Di sebuah taman kanak-kanak, tampak seorang guru cantik sedang memandu anak didiknya yang satu per satu mulai dijemput oleh orangtuanya. Wajahnya ceria, penuh senyum. Dia sangat menyukai anak-anak. Anak-anak juga sangat menyukai guru cantik itu. Namanya Prita Asmara. Anak-anak memanggilnya Miss Prita.
"Miss Prita, Fara pulang dulu, ya." ucap seorang anak sembari mencium punggung tangan gurunya. Prita mengusap lembut rambut anak manis itu.
"Iya, sayang. Sampai jumpa besok, ya." jawabnya, sembari menyunggingkan seulas senyuman.
"Terima kasih, Miss. Maaf, saya selalu merepotkan." kata ibunya Fara yang merasa tidak enak hati karena telat menjemput anaknya.
"Tidak apa-apa, Bu. Sudah tugas saya menjaga anak-anak sampai ada yang menjemput"
"Lain kali saya usahakan untuk tidak telat menjemput Fara. Kami pulang dulu."
Prita hanya membalas dengan senyuman. Kedua ibu dan anak itu berjalan meninggalkan sekolah.
"Ibunya Fara kenapa telat terus ya kalau jemput anaknya?" Celetuk Raya yang menyembulkan kepalanya dari jendela kelas. Dia adalah salah satu rekan guru Prita.
"Bu Asri kan punya warung, Ray. Mungkin warungnya lagi banyak pembeli jadi dilayani dulu. Setelah agak sepi, baru jemput anaknya."
"Hah... Kadang aku kesal juga kalau ada wali murid yang telat jemput anaknya. Jam kerja kita kan jadi bertambah. Harusnya sudah santai di rumah, ini malah masih jagain anak orang." keluh Raya.
"Sabar, Ray. Resiko guru TK."
"Eh, Ta! Hari ini ke rumahku, yuk. Nonton drama korea bareng."
"Drama apa?"
"True Beauty."
"Wah... ada pacarku dong, Oppa Hwang In Yeop." kata Prita dengan bersemangat.
"Oppa Ayash mau kamu kemanain, Ta?" ledek Raya.
"Sttt... itu pacar dunia nyata, Ray. Kalau Hwang In Yeop pacar khayalan."
"Hahaha... ayo kita halu bareng-bareng."
"Ah iya, Ray. Hari ini aku kerja, Ray. Weekend aja, ya?" kata Prita yang yiba-tiba teringat ada jadwal kerja di restoran.
"Ah! Kamu kerja terus, Ta. Gagal deh acara halu berdua. Oke deh, minggu depan aja. Aku pulang dulu, ya." pamit Raya sampil memeluk tubuh Prita.
"Hati-hati di jalan." Prita melambaikan tangannya ke arah Raya yang siap mengendarai motornya.
Sekolah telah sepi. Hanya tersisa Prita di sana yang sedang mengecek ruangan demi ruangan apakah sudah terkunci atau belum. Setelah semua ruangan dicek, ia akan langsung berangkat ke restoran tempat kerjanya.
Selain sebagai guru, dia juga bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran. Jam kerjanya mulai pukul tiga sore hingga pukul delapan malam. Ia harus bekerja keras karena kini ia hidup sebatang kara. Kedua orangtuanya meninggal lima tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan. Saat itu, usianya masih 17 tahun dan baru lulus SMA.
Setelah kedua orangtuanya meninggal, Prita diajak oleh Ibu Retno untuk mengajar di TK miliknya. Ibu Retno adalah sahabat baik ibunya. Beliau sangat menyayangi Prita seperti anaknya sendiri. Bahkan, Beliau dulu ingin sekali menguliahkan anak sahabatnya itu. Namun, Prita menolak karena tidak mau terlalu merepotkan orang lain.
Sebenarnya Prita masih memiliki keluarga. Om Robi, adik ayahnya masih hidup. Tapi, setelah orangtuanya meninggal, Om Robi tidak mau mengurus keponakannya itu. Ia justru mengambil alih seluruh aset dan perusahaan ayah Prita, kemudian kabur entah kemana. Hingga saat ini, masih ada rasa kesal jika mengingat kelakuan omnya itu.
***
Saat ini, Prita tengah sibuk mencuci tumpukan piring kotor di tempatnya bekerja.
"Prita!" Seru Bu Ayu yang merupakan atasannya di sana. Prita menoleh ke arah asal suara.
"Ya, Bu. Ada apa?"
"Kamu tolong antarkan pesanan ke meja nomor 8, ya."
Prita tercengang mendengar perintah dari bosnya itu. "Tapi saya kan tugasnya di sini, Bu?"
"Ada pelanggan aneh yang maksa minta kamu mengantar pesanannya. Dia juga minta kamu menemani makan. Sudah, kamu tinggal dulu pekerjaanmu. Biar Dea yang melanjutkan."
Prita segera menghentikan pekerjaanya dan membuntuti Bu Ayu. Pikirannya masih bertanya-tanya, siapa orang yang minta ia layani.
Prita berjalan menuju meja nomor 8 dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman yang telah dipesan. Dari kejauhan Prita dapat memastikan orang yang menunggunya adalah seorang lelaki.
"Siapa...?" gumannya dalam hati. Langkah demi langkah ia semakin mendekati sosok lelaki yang membuatnya penasaran.
"Selamat malam, Pak. Ini pesanannya." katanya sembari meletakkan makanan dan minuman di meja pelanggan.
"Ah!" serunya kaget saat melihat wajah lelaki di depannya.
Lelaki itu tampak terkekeh melihat respon Prita yang terkejut. Prita langsung duduk di hadapannya sambil sesekali mengusap matanya seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kamu lihat pacar kok seperti lihat setan? Nggak suka ya, aku datang?" ucap lelaki itu sembari mengusap punggung tangan Prita dan menggenggam jemarinya.
"Kenapa nggak bilang kalau sudah pulang?"
"Kalau aku bilang, namanya bukan kejutan, Sayang." lelaki itu mengecup punggung tanggan Prita, membuat wajah Prita memerah.
Prita terus memandangi wajah kekasihnya itu dengan penuh kekaguman. Tiga bulan tak bertemu membuatnya merasa lelaki itu semakin tampan. Namanya Ayash Hartadi. Prita mengenalnya sejak SMA. Kalau boleh jujur, ia sudah menyukai Ayash sejak kelas satu SMA. Tapi, mereka pacaran baru 3 tahun yang lalu. Itupun harus dijalani secara LDR karena Ayash harus kuliah di luar kota.
Mereka jarang bisa bertemu. Tidak setiap bulan Ayash bisa pulang ke kotanya karena kesibukan kuljah dan urusan bisnis orangtuanya. Momen kepulangan Ayash menjadi momen yang sangat dinantikan Prita.
"Pulang dari sini kita ke rumahku dulu, ya." kata Ayash sambil menyantap nasi bakar pesanannya.
"Apa om dan tante juga pulang?" tanya Prita lenuh selidik.
"Tidak. Kali ini hanya aku yang kulang. Mereka masih sibuk mengurusi pembukaan cabang perusahaan baru di Kota A."
"Kalau om dan tante tidak ada, aku nggak mau mampir. Besok saja, ya?"
Ayash senyum-senyum sambil menggelengkan kepalannya. "Aku nggak akan nakal kok, jangan khawatir." jawabnya sambil mengerlingkan mata kanannya.
"Kamu kadang suka khilaf, Yang. Kalau di tempat sepi." cibir Prita.
"Tendang aku ya, kalau khilaf." balas Ayash sambil terkekeh. Ayash memang suka menggoda pacarnya yang lucu itu.
Kedua orangtua Ayash memang sudah mengetahui hubungan mereka. Tidak ada pertentangan, bahkan Prita sangat dekat dengan ibu kekasihnya itu. Prita sejak SMA sudah sering main ke rumah Ayash bersama teman satu geng nya, yaitu Vino, Andin, dan Irgi. Ketiga temannya yang lain masih melanjutkan study di luar negeri. Hanya Prita yang tidak melanjutkan pendidikannya. Terkadang, hal itu membuatnya minder untuk tetap bersama Ayash. Ia juga takut suatu saat orangtua Ayash memintanya mengakhiri hubungan karena sekarang ia tak lagi sepadan dengan keluarga Ayash.
Mobil yang dinaiki Prita dan Ayash berhenti di halaman sebuah rumah yang mewah. Ayash menggandeng tangan Prita membawanya memaduki rumah. Suasana tampak sepi, karena setelah jam 8 malam semua pengurus rumah berada di paviliun belakang yang terpisah dari rumah utama. Prita biasanya tidak pernah mau main ke rumah Ayash kalau tidak ada orangtuanya. Dia juga tidak pernah mengajak Ayash main ke rumahnya yang sepi. Selama pacaran, mereka lebih sering menghabiskan waktu di tempat publik. Prita hanya menjaga diri karena Ayash lebih agresif jika mereka berdua saja. Tapi entah mengapa kali ini ia tidak bisa menolak ajakan Ayash. Mungkin karena rasa rindunya yang besar.
"Duduk dulu. Aku mau ambil sesuatu di kamar." pinta Ayash sesampainya di ruang keluarga. Secepat kilat ia berlari menaiki tangga menuju kamarnya.
Prita duduk di sofa ruangan memandangi suasana rumah yang tak berubah sejak 3 bulan lalu. Tak berapa lama Ayash tampak berlari kecil menuruni tangga. Tangannya memegang sebuah kotak coklat muda dengan hiasan pita di atasnya.
"Hadiah untuk pacarku yang cantik." kata Ayash.
Prita tersenyum. Diletakkannya kotak itu di atas pangkuannya. Ayash duduk di sebelah Prita. Perlahan Prita membuka kotak itu. Ternyata isinya sebuah tas mahal bermerk yang harganya mungkin setara gajinya selama satu tahun jika ditabung utuh dan tidak digunakan untuk makan.
"I... Ini kan barang mahal, Yang." Guman Prita sembari melirik Ayash yang sedang tersenyum ke arahnya.
Ayash tiba-tiba memeluk tubuhnya dan menciumi pipinya dengan gemas. Prita mencoba menghindar, namun Ayash semakin erat memeluknya.
"Itu murah kok, Yang. Barang KW cuma lima ratus ribu. " kilahnya sembari menyandarkan kepalanya di bahu Prita.
"Ini Asli, Yang. Jangan bohong deh." selidik Prita sembari meneliti tasnya.
"Mahal atau murah kan relatif, Yang. Aku kan hanya mau kasih hadiah terbaik buat kamu. Lagipula, belinya juga pakai uang sendiri."
"Seorang tukang cuci piring di restoran kalau memakai tas mahal seperti ini aneh nggak sih? Ini bisa untuk membayar gajiku setahun, lho. Nanti dikira aku simpanan Sugar Daddy." guman Prita.
"Nggak usah jauh-jauh mikir Sugar Daddy deh. Pacarmu yang masih muda ini juga banyak uang kok. Aku kan sudah kerja."
"Harusnya uangnya ditabung atau investasi, Yang... Bisa kamu pakai untuk modal usaha. Kalau kasih hadiah aku, yang biasa aja. Aku jadi merasa terbenani nih..."
"Jangan gitu dong... Aku gak jatuh miskin kok, hanya karena beliin kamu satu tas. Uangku banyak banget lho, Sayang. Bingung aku cara ngabisinnya. Selama pacaran, kamu gak pernah minta apa-apa. Padahal aku capek kerja sambil kuliah kan buat kamu juga." ujar Ayash dengan nada manjanya.
Prita meletakkan kadonya di meja. Ia membalas pelukan Ayash. "Iya, Sayang. Makasih, ya."
"Aku kangen banget sama kamu. Baru ketemu kok kamu malah marah-marah."
"Iya, maaf. Aku juga kanget banget." Prita merasa bersalah dengan sikapnya.
"Kalau kamu butuh sesuatu atau menginginkan sesuatu, jangan sungkan minta sama aku, ya. Buat pacarmu ini sedikit berguna." kata Ayash sambil mencubit hidung Prita.
"Iya, iya... "
"Ah. Aku juga sudah menyelesaikan study S2 ku lho."
"Serius, sayang?" Prita menatap mata Ayash untuk mendapatkan kepastian.
Ayash menggangguk dan tersenyum. Prita terkesima. Pacarnya sungguh pintar. 3,5 tahun menyelesaikan S1 dan 1,5 tahun menyelesaikan S2 nya. Padahal, selain kuliah dia juga ikut mengurusi perusahaan ayahnya. Ia semakin kagum dengan pacarnya sendiri.
Cup!
Tanpa sadar bibir Prita reflek mencium pipi Ayash karena terlalu bahagia. Wajahnya memerah karena malu dengan tingkahnya sendiri. Ayash ikut terkejut dengan ciuman tiba-tiba itu.
"Hadiah kelulusanku mana?" goda Ayash.
"Ya belum ada. Kamu kan baru bilang." Prita memalingkan wajahnya karena malu.
"Hadiah ciuman juga boleh... " Ayash lagi-lagi menggodanya.
"Kan tadi sudah."
"Bukan di pipi, tapi di bibir."
Permintaan Ayash membuat Prita semakin malu. "Udah ah! Aku mau pulang."
Prita bangkit dari duduknya. Sebelum sempat melangkah, Ayash menarik tangannya hingga tubuhnya jatuh ke sofa.
"Berikan dulu hadiahnya." bisik Ayash di telinga Prita.
Dengan malu-malu Prita mengarahkan bibirnya ke bibir Ayash sambil menutup mata. Ayash menyambut kecupan itu. Awalnya ciuman itu berlangsung lembut, lambat laun Ayash semakin memperdalam ciumannya hingga Prita tersengal-sengal mengikuti tempo ciuman yang memanas. Lidah keduanya saling bertautan.
Ayash semakin tak terkendali. Tangannya tanpa sadar sudah meraba-raba tubuh Prita. Prita yang terhanyut oleh ciuman tak begitu menyadari perbuatannya. Tangannya kini menelusup ke dalam pakaian Prita, menerobos ke dalam bra dan meremas sesuatu di sana.
"Ah!" pekik Prita reflek melepaskan ciuman dan sedikit berjarak dari Ayash. Nafasnya masih tersengal.
"Maafkan aku. Aku sedikit kelewatan. Ayo kuantar pulang. Aku tunggu di mobil." kata Ayash yang langsung berjalan cepat menuju mobilnya di luar.
Prita masih tampak syok. Ia mengatur nafasnya untuk menenangkan diri.
Ayash sudah berada di depan kemudinya. Beberapa kali ia benturkan kepalanya ke arah kemudi sambil meruntuki perbuatannya sendiri. Selama 3 tahun pacaran, baru kali ini tangannya usil tak bisa dikendalikan. Ia takut Prita akan menganggapnya sebagai lelaki kurang ajar. Rasa rindunya yang besar memang membuatnya ingin sekali melahap habis pacarnya.
Tak berapa lama, Prita datang dan langsung duduk di sebelahnya. Ayash hanya bisa diam dan tak berani memandang ke arah Prita.
"Jangan marah, ya..." tiba-tiba Prita membuka pembicaraan dengan raut merasa bersalah.
Ayash terkesiap. Ia merasa seharusnya dirinya yang takut jika sikapnya akan membuat pacarnya itu marah. Kenapa malah terbalik?
"Kamu marah ya, karena aku tadi menghindar." tanyanya lagi.
Ayash malah tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menengok ke arah Prita yang masih menyiratkan rasa bersalah. Digenggamnya tangan Prita dan mencium pipinya.
"Aku nggak marah. Aku justru merasa bersalah sudah membuatmu takut dengan perbuatanku. Aku kangen banget sampai mau ngelakuin yang lebih sama kamu."
"Iya, aku bisa mengerti. Aku bukannya membenci perbuatanmu. Aku hanya merasa, sepertinya kita belum pantas melakukan itu."
"Kamu jangan minta putus ya..."
"Nggak kok..."
"Makasih, sayang."
Mereka saling berpelukan dan mencoba saling memahami.
"Jadi gimana... mau aku antar pulang atau kamu mau menginap di sini?" goda Ayash.
"Iihh... ya pulang lah! Aku kan punya rumah." jawab Prita sembari memanyunkan bibirnya.
"Baiklah, Tuan Putri. Aku akan mengantarmu sampai rumah."
Ayash lantas mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumahnya menuju rumah Prita. Selama lerjalanan, keduanya asyik bercerita tentang hal-hal lucu yang pernah mereka alami selama LDR. Tidak ada lagi suasana canggung karena kejadian beberapa saat lalu. Hanya tawa riang yang menyertai perjalanan mereka.
Setengah jam kemudian, mobil sampai di depan rumah Prita.
"Masuklah dan istirahat. Besok aku jemput ya."
"Makasih, ya." ucap Prita seraya mencium pipi Ayash. Ia keluar dari mobil.
Ayash melajukan mobilnya. Prita memasuki gerbang rumah setelah mobil Ayash tak terlihat. Pikirannya tiba-tiba dipenuhi flash back kejadian di rumah Ayash. Tiga tahun berpacaran, ia merasa ciuman malam itu adalah yang paling intens dan penuh gairah. Ciuman yang membuat seluruh tubuhnya serasa melayang dan menginginkan sesuatu yang lebih. Bahkan ketika tangan Ayash menyentuh dadanya, muncul desiran-desiran yang tak ia mengerti. Prita menepuk-nepuk kepalanya yang kini dipenuhi pikiran mesum.
"Astaga!" teriaknya kaget.
Saat hendak membuka pintu rumah, ia dikejutkan oleh sesosok manusia yang tergeletak di pojok dekat pintu. Dilihatnya dengan teliti, seorang lelaki dengan wajah penuh lebam dan penampilan acak-acakan. Nafas lelaki itu tampak tercekat seperti menahan sakit. Dari tangannya mengalir darah segar pada luka sayatan yang menganga. Prita membungkam mulutnya sendiri sangking syok melihat kondisi lelaki itu.
"Aku numpang sembunyi di sini, ya. Kamu masuk saja. Jangan berisik, nanti preman-preman itu bisa menangkapku."
Prita masih mematung. Ia bingung harus melakukan apa. Ia tidak ingin berurusan dengan preman, tapi juga tidak tega membiarkan orang terluka di luar rumahnya.
"Cepat masuk!" perintah lelaki itu.
Ketika hendak masuk, sayup-sayup terdengar percakapan orang tak jauh dari rumahnya.
"Sudah ketemu belum?"
"Belum, Bos!"
"Kalian payah banget sih! Masa ngelawan satu orang saja kalah!"
"Dia sepertinya jago bela diri, bos. Tapi tadi sempat ada yang berhasil nusuk dia. Jadi, dia nggak mungkin bisa pergi jauh dalam keadaan terluka."
"Cepat kalian berpencar dan cari lagi. Jangan sampai lolos!"
Dalam temaramnya lampu jalan, Prita memperhatikan gerakan orang-orang itu ke arah rumahnya. Ketika berhasil melihat lambang atribut jaket yang mereka kenakan, Prita terkejut dan secepat kilat membuka pintu rumah. Dengan paksa ia menarik tubuh lelaki itu untuk ikut masuk ke dalam rumahnya.
Pintu langsung ia kunci. Dari balik tirai, ia mengintip ada beberapa orang yang sedang mengamati rumahnya. Jantungnya serasa mau copot mengetahui siapa preman-preman itu. Kalong Merah. Itulah mereka.
Prita jadi teringat kisah rumah kosong yang terletak di ujung kompleknya. Dulu, rumah itu dihuni oleh satu keluarga yang tampak harmonis. Namun, dalam semalam seluruh anggota keluarga itu dibantai oleh geng Kalong Merah. Sekarang rumah itu sudah kosong dan tak terawat seperti rumah hantu. Berkaca pada kejadian itu, ia selalu berhati-hati agar jangan sampai berurusan dengan preman-preman sadis itu.
Perasaannya lega setelah para preman itu pergi menjauh dari depan rumahnya.
"Apa mereka sudah pergi?" suara lelaki itu menyadarkan Prita bahwa ia tidak sendiri di rumahnya.
Ia kembali memperhatikan sosok lelaki yang tadi ditarik paksa masuk rumahnya. Kondisinya sangat memprihatinkan. Lelaki itu tampak meringis kesakitan. Darah masih mengalir dari tangannya.
"Kamu duduk dulu di sofa! Aku akan ambil sesuatu untuk membersihkan lukamu." pinta Prita seraya berlari ke arah belakang.
Lelaki itu berpindah tempat ke sofa sesuai perintah tuan rumah. "Dasar preman sialan! Tunggu saja pembalasanku." gerutunya.
Tak berselang lama, Prita datang membawa kotak P3K dan baskom air.
"Aku bantu bersihkan lukanya, ya." ucapnya sembari mengusapkan handuk yang telah ia rendam di air hangat ke wajah lebam lelaki itu.
Lelaki itu terkesima dengan perlakuan yang ia terima. Dia memandang lekat sosok wanita dihadapannya yang masih fokus mengompres. Mata wanita itu tampak indah menyejukkan. Hidungnya ramping dan sedikit mancung. Bibirnya mungil merah merona membuatnya tampak imut dan menggemaskan.
Sebagai seorang lelaki, ia tak pernah merasa tertarik kepada seorang wanita. Selama ini, ia merasa bahwa wanita hanyalah makhluk yang lemah dan sangat merepotkan. Malam ini berbeda. Wanita yang menolongnya itu berhasil membuatnya terpesona.
"Namaku Prita. Siapa namamu?" pertanyaan Prita membuyarkan lamunannya.
"Bayu. Panggil aku Bayu."
"Sepertinya kamu orang baru ya, di kota ini?"
Prita mengelap pelan wajah Bayu dengan handuk kering. Lalu ia mengoleskan krim untuk luka lebam.
"Iya. Aku baru lima hari di sini."
"Oh, pantas."
"Memangnya kenapa?"
"Ya kalau asli orang sini, nggak mungkin cari gara-gara sama mereka."
"Memangnya mereka siapa?"
"Kelompok preman paling sadis di kota ini. Namanya Kalong Merah. Mereka nggak segan-segan membunuh orang. Kamu sebaiknya jangan sampai tertangkap. Dan kalau sampai tertangkap, jangan pernah sebut-sebut namaku! Aku sudah cukup gila untuk terlibat dengan urusanmu." terang Prita sambil membalutkan perban di lengan Bayu yang terkena luka sayatan.
Bayu tertawa kecil mendengar penuturan Prita yang tak ingin namanya disebut jika ia tertangkap. "Kalau kamu takut, kenapa menolong? Aku kan sudah menyuruhmu untuk masuk."
"Setakut-takutnya orang, nggak mungkin tega ninggalin orang sekarat di luar."
"Aku nggak sekarat."
"Iyalah terserah saja. Besok lebih baik kamu pergi ke rumah sakit supaya lukanya tidak infeksi. Kalau mau istirahat, kamu bisa pakai kamar di sana." Prita menunjukkan kamar yang dimaksud.
"Kalau kamu lapar, kamu bisa menghangatkan makanan dari kulkas di microwave. Aku mau ke kamar dulu."
"Rumahmu sepi banget. Kamu tinggal sendiri?" pertanyaan Bayu membuatnya mematung sejenak.
"Ah, iya. Orangtuaku sudah meninggal. Jadi, aku tinggal sendiri di sini."
"Sudah, ya. Aku mau ke kamar." pamit Prita seraya berlari menaiki tangga menuju kamarnya.
Pandangan mata Bayu mengikuti langkah Prita hingga wanita itu masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Segera ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menghubungi seseorang.
"Halo.... "
" .... "
"Apa kamu tahu tentang geng Kalong Merah?"
" .... "
"Oh, benarkah? Kurang ajar kelompok mereka mengeroyokku. Apa mereka tidak tahu siapa aku?"
" .... "
"Tidak usah terburu-buru. Biar aku sendiri yang memberi mereka pelajaran. Kamu kumpulkan saja mereka. Besok akan aku hajar habis-habisan."
" .... "
"Ah, iya. Aku ada tugas tambahan untukmu."
" .... "
"Cari tahu segala informasi tentang pemilik rumah di Jalan Kenanga nomor 25. Namanya Prita. Aku ingin informasi tentangnya sudah kamu dapatkan besok. Aku bisa mengandalkanmu, kan?"
" .... "
***
Sementara di dalam kamar Prita tampak gelisah. Ada orang asing di rumah membuatnya tidak tenang. Apalagi lelaki itu tahu kalau dia hanya tinggal sendirian di rumah. Ia takut ada hal buruk yang akan dilakukan lelaki yang baru sana ia tolong. Ia ingin menghubungi Ayash, namun takut membuatnya marah jika tahu ada seorang lelaki di rumahnya. Dia tidak pernah mengijinkan Ayash bertamu malam-malam di rumahnya. Malam ini, dia malah membawa seorang lelaki masuk rumah dan menyuruhnya menginap.
"Ah... sepertinya aku sudah gila." runtuknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!