Sang Pria
It’s funny how your mind works, right? Memang pikiran manusia ini kadang-kadang aneh. Meminjam
istilah dari meme-meme internet, “Our brains are very complicated and sophisticated. Millions of cells firing away, tapi semua itu berhenti waktu kita melihat kertas ujian.”
Mungkin yang aneh ini aku, ya. Umur sudah 27 tahun tapi masih saja menyukai meme-meme internet. Yah,
bagaimana lagi. Aku guru, jadi aku punya sebuah kesukaan tersendiri saat membaca story dan comment murid-murid di media sosial. Jadi kalau ada kejadian yang berbekas, selalu pikiran ini berlari ke gudang meme di dalam ingatan.
...
Pagi ini, aku seharusnya bergerak cepat. Membuka pagar rumah, mengeluarkan motor, dan menuju jalanan yang menanti tapak roda.
Jam sudah menunjukkan pukul "Berangkat sekarang atau telanlah keterlambatanmu!"
Tapi saat ini, mendadak, aku mengalami apa yang dinyatakan oleh meme internet tadi.
Kepalaku yang dipenuhi gemuruh ketegangan dan kegusaran, sekejap berhenti saat aku memandang ke seberang jalan, kepada barisan logam hitam di seberang jalan.
Barisan logam hitam yang baru saja bergetar ditutup oleh seorang wanita.
Membungkuk untuk mengunci gembok, ia pun menoleh sedetik ke arah aku yang terdiam.
Lalu secepat itu juga, ia berbalik dan melangkah dengan tekad.
Tekad untuk menatap ke jalanan, ke dalam tas tangan, lalu ke layar gawainya.
Tekad untuk mengabaikan aku sedingin-dinginnya.
...
Menghela nafas, aku tahu tidak ada artinya berusaha mengejar dia. Motorku memang bisa mencapai kecepatan 40 km/jam dalam waktu kurang dari 1 menit, tapi...
Kami berbeda jalan.
Pertama, kami memang benar-benar berlainan arah. Sekolah tempat aku mengajar ada di ujung kota yang berlawanan dengan cafe tempat wanita itu, Lanatha Anantadewi, bekerja sebagai chef pemula.
Alasan kedua yang lebih kuat dari itu, kami punya tujuan yang berbeda.
...
Ah, sudahlah. Mengenang takkan membawaku ke mana-mana.
Menggeleng pahit, aku melirik arloji dan menggeram pelan.
Aku sudah terlambat.
Sang Wanita
Aku ini perempuan yang sederhana, kok. Lurus-lurus saja dalam hidup. Tidak pernah berekspektasi tinggi dan tidak mau muluk-muluk.
Aku hanya menginginkan sebuah pagi yang tenang.
Pagi yang dimulai dengan peregangan singkat di tempat tidur, disapa oleh cuitan burung-burung, dan dilanjutkan dengan secangkir kopi.
Kopi biasa saja, tidak perlu dibuat menggunakan brewer. Cukup kopi sachet yang diseduh air dispenser.
Setelah itu mandi air hangat, dilanjutkan bersiap-siap sambil melihat keadaan unggahan video ku.
Lalu pesanan angkutan yang biasa, untuk membawaku ke rutinitas kerja yang sangat menyenangkan.
...
Yah, tapi semua itu berubah sejak negara api menyerang (aduh, lucu sekali kamu ini ya, Tha).
Pagi sederhana itu, akhir-akhir ini harus kutambah satu syaratnya, dan syarat baru ini memang tidak terlalu sederhana.
Karena bagiku saat ini, hari yang bahagia adalah hari yang dimulai tanpa harus melihat laki-laki di seberang jalan itu.
Ya, laki-laki itu.
Laki-laki yang sudah singgah tanpa izin di area pandanganku sejak aku melangkah menuju teras rumah.
Laki-laki yang membeku dalam geraknya, saat aku mulai berkutat dengan gembok dan kunci.
Laki-laki yang sudah menantang tekadku untuk mempertahankan suasana hati sepagi ini.
Karena aku tidak bisa mengekang panas yang merembes dari hati setiap melihat dirinya.
Marah? Ya, aku marah.
Pacar? Aduh, bukan. Dia bukan pacarku (Ya Tuhan, jangan sampai).
Dia hanya laki-laki yang kutemui saat aku sedang membuat video ulasan makanan 2 tahun lalu.
Hanya laki-laki yang dengan ramah menawarkan diri untuk menjadi pemegang kamera dadakan bagiku.
Hanya laki-laki yang dengannya aku menciptakan berjam-jam percakapan seru.
Ya, aku tahu keanehan dari ceritaku ini. Kalau dia ramah dan menyenangkan, kenapa kamu marah padanya?
Dan kalau dia bukan siapa-siapa bagimu, mengapa dia begitu memengaruhi suasana hatimu?
Jujur, aku juga tidak tahu alasannya.
Yang aku tahu saat ini hanyalah...
Seluruh keberadaan Joshua Wijayakarsa, si laki-laki itu...
Membuatku meragukan keberadaan dan arah hidup yang kupegang sejak dahulu.
Dan aku benci itu.
Dua Tahun Yang Lalu
Dirus hujan berkolaborasi dengan alunan Augie Nieto-nya Five For Fighting.
Aroma kopi semerbak membentuk atmosfer cozy bin damai, ditambah ritme unik para barista yang sigap berlalu lalang dari satu brewer ke brewer lain.
Tidak banyak orang terlihat di sana, karena hujan memang sedang deras-derasnya sepanjang minggu itu.
Hanya ada beberapa meja yang patut bangga atas keberhasilan mereka menampung pelanggan coffee shop sore itu.
Empat meja besar terisi oleh pasangan-pasangan muda
yang bercakap dengan intimnya, didukung oleh saling tatap yang jarang
teralihkan dari satu sama lain.
Namun ada dua meja kecil dengan sepasang kursi bulat
masing-masing, yang hanya mampu memenuhi setengah dari kuota mereka seharusnya.
Penghuni meja pertama adalah seorang pria. Rapi, kacamata,
tenang, dan fokus. Terlihat dari arah mata yang tak pernah beralih dari layar
laptop di hadapannya, bahkan saat ia ingin mengambil cangkir teh di sampingnya
(bagaimana ia tak pernah menyenggol jatuh cangkirnya, tak pernah ada yang tahu).
Oh, dan satu hal lagi tentang pria ini, ia hening. Sedari tadi tidak ada suara
dari mejanya kecuali pesanan, terima kasih, dan ketukan di atas laptop.
Penghuni meja kedua adalah seorang wanita yang penampilannya berkebalikan 180 derajat dengan
pria yang tadi. Wanita ini hadir dengan gaya modis yang beraliran bebas. Rambut
hitam panjangnya sering disisir tangan tanpa arah yang pasti, kadang kanan dan
kadang ke kiri. Mata bulatnya bebas memandang dunia tanpa ada perantara, mata
yang sedari tadi mondar mandir dari layar handphone-nya, lalu ke keadaan interior cafe, sampai pada titik-titik air yang menghantam jendela.
Tak lupa juga ia berdecak kesal setiap lima detik sekali dan menghela nafas pasrah setiap delapan detik sekali.
Mengapa kedua insan ini menarik perhatian?
Percaya atau tidak, dengan segala perbedaan mencolok mereka, kesamaan antara mereka berdua lebih mencolok lagi.
Sama-sama masuk dengan basah kuyup, sama-sama langsung menuju ke kasir dan memesan tanpa meminta menu dahulu, dan sama-sama dikenal di coffee shop ini.
Ya, para barista dan pramuniaga sudah sangat mengenal mereka.
Pria berkacamata yang entah mengapa sering berkunjung ke coffee shop tapi tidak pernah memesan kopi dan wanita aktif yang selalu memesan menu kopi di sini secara bergantian untuk dibuatkan video ulasan.
Lalu, kesamaan mereka yang sangat berkesan bagi para pekerja di sini adalah, mereka selalu duduk di meja yang sama, selalu datang sendirian... Dan mereka berdua rupawan.
Sudah tak terhitung tantangan terlontar di antara para barista dan pelayan untuk datang dan mencoba berkenalan dengan mereka, dan sama tak terhitungnya kegagalan upaya para penantang itu.
Yah, kedatangan mereka berdua memang tidak unik bagi coffee shop ini.
Namun entah mengapa, sore ini berbeda.
Mungkin karena ini pertama kalinya mereka berdua datang di saat yang sama.
Sang Wanita
Ya Tuhan, aku salah apa ya hari ini?
Aku tidak lupa berdoa, lho pagi tadi (memang agak sambil mengantuk, Tuhan. Maaf, ya).
Aku juga rasanya tidak bertemu kucing hitam atau burung gagak dalam perjalanan ke sini (Duh, harus mengurangi menonton film horor, nih).
Tapi mengapa coba? Mengapa aku harus terjebak di sini?
Seharusnya, jika semua berjalan lancar, aku tidak akan berlama-lama di sini.
Datang, pesan kopi terbaru dari coffee shop ini (Charcoal Creamy Latte. Aku dapat bocoran dari barista di sini), shoot video ulasan, editing sebentar, lalu pulang.
Ya Tuhan...
Tuhan tahu, ‘kan, isi dompetku?
Aku ini belum bekerja, Tuhan. Mengapa Engkau tega membuat hujan turun sederas-derasnya dan memaksa aku duduk di sini, memesan makanan supaya aku tidak membuat meja ini malu? (Ya, ‘kan aneh kalau duduk
berjam-jam hanya memesan kopi saja).
Lalu yang paling mengenaskan adalah, sekarang baterai handphone-ku sekarat.
Aku langsung memeriksa tas tangan begitu menyadari betapa kosongnya indikator bateraiku dan... Aku lupa membawa charger.
Great.
Just great.
Sang Pria
Tuhan, terima kasih, ya.
Tuhan memang paling tahu kesukaanku.
Apa lagi, coba? Apa lagi yang kuinginkan sekarang?
Duduk di coffee shop ini sendirian, menikmati secangkir teh (minum teh di coffee shop bukan pelanggaran, ‘kan?), hujan deras, dan alunan musik Five for Fighting.
Dengan suasana sedamai ini, aku langsung menjadi produktif.
Mengoreksi hasil ulangan para murid, sudah.
Membuat soal untuk remedial nanti, sudah.
Membuat materi ajar untuk besok, sudah.
Membaca berita kemenangan Liverpool FC atas Manchester City tadi malam, sudah.
Sudah menonton video highlights nya juga, malah.
Ah, Tuhan. Tuhan memang baik.
It is great.
Just great.
Sang Wanita
“Sendirian terus, nih, Mbak Atha?”
Aku mendongak dan membalas senyum waiter dengan setengah hati. Dalam batin aku menggeleng, “Tidak ada pertanyaan lain, ya, Mas? Misalnya :
‘Mbak, kok tumben tidak membuat video? Ada yang bisa saya bantu? Bisa saya bawakan charger cadangan? Bisa saya bawakan kopi gratis? Bisa saya pause dulu hujannya untuk Mbak? Apa saja Mbak, mengingat Mbak sudah banyak membantu coffee shop kami. Atau saya langsung rekomendasikan Mbak menjadi chef di cafe tetangga kami?’”
...
Menghayal kok terlalu jauh sih, Tha.
“Iya, Mas, sendirian”, jawabku.
Si waiter tersenyum semakin lebar, “Biarpun sendirian, jangan sedih ya, Mbak. ‘Kan masih
ada saya di sini. Setia melayani Mbak dari sejak Mbak pertama datang ke sini.”
Aduh, mulai lagi gombal-gombal si Mas-nya.
Aku tertawa mengelak, “Awas terdengar pacarnya, Mas. Nanti jadi putus, saya yang salah lagi.”
Nasib jadi food vlogger. Langganan coffee shop sampai tahu urusan asmara para barista dan pramuniaga.
Tawa si Mas Waiter renyah betul, “Kalau saya putus karena Mbak, berarti Mbak yang tanggung jawab ya, Mbak.”
“Asal ada bocoran lowongan kerja atau menu terbaru lagi, aku siap tanggung jawab, Mas”, candaku.
Yah begitulah, Tuhan.
Terjebak hujan, handphone mati, dan sekarang malah adu rayu dengan waiter.
“Oh iya, Mbak. Omong-omong soal menu. Ini, dari manajer coffee shop tadi. Untuk Mbak gratis katanya.”
Eh? Aku tidak salah dengar?
“Iya benar, Mbak. Ini saya angkat piringnya ya, Mbak.
Ini kopi gratisnya. Silakan diulas di video ya Mbak. Kalau perlu model, hubungi saya di nomor di bawah ini.”
Wah! Tuhan! Serius?
Aduh terima kasih ya, Tuhan!
Maaf aku mengeluh sepanjang siang ini.
Dan hebatnya lagi, hujan sudah reda!
Wah... Aku bisa langsung membuat video!
...
Tapi tunggu...
Handphone-ku ‘kan mati...
...
Tidak, tidak boleh menyerah!
Aku harus memaksimalkan mujizat hari ini!
Kalau perlu, aku pinjam saja handphone salah satu pramuniaga atau barista. Jika nantinya jadi
harus bertukar nomor, ya sudahlah.
Tidak ada pilihan lain.
“Mas!”, panggilku. “Boleh aku pinjam handphone-nya? Baterai handphone-ku habis nih.”
Si Mas Waiter tadi berhenti melangkah dan berbalik menghadapku. Meringis.
“Ehm, maaf Mbak. Handphone kami semua ada di pantry. Kami tidak boleh menggunakan handphone di jam
kerja. Maaf ya, Mbak.”
... Tuhan...
Maaf, ya Tuhan... Tapi mengapa Engkau memberi mujizat setengah-setengah?
“Permisi.”
...
Aku menoleh dan mendongak mencari sumber suara.
Sosok pria tampan datang menghampiri dari meja di seberang.
Senyum ramah.
“Maaf, Mbak. Tadi saya dengar kalau Mbak memerlukan handphone, ya? Mau menggunakan handphone saya?”
Sang Pria
Hm... Apa lagi, ya?
Hujan belum reda, tapi semua aktivitas yang ingin kulakukan sudah kulakukan.
Saking tidak tahu harus berbuat apa lagi, aku bahkan sudah menonton semua video highlights Liverpool FC beberapa tahun ke belakang.
...
Eh...
Mengapa ada video ulasan makanan di history-ku? Hm, pasti Mama, deh.
Menggunakan akun-ku untuk mencari-cari resep dan makanan.
Ya ampun, ibu-ibu itu ya, soal mencari barang hilang dan sinetron terbaru ahli sekali. Tapi soal teknologi, membuat akun Youtube saja rasanya seperti anak TK disuruh belajar tentang algoritma dan pemrograman.
...
Eh, tunggu... Wanita di video ini...
Kok...
Mendongak, aku membetulkan kacamata dan menatap lurus ke meja seberang.
Kembali ke layar laptop, lalu ke seberang.
Kembali, ke seberang, kembali lagi, ke seberang lagi hingga aku yakin hampir sepenuhnya.
Wanita di video yang sempat ditonton oleh Mama ini, adalah wanita yang sama dengan yang sedang duduk di meja sana.
...
Duh, sadar, Josh.
Lihat wanita cantik sedikit saja langsung hilang fokus.
...
Hilang fokus atau malah lebih fokus?
Karena sekarang aku tidak bisa berhenti melihat tiap beberapa detik sekali.
Bagaikan besi yang tertarik tanpa daya pada kutub-kutub magnet.
Dan bahkan, aku mendengar setiap kata yang dilontarkannya di sana.
Tanpa menyadari bahwa hujan telah berhenti dan aku seharusnya sudah pulang.
...
Aku sudah lama tidak percaya pada cinta. Mohon maaf.
Hubungan terakhirku dengan wanita tidak berakhir baik, karena ia tidak menyukai profesiku sebagai guru.
Dan sejak itu, aku belum mau memulai jalinan lagi dengan lawan jenis.
...
Tapi meskipun begitu, mengapa telingaku memprioritaskan ucapannya di atas lirik lagu yang memenuhi tempat ini?
Mengapa saat mendengar baterai handphone-nya habis, aku langsung merogoh saku dan menarik handphone-ku sendiri?
...
Dan mengapa aku memberanikan diri berdiri, bahkan berjalan menghampiri meja tempat ia berada?
Apa yang kulakukan ini sebenarnya?
Mengapa bibirku tak dapat ditahan untuk berkata, “Permisi. Maaf, Mbak. Tadi saya dengar kalau Mbak memerlukan handphone, ya? Mau menggunakan handphone saya?”
“Serius?”, gelak tawa dan binar mata menyapa.
Lawan bicara angguk seiring dalam antusiasme yang nyata, “Iya, serius.”
“Lalu kamu jawab apa?”
“Ya aku jawab tegas saja. ‘Maaf ya, Mas. Saya sedang menunggu pacar.' ”
Tawa merdu berdering dari meja bulat.
Ya.
Meja bulat yang sudah mengalami perubahan nasib hanya dalam hitungan menit.
Dari setengah kosong, kini penuh melimpah ruah.
Penuh ria, melimpah canda, dan ruah dengan suka.
“Kamu sering ya mengalami kejadian seperti itu?”, si Pria bertanya.
Mengernyit manis, wajah polos itu mencari kenangan di sudut-sudut pikiran.
“Yah, lumayan sering, sih.”
“Dan senjatamu selalu sama dalam tiap kejadian?”, selidik si Pria.
Senyum simpul, si Wanita menjawab bangga, “Mengapa harus ganti senjata kalau yang lama masih
ampuh, Josh? Belum pernah gagal, lho!”
Lurus menatap dan balas tersenyum, si Pria melanjut, “Terus, kenapa tadi kamu tidak mengatakan itu
padaku, Tha?”
... Henti, wajah polos si Wanita nyata terpeta.
Hilang kata-kata.
Sang Wanita
Joshua. Josh nama panggilannya.
Hanya sejauh itu yang dapat kuketahui dari beberapa baris percakapan awal antara kami berdua.
Percakapan yang dibuka dengan banyak, “Aduh, tidak usah, merepotkan”, “Tidak usah kok, Mas, sungguh”,
hingga akhirnya, “Mm, benar tidak apa-apa Mas? Terima kasih, ya.”
Percakapan selesai, dilanjutkan kecanggungan.
Di mana pria itu menawarkan bukan saja handphone-nya, tapi juga tenaganya sebagai cameraman dadakan.
Aku memang food vlogger, tapi bukan yang terkenal bagaimana. Semuanya hanya hobi, kok. Karena itulah aku selalu melakukan shooting sendirian. Yah, tidak sendirian sih, bersama tripod pink kesayanganku itu.
Tentunya bisa ditebak, segugup apa aku saat ia duduk di hadapanku sambil mengatur ketinggian tripod.
Aku masih berusaha lho.
“Mm, Mas... Tidak apa-apa kok. Dipinjamkan handphone saja saya sudah terima kasih sekali.”
“Panggil Josh saja, ya.”
“Ha?” (Duh, Tha. Kebiasaan kamu refleks tidak sopan kalau butuh kejelasan informasi. Yang lebih
anggun, dong.)
Senyum, ia berkata, “Panggil aku Josh saja. Itu namaku. Jangan ‘Mas’, ya.”
Teguk ludah yang susah payah aku samarkan, sebelum aku menjawab,
“I... Iya...”
Hening, tak tahu harus berbuat apa.
Aku bahkan sudah lupa nama menu baru ini apa.
“Nama kamu siapa?”, ia bertanya kembali.
Aku berusaha tersenyum sewajar mungkin. Sewajar yang aku bisa dalam situasi ‘ya-Tuhan-aku-baru-saja-diajak-berkenalan-oleh-pria-tampan-yang-baik-hati’ sebelum aku menjawab,
“Aku... Namaku Lanatha.”
Ia mengangkat wajahnya dari tripod yang kini sudah berdiri tepat di ketinggian pengambilan gambarku
yang biasa.
Tersenyum tenang.
“Baik, Lanatha. Kalau kamu sudah siap, acungkan jempol saja, ya?”
Sang Pria
“The time for creative playmakers are over.”
Sebuah kalimat yang aku baru saja baca pagi tadi dalam ulasan berita sepak bola. Artikel yang mengupas
tuntas tentang bagaimana sepak bola modern sudah bergeser dari era ‘Fantasista’ atau pemain kreatif yang penuh improvisasi ke era baru di mana seluruh gerakan pemain di lapangan dilatih secara mendetil hingga ke hal-hal kecil.
Yah, aku bukan pengamat sepak bola profesional.
Aku hanya teringat kalimat itu saat aku duduk di sini, dengan handphone-ku terkunci rapat di tripod pink yang manis.
Semanis wanita yang sedang kuambil gambarnya di hadapanku.
Wanita yang sampai tadi masih memohon agar aku tidak perlu menjadi cameraman agar ia tidak gugup (jujur dan polos sekali, bukan?), tapi yang sekarang sedang menjelaskan rasa kopi di genggamnya dengan percaya diri.
Aku sudah bertahun-tahun tidak menjalin hubungan serius dengan lawan jenis.
Karena itu, saat tadi aku memberanikan diri menyapa wanita ini, doaku pada Tuhan hanya satu.
Jangan biarkan aku kehabisan kata.
Dan baiknya Tuhan, dari tadi kata-kata meluncur bebas lancar dari bibirku. Sampai ke kata-kata yang aku
sendiri tidak percaya berasal dari bibirku.
(“Panggil aku Josh saja, ya.” Ya ampun, keberanian dari mana aku berkata begitu?)
Hmm...
Mungkin era kreativitas dan improvisasi sudah berakhir di dunia sepak bola, tapi untuk membuka
perkenalan, lain cerita.
“Mm, maaf, Josh.”
Tersentak sadar dari lamunan, aku buru-buru menjawab, “Eh, iya. Kenapa, Tha? Ada yang mau diulang?”
Geleng, “Tidak kok. Sudah cukup. Terima kasih, ya. Aku tadi mau bertanya... Mm, kira-kira apa yang
bisa kulakukan untuk berterima kasih? Aku... Aku tidak bawa banyak uang, tapi...”
“Tidak perlu begitu kok, Tha. ‘Kan aku cameraman sukarela juga, bukan profesional.”
Bersikeras, kembali ia menjawab, “Tapi aku tidak enak. Kamu sudah meminjamkan handphone, lalu kamu merekamku. Aku harus melakukan sesuatu untuk membalasnya, ‘kan.”
Tanpa berpikir, aku menjawab, “Baiklah kalau kamu bicara begitu. Aku mau minta bayaran.”
Tatap lurus, dan mata cantik itu membalas. Menguatkan diri dari permintaanku.
Senyum, aku berkata, “Bayar aku dengan beberapa menit-mu boleh, Tha?”
Lagi-lagi dari sepak bola, aku pernah dengar bahwa manajer-manajer tim itu bisa merasakan semuanya
dalam satu momen.
Mereka bisa merasakan apakah serangan yang dibangun tim-nya akan berbuah gol atau tidak. Mereka juga
bisa merasakan apakah serangan yang dibangun terhadap tim-nya akan berbuah gol atau tidak.
Mereka juga bisa merasakan apakah seorang pemain akan menjadi bintang besar atau tidak.
Bahkan mereka bisa merasakan apakah sebuah tim akan menjadi juara di liga atau tidak.
Semuanya dalam satu momen.
Nah, jangan tanya aku bagaimana, tapi aku sedang merasakan momen itu.
Aku sedang merasakan lahirnya sesuatu yang spesial.
Right here, right now.
Dan aku tidak akan melepaskannya begitu saja.
Sang Wanita
“Terus, kenapa tadi kamu tidak mengatakan itu padaku, Tha?”
Pertanyaan itu berlalu lalang dan terngiang berulang.
Di coffee shop (yang berhasil aku hindari dengan jurus pamungkas, melihat jam dan pura-pura ditunggu orang rumah).
Di perjalanan.
Di pintu rumah.
Dan kini di kamar.
Kenapa, ya?
Kenapa aku tidak sigap mencari alasan untuk menolak saat ia menyapa?
Kenapa aku tidak refleks memasang wajah dingin dan cuek saat ia datang mendekat?
Kenapa aku hanya bisa terdiam?
Ding. Ringtone Whatsapp berbunyi, yang langsung kusambut uluran tangan.
+6281xxxxxxxx3
online
Hai, Tha. Ini videomu tadi, ya. 19.33
Maaf lama, tadi ukurannya besar, jadi aku masukkan ke Google Drive dulu 19.33
Nanti kalau butuh jasa cameraman lagi, aku siap kok :p 19.34
...
Senyum.
Jari menari membalas dalam kata.
Hai, Josh. 19.34
Terima kasih sekali hari ini, ya 19.35
Cameraman? Iya nanti kalau aku butuh aku chat kamu ya :p 19.35
...
Ding.
Semoga butuhnya cepat, ya :p 19.35
Sudah berulang kali aku harus meladeni Whatsapp dari nomor asing.
Dari laki-laki yang mengaku kakak kelas ku di kampus sampai orang asing yang dapat nomorku entah
dari mana.
Tapi ini pertama kalinya aku membalas chat seramah itu.
Ya Tuhan, aku ini kenapa, ya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!