.
"Aku sengaja menunggu Kaka pulang memang ada yang ingin aku bicarakan dengan Kaka" Suara Gita terdengar mulai serius.
"Begini ka, kalau tak ada halangan keluarga dari Ervan, minggu depan akan kemari, ada yang akan di bicarakan tentang kami berdua."
"Maksudmu ..Ervan mau melamar kamu?" Gita mengangkat bahu. Ervan adalah pacar Gita adikku mereka berpacaran sudah cukup lama hampir 5 tahun .
"Bila dia ingin melamarku kata Kaka gimana?" Gita balik bertanya.
"Ya gak gimana gimana kaka malah senang status hubunganmu ada kejelasannya."
"Tapi Ka" Gita memotong pembicaraanku.
"Kalau Ervan melamarku itu berarti aku akan mendahului Kaka, apa itu tak apa apa?" Suara Gita terdengar pelan mungkin takut menyinggung perasaanku.
"Gitaku sayang, kamu adik kakak satu satunya bila kamu bahagia Kaka ikut bahagia. Apapun keputusanmu kaka akan selalu ada di sampingmu " Aku lalu membelai rambutnya.
"Lagian ini kan sudah era digital sepertinya udah tidak tabu seorang Kaka di langkahi adiknya, karena masalah jodoh itu di tangan Tuhan" Ucapku sok bijak , padahal itu untuk menghiburku juga.
"Ka, terima kasih sudah mengerti aku aku selalu berdoa yang terbaik untuk kaka, terutama jodoh terbaik. Kaka orang yang sangat spesial insha Alloh kaka akan mendapatkan seseorang yang spesial juga" Gita menggenggam tanganku. Aku jadi terharu lalu menarik dia dalam pelukan ku.
"Amiiin, terima kasih sayang, kaka merasa beruntung punya adik seperti kamu, apapun yang kamu perlukan kaka akan bantu semampu Kaka" Aku mengangguk di depan Gita. Kami lalu berpelukan lagi seperti orang yang akan berpisah jauh.
Tapi memang hari berlalu cepat sepertinya baru kemarin kami main bersama sekolah, dan jalan bersama. Sekarang Gita perlahan akan pergi menjauh dariku bersama seseorang untuk menggapai masa depannya.
Sedang aku? Tak jelas, tapi aku tak boleh bersedih itu akan membebani perasaan Gita.
"Ya sudah, kamu lebih baik tidur sekarang, kaka mau mandi dulu." Gita memelukku lagi.
"Selamat malam kakakku cantik, mimpi yang indah yaa" Lambainya sambil berjalan menuju ke kamarnya. Ku buka pintu kamarku perlahan, ku rebahkan badanku di atasnya, banyak yang aku pikirkan sekarang lelah sekali.
Mulai Berdekatan.
Ternyata Dimas benar, esok harinya dia datang dengan mobil ayahku, dia sangat santai dengan kaus putih dan celana hitamnya, aku melihat dari balik kaca ruang tamu kebetulan aku hendak keluar.
Aku lihat dia sedang bersama ayahku sambil sesekali matanya melihat ke mobil ayahku, aku gugup sekali, apa yang mesti aku lakukan? Ini kali pertama kunjungan Dimas ke rumahku tapi aku tak mungkin di dalam terus pura pura tidak tahu dia datang, Dimas akan curiga padaku.
Dengan merapikan rambutku sedikit aku berjalan sambil membawa segelas minuman, Dimas melihat ke arahku "Tak usah repot repot Rin aku hanya sebentar" Ucapnya .
"Hanya minuman saja nak Dimas, lagipula seharusnya Arin yang berterima kasih semalam sudah di antarkan pulang, tahu sendiri sekarang lagi marak begal" Ayahku yang menjawab pertanyaan Dimas .
"Ya pak " Dimas menjawab ayah , ku letakkan gelas berisi air teh panas di atas meja.
"Ya sudah kalian ngobrol dulu, bapak mau melanjutkan hobi bapak jalan jalan pagi maklum nak Dimas di usia bapak segini harus banyak bergerak" Ayahku lalu menggerak gerakkan tangannya, Dimas tersenyum simpul melihat ayahku yang berjalan ke teras rumah.
"Silahkan di minum Mas!" Aku mencoba mencairkan suasana, Dimas mengangguk diteguknya air teh sedikit.
"Rumahmu nyaman sekali banyak tanaman" Dimas berkata sambil melihat sekeliling.
"Hobi ayahku Mas, dia sangat suka dengan tanaman."
"Ya, kulihat saat kemari ayahmu sedang memotong daun tanaman" Dimas tersenyum lagi.
"Kau sendiri tak kemana mana?" Tatapan matanya lembut ke arahku. Jantungku berdegup kencang .
"Aku tak kemana mana Mas libur gini enaknya tidur" Aku tertawa.
"Ya sama aku juga" Kami lalu tertawa bersama.
"Kau suka dengar kawan kita lama Rin, gimana kabarnya? Setelah lulus dan kuliah di luar negeri aku jadi kehilangan kontak" Dimas menanyakan kawan kawan yang dulu sekolah bersama.
"Aku hanya mendengar selintas lintas saja, aku dengar dari Yuki, angkatan kita akan mengadakan reuni." Dahi Dimas berkerut.
"Yuki yang gemuk itu maksud kamu?"
" Ya Mas, sekarang dia sudah langsing, cantiik lagi, badannya seperti ini" Aku memperagakan siluet gitar dengan tanganku .
"Oh ya, aku jadi ingin lihat, nanti nomor aku kau daftarkan Rin, aku ingin ikut reuni lama tak jumpa pasti banyak perubahan yang terjadi." Aku hanya mengangguk.
Dimas pagi ini manis sekali, kami lalu terdiam, ingin bicara tapi bingung mau bicara apa jadi asyik sama pikiran masing masing, saat seperti itu ibu keluar dan menemui kami. Ibu lalu bertegur sapa dengan Dimas.
"Rin, ibu sudah selesai masak bilang Ayahmu waktunya makan nanti sakit maag nya kambuh lagi, ajak sekalian nak Dimas."
"Tak usah bun, saya juga mau pulang."
" Yah ko gitu si nak Dimas, kapan lagi cicipin makanan ibu mumpung masih hangat" Ibu mencegah Dimas pergi, terlihat ayah datang menghampiri.
"Ayo nak Dimas sekalian temanin bapak makan, sehabis makan temenin bapak main catur" Ayah merangkul Dimas dan mengajak masuk ke dalam, Dimas jadi canggung tak bisa menolak lagi.
"Tahu, masakan ibu enak lu nak Dimas di jamin tak beracun ha ha" Ibu malah bercanda.
Dimas duduk di sebelah ayah di depan aku persis, jadi sering berpandangan, sedangkan ibu menyiapkan minum, sendok dan piring.
"Arin juga pintar masak tapi dia banyak malasnya" Ayah bercanda, aku jadi malu.
"Tuh lihat nak Dimas, pipi Arin semu merah, itu pertanda malu!" Dimas tersenyum kecil kearahku sambil mengangkat alisnya tanda meledek.
"Yah kan ikut ayah!" Aku jawab candaan ayah, ku ambilkan nasi lalu ku berikan pada Dimas.
" Makasih Arin" Aku tersenyum.
"Nih nak Dimas cobain ikan goreng plus sambal bikinan ibu, pasti bikin mata yang ngantuk langsung melek betul gak pak?" Ibu melirik ayah yang mengangkat jempolnya.
Kami makan dengan lahapnya di selingi ngobrol ngobrol ringan, aku banyak diam, ayah dan Dimas cepat sekali akrab, Gita tak ikut makan bersama, pagi pagi sekali dia sudah pergi joging di GBK bersama pacarnya.
Tak lama usai makan ayah dan Dimas bermain catur. Mereka kadang tertawa, dari balik kaca aku sangat bahagia melihatnya.
Dimas cepat sekali beradaptasi dengan keluargaku, hingga tengah hari Dimas baru pamit pulang.
"Terima kasih Rin, sudah lama saya tak merasakan kehangatan keluarga."
Dimas memang sudah yatim piatu, dia di besarkan oleh pamannya.
"Saya juga mau berterima kasih kau mau menemani yahku, kamu kan tahu di keluarga kami tidak ada anak lelaki jadi ada kamu di sini seperti teman buat dia!" Aku sedikit malu mengatakan hal itu.
Dimas tersenyum simpul, tak lama taxi yang di pesan datang," Aku pulang Rin, sekali lagi terima kasih." Aku mengangguk dan melambaikan tangan padanya.
Sejak hari itu sepertinya Dimas mulai perhatian padaku, sesekali bila habis bertemu kliennya dia akan membelikan aku sesuatu entah itu makanan atau minuman ringan.
Kadang juga pas jam makan siang , kami berdua makan di luar, aku jadi banyak tahu tentang dia, hobinya dan sedikit keluh kesahnya. Saat mendengar ceritaku lestari tertawa kecil.
"Jangan jangan kalian berdua sudah bucin niiih" Aku tertawa kecil.
"Bucin? Waduh jangan bikin aku baper Tari, tapi tak menolak juga si kalau dia nembak aku duluan." Kataku sambil sesekali memainkan ponsel.
Tari mendekatkan wajahnya ke arahku," Bagaimana kalau kau yang nembak duluan, lebih asyik tuuh!" Saran Tari .
"Jangan gila kau, kalau dia suka sama aku kalau tidak, busyet mukaku mau di taro dimana." Ku kibaskan tanganku ke arahnya.
"Ha ha ha bilang saja takut patah hati, tahu tidak? Menurutku, kalau seseorang sedang merasakan jatuh cinta dia juga harus siap untuk patah hati karena itu konsekuensinya bila sudah bermain hati." Tari tertawa lebar seperti sedang mengolok olok aku.
"Itu menurutmu buatku tidak!" Aku mendengar ponselku yang berbunyi, Dimas menelpon, cepat ku angkat.
"Ya, hallo pak Dimas ada apa?"
"Arin sebentar lagi saya kembali ke kantor, kutunggu kamu di luar ada yang harus kita lihat" Suara Dimas di seberang sana.
"Baik pak baik, saya akan tunggu diluar." Jawabku.
"Kau mau kemana Rin?" Tari penasaran melihatku beranjak berdiri.
"Aku tak tahu Dimas mengajakku keluar ada yang mau di lihat katanya, dadah Tari!" Aku melangkah meninggalkannya.Tari melambaikan tangannya.
Ada sekitar 20 menit aku di depan, mobil Dimas berhenti di depanku, aku pun duduk di kursi depan." Mau pergi kemana Mas?" Dimas menoleh ke arahku.
"Nanti juga kamu tahu, ayo masuk!" Mobil Dimas melaju lagi, aku bertanya tanya apa Dimas mau mengajakku makan atau mungkin dia mau nembak aku? Ha ha ..ngayal terus.
Ku buang jauh jauh pikiran itu, ini kan masih jam kerja tak mungkin Dimas yang aneh aneh, kami lalu sampai di sebuah rumah besar di pinggir jalan. Dari jauh rumah ini tak terlihat , karena mungkin tertutup sama pepohonan yang rindang tapi sungguh asri sekali. Andai aku punya rumah seperti ini.
"Rumah kamu Mas?" Aku bertanya penasaran. "Bukan Rin, pamanku membeli rumah ini dia menyuruhku untuk melihatnya!" Dimas berjalan terlebih dahulu menuju teras rumah.
"Rumah yang besar, siapa yang akan tinggal di sini mas?" Aku bertanya lagi, dia berpaling dan berdiri tepat di depanku, dia tersenyum memandangku lembut.
"Mungkin aku dan calon istriku!" Kata Dimas dengan yakin .
"Oh..kau akan menikah?" Aku semakin penasaran dengan jawaban Dimas, dia lalu mendekat ke arahku.
"Tentu saja, menikah dengan kamu bagaimana?" Dimas semakin mendekat padaku. Akupun mundur selangkah, kubalikkan badanku ke arah lain, rasanya malu sekali. Jantung ini semakin berdebar. Aroma parfum Dimas semakin membuat ku melayang, cepat kualihkan pandanganku. Dimas memanggil seperti berbisik di telingaku.
"Arin, maukah kau menikah denganku?" Aku tersentak kaget, aku menoleh ke arahnya ternyata Dimas sudah tepat berada di depanku, pas di depanku seperti tidak ada jarak, wajah kami bertemu, kurasakan napasnya, menyentuh hidungku.
Kami bertatapan lama..lama sekali, tak ada kata hanya pandangan mata kami yang bicara, keringat dingin mulai kurasakan aku pejamkan mataku, kurasakan tepukan halus di kepalaku.
" Ariiin..sayangnya yang saya katakan itu cuma bohong ha ha ha, kamu pasti terbawa suasana ya ha ha aku cuma bercanda." Dimas tertawa lepas, membuat ku jadi dongkol setengah mati. Ku pikir berikutnya dia akan romantis padaku .
"Sebenarnya rumah ini untuk putrinya pamanku dua bulan yang lalu mereka menikah, kebetulan suaminya akan dipindah tugaskan di sini jadi pamanku membeli rumah ini agar mereka tak mengontrak rumah" Dimas menjelaskan padaku setelah tertawanya berhenti.
"Kamu buat aku baper saja." Aku berkata dengan sedikit kesal.
Aku ikuti Dimas yang berjalan masuk ke dalam, sebuah ruang tamu yang tak terlalu besar tapi sangat nyaman dengan interior yang sangat unik.
Di sudut ruang tamu terdapat lidi lidi panjang dengan lilitan bunga plastik mawar yang indah, lebih ke dalam lagi sebuah ruang keluarga yang lumayan luas tapi cat rumahnya sungguh bagus berbeda dengan ruang tamu di sini sedikit gelap tapi rasanya nyaman.
Tanganku mengusap usap dindingnya, seekor cicak jatuh hampir mengenai tanganku, reflek aku pun menjerit dan memegang tangan Dimas yang ada di sebelah aku. Ada apa Rin?" Dimas menoleh ke arahku.
"Itu Mas itu cicak!" Aku menunjuk dengan telunjukku mengarah tempat dimana cicak jatuh. Dimas membungkuk dan mengambil cicak itu lalu membuangnya, tanganku masih memegang tangan Dimas.
"Kamu sama cicak itu besaran kamu Ariiin, masa takut sama cicak, anak cicak lagi " Dimas tersenyum meledek.
"Aku bukan takut Mas tapi geli, iih" Badanku bergidik.
Dimas tersenyum, pandangan matanya ke arah tanganku yang masih memegangnya. Saat ku sadar cepat cepat ku lepaskan tanganku.
"Ku perhatikan kalau kau kaget kau pasti reflek memegang tangan orang lain bila kamu sedang sendiri siapa yang kau pegang?" Dimas bertanya padaku.
"Aku pegang tanganku sendiri kenapa? kau tak suka aku pegang." Ucapku menatapnya .
"Ha ha ..jangan hanya di pegang di peluk kamu juga aku bersedia." Dimas tertawa lepas.
Spontan ku pukul punggungnya.
"Dasar ngaco.." Dia hanya tertawa tawa saja. Tak berapa lama Dimas berjalan lagi , kami melihat ruangan demi ruangan lagi tak terasa hampir dua jam kami ada di situ. Dimas mengajakku kembali ke kantor.
Hari ini aku benar benar sedang tidak mau berpikir tentang apapun, pekerjaan yang selalu banyak dan selalu menguras tenagaku .
Ku lihat Dimas masih asyik dengan laptopnya, serius sekali andai ada lalat yang hinggap pun tak akan mengganggunya aku tersenyum geli. Dimas menoleh ke arahku.
Kenapa setiap aku sedang memperhatikan dia, dia selalu tahu. Dimas mendekatiku .
"Arin, sepulang kerja kau ada acara?" Tanyanya aku hanya menggeleng.
"Memang kenapa?"
"Aku hanya ingin mengajakmu, maksudku ada seorang klien setia kita akan merayakan ulang tahun perkawinannya dia mengundangku, dia klien lama pamanku tak mungkin aku hadir sendiri, bisa bisa saya di sana hanya jadi pajangan saja tapi itupun kalau kau bisa kalau tidak pun tak apa apa." Kata Dimas lagi.
"Aku tidak ada acara si Mas tapi apa tak sebaiknya kita tak berganti pakaian dulu biar aku cantik dulu gitu" Suaraku setengah manja padanya.
"Maksud aku juga begitu tapi sepertinya waktunya tak cukup karena ini undangannya mendadak, kita ada waktu cuma setengah jam itupun mungkin untuk perjalanan kesana. Kau tahu sendiri kan Jakarta sangat macet, lebih baik kita tidak terlambat!" Dimas memberikan alasan padaku.
Aku hanya mengangguk setuju, terserah kamu Mas, kan kamu yang ngajak bisikku dalam hati.
"Lagipula kau sudah sangat cantik, tanpa berganti pakaian pun kau tetap cantik" Rayuan gombal Dimas sambil mengacungkan jempolnya. Rayuan apa itu gumamku tapi jujur senang juga Dimas ngegombal begitu, jangankan jujur bohongpun aku senang.
Ternyata tempat acara itu tidak terlalu jauh, di sebuah hotel yang mewah, sebuah ruangan besar di hiasi bunga bunga..
Ada ucapan selamat datang dan karangan bunga dari relasi pemilik acara, mereka mengadakan ulang tahun perkawinan emas, wah berapa tahun itu mereka berumah tangga senang sekali bila aku juga bisa seperti itu muda dan tua bersama.
Tak sengaja tanganku bersentuhan dengan tangan Dimas, kurasakan Dimas malah menggenggam tanganku berjalan menuju ke yang punya acara.
"Selamat malam om dan tante selamat ulang tahun" Yang di panggil om merentangkan tangannya dan memeluk Dimas.
"Ini pasti Dimas, ganteng sekali, dulu terakhir om bertemu kamu masih SMA." Ucap om .
Kata Dimas namanya om haris, Dimas pun memeluk erat om Haris, bu Haris disebelahnya tersenyum, sambil menepuk nepuk punggung Dimas tanda sayang.
"Sehat selalu ya om dan tante" Dimas mencium pipi kanan kiri Tante.
"Kau datang dengan siapa Mas pacarmu?"Tante menatapku, meski garis usia terlihat di wajahnya dia terlihat muda dan energik.
"Ya, om tante kenalkan ini asistenku namanya Arin, dulu teman sekolahku waktu SMA." Dimas menjelaskan. Aku julurkan tanganku bersalaman dengan mereka berdua.
"Gadis yang cantik, kenapa kalian hanya berteman padahal cocok kalau jadi pasangan" Om melirikku memberi tanda pada Dimas, aku hanya tersenyum malu apalagi Dimas meraih tanganku lagi.
"Mudah mudahan om doakan saja ya om." Dimas tertawa kecil
"Ya tentu Mas mari silahkan nikmati pestanya ya, om dan tante akan menemui tamu tamu yang lain.
"Ya terima kasih."Jawab kami bersamaan.
Dimas mengajakku ke tempat meja berisi minuman. Aku hanya mengangguk saja mengikutinya, pestanya cukup meriah, alunan musik live mulai terdengar mendendangkan lagu lagu lama seangkatan yang punya acara ucapku pada Dimas.
"Tapi enak juga Rin mendengarkan lagu lama mengingatkan masa masa SMA benar tidak?" Dimas meneguk air minumnya.
Saat kami berdua sedang asyik membicarakan tentang masa masa dulu, tiba tiba seseorang menepuk tangan Dimas "Hallo, kamu Dimas kan?" Seorang gadis cantik menyapa.
"Oh, hai Anita apa kabarmu?" Dimas menjulurkan tangannya.
"Ya Mas masa sudah lupa?" Gadis yang bernama Anita itu menyambut uluran tangan Dimas.
"Gimana kabarmu?" Tanya Dimas. Anita tak menjawab, dia memandang kami berdua.
"Oh ya, kenalkan ini Arin dia asistenku" Dimas memperkenalkan aku pada Anita. "Hai saya Arin"
"Hai juga saya Anita" Mereka saling berpandangan, aku menoleh ke arah Dimas.
"Anita ini putrinya om dan tante Haris, kami berteman saat kuliah, kebetulan kami satu universitas tapi berbeda jurusan" Kata Dimas menjelaskan padaku.
"Bagaimana kabarmu? Om dan Tante kamu?" Tanya Anita dengan suara manjanya. "Alhamdulillah semua sehat termasuk aku" Dimas bercanda pada Anita.
Anita lalu meninju lengan Dimas, tapi aku kesal melihatnya. Mataku jadi terasa panas.
"Oh ya kalian ngobrol aja dulu, aku kesana dulu ya Mas" Jariku menunjuk suatu tempat, Dimas mengangguk. Padahal itu caraku saja menghindar dari mereka. Melihat Anita seperti gadis yang manja gitu, bikin gerah hati. Sok akrab gerutuku. Aku ambil minum lagi, aku teguk dan ku teguk lagi. Rasanya tenggorokan ini kering sekali.
Aku masih melihat mereka dari kejauhan, ku lihat Anita semakin manja. Kadang dia bicara sambil mempermainkan rambutnya, dasar gadis manja, ingin rasanya aku tinggalkan tempat ini.
Lama mereka berdua mengobrol hingga ku lihat Anita melambai pada Dimas dan meninggalkannya. Mataku masih memperhatikannya dari jauh. Anita berjalan manja dan mendekati seorang lelaki yang berbadan athletis. Dia memeluk lelaki itu sambil berbisik di telinganya.
Apa dia pacar Anita? Mungkin saja dasar cewek centil, tadi manja manjaan sama Dimas sekarang dengan orang lain. Lelaki atletis itupun memeluk Anita juga mereka tertawa bersama.
Mataku tiba tiba tertutup telapak tangan seseorang, lalu dia melepaskannya. Ternyata telapak tangan Dimas.
"Arin, kamu sudah makan"Tanyanya.
"Oh, be ..belum ..nunggu kamu Mas" Aku sangat gugup menjawab pertanyaan Dimas ketahuan sedang memperhatikan Anita.
"Kamu tadi sedang melihat siapa? Serius amat seperti seorang mata mata" Dimas tertawa.
"Bukan siapa siapa Mas, ayo kita makan, aku sedari tadi nunggu kamu" Aku mengalihkan pembicaraan, mengajak Dimas ke tempat makan.
Kali ini aku yang menggandeng tangannya, Anita saja bisa bermanja manja begitu masa aku tidak, Dimas terbengong bengong melihatku, berjalan layaknya seorang kekasih. Ketika kami mengambil makanan, suara seorang pembawa acara di panggung memberi tahu, sebentar lagi akan mulai pemotongan kue ulang tahun.
Kamipun urung untuk makan, melihat pemotongan kue dulu pikir aku. Om Haris mesra menggandeng istrinya ke atas panggung. Kue ultah itu bagus sekali berhiaskan boneka pasangan pengantin di atasnya.
Sebelum acara di mulai om Haris memberikan kata kata sambutan untuk istri tercinta nya, dia mulai membaca selembar kertas berisi kata kata yang sudah di pegangnya.
Untuk istriku,
Saat kulihat kamu sekarang mungkin tak secantik dulu, rambutmu tak sehitam dulu, dulu dan tubuhmu mungkin tak seramping dulu,
Om Haris diam, tamu tamu ada yang tertawa kecil mendengarnya. Om Haris melanjutkan lagi.
Tapi bukan itu, keistimewaan mu yang jelita. Keistimewaan mu adalah selalu bersamaku sepanjang waktu saat di mana aku susah dan senang. Ku harap di kehidupan nanti kita akan bersama selalu i love you honey.
Om Haris meraih tangan istrinya dan menciumnya. Tepuk tangan para tamu menggema, aku pun terharu tak sadar kepalaku bersandar di bahu Dimas. Menitikkan air mata, sangat romantis. Kurasakan tangan Dimas memegang bahuku dan mengusapnya pelan, aku jadi berdebar debar. Tak lama kemudian Om Haris memulai untuk memotong kue.
Potongan pertama untuk istri tercinta, potongan kue kedua untuk Anita putri semata wayangnya yang manja itu, entah kenapa aku sudah tak suka melihat Anita padahal kami baru bertemu.
Apa ini tandanya aku cemburu pada Dimas? Kalau benar aku cemburu itu berarti tandanya cinta? Apa aku benar benar sudah jatuh cinta sama Dimas? Kami berada di pesta itu sampai acara selesai, tengah malam baru kami pulang.
Dalam perjalanan pulang hujan sangat deras, udara begitu dingin, ku usap usap tanganku sendiri agar sedikit hangat. Ternyata diam diam Dimas memperhatikanku, ditariknya jaket hitam yang bergantung di kursi yang di dudukinya dengan tangan kirinya, lalu memberikannya padaku.
"Pakailah, AC nya akan ku matikan agar tidak terlalu dingin." Aku terima jaket itu dan langsung memakainya, sedikit mulai hangat, hujan memang sangat deras dan lebat.
"Apa kamu ingin berhenti dulu di suatu tempat?" Dimas bertanya padaku, aku hanya menggeleng.
"Tidak usah, nanti kemalaman di jalan orang tuaku pasti sudah menungguku, aku tak mau membuat mereka khawatir."
"Jalan saja pelan pelan Mas !" Kataku padanya. Dimaspun mengangguk.
Sampai rumahku pun hujan masih belum berhenti, aku hendak membuka pintu mobil tapi Dimas mencegahnya, dia mengambil payung lipat di balik kursinya, lalu keluar dan membukakan pintu untukku, ternyata dia ingin memayungi ku agar aku tak terkena hujan, di pegangnya bahu badanku lalu kami berjalan pelan.
Dia mengantarku sampai teras rumah. Dimas menolak untuk mampir dia hanya menitipkan salam untuk orang tuaku. Aku kembalikan jaket yang tadi kupakai padanya.
"Mandi pakai air panas langsung istirahat." Pesan Dimas, senang sekali hatiku layaknya pesan dari kekasih.
Hari ini aku semangat sekali untuk bekerja. Aku berdandan cantik memakai baju warna merah maroon dengan rok hitam, kali ini aku memakai sepatu dengan high heels.
Lestari kaget melihatku saat kami bertemu di depan lift.
"Hah ! Tak salah, kamu sangat cantiiik sekali wajahmu berseri seri, pasti kamu sedang jatuh cinta." Suara Tari terdengar meledekku, aku hanya mengacungkan jari ke bibirku tanda untuk diam. Kami lalu masuk kedalam lift, kebetulan kali ini lift sedang kosong hanya kami berdua.
"Boleh aku bilang satu lagi nona cantik?" Tari semakin meledekku. "Dia pasti Dimas ya kan? Benar kan aku lagi?" Mataku mendelik ke arahnya hanya jariku lagi yang ku acungkan ke bibirku.
"Baik, baiklah, kalau kamu tak mau menjawab, terserah terserah saja." Tari melenggang keluar lift dia melambaikan tangan dan memberikan kiss bye padaku, untung nggak ada yang lihat nanti bisa bisa orang melihat aku melon makan melon hiiiy.
Aku langkahkan kakiku memasuki ruangan. Ku bersihkan meja kerja Dimas dan juga meja kerjaku tapi kali ini aku berikan vas berisi bunga mawar di atas mejaku, sweet sekali. Aku mulai duduk manis di kursi kerjaku sambil menunggu Dimas masuk, tak berapa lama terdengar langkah kakinya masuk ke ruangan, dia agak kaget melihat ku.
"Waw..selamat pagi Arin, hari ini kamu berbeda sekali, ada bunga mawar lagi, kamu sedang merayakan sesuatu?" Kata Dimas sambil menutup pintu, sikapnya sangat cuek.
"Ya, selamat pagi pak Dimas, tidak ada yang di rayakan pak, hanya ingin mengganti suasana agar tak boring " Aku berkata sekenanya.
"Bagus itu Arin jadi kita kerja tambah semangat." Dimas berjalan menuju meja kerjanya.
Ini orang benar benar dataaar sekali masa si ga tau perasaan aku, tidak melihat ada yang berubah dari diriku.
Terdengar ketukan halus di pintu, seorang wanita cantik sudah di ambang pintu dia menghampiriku.
"Selamat pagi " Sapanya ternyata Anita teman Dimas anak om Haris yang waktu itu merayakan ulang tahun pernikahan.
"Selamat pagi, kamu Anita? Apa yang bisa ku bantu?" Jawabku. Anita juga masih mengenaliku tapi sepertinya dia tak ingin menemuiku.
"Aku ingin bertemu Dimas, oh itu kelihatan dia dari sini, biar aku yang kesana!" Anita melihat Dimas lalu melangkah meninggalkan aku yang baru beranjak berdiri, Dimas juga sudah melihat kehadiran Anita.
Aku hanya diam saja melihat mereka berdua, mereka berbincang sangat akrab tak berapa lama Dimas dan Anita keluar dari tempat kerja Dimas.
"Arin, aku dan Anita akan pergi keluar sebentar, Anita ingin membuka usaha baru dia ingin aku ikut membantunya, kalau ada yang mencari aku katakan saja aku sedang keluar" Pesan Dimas padaku.
"Baik pak .." Aku hanya memperhatikan mereka. Akan kemana Anita membawa Dimas atau sebaliknya Dimas yang mengajak Anita? Dadaku bergemuruh turun naik menahan rasa cemburu di hatiku.
Aku menunggu mereka dengan perasaan kesal, kenapa aku jadi begini aku coba mengalihkan pikiranku yang terus tertuju pada mereka berdua dengan membuat teh panas tanpa sadar air yang ku tuang berlebihan dan berceceran, mengenai sedikit tanganku, rasanya perih sekali.
Ku cari obat luka di laci meja kerjaku tapi tak menemukan juga, saat itulah Dimas muncul di balik pintu, dia heran melihatku sibuk sendiri.
"Kamu kenapa? Tanyanya melihatku yang masih meniupi lukaku.
"Coba ku lihat" Dimas meraih tanganku yang sedikit merah.
"Kenapa bisa begini Arin?" Dimas bertanya lagi.
"Mari ke mejaku, aku punya sedikit salep di kotak P3K ku." Lalu ku ikuti arah langkah kakinya menuju ke meja kerjanya.
Aku duduk didepan meja kerja Dimas, dia mengeluarkan sebuah kotak dan mengambil salep di dalamnya. Dimas mulai mengolesi tanganku perlahan.
"Kamu dari mana? Lama sekali kamu pergi dengan Anita?" Aku berusaha menyembunyikan rasa cemburuku.
"Aku hanya pergi makan sebentar, kenapa?" Dimas malah balik bertanya.
"Tidak, tak apa apa" Jawabku asal.
"Ya sudah, besok lebih hati hati Arin.." Dimas memasukkan salep itu lagi, aku hanya mengangguk. Asal kamu tak pergi lagi saja dengan dia lagi gerutuku.
Ternyata hari hari berikutnya Anita jadi lebih rajin datang menemui Dimas, bahkan kali ini dia berpakaian lebih seksi, pernah aku melihat Anita bergelayut manja di lengan Dimas. Satu kali mereka tidak pergi, di dalam ruang kerja Dimas, Anita begitu sangat kecentilan. Tawanya Anita itu yang membuat kupingku sakit.
Dia sekarang berani untuk memeluk Dimas, cuma kadang terlihat Dimas juga agak risih di perlakukan seperti itu . Aku mencoba mengatakan pada Dimas, tingkah Anita itu tidak wajar untuk ukuran seorang teman tapi Dimas tak menggubrisnya dengan alasan dia tak enak hati dengan kedua orang tua Anita. Biasanya Dimas paling fokus dengan bekerja, sekarang sudah sedikit berbeda. Membuat diriku tak tahan lagi untuk bicara.
Seperti pagi ini, Anita kembali muncul mereka tertawa bersama, aku lalu mendekati mereka.
"Maaf pak Dimas, bukankah bila sedang bekerja harus fokus?" Tiba tiba aku berkata seperti itu di depan Dimas dan Anita. Dimas kaget di tegur olehku seperti itu.
"Arin, di sini ada Anita, apa kamu tidak tahu?" Dimas memandangku tajam, Anita melihatku dengan tatapan tak senang.
"Ya, apa maksud kamu mengatakan seperti itu bila aku tiap hari kesini kenapa?" Tanya Anita. Sepertinya tahu tujuan arah pembicaraan ku.
"Aku minta maaf tapi kan ini sedang jam kerja!" Kami saling bertatapan.
"Arin, kita akan mengobrol nanti." Dimas mencoba menengahi di antara kami berdua .
"Aku pulang Mas, bikin ga mood saja, beritahu asistenmu aku tamu di sini, tak sopan rasanya dia berlaku seperti itu!" Anita berdiri lalu pergi. "Maaf Bu Anita, saya.... "
Anita menoleh dan pergi tidak menghiraukan aku yang ingin menjelaskan padanya. Akupun mencoba meluruskan masalah ini dengan Dimas.
"Kamu pasti tahu pasti maksud ku?" "Jujur aku tak mengerti sikap kamu, dia tamu saya, kami berkawan lama ini juga ruangan saya!" Wajah Dimas tersirat sedikit ketidak senangan.
"Aku tahu aku hanya asisten, aku juga tahu itu tamu kamu, di ruangan kamu tapi apa kamu tidak berpikir selain ruangan kamu ada ruangan karyawan lain di luar ruangan ini juga! Apa kamu juga tidak memikirkan hal itu?" Kataku dengan tegas.
Dimas menarik napas panjang .
"Lalu mau kamu apa?" Dia menatapku sangat tajam.
"Bila kamu ingin bertemu dia jangan di kantor, kamu bisa bertemu dia sepulang kerja atau di hari lain yang tak sibuk mungkin!" Saranku padanya dengan nada yang masih kesal.
"Kami di sini juga membicarakan pekerjaan tak lebih!" Suara Dimas terdengar keras.
"Yah, dengan dia suka memeluk kamu atau dia manja manjaan dengan kamu, begitu kan maksud kamu?" Lalu akupun menatapnya dengan tajam juga.
"Aku tak mengerti dengan jalan pikiran kamu andai dia bermanja denganku kenapa? Aku masih sendiri" Dimas membela diri.
"Aku tak mau berdebat lagi denganmu, ku akui bertemu Anita di jam kantor itu suatu kesalahan tapi bila kamu terlalu menyudutkan Anita aku juga tak suka, aku akan pergi keluar, ku harap sepulang aku dari sana, kita tak membahas ini lagi aku akan ikuti anjuran mu untuk tidak bertemu Anita di sini!" Dimas merapikan tasnya lalu dia pergi meninggalkanku.
Aku hanya menghela napas, inilah perdebatan pertama kami aku jadi penasaran dengan Anita, apa jangan jangan Anita juga jatuh cinta pada Dimas, jadi pekerjaan di jadikan alasan agar dia bisa terus berdekatan dengan Dimas.
Sepulang bekerja aku memutuskan untuk pergi ke mall, suntuk rasanya melihat Dimas yang diam saja setelah perdebatan itu. Dia hanya bicara seperlunya padaku jadi seperti awal kita bertemu lagi kaku dan dataaar.
Ketika asyik melihat lihat kosmetik tiba tiba kulihat Anita berjalan dengan seorang lelaki yang berbadan athelis itu. Dia menggandeng tangan lelaki itu mesra sekali mereka lalu ke tempat makan ngobrol berdua dengan romantisnya seperti pasangan kekasih.
Seperti seorang detektif aku mengikuti mereka berdua. Penasaran aku di buatnya, setelah makan Anita dan lelaki itu berjalan menuju ke gerai tas. Dia memilih milih tas dan sepatu, hampir saja Anita melihatku cepat ku ambil topi fashion yang ada situ sehingga aku aman tak terlihat olehnya. Selanjutnya dia pergi ke tempat koleksi baju baju wanita bermerk mahal.
Anita benar benar wanita berkelas, seleranya di atas rata rata, setelah itu barulah Anita ke tempat parkir. Aku ikuti dari jauh ku hapalkan warna baju mereka berdua sehingga tak tertukar dengan yang lain, seperti di film film detektif dan aku mata matanya.
Aku melihat Anita dan lelaki itu masuk kesebuah mobil lalu berjalan pelan menuju pintu keluar, cepat cepat ku menghampiri mobilku dan mengejarnya. Ku jarak agak jauh antara mobilku dan mobil Anita ada kendaraan lain, sengaja aku tidak di belakangnya persis itu bisa terlihat di kaca spionnya.
Kalau ada mobil lain di tengah kami, kemungkinan Anita tak curiga aku sudah mengikutinya.
Mobil itu berhenti di sebuah rumah yang sangat besar, seorang pembantu wanita membukakan pintu pagar lalu mobil itu masuk ke dalam.
Aku tunggu sampai mobil itu masuk lalu kuhentikan mobilku, pembantu itu masih di pintu pagar cepat cepat ku hampiri.
"Mbak maaf, tadi mba Dwi yah yang masuk kedalam." Aku pura pura bertanya sesuatu. Pembantu itu bingung dia memperhatikanku.
"Mbak cari siapa?" Pembantu itu bertanya lagi.
"Yang barusan masuk itu namanya Dwi kan?" Tanyaku sekenanya.
"Oh itu mbak Anita sama pacarnya Mas Rudi, mbak mungkin salah lihat." Aku menutup mulutku.
"Oh, maaf mbak saya kira dia teman saya, soalnya kami mau mengadakan reuni, aku pikir dia Dwi teman saya." Aku beralasan.
"Maaf ya mbak sudah mengganggu" Aku pamit pulang.
"Ya ga pa mbak" Pembantu itu lalu menutup pagar.
Rudi pacarnya Anita? Kalau dia sudah punya pacar kenapa dia mendekati Dimas.
Aku semakin yakin tujuan utama dari Anita sering menemui Dimas di kantor, aku harus memberi tahu masalah ini ke Dimas tapi ketika kukatakan ini pada Dimas apa yang ada di kepalaku, sikap Dimas biasa saja, dia seperti cuek dan tidak percaya dengan ucapanku.
"Baguslah kalau dia sudah punya pacar, apa hubungannya denganku, Anita sudah lama berteman denganku, jadi dia tak mungkin jatuh cinta padaku!" Ucapan Dimas setengah tidak percaya dengan apa yang kukatakan.
"Tapi aku mlihat perlakuannya pada mu mengisyaratkan dia sedang jatuh cinta padamu!" Aku tetap bersikeras dengan keyakinan ku.
"Ariin..percayalah, Anita tidak seperti itu mungkin nanti aku tanyakan langsung saja padanya, kebetulan aku ada janji makan siang ini dengannya."
Aku hanya diam, percuma juga bilang, mungkin benar juga kata Dimas aku hanya berburuk sangka saja dengannya.
Setelah pulang kerja aku memutuskan untuk jalan jalan. Ada yang ingin ku cari untuk hiasan kamarku. Saat aku mengendarai mobilku tiba tiba di tempat sepi ada yang menyalipku dan berhenti pas di depanku, aku kaget setengah mati. Aku berpikir itu perampok ternyata Anita yang keluar dari mobil itu.
Dia mengetuk kaca mobilku.
"Arin..kita harus bicara!" Aku pun mengikuti Anita keluar dari mobil lalu kami berbincang di sebelah mobilku.
"Ada apa? Kamu mengagetkanku!" Aku menatap Anita yang tidak senang melihatku "Aku tidak sengaja melihat mobilmu, kamu pasti tahu apa yang ingin ku katakan!" Anita balik menatapku.
"Kamu pasti tahu! Jangan bilang kamu tidak tahu!" Suara Anita sangat keras. Aku masih bingung dengan yang Anita bicarakan. Aku mulai menebak arah pembicaraan Anita.
"Apa ini tentang Dimas?" Tanyaku
"Ya apalagi, kenapa kamu selalu usil mengurusi urusanku, itu urusan pribadiku!" Anita terlihat sangat marah. "Aku tahu itu urusanmu tapi kulihat kamu ingin sekali mendekati dimas, kamu mengatakan padanya kamu ingin menbuka usaha tapi aku tidak pernah melihat kesungguhan itu di matamu kamu hanya ingin mendekati Dimas, iyakan?" Ucapku kembali .
"Sok tahu, memang kamu paranormal bisa baca pikiranku!" Ejek Anita.
"Kita sama sama perempuan Anita, aku memperhatikan apa yang kamu lakukan, kamu jatuh cinta pada Dimas tapi kamu juga sudah punya kekasih?" Anita hanya diam.
"Aku tak sengaja melihat kamu dan pacarmu di mall, lantas apa tujuanmu kalau kamu sudah punya kekasih tapi kamu mendekati lelaki lain, coba jelaskan padaku!" Ucapku tegas.
"Apa pedulimu! itu urusanku kamu tak bisa ikut campur, aku mau apa terserah aku kamu tak bisa mendikte aku!" Teriak Anita.
"Kalau yang kamu dekati bukan Dimas aku tidak perduli!" jawabku.
"Oh, memang kamu apanya Dimas, pacarnyakah atau mungkin istrinya? Kamu cuma asistennya? Apa kamu tak malu? Pikir itu baik baik!" Anita mengarahkan telunjuk jarinya ke kepalaku. Aku terdiam benar juga apa kata Anita, apa urusanku?
Dimas juga aku beritahu tidak perduli padaku, apa urusanku?" Anita lalu meninggalkan ku, dia terlihat senang melihatku tidak bisa menjawab pertanyaannya.
Anita pergi aku jadi terdiam aku menangis, apa urusanku? Kalimat itu masih terngiang di telingaku.
Anita benar, aku menangis lagi mungkin aku hanya cemburu dan jatuh cinta sendiri, aku yang salah, aku yang sangat bodoh bisikku dalam hati.
Aku masuk ke dalam mobil dan menangis, sesampainya di rumah ku merenung apa yang harus kulakukan kedepannya, mungkin harus menjauh atau tak perduli dengan urusan Anita dan Dimas. Lama aku memikirkan hal itu.
Akhirnya aku mengambil keputusan aku tak ingin lagi perduli, terkadang Dimas pergi dengan Anita pun aku tak menanyakannya, aku hanya fokus untuk kerja, di kantor pun aku tak banyak bicara.
Ternyata Dimas dan Anita suka berjalan berdua dan mulai di ketahui oleh teman kerja lain, saat minum kopi di pantry Rika teman kerjaku mulai kasak kusuk dengan teman kerja yang lain.
"Aku mendengar waktu itu Arin sudah menegur pak Dimas tapi pak Dimas tidak mau mendengar, sebenarnya siapa perempuan yang seringkali datang kesini? Ada yang bilang mereka partner kerja tapi aku rasa bukan begitu?" Rika menyenggol bahuku .
"Kenapa?" Masa bodoh dengan yang sedang dia bicarakan .
"Kamu jangan pura pura tidak mendengar apa yang sedang kita bicarakan." Rika berkata lagi, aku menghela napas.
"Mengapa kalian menanyakan itu padaku? Aku hanya asisten kerja bukan asisten pribadi, kalau kalian penasaran tanyakan langsung pada pak Dimas!" Sahutku dengan ketus.
"Kenapa jawabanmu jutek begitu? kamu cemburu?" Rika tertawa lepas, temannya ikut tertawa juga.
"Tapi kalau aku jadi Arin pasti aku juga cemburu siapa juga tidak bakal jatuh cinta tiap hari ketemu bos ganteng seperti itu, aku juga mau." Rika bercanda sambil menyanyikan sebuah lagu.
"Jadikan aku yang kedua buatlah diriku bahagia" Teman Rika mendengar lagu itu cekikikan bikin pedas telingaku saja.
Akhirnya kutinggalkan ruang pantry ke meja kerjaku. Kulihat Dimas sedang fokus dengan berkas berkasnya, aku sedang tidak mau melihat dia, akupun pura pura sibuk dengan kopiku.
Sehari itu aku memang tidak banyak bicara hanya menjawab apa yang Dimas tanyakan atau minta tolong, Dimas merasa ada yang aneh, diapun keesokan harinya menanyakan langsung padaku.
"Kamu sedang marah padaku?" Tanya Dimas saat mulai masuk ke ruangan kerja, aku hanya menggeleng tanganku bergerak di mulutku seperti orang yang sedang mengunci pintu lalu seolah olah kulemparkan kuncinya. Dimas tertawa.
"Kamu seperti anak kecil yang sedang minta mainan tapi tidak di belikan!" Dimas masih dengan tawanya .
"Kamu pikir aku merajuk!" Aku menjawab sengit, ku bereskan berkas berkas di mejaku.
Dimas berdiri tepat di depanku.
"Apa masih ada hubungannya dengan Anita?" Tanya Dimas lagi, wajahnya lebih mendekat ke arah wajahku. Kali ini aku tidak mau menatap wajahnya, ku tutup wajah Dimas dengan telapak tanganku dan mendorongnya sedikit.
"Aku tak mengerti di mana salahku kadang aneh wanita." Dimas bergumam sendiri sambil berjalan menuju meja kerjanya aku ingin menjawabnya tapi dia sudah duduk di tempat kerjanya, sekilas dia melihat ke arahku.
Aku selesaikan tugas tugasku tanpa ada pembicaraan, sepi sekali aku pun tak mau menoleh ke arahnya seperti robot yang sedang bekerja. Tak perduli. Tak mau tahu.
Tak terasa sudah masuk Jam makan siang, tiba tiba seseorang mengetuk pintu dari luar, Rika teman kerjaku bersama seseorang,
"Ada kurir mencarimu Rin!" Rika menunjuk kurir itu dengan telunjuk jarinya ."Ya terimakasih."
Kurir? Sepertinya aku sedang tidak memesan apa apa. Kurir itu menghampiriku, di tangannya ada buket bunga mawar yang segar.
"Bu Arin? Ada kiriman bunga." Kurir itu lalu menyerahkan bunganya padaku.
"Oh, ya terima kasih" Aku menerimanya sambil memberi tanda tanganku pada nota yang kurir berikan.
Bunga mawar, siapa yang mengirim ?
Ada tulisan huruf kecil.
Dari D dengan permohonan
maaf yang terdalam.
Aku berpikir siapa D, apa jangan jangan, aku menoleh ke arah Dimas. Dimas juga melihatku tanpa reaksi, karena penasaran ku hampiri Dimas .
"Apa kamu yang mengirimkan bunga ini?" Aku bertanya padanya, dia menutup laptopnya .
"Apa kamu masih marah padaku?" Dimas balik bertanya, aku hanya diam saja balik ke meja kerjaku .
Kuletakkan bunga itu di atas meja. Bunga yang bagus. Coba kalau kirim bunga bank seru kali yaa bisikku dalam hati tapi setidaknya itu bisa memperbaiki hubungan kami.
Acara bertemu keluarga adikku Gita batal karena dari pihak orang tua Ervan kekasih Gita sedang ada yang sakit. Tidak etis rasanya bila masih melanjutkan acara keluarga .
"Bagaimana kaka dan ka Dimas hanya sebatas teman kerja?" Gita bertanya padaku.
"Aku tak tahu kali ini ada teman dia juga namanya Anita, dia juga sedang ada pendekatan dengan Dimas." Malas sekali aku menjawab pertanyaan Gita.
"Seharusnya Kaka mengatakan apa isi hati Kaka pada ka Dimas dengan begitu Kaka akan mendapatkan kejelasan!" Saran Gita padaku.
"Aku juga sendiri sebenarnya masih bingung apa aku benar benar suka padanya atau karena aku kagum saja pada dia." Aku melihat ke arah Gita dan terdiam lagi.
"Kaka, kalau hati Kaka sendiri merasa tidak nyaman bila ada wanita lain hadir itu pasti Kaka sudah benar benar suka pada ka Dimas" Gita memberi pandangan yang lain padaku .
"Mungkin kamu benar tapi aku tidak mau terlalu larut juga dengan perasaan ku, aku tidak mau nanti aku kecewa sendiri, aku pernah menolaknya dulu. Aneh rasanya sekarang aku suka sama dia!" Aku bicara dengan diriku sendiri.
"Itu terserah kaka, apapun itu aku akan selalu ada buat kaka." Gita memelukku dengan sayang.
"Kamu juga, sabar yah bila acara di tunda banyak berdoa biar di kasih kelancaran dan kemudahan untuk mu menikah itukan juga ibadah ya kan" Hiburku pada Gita. Adikku sayang.
Hari berikutnya terasa berbeda, bunga yang di terima olehku seperti membuka buku kosong, menjadi awal dan babak baru lagi untukku. Aku merasa itu pertanda yang baik, tak perlu di permasalahkan lagi apa yang terjadi antara kita berdua.
Mungkin agar lebih mengenal diri kita masing masing, entahlah aku juga sedikit tidak mengerti tapi aku mencoba menikmati hari hariku.
Akupun tahu Dimas masih suka jalan berdua dengan Anita, entah untuk keperluan apa? Mereka sekarang bertemu di depan kantor. Baguslah jadi menghilangkan gosip yang kemarin lumayan ramai. Aku pun mulai tak perduli, meski kadang suka masih sedikit kesal bila sedang melihat mereka berdua tak secara langsung.
Sore ini, sepulang kerja aku sedang malas untuk pulang ke rumah, aku putuskan untuk pergi ke sebuah cafe langgananku, mungkin hanya untuk minum secangkir kopi, paling tidak untuk menghilangkan penat di pikiranku. Tak sengaja aku melihat dua orang lelaki dan seorang wanita berada di pinggir jalan.
Sepertinya aku mengenali mereka, itu kan Dimas dan Anita dan si lelaki athelis itu, aku pun menepikan mobilku lalu keluar dan menghampiri mereka. Aku melihat lelaki athelis itu meninju bibir Dimas.
"Jangan kamu dekati pacarku lagi mengerti !" Teriak lelaki athelis itu dia sepertinya marah sekali pada Dimas dan Anita. Dimas pun mencoba melawan, ku pegang dia agar tak melayani lelaki athelis itu.
"Cukup Dimas jangan !" Aku mencoba membuat Dimas untuk bersabar, dengan memegang tangannya.
"Aku dan Anita hanya teman biasa. " Dimas mengusap darah yang keluar dari bibirnya dengan tangan kirinya.
"Tapi Anita mencintai kamu !" Lelaki athelis itu masih terlihat kesal. Anita nampak kebingungan " Sudah sayang, aku hanya bercanda saja, aku memang suka pada Dimas tapi Dimas hanya menganggap ku sebatas teman." Anita mencoba menjelaskan.
Lelaki athletis itu tetap tidak mau mengerti, dia mencoba untuk memukul Dimas lagi.
"Cukup ! Dimas memang tidak ada hubungannya dengan Anita aku teman Dimas." Lelaki itu menatapku tajam yang membela Dimas.
"Percayalah padaku, mereka hanya berteman kamu mungkin sudah salah faham .." Aku mencoba meyakinkan lelaki itu.
"Baiklah aku percaya padamu tapi kamu katakan pada temanmu itu jangan dekati Anita lagi !" Lelaki itu berkata dengan tegas, dia lalu menarik tangan Anita dan membawanya masuk ke mobilnya.
Untuk sesaat aku terdiam, bingung, apa yang harus kulakukan lagi? Kejadian ini sungguh tak terduga.
"Terima kasih Arin" Dimas memperhatikan mobil yang membawa Anita pergi. Aku melihat bibirnya sedikit robek terkena pukulan lelaki athelis itu. Aku jadi kuatir melihatnya.
"Mari ku obati lukamu dulu, ada kotak P3K di mobilku." Ku pegang tangan Dimas.
"Tak perlu Arin, aku tak apa apa." Tangan Dimas meraba luka di bibirnya.
"Ayolah itu akan infeksi nanti kalau di biarkan tanpa di obati." Aku meraih tangan Dimas, lalu menuju mobilnya dan mengambil obat luka, di bersihkannya luka Dimas dan kutetesi sedikit demi sedikit obat antiseptik, Dimas sedikit menyeringai merasakan perih.
"Aku sudah bilang padamu ada yang aneh dengan Anita, aku pun sudah bilang dia sudah punya kekasih kamu tidak percaya padaku, beginilah kalau mendekati orang yang sudah punya kekasih!" Kataku dengan nada yang cerewet.
Dimas tertawa "Oh, jadi kamu senang melihatku seperti ini?"
" Ya" Aku lalu menatapnya .
"Aku pikir aku hanya berteman saja, aku tidak ada perasaan khusus pada Anita dia saja yang salah faham." Dimas membela dirinya .
"Tapi tetap saja kamu salah, kamu dan Anita seperti TTM teman tapi mesra, lelaki manapun pasti tak mau pacarnya seperti itu!" Suara ku dengan nada sedikit tinggi, sudah di gebukin masih saja membela si Anita itu.
"Kamu mau ku antarkan Mas? Tapi mobilmu bagaimana tidak ada yang membawa."
"Tidak usah aku hanya luka sedikit, aku masih bisa pulang sendiri." Dimas lalu berjalan menuju mobilnya .
"Kamu yakin Mas?" Dimas menoleh ke arahku .
"Aku baik baik saja, sekali lagi terima kasih Arin." Ku lihat dia masuk ke mobilnya, lalu berlalu sampai tidak terlihat olehku lagi.
Besok libur, mungkin lebih baik aku menengoknya, memastikan Dimas lagi. Hari ini aku sengaja memasak. Aku berencana ingin membawa makanan untuk Dimas sekalian melihat keadaannya kemarin, aku tahu alamat Dimas dari bosku.
Saat ku sampai di sana terlihat rumah yang tidak begitu besar tapi dengan halaman yang lumayan luas, terlihat mobil Dimas terparkir di sana, Aku coba mengetuk pintu perlahan sambil melihat ke sekitar.
Aku dengar Dimas tinggal sendiri, ada ART pun hanya datang pagi terkadang hanya saat Dimas menyuruhnya datang saja.Tidak berapa lama pintu terbuka sedikit, kulihat muka pucat Dimas berdiri di ambang pintu.
"Arin, aku kira siapa? Masuklah!" Dimas membuka pintunya. Aku turuti langkah Dimas ke dalam dan duduk di sofa ruang tamu.
"Dari mana kamu tahu rumahku?" Dimas bertanya padaku tapi aku tak menjawabnya.
"Kamu terlihat pucat apa kamu baik baik saja?" Aku malah balik bertanya padanya. Dimas hanya diam.
"Aku kebetulan masak tadi pagi, aku ingin kamu mencicipinya." Dimas yang duduk di seberang lalu menerimanya.
"Terima kasih Arin, aku baik baik saja hanya sedikit demam." Dimas seperti tidak bersemangat.
"Kalau demam itu bukan baik baik saja, kamu harus ke Dokter Mas!" Cerewetku mulai keluar dari bibirku. "Tak perlu, kamu ingin minum apa?" Dia lalu beranjak berdiri, menuju ke dapur.
"Tidak usah, bolehkah kulihat lihat rumahmu?" Dimaspun mengangguk "Terserah kamu, saya ke belakang sebentar."
Mataku lalu melihat ke seluruh ruangan. Di ruang tamu itu ada beberapa foto dia dan pamannya, ada juga foto dia dan orang tuanya yang sudah lama meninggal. Waktu kecil Dimas terlihat lucu tapi aku sedikit terpana ketika melihat fotoku ada terlampir di salah satu foto.
Hanya foto aku yang belum terbingkai, aku ingat itu adalah foto saat aku menolak cintanya dan kami pun foto berdua untuk acara perpisahan. Ku ambil foto itu yang terselip di depan fotonya Dimas.
"Itu kamu Arin!" Suara Dimas mengejutkanku.
"Kamu masih menyimpannya?" Aku balik bertanya. Ada kebingungan dalam pikiranku "Waktu itu aku ingin menyerahkannya sendiri padamu tapi saat ku lihat kamu bersama Reihan aku urungkan niatku." Dimas melihat foto itu .
"Aku melihat kalian berdua begitu serius bicara aku tak ingin mengganggu kalian akhirnya ku simpan foto itu kembali."
"Aku pikir suatu saat bila bertemu denganmu aku akan memberikannya sendiri!" Dimas berdiri di sampingku.
"Tapi saat mulai bertemu denganmu aku urungkan niatku, aku tak jadi memberikannya karena kupikir hanya foto ini yang ku punya darimu, aku ingin menyimpannya apalagi ku dengar saat itu kamu sudah bersama dengan orang lain lagi." Aku tak bisa berkata kata hanya diam dan diam.
"Bila kamu ingin mengambilnya, ambillah dan ku harap kamu bingkai foto itu." Suara Dimas terdengar.
"Untuk apa kamu masih menyimpan foto ini Mas?" Dia hanya tersenyum. "Aku pun tak tahu, tapi foto inilah yang merubah hidupku, setiap kali ku lihat kita berdua seperti si buruk dan putri cantiknya aku jadi sangat bersemangat untuk merubah diriku lebih baik, hanya itu yang ada di pikiranku."
"Pantas kamu berpenampilan lain sekarang, karena ini?" Aku bertanya sambil menunjuk foto itu. Dimas meraih tanganku .
"Aku tahu kamu menolakku karena aku culun tak berpenampilan menarik seperti lelaki lelaki yang mendekatimu tapi dalam lubuk hatiku ini aku sangat tulus mencintaimu ..dulu " Ucapan Dimas seperti kembali ke masa lalu . Tersirat di wajahnya dia seperti mengenang masa masa dulu.
"Waktu itu aku memang menolakmu tapi sekarang justru aku...." Ucapanku terhenti seperti ada yang mencegah bibirku untuk jujur di hati mengungkapkan perasaanku yang sekarang.
"Sekarangpun kamu masih menganggapku teman benarkan? Arin, aku tahu seleramu itu bukan seperti aku ha ha" Dimas tertawa.
Dia melepaskan pandangannya.
"Kamu minumlah aku ingin makan buatanmu pasti rasanya seperti dulu" Aku pandangi Dimas yang duduk lagi, dia mengambil makanan yang ku bawa.
Jadi inilah perasaan dia sekarang padaku hanya teman biasa.
Masa dia tak tahu apa yang kurasakan? Rasanya menusuk sekali, aku memutuskan pulang cepat untuk apa juga berlama lama di sini membuat diriku seperti orang yang bodoh .
Sesampainya di rumah, aku tertegun melihat Anita sudah ada di ruang tamu dia sedang mengobrol dengan Gita adikku.
Apa yang di lakukan di rumahku? Jangan jangan dia akan membuat masalah lagi.
"Apa yang kamu lakukan di sini ?" Aku langsung bertanya dengan tatapan mataku yang tajam. Masih teringat yang telah dia lakukan padaku.
"Ka Arin, Anita sedari tadi menunggu kaka." Gita yang menjawabku .
Anita hanya duduk diam .
"Bisakah kita bicara?" Suara Anita terdengar pelan. Gita pun pergi menjauh, ada raut kebingungan di wajahnya.
"Apa yang ingin kamu bicarakan? Aku juga bingung darimana kau tahu rumahku!" Aku mengambil duduk berhadapan dengan Anita.
"Kamu tak perlu tahu dari mana aku tahu rumahmu, aku ingin membicarakan masalah yang terjadi antara kita!" Anita menjelaskan padaku maksud kedatangannya. "Aku ingin tahu ..apa kamu yang memberitahu pacarku kalau aku sedang mendekati Dimas?" Tanyanya.
Aku terperangah" Kamu ini mengada ngada saja, darimana aku tahu pacarmu, kenal pun tidak!" pertanyaan aneh yang membuatku tambah bingung. "Tapi kamulah yang tahu persis aku sedang bersama Dimas!" Kalimat Anita terdengar tak percaya padaku.
"Untuk kepentingan apa aku berbuat seperti itu?" Aku balik bertanya.
"Aku tahu kamu suka pada Dimas, Dimas sudah menceritakan semua padaku kalian dulu berteman, kalau kamu tak mengatakannya lalu itu ulah siapa?" Anita kembali melontarkan pertanyaan .
"Sungguh aku tak tahu Anita!" Jawabku lirih. "Aku tahu posisiku mungkin salah di sini tapi aku memang suka dengan Dimas."
Anita seperti berkata pada dirinya sendiri.
"Kalau kamu suka Dimas seharusnya kamu putuskan dulu pacarmu itu, tidak seperti ini!" Jawabku ketus.
"Saat itu pacarku sedang tidak memperhatikanku, dia lebih suka dengan hobi barunya aku merasa dia sudah berbeda denganku hingga rasa kosong di hatiku mulai terasa, saat itulah aku bertemu kamu dan Dimas, Dimas seperti magnet yang menarikku untuk mendekatinya." Alasan Anita padaku .
"Tidak ada yang salah dengan perasaan Anita tapi kamu meletakkan sukamu itu pada posisi yang salah, kamu sedang menjalin hubungan dengan seseorang meskipun kamu hanya terlena, itu tetap saja salah." Kataku sok bijak.
"Itulah mengapa aku kemari, aku membutuhkan pertolongan mu!"
Hah? Tidak salah Anita ini, dasar tak tahu malu sepertinya lupa dia apa yang sudah dia katakan padaku.
"Arin aku ..aku tahu ..mungkin perasaanku salah dan aku ingin meluruskan masalah ini, pacarku tidak percaya padaku dia ingin putus denganku, aku tak ingin itu terjadi, hanya kamu yang bisa membantuku." Suara Anita begitu berharap, aku terdiam sesaat .
"Apa yang bisa kulakukan untukmu?" Aku bertanya padanya.
"Aku tahu kamu tak suka padaku tapi aku sungguh sangat mencintai pacarku kamu katakan padanya kalau aku dan Dimas hanya berteman biasa saja tak lebih." Anita memegang tanganku.
"Aku tak tahu, jujur aku masih kesal padamu dan terus terang juga aku senang melihat keadaanmu sekarang tapi aku akan memikirkan untuk membantumu." Kataku akhirnya.
"Aku sangat berharap dan sebelumnya juga aku berterima kasih kamu masih menerimaku di sini dengan baik, padahal aku jahat padamu."Aku hanya tersenyum kecil mendengar penuturan Anita.
Akhirnya aku dan Anita menemui si lelaki athelis itu yang bernama Rudi di sebuah cafe .
Rudi memperhatikanku dan mendengarku bicara, aku mencoba menjelaskan apa yang telah terjadi antara Anita Dimas dan dia.
"Jadi kamu di sini ingin mengatakan kalau di antara mereka tidak ada hubungan yang serius hanya kesalah fahaman saja?" Rudi bertanya padaku.
"Bisa di bilang begitu, yang saya tahu Anita dan Dimas berteman sudah cukup lama, kebetulan orang tua Anita adalah klien Paman Dimas yang sekarang usahanya sedang di pegang oleh Dimas, bila Anita dekat dengan Dimas juga apa ada yang salah." Aku menjawab pertanyaan Rudi.
"Aku tahu itu, aku bukan anak kecil tapi saat Anita mengatakan dia suka pada Dimas aku tak bisa tolerir itu!" Suara Rudi tertahan menahan emosi, matanya sekilas melirik Anita
"Jika seorang wanita mengatakan itu, saya pikir itu tidak sepenuhnya perasaan dia yang terdalam, Anita tak bertemu Dimas cukup lama, Dimas dulu tak berpenampilan semenarik ini, bila mereka bertemu dan Anita merasa perasaan yang beda untuk Dimas itu wajar, itu perasaan sesaat, mungkin juga saat itu kamu kurang memperhatikan Anita sehingga Anita melirik lelaki lain itu bisa saja ya kan? Tapi itu kan bukan cinta tapi hanya suka, itu berbeda artinya, aku yakin kamu mengerti apa yang kubicarakan!" Rudi hanya mengangguk perlahan mencoba untuk mengerti.
"Baiklah aku percaya padamu, aku akan memaafkan Anita aku akan anggap ini tak pernah terjadi."Rudy menatap Anita, terlihat Anita senang dengan perkataan Rudi.
"Terima kasih sayang, aku tak akan berbuat hal sebodoh itu lagi." Anita menggenggam tangan Rudi dan meremasnya perlahan.
"Tapi Rud, bisakah aku bertanya padamu?" Sepintas ada yang mengganjal dalam hatiku.
"Darimana kamu tahu Anita sedang mendekati Dimas? Apa kamu mungkin kenal dengan salah seorang dari kantor saya atau mungkin kamu juga mengenal Dimas pribadi?" Aku jadi penasaran .
"Aku mendapat berita ini dari seseorang akupun tak tahu dia siapa dia mengatakan padaku dia kenal dengan Dimas dan Anita itu saja."
"Ada yang menelponmu? Dan kamu langsung percaya begitu saja?" Anitapun kaget mendengarnya.
"Aku tak tahu namanya, suara seorang lelaki dia mengatakan Anita suka pada Dimas bila aku tak percaya tanyakan sendiri pada Anita itu ucapannya" Ucap Rudy lagi .
Seorang lelaki? Siapa dia yang sudah berani menelpon Rudy.
"Tapi kamu tahu suara siapa dia ..mungkin teman mu?" Aku tambah penasaran.
"Aku tidak tahu ..dia meneleponku dua kali..semula aku tak percaya tapi saat ku tanyakan hal ini pada Anita dan Anita mengakui hal tersebut aku baru tahu kalau itu adalah hal yang benar." Rudy meyakinkanku apa yang di dengarnya itu benar.
"Tapi sayang aku hanya ingin membuatmu cemburu, aku tak berpikir kau akan mencari Dimas dan menghajarnya seperti itu tanpa mendengar dulu apa yang akan Dimas katakan!" Anita mencoba membela dirinya.
Sedang aku sendiri terdiam siapa lelaki itu yang ku tahu hanya akulah yang tahu persis apa yang terjadi antara Dimas dan Anita, aku harus cari tahu siapa lelaki itu .
"Bisa aku pinta nomornya lelaki itu !" Ucapku ke arah Rudy lalu Rudy memberikan nomor telepon lelaki itu.
Saat ku coba telpon, nomornya tak aktif sepertinya nomor itu sudah tidak di pakai lagi oleh orang itu, aku jadi semakin penasaran tapi aku senang melihat Anita bersama Rudy lagi meski di pikiranku masih bertanya tanya siapa yang telah ikut campur lagi dalam urusan ini.
Ku coba menanyakan perihal ini kepada Dimas, dia hanya tertawa kecil.
"Untuk apa aku mengatakan itu, pada siapa si Rudy itu lalu aku senang di pukuli seperti itu!" Kata Dimas.
"Aku tak bilang begitu, aku juga tak menuduhmu cuma hanya kita bertiga yang tahu persis masalah ini yang tahu Rudy pun hanya aku dan Anita." Ucapku
"Mungkin kamu menyuruh orang agar aku di pukuli dia di sini kan hanya kamu yang tak senang dengan Anita ..? "
Apa? Dimas malah balik menuduhku, gila kali yaa.
"Kamu tak perlu panik begitu, kalau kamu bisa mengatakan aku si penelpon itu mungkin kamu juga termasuk si penelpon itu ya kan!"
Mataku menatap tajam pada Dimas dan menggelengkan kepalaku.
"Tapi kamu tak usah kuatir, aku tak menuduhmu mungkin hantu yang menelpon Rudy, bila diantara kita tak ada yang melakukannya simple kan" "Aku menggelengkan kepalaku, ini lebih aneh lagi pikirku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!