Aku tidak tahu mengapa diriku selalu di anggap anak yang paling aneh di sekolah. Yang kutahu, bahwa aku mempunyai sebuah kemampuan yang jarang dimiliki orang lain. Bahkan tidak ada. Aku bisa melihat kejadian yang akan terjadi di masa depan. Kemampuanku ini dinamakan dengan Prekognision.
Jika kepalaku mendadak sangat pusing. Itu artinya dalam jangka waktu yang dekat akan ada kejadian yang buruk terjadi. Kemampuanku ini tidak bisa disengaja. Harus datang dengan sendiri. Contohnya seperti, aku ingin melihat peristiwa apalagi yang akan terjadi di masa depan, aku sama sekali tidak bisa melakukannya. Toh, aku akan tahu dengan sendirinya jika hal buruk itu benar-benar akan terjadi.
Sewaktu kecil, aku pernah diajak oleh kedua orang tuaku untuk pergi ke pasar malam. Ada berbagai macam wahana di sini, seperti ombak banyu, kora-kora, dan yang lebih menyita perhatianku adalah bianglala raksasa berhiaskan lampu warna-warni yang mengelilingi tiap sangkar.
"Aku mau naik itu, Bu," pintaku pada Ibu.
"Iya, Sayang. Ayo." Ibu menuntun lenganku untuk membeli tiket. Di ikuti Ayah yang mengekor di belakang.
"Bu, gimana kalau Ayah cari cemilan dulu sambil nunggu antrian? Buat kita makan nanti kalau sudah naik bianglala?" saran Ayah.
Ayah benar, antrian sangat panjang sekali. Rupanya malam ini banyak orang yang ingin menaiki Bianglala nan indah itu. Aku dan Ibu mengangguk setuju. Ayah pun pergi.
"Ayah kok lama banget, Bu?" tanyaku.
Tiba-tiba aku merasakan sakit di kepalaku. Tanpa kusadari, aku berteriak, "Ibu, ayo cepat kita menjauh dari tempat ini!" teriakku dengan mata melotot karena ketakutan.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Ibu panik.
Nggak ada waktu lagi untuk menjelaskannya. Karena Ayah dan Ibu belum mengetahui tentang 'bakatku'.
"Sekarang kita cepat cari Ayah, Bu." Aku menarik lengan Ibu untuk mencari Ayah.
Kebetulan tak jauh jaraknya dari bianglala, aku melihat Ayah yang sedang memilih camilan.
Aku dan Ibu menghampiri Ayah dengan napas terengah-engah.
"Ayah, ayo cepat kita pergi dari sini." Ayah yang melihatku panik tentu saja merasa bingung. Tanpa menunggu ucapan Ayah, aku segera menariknya bersama Ibu untuk menjauh dari pasar malam.
Ayah dan Ibu terlihat khawatir melihatku seperti orang yang kesurupan. Setelah berlari cukup jauh, aku menghentikan langkahku.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Ayah dengan raut wajah khawatir berjongkok di depanku. kurasakan desahan napasnya yang tak beraturan.
Saat aku hendak membuka mulut untuk menjelaskan apa yang terjadi, tiba-tiba terdengar ledakan dari arah pasar malam. Ayah dan Ibu sangat terkejut. Orang-orang berlalu lalang mendekati sumber suara ledakan. Dari sini kulihat kobaran api sedang melahap Bianglala yang tadi hendak kunaiki. Ledakan kedua kembali terdengar, bahkan lebih keras di ikuti teriakan minta tolong dan jerit kesakitan.
Aku menyembunyikan wajahku dipelukan Ibu. Ayah dan Ibu menyaksikan kejadian itu dengan mulut menganga.
Ibu memandangku tak percaya. “Oh sayang. Kamu telah menyelamatkan nyawa kami.”
Mereka memelukku, aku tersenyum lega. Untunglah aku bisa menyelamatkan dua nyawa orang yang paling aku sayangi.
Dari situlah Ayah dan Ibu menyadari kemampuanku. Mereka merahasiakannya dari orang-orang. Begitu pun diriku. Kami memutuskan untuk tidak memberitahukan kemampuanku pada siapa pun. Takut jika banyak orang yang menyalahgunakan dan memanfaatkan kemampuanku untuk hal-hal negatif.
Tapi, dengan merahasiakan kemampuanku ini aku sering dianggap orang aneh. Dengan rambut panjang yang menjuntai dan nyaris menutupi wajahku. Hanya menyisakan celah ditengah-tengah wajah membuat kesan aneh itu melekat pada diriku. Meskipun begitu, aku suka dengan penampilanku yang seperti ini. Tak memedulikan apa kata orang. Dan tentu saja hal itu membuatku jadi tak punya seorang teman.
Teman-teman SMP-ku dulu selalu menyalahkan aku jika kepalaku pusing, dan beberapa menit kemudian ada kejadian buruk. Mereka menganggapku pembawa sial, sehingga mereka menjuluki diriku Jinxed. Dan sialnya gosip itu menyebar hingga aku masuk SMA.
Meskipun sudah kelas dua SMA, tetap saja aku belum mendapatkan seorang sahabat. Jangankan sahabat, teman saja susahnya minta ampun. Maka dari itu aku memutuskan untuk menyendiri.
Tapi aku yakin suatu saat nanti akan ada seseorang yang menyadari keistimewaanku ini. Dan akan ada seseorang yang mau berteman denganku.
Suatu saat nanti ... pasti ada ....
*jangan lupa vote terus ya guys 😉😉
Hari ini adalah hari terberat dalam hidupku. Hari di mana aku akan meninggalkan rumah dan sekolah lamaku.
Aku terpaksa pindah, karena Ayah yang dipindahkan tugasnya ke luar kota. Demi mempertahankan keharmonisan keluarga kami, aku dan Ibu akan ikut bersama Ayah.
Kupandangi rumah dari jendela mobil untuk yang terakhir kalinya. Sungguh berat rasanya meninggalkan rumah yang sudah kami tempati selama bertahun-tahun. Kenangan-Kenangan terindah di dalamnya tak akan pernah kulupakan. Suara mesin mobil mulai menyala, perlahan melaju menjauhi rumah.
"Nanti kamu akan Ayah daftarkan di sekolah SMA Harapan Bangsa. Kamu pasti suka. Sekolahnya juga bagus," ucap Ayah tiba-tiba. Sesekali melihat kaca spion yang di arahkan pada wajahku. "Termasuk sekolah favorit, lho," tambahnya.
Ayah tahu aku tidak suka dengan rencana pindahan ini. Makanya beliau terus menghiburku. Tetap saja, sama sekali tidak membuatku merasa lebih baik. Aku benci jika harus berpisah dengan teman-temanku.
Hanya termenung dan menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Itu yang kulakukan. Ternyata kota ini tak seburuk yang ada di pikiranku. Daerah sini masih banyak pesawahan dan pegunungan. Udara yang sejuk di pagi hari ini membuatku nyaman dan akhirnya tak kuasa menahan kantuk, sampai akhirnya tertidur pulas melupakan kesedihanku.
Tak terasa kami pun sampai di rumah baru.
"Hoaammm ..." Aku menguap lebar. Kurenggangkan otot-ototku. Rasanya badan ini pegal-pegal karena tidur sambil duduk terlalu lama.
Aku ikut membantu membawa barang-barang kami ke dalam rumah. Ketika aku akan mengambil koper dalam mobil. Kulihat ada seorang anak perempuan yang cukup tinggi, kurus, dengan rambut panjang menjuntai yang nyaris menutupi wajahnya. Hanya menyisakan celah di tengah-tengah wajah bagaikan celah tirai untuk mengintip. Aku sempat diam-diam terperanjat menyadari kehadirannya. Ia berdiri di depan rumah yang terletak di samping rumah baruku. Mungkin itu tetangga baruku, pikirku. Tapi semakin lama ia memandangku, perasaanku semakin tidak enak. Terpaksa aku mempercepat gerakanku.
Saat sampai di depan pintu, aku bertekad untuk melihatnya kembali. Apakah ia masih memperhatikanku. Dan ternyata tidak ada satu pun orang yang berada di depan rumah itu. Aku menjulurkan leher untuk melihat dan meyakinkan diriku bahwa memang tidak ada orang di sana. Mendadak bulu kudukku merinding. Tiba-tiba ada sebuah tangan menepuk pundakku. Aku menjerit keras.
"Via, kamu kenapa, sayang?" tanya Ibu heran memandangku aneh.
"Astaga, Ibu sudah buat Via ketakutan, ah."
"Ketakutan? Emangnya kamu kenapa, Sayang?" Aku tidak mungkin menceritakannya pada Ibu. Bisa-bisa Ibu malah meledekku.
"Nggak apa-apa kok, Bu."
Aku langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Berharap hari ini segera berakhir.
Aku mulai bosan dengan kegiatan yang sedang kulakukan. Kini aku menyibukkan diri dengan membiarkan mataku memandangi suasana sore di kamar baruku. Mata coklatku yang indah sibuk mengamati cahaya matahari yang masuk melalui kaca jendela milikku. Cahaya kejinggaan itu semakin lama semakin menipis dan berganti menjadi malam.
Selepas memandangi cahaya, aku memutuskan untuk mengintip rumah yang berada disampingku tadi. Karena letak jendelaku berhadapan langsung dengan rumah itu. Aku terkejut saat melihat anak perempuan tadi berada di samping rumah itu. Dengan cepat-cepat aku menutup gorden. Lalu menghempaskan diri kasur. Baru hari pertama saja, aku sudah nggak betah.
Aku melambaikan tangan ke arah mobil Ayah yang sudah melaju jauh. Aku berbalik dan memandang papan nama yang ada di atas gerbang sekolah, bertuliskan 'SMA Harapan Bangsa'. Kuhembuskan napas. Berat rasanya untuk melangkah masuk. Sungguh, tak ada semangat sedikit pun untuk sekolah. Tapi tak mungkin aku kembali pulang. Dengan langkah gontai, kupaksakan kaki ini untuk melangkah. Aku terus berjalan mencari ruang kepala sekolah, ingin rasanya segera sampai. Sepanjang koridor ini di penuhi murid-murid dari berbagai kelas, semuanya bergerombol dan berisik.
Tiba-tiba ada seseorang yang menabrakku. Aku terjatuh. Kuangkat kepala menengadah ke atas untuk melihat siapa orang yang sudah membuatku jatuh. Ternyata seorang cowok. Wajahnya terlihat bete, meskipun begitu ia tetap terlihat manis dengan rambut cepak, mata mencorong tajam, hidung mancung yang mengingatkanku pada aktor Hollywood Orlando Bloom, dan bibir yang tipis. Rambutnya yang berwarna kepirang-pirangan tampak menyilaukan. Belum lagi tubuhnya yang langsing dengan otot-otot tersembunyi dibalik seragam yang dikenakannya.
Sesaat aku mengagumi dirinya.
"Se l'usura occhio!" ucapnya dengan tangan dilipat pada dada.
Aku bangkit untuk berdiri.
Ia mendengus. "Kalau jalan, tuh, pake mata, dong!" ucapnya ulang. Kuperkirakan dari warna rambutnya yang agak kepirang-pirangan dan bahasa yang tidak kumengerti, cowok itu memang bukan asli dari Indonesia. Aku pernah mendengar bahasanya sesekali waktu acara di tv. Aku menebak kalau itu bahasa yang digunakan oleh orang Italia. Karena sibuk mengagumi cowok bete ini, tanpa kusadari ada sosok lain di sampingnya. Cowok itu tinggi besar dan ganteng. Tak jauh beda dari cowok bete yang ada di hadapanku ini. Hanya saja wajahnya terlihat lebih lembut dan kalem.
"Dengar, ya! Dimana-mana jalan, tuh, pake kaki. Bukan mata!" bentakku.
Cowok bete itu menajamkan tatapan matanya padaku. Kubalas tatapannya. Tak mau kalah.
"Mi hai il coraggio? Lo nggak tahu siapa gue?" dengan nada menyolot.
"Emang penting, ya, bagi gue tahu siapa lo?" jawabku santai.
Kulihat wajahnya tampak memerah karena marah. Sekilas cowok itu terlihat menakutkan. Aku menatapnya dengan tajam, tidak suka terhadap sikapnya. Spontan aku terperanjat melihatnya membalas tatapanku. Untuk sesaat kami saling tatap-tatapan.
Dasar cowok ini. Percuma juga ganteng kalau sikapnya dingin dan menyebalkan. Umpatku dalam hati.
"Udahlah, Leo. Lagian lo juga 'kan yang salah," ujar teman yang berada di sampingnya itu sambil memegang bahu si cowok bete.
Spontan aku menoleh pada cowok yang berada di sampingnya. Ia menyunggingkan senyuman padaku. Ya ampun, senyumannya membuatku meleleh. Bersamaan dengan itu, tanpa rasa bersalah cowok bete itu pergi meninggalkanku. Dan si cowok kalem mengejarnya.
"Dasar cowok rese." Aku menatap kesal cowok yang tak tampak merasa bersalah itu.
Tanpa kusadari, semua murid yang berada di koridor ternyata memperhatikanku. Padahal sewaktu tadi pertama aku melangkahkan kaki, mereka semua mengacuhkanku. Tatapan mata mereka terlihat sinis, tidak suka dengan apa yang mereka lihat. Beberapa orang terlihat saling berbisik. Aku langsung mempercepat langkah agar segera sampai ke tempat tujuan. Rasanya tak enak jika jadi pusat perhatian seperti ini.
***
Aku dihantar menuju kelasku yang baru. Aku dimasukkkan ke dalam kelas unggulan. Memang tak salah jika aku di tempatkan dalam kelas ini. Karena nilai-nilaiku selalu berada di atas 80, kebanyakan 90, dan sejumlah besar diantaranya bahkan 100. Bukan maksud untuk menyombongkan diri. Memang itulah faktanya. Meski aku tergolong anak pintar, aku tidak sombong dan selalu membantu teman yang kesusahan mengerjakan tugas. Tetapi di sini sepertinya tidak akan ada yang membutuhkan bantuanku. Sekolah ini membagi kelas sesuai dengan prestasi yang di capai setiap anak. Kelas A 1-3 merupakan kelas paling popular karena kepintarannya di atas rata-rata, sedangkan kelas B 1-3 kelas menengah, kelas C 1-3, kelas di bawah rata-rata, dan yang terakhir kelas D 1-3, merupakan kelas yang paling membuat para guru malas mengajar. Kelas yang terkenal karena kenakalan mereka.
Di sekolahku yang lama tidak ada kelas seperti ini yang membeda-bedakan potensi siswa. Semua dipandang sama.
Oke, cukup! Aku tak mau memikirkan sekolah lamaku. Itu hanya akan membuatku sedih. Sambil memperkenalkan diri melalui wali kelasku, Pak Ikhsan. Beliau bertubuh agak pendek dan mengenakan baju Dinas lengan pendek yang tampak resmi dimasukkan dalam celana, sehingga memperlihatkan perutnya yang buncit. Berambut kribo yang mengingatkanku pada seorang badut. Hanya saja badut yang ini hidungnya tidak berwarna merah.
Aku memperhatikan sekeliling ruangan kelasku. Satu persatu kupandangi wajah asing itu, dan betapa terkejutnya aku saat melihat sosok yang duduk di bangku paling ujung berseberangan dengan meja guru, tepat di dekat jendela yang menghadap ke koridor sekolah.
Degg!!! Jantungku seakan berhenti berdetak saat kusadari bahwa sosok itu anak perempuan yang kemarin sempat membuatku ketakutan setengah mati. Aku menelan ludah waktu ia memandangiku dari celah rambutnya.
“Nah, Livia. Silahkan kamu duduk di sebelah Tara!” Pak Ikhsan membuyarkan pikiranku.
Tara yang di maksud Pak Ikhsan adalah sosok yang sedari tadi membuatku takut. Aku menghembuskan napas lega setelah tahu bahwa Pak Ikhsan dan yang lainnya bisa melihat sosok perempuan itu. Awalnya kupikir ia bukan manusia, karena sosoknya yang sangat misterius-dan menakutkan tentunya.
Aku melangkahkan kaki menuju bangku kosong yang berada disebelah Tara. Mata kami tak henti-hentinya bertatapan, sampai aku meletakkan pantatku di kursi. Barulah ia mengalihkan pandangannya dariku. Anak ini jadi manusia aja horor banget, apalagi jadi hantu. Hihh … aku bergidik dalam hati. Meski duduk bareng, tak ada satu pun diantara kami yang memulai percakapan. Bahkan aku sendiri tak ingin berkenalan dengannya, habis ... sikap dan penampilannya sangat aneh. Pelajaran sudah dimulai. Aku menikmatinya dalam diam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!