NovelToon NovelToon

Kekuatan Cinta

Hari Pernikahan

Annissa Nur Hafizah, gadis berusia 21 tahun itu menatap pantulan tubuhnya yang memakai kebaya brokat berwarna putih di depan sebuah cermin setinggi tubuhnya. Ia tersenyum melihat betapa cantik dirinya, perias wajah yang di sewa oleh Ibu Marissa, calon ibu mertuanya itu benar-benar profesional.

Nissa kembali mengingat saat ia bertemu dengan Ardian di lampu merah beberapa tahun lalu. Ia sungguh tak menyangka, perseteruan mereka berdua malah membawa mereka ke dalam sebuah ikatan yang suci.

Apakah ini yang dinamakan dengan takdir. Sejauh apa pun ia pergi, sekuat apa pun ia menolak dan menyangkal, perasaan itu justru semakin kuat.

Pria tampan dan mapan yang menjadikannya sebagai pelayan serbaguna itu ternyata menjadi pria yang mencuri hatinya. Pada pria itulah ternyata hati dan jiwanya berlabuh.

"Assalamu'alaikum putri cantik ibu." Bu Ijah masuk ke dalam kamar hotel tempat acara pernikahan itu dilangsungkan.

"Ibu." Mereka berdua segera berpelukan dengan hangat.

Ibu menatap wajah anaknya yang tampak semakin ayu dengan tatanan rambut yang apik.

"Ibu bahagia sekali, Nis. Akhirnya setelah semua kesedihan itu terlewati, kamu bisa sampai sejauh ini. Ibu harap kamu selalu bahagia dengan nak Ardian."

"Nissa pasti akan selalu bahagia, bu."

Ibu mencium kening Nissa dalam-dalam. Ia sendiri tak menyangka, putri kecilnya yang pernah mengalami masa-masa sulit beberapa tahun lalu itu ternyata bisa bertahan dan mampu meraih kebahagiaannya. Sungguh menyedihkan bila mengingat perjuangan sang anak untuk melupakan peristiwa kelam itu.

"Jangan menangis, Bu."

Nissa mengusap air mata yang mengalir di pipi ibu dengan lembut menggunakan tisu. Setelah itu ia meraih jemari tangan sang ibu dan meletakkannya di pipi.

"Nissa janji, Bu. Nissa akan selalu bahagia bersama Pak Ardian. Jadi mari kita lupakan masa-masa kelam itu."

Ibu semakin tersedu mendengarnya. Nissa benar-benar tangguh. Saat orang lain merasa miris dengan penderitaannya, ia justru dapat tersenyum dengan mudah.

Nissa kembali memeluk ibu dengan erat dan mengusap punggung wanita yang telah melahirkannya dengan lembut.

"Kamu sudah siap, Nis?" tanya ibu Marissa yang masuk kedalam kamar secara tiba-tiba.

"Loh, kenapa malah bertangisan seperti ini?" tanya ibu Marissa heran.

"Tidak apa, Bu. Saya hanya terharu, putri kecil saya sekarang akan menjadi seorang istri. Rasanya seperti baru kemarin saya hamil dan melahirkannya."

Ibu Marissa mendekat dan ikut mengusap punggung ibu dengan lembut.

"Saya pastikan, putri kecil ibu akan selalu hidup bahagia dengan putra saya. Jika putra saya menyakiti Nissa, maka saya yang akan turun langsung untuk menghukumnya," ujar ibu Marissa dengan mantap.

Hati Nissa merasa hangat mendengarnya. Beberapa bulan lalu Nissa sempat berpikir jika kedua orang tua Ardian tidak akan menerimanya sebagai bagian dari keluarga besar mereka. Namun diluar dugaan, apa yang Nissa takutkan tak terjadi. Justru Ibu Marissa yang takut jika kedua orang tua Nissa menolak putra keduanya yang suka bermain dengan para wanita itu.

"Tidak ada manusia yang sempurna, Bu."

Begitulah ucapan Pak Rahmat saat mereka bertandang ke rumah Nissa dan membicarakan rencana pernikahan putra-putri kedua keluarga berbeda kasta tersebut.

"Ayo, calon menantuku. Calon suamimu sudah gelisah dibawah, ia pikir kamu akan lari seperti yang ia lakukan dulu," ujar ibu Marissa.

Nissa dan ibunya terkekeh geli mendengar ucapan calon mertuanya. Ardian sendiri sudah menceritakan tentang kandasnya hubungan asmaranya dengan Ana, serta saat ia melarikan diri tepat saat mereka berdua sudah duduk di depan penghulu.

Mereka tidak mempermasalahkan hal tersebut. Bagi Nissa dan kedua orang tuanya, apa yang terjadi di masa lalu biarlah tetap seperti itu. Lebih baik dilupakan dan mulai menata masa depan.

Namun sampai saat ini Nissa belum pernah menceritakan peristiwa kelam yang ia alami saat ia berumur 13 tahun. Peristiwa yang membuatnya berubah total. Dari seorang gadis ceria dan periang menjadi seorang gadis pendiam dan penyendiri.

Saat sudah tiba waktunya, maka aku akan menceritakannya. Batin Nissa.

***

Ardian berulang kali mengatur nafasnya. Rasa gugup yang dirasakannya kali ini lebih hebat dari saat ia melarikan diri di hari pernikahannya dengan Ana.

"Santai aja, Di. Gak usah gugup gitu. Gugupnya disimpan untuk malam pertama aja, hahaha."

Ardian mendengus kesal mendengar ledekan Roli.

"Ardian tu gak bakal gugup, dia kan pemain profesional. Yang gue takutkan kalau Nissa refleks trus matahin juniornya yang lagi tegang-tegangnya," Edi pun menimpali.

Telinga Ardian semakin panas. "Kalian berdua kalau mau ngeledek gue mendingan keluar deh, nyesel gue ngundang kalian berdua."

Mendengar ungkapan kekesalan Ardian tawa dua sahabat itu semakin nyaring. Mereka sepertinya senang sekali bisa merusak suasana hati sang mempelai pria.

"Loe gak pengen kabur lagi, Di?" tanya Roli.

"Gak, kalau gue kabur siapa yang jadi mempelai prianya?"

"Lah, kan ada gue," sahut Edi sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Dasar kalian ini teman gak ada akhlaknya sama sekali, ya," gerutu Ardian.

Dan sekali lagi, tawa kedua sejoli itu pecah. Kegugupan Ardian semakin besar saat Nissa tak kunjung masuk ke tempat ijab qabul di laksanakan. Berkali-kali ia melihat ke arah pintu utama, namun mempelai wanitanya tidak jua hadir.

Pikiran negatif mulai datang menghantuinya. Bagaimana jika hukum karma terjadi pada hari ini? Ia pernah kabur di hari pernikahannya dengan Ana, dan mungkin kali ini Nissa yang akan kabur.

Jantung Ardian semakin berpacu tak terkendali memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Telapak tangannya semakin dingin, keringat pun mulai bermunculan di keningnya.

CEKLEK

Pintu utama terbuka secara perlahan. Tampak seorang wanita dengan anggunnya masuk ke dalam aula. Gadis yang mengenakan kebaya putih itu berjalan dan di apit dua orang wanita paruh baya di kanan dan kirinya.

Dada Ardian berdesir menyaksikan keindahan yang diciptakan Tuhan. Dengan sigap ia berdiri untuk menyambut mempelainya, pasangan hidupnya, jiwa dan raganya.

Mereka duduk bersebelahan tepat didepan penghulu. Pak Rahmat menyerahkan kuasanya untuk menikahkan Nissa kepada hakim. Bukan ia tak mau, Pak Rahmad hanya takut tak sanggup mengucapkan kata ijab karena tak sanggup berpisah dengan putrinya.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, ananda Ardian Sanjaya bin Hendra Sanjaya dengan Annissa Nur Hafizah binti Rahmad dengan mas kawin seperangkat alat sholat di bayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Annissa Nur Hafizah binti Rahmad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai."

Dalam satu tarikan nafas Ardian mengucapkan kakimat sakral tersebut dengan sekali ucap.

"Bagaimana saksi?"

"SAH!!"

"Alhamdulillah."

Ardian segera mengecup kening Nissa, padahal istrinya sudah mengulurkan tangan ingin menyalami sang suami. Namun Ardian sungguh tak sabaran dan lebih dulu mencium kening istrinya dengan dalam.

Nissa memitikkan air mata. Akhirnya ia bukan lagi seorang gadis. Kini ia telah menjadi seorang wanita bersuami.

"Sudah, dilanjutkan nanti malam saja. Sekarang tanda tangani berkas ini dulu," ucap pak penghulu menegur Ardian.

Ardian segera mengentikan kegiatannya mengecup kening sang istri. Wajah Nissa sudah tampak merona, malu karena sikap Ardian yang tidak tahu tempat itu.

Seorang petugas KUA menyerahkan beberapa berkas yang wajib di tanda tangani oleh kedua mempelai. Ardian mengambil giliran pertama. Setelah itu Nissa.

Setelah semua proses di lakukan. Kini tiba saatnya mereka saling memasangkan cincin. Suara ledekan kembali riuh terdengar saat Ardian dengan tak tahu malunya mengecup bibir Nissa sekilas.

Ardian tersenyum puas, sementara Nissa hanya bisa mendelik dengan sikap semaunya sendiri dari sang suami.

Dasar suami mesum!!

BERSAMBUNG

Permintaan Maaf

Setelah melaksanakan akad nikah pada pagi harinya, malamnya resepsi pernikahan pun digelar. Undangan yang hadir lebih banyak dari saat akad nikah pagi tadi.

Raut wajah bahagia tampak jelas di wajah kedua mempelai. Nissa yang memakai gaun pengantin berwarna baby pink tampak anggun dan menawan. Riasannya pun telah diubah menjadi lebih natural, sesuai dengan permintaan sang suami yang menginginkan istrinya tidak tampil menor.

Ardian tampil memukau, wajah tampan yang selalu terkesan dingin itu kini tampak ceria. Tuksedo berwarna navy yang membalut tubuh kekarnya semakin menambah kesan cool and macho.

Sepanjang resepsi digelar, Ardian berubah menjadi pria possesif. Sang istri dilarang untuk menyalami tamu pria. Bahkan walau hanya sekedar berfoto pun ia larang. Sempat terbersit di pikirannya untuk melarang tamu pria naik ke atas pelaminan dan mengucapkan selamat pada mereka, namun lebih dulu ditentang oleh pihak keluarga.

Dinda datang bersama suaminya. Ia langsung menerobos para tamu agar mendapat kesempatan lebih cepat memberi ucapan selamat pada sang sahabat. Ridho hanya bisa menggelengkan kepala melihat istrinya.

"Selamat ya, Nissa. Aku senang karena tangisanmu waktu itu akhirnya tidak sia-sia," ucapnya sambil memeluk Nissa.

Ardian menatap Nissa dengan raut wajah penuh tanya. Sementara sang istri hanya bisa menggigit bibir bawahnya karena merasa kikuk. Sampai sekarang Ardian tidak tahu jika Nissa pernah menangis karena perkataannya yang sempat membuat Nissa merasa rendah diri.

"Maksudmu apa? Kapan Nissa pernah menangis?" Ardian yang merasa penasaran langsung melontarkan pertanyaan.

"Eemm, itu... Aduh bagaimana cara mengatakannya, ya?" Dinda menggaruk pelipisnya sendiri. Ia merasa bersalah karena sudah mengungkit masa-masa menyedihkan tersebut.

"Cepat katakan, atau aku akan memecat suamimu." Ardian menatap Dinda dan Ridho dengan mata elangnya bergantian.

Nissa mendelik kesal, suami tampannya ini memang senang sekali mengancam orang lain.

"Baik, Pak. Sa-saya akan mengatakannya. Jadi be..."

"Jangan diteruskan, Din!" Nissa lebih dulu memotongnya.

"Tapi Nissa, aku harus tahu apa yang membuatmu menangis. Kita sudah menikah, maka tidak ada lagi yang harus ditutup-tutupi. Bagi bebanmu bersamaku."

Nissa mencebik kesal. Aku menangis karenamu. Dasar tidak peka.

"Itu sudah berlalu, lebih baik kita lupakan," ujar Nissa, ia menggenggam tangan suaminya dengan erat.

Ardian menyipitkan matanya, ia yakin istrinya ingin menyembunyikan sesuatu darinya.

"Aku ingin kau menjelaskan semua padaku nanti malam, kalau tidak maka suami sahabatmu akan aku pecat," ancamnya dengan tatapan tajam yang sangat menusuk.

Nissa mendesah kasar, ingin rasanya ia memencet hidung sang suami saking kesalnya. Selalu saja begini, Ardian benar-benar menyentuh titik fatalnya.

"Iya, nanti malam aku ceritakan. Tapi ingat, jangan menyesal!" ucap Nissa sambil memberi tatapan kesal pada sang suami.

Kejadian beberapa bulan lalu yang ingin ia lupakan malah terpaksa ia ingat kembali karena sifat tak mau dibantah suaminya. Entah bagaimana reaksi Ardian saat Nissa mengungkapkan kejadian di rumah Dinda pada hari itu.

***

Acara sudah selesai, kini pasangan pengantin baru itu masuk ke kamar hotel yang sudah di hias sedemikian cantik. Di dalam kamar bernuansa pink inilah mereka akan tidur bersama untuk pertama kalinya.

Jantung Nissa berdebar dengan kencang saat Ardian memandunya masuk ke dalam kamar. Perasaannya campur aduk antara senang, bahagia, gugup dan juga takut.

Senang dan bahagia karena akhirnya bisa bersatu dengan pria yang sangat dicintainya. Gugup karena malam ini mungkin akan menjadi malam pertamanya dengan sang suami, apalagi Dinda mengatakan jika malam pertama itu menyakitkan, seperti tertusuk jarum. Dan Nissa pun merasa takut jika ia tak bisa memuaskan hasrat sang suami.

Semua gejolak perasaan yang melanda membuat Nissa merinding. Ia bahkan hampir terkena serangan panik. Tubuhnya bergetar, kepalanya pusing, dan ia merasa mual, perutnya seperti di aduk-aduk.

"Ada apa denganmu, Nis?" Ardian melihat wajah Nissa yang mulai tampak pucat.

"Aku baik-baik saja, kak," jawab Nissa berbohong, ia tidak mau mengecewakan sang suami jika ia berkata jujur.

Ardian meletakkan telapak tangannya di kening Nissa. Sesaat kemudian keningnya berkerut.

"Tubuhmu kenapa jadi dingin seperti ini?" tanyanya.

"Mungkin pengaruh AC saja," jawab Nissa.

"Benarkah? Apa perlu kunaikkan suhunya?" tanya Ardian lagi, ia meraih telapak tangan sang istri dan menempelkan di pipinya agar terasa hangat.

"Tidak perlu, kak. Mungkin hanya kelelahan," tolak Nissa.

"Yah, kalau kamu kelelahan bagaimana kita akan melewatkan malam sakral ini?" Ardian mendesah, pasrah. Ia tak mungkin memaksakan keinginannya saat sang istri sedang tidak sehat seperti ini.

Nissa tersipu malu, ia kira suaminya akan memaksa, ternyata dugaannya salah.

"Aku tidak apa-apa, kak. Mungkin hanya kelelahan, lebih baik aku mandi supaya lebih segar."

Ardian mengecup bibir istrinya sekilas. "Cepat mandi, aku akan menunggumu," ucapnya sambil mengedipkan mata.

Nissa semakin tersipu. Ia sampai menundukkan kepalanya karena takut sang suami memergoki wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus.

Nissa segera masuk ke kamar mandi, beruntung gaun pengantin yang ia kenakan tidak sulit untuk di lepas seorang diri, jadi tidak perlu meminta bantuan sang suami. Tapi kalau dipikir lagi, bukankah nanti ia juga akan buka-bukaan di depan suaminya. Memikirkan hal itu membuat Nissa senyum-senyum sendiri.

Ardian meraih handuk, kaus berwarna putih, serta celana dalam dan celana panjang dari dalam koper. Ia berniat mandi di kamar yang lain, ditempat Hendri bersama istri dan kedua anaknya menginap. Beruntung kamar tersebut berada di lantai yang sama.

"Kak, aku numpang mandi di sini, ya," pintanya, tanpa izin dari sang pemilik kamar Ardian langsung masuk.

"Loh, Di? Kamu ngapain kemari?" tanya kakak iparnya.

"Mau numpang mandi, mbak," sahutnya.

"Kamar mandi di kamarmu kenapa?" tanya ibu muda dari dua anak itu.

"Dipakai sama Nissa," sahutnya.

"Kenapa gak mandi bareng aja, sih?" celetuk Hendri.

"Nissa malu-malu kak, baru kugoda sedikit aja sudah merah wajahnya."

"Hahaha, polos banget ya istrimu, Di. Kebaikan apa yang sudah kamu lakukan di masa lalu sampai playboy kelas paus kaya kamu dapat istri yang cantik dan polos seperti Nissa?" ujar kakak iparnya.

Ardian hanya mengedikkan bahunya. "Rezeki anak sholeh mungkin, hahaha," ujarnya, setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi.

"Anak sholeh? Ngaco kamu, Di."

Ardian terkekeh geli mendengar sindiran Hendri. Setelah beberapa menit menyelesaikan ritual mandinya Ardian segera keluar dari kamar kakaknya. Ia takut mengganggu pasangan pengantin lama yang tidak mau kalah itu.

"Woy, Di. Ngapain loe di luar kamar, diusir Nissa, ya?" Roli yang juga menginap di hotel yang sama tanpa sengaja berpapasan dengan Ardian saat ia hendak pergi ke mini bar hotel.

"Sembarangan kalo ngomong, gue habis numpang mandi di kamar kak Hendri. Bukan di USIR," ucapnya dengan penuh penekanan.

"Pfftt, hahahahaha."

Roli tertawa terpingkal-pingkal. "Gue baru kali ini ketemu manten baru yang mandinya pisahan. Biasanya pasangan yang baru nikah itu mandi bareng. Bilang aja kalo loe di usir Nissa. Gak usah banyak alasan," ledek Roli dengan penuh semangat.

Ardian hanya merengut menanggapi ledekan Roli. Tidak mau berlama-lama disana ia pun kembali melangkah menuju kamarnya. Namun seseorang menarik tangannya dan menyeretnya masuk ke dalam lift.

"Apa-apaan ini?" tanya Ardian heran saat kedua tangannya dipegangi oleh Roli dan Edi. Edi sendiri menginap di dalam kamar hotel yang sama dengan Roli.

"Sebelum loe ngelakuin 'itu' sama Nissa, lebih baik loe ikut kita berdua, kita mau ajarin loe gimana caranya bikin gadis polos kaya Nissa berteriak minta tambah, hahaha," ucap Edi kemudian ia tertawa terbahak-bahak diikuti oleh Roli.

"Astaga, memang bener-bener gak ada akhlak ya kalian berdua," umpat Ardian kesal.

Mereka membawa Ardian ke dalam sebuah kamar hotel yang berada satu lantai dibawah kamarnya. Ardian dibuat tak percaya saat kedua sahabatnya itu ternyata mengajaknya menonton video 'ranjang bergoyang'.

"Mendingan loe nonton ini dulu, biar malam pertama kalian HOT," ujar Roli.

"Gue gak perlu nonton yang beginian juga sudah ngerti, memang kalian jomblo sejati, jangankan nyium, megang tangan cewek aja belum pernah," ledek Ardian.

"Wah, parah loe, gak usah bawa-bawa kata jomblo segala, bisa gak," ucap Edi kesal.

"Kalian yang mulai," sahut Ardian tak kalah kesal.

Roli dan Edi kembali memegangi kedua tangan Ardian dengan erat.

"Karena loe udah bikin kami berdua kesel, jangan harap bisa senang-senang sama Nissa."

"Jangan gila, kalian," sahut Ardian.

Kedua sahabat itu masih setia memegangi tangan Ardian. Ia mendesah perlahan . Kekhawatiran mulai melanda mengingat ia meninggalkan Nissa di kamar sendirian.

"Gue bukan gak tau caranya, gue cuma gak tau gimana mulainya, belum apa-apa tapi Nissa sudah pucat gitu mukanya," ucap Ardian.

"Nissa mungkin masih malu, secara kalian kan baru mulai dekat setelah lamaran. Sebelumnya kalian emang dekat tapi statusnya kan beda," ucap Edi menjelaskan.

"Ada ide gak, apa yang harus gue lakukan biar Nissa bisa rileks dan gak terlalu gugup kaya sekarang?" tanya Ardian pasrah dan tak bersemangat.

"Mendingan loe ajakin Nissa ngobrol dulu, deh. Ajak dia cerita tentang masa kecil kalian. Pasti seru tuh."

Ide brilian yang dilontarkan Edi tadi membuat semangat Ardian kembali berkobar.

"Bener juga, Nissa belum pernah cerita tentang masa kecilnya sama sekali," ucapnya.

"Nah, itu bisa dicoba," Roli menimpali.

Ardian bangkit dari tempat duduknya. Ia memeluk kedua sahabatnya bergantian.

"Thanks ya, bro. Kalau gak ada kalian gue gak tau gimana caranya melewati malam ini."

Setelah itu Ardian beranjak pergi. Meninggalkan Roli dan Edi yang masih melongo tak percaya.

"Perasaan kita yang mau ngerjain, tapi berasa kita yang dikerjain," ujar Roli.

"Gue setuju sama loe," sahut Edi menimpali.

***

Nissa sudah menyelesaikan mandinya sejak setengah jam yang lalu. Ia heran melihat ranjang yang kosong. Ia bertanya dalam hati tentang keberadaan suaminya saat ini.

Kemudian Nissa meraih ponselnya, ia mulai berselancar di dunia maya. Mulai dari membuka pesbuk, sampai akhirnya ia memulai mencari informasi tentang bagaimana memuaskan suami di malam pertama pernikahan lewat gugel.

Beberapa artikel yang ia baca membuat bulu romanya meremang. Artikel tersebut menyarankan ia untuk melakukan hal-hal yang diluar nalarnya-menurut Nissa-hingga gadis itu geleng-geleng kepala. Ia jadi semakin rendah diri karena merasa tak bisa melakukan hal tersebut.

CEKLEK

Pintu kamarnya terbuka perlahan. Jantung Nissa tiba-tiba berdegup dengan kencang menyadari sang suami telah kembali. Mau tidak mau, siap tidak siap ia harus rela bila sang suami meminta haknya pada malam ini.

"Darimana kak?" tanya Nissa, ia sebisa mungkin menyembunyikan rasa gugupnya.

"Dari kamar kak Hendri, numpang mandi disana," jawab Ardian.

Glek

Nissa menelan air liurnya saat Ardian berjalan mendekatinya. Wangi tubuh alami sang suami menguar di udara, membuat akal sehat Nissa menggila. Hanya memakai kaus polos dan celana panjang saja Ardian masih tetap tampan, bahkan kadar ketampanannya bertambah saat ini. Mungkin karena pria itu telah resmi menjadi miliknya.

Perlahan Ardian merangkak ke atas ranjang. Ia duduk bersila didepan sang istri.

"Kamu bilang mau menjelaskan sesuatu padaku," ucap Ardian tiba-tiba.

"Oh, tentang ucapan Dinda tadi, ya?" tanya Nissa dengan perasaan ragu.

"Iya, jadi sekarang penuhi janjimu. Masih ingat kan dengan ancamanku tadi siang?" tanya Ardian, ia menampilkan senyum licik di depan Nissa.

Nissa mencebik, suaminya ini memang tidak pernah berubah. Selalu saja bersikap mengintimidasi hingga keinginannya terpenuhi.

"Yakin mau dengar?" tanya Nissa.

"Yakin, seyakin-yakinnya," jawab Ardian tegas dan mantap.

"Ingat tidak waktu kita bertemu dengan Ica dan Joko di resto ayam goreng?" tanya Nissa.

Ardian mencoba mengingatnya, kemudian ia mengangguk. "Ingat, memangnya kenapa?"

"Saat keluar dari toilet aku mendengarmu berbicara pada Ica, jika kita ini tak selevel, dan aku tidak pantas bersanding denganmu, apa kata dunia jika Ardian Sanjaya memiliki hubungan dengan ba-bu.

Padahal waktu itu aku mulai jatuh hati padamu, kupikir walau perasaan ini tak terbalas setidaknya aku ingin mencintaimu untuk diriku sendiri. Namun ucapanmu waktu itu sungguh melukai perasaanku. Hatiku sangat sakit karena orang yang kusuka ternyata tak pernah menganggapku, sampai kapanpun aku hanyalah seorang manusia rendahan yang tidak pantas untuk jatuh cinta ataupun dicintai.

Aku pun pergi kerumah Dinda dan menumpahkan segala isi hatiku disana. Jadi bagaimana sekarang? Masih penasaran?"

Ardian menatap istrinya dengan sendu, ia baru menyadari jika Nissa pernah menangis karena ucapannya yang terlalu kasar. Kemudian ia meraih kedua tangan Nissa dan menciuminya satu persatu.

Dikecupnya punggung tangan sang istri dengan sangat dalam, seakan ingin mencurahkan segala perasaan bersalahnya pada sang istri.

"Maaf," ucapnya.

"Maaf, maaf Nissa." ucapnya lagi. Perlahan air mata pria itu luruh membasahi pipinya.

Sungguh ia baru menyadari jika sang istri ternyata memendam perasaan yang sangat dalam untuknya. Namun ia dengan egois malah menghancurkan perasaan sang istri waktu itu.

"Maafkan aku, Nissa. Aku tidak tahu jika kau ternyata memiliki perasaan padaku. Aku mohon maafkan aku yang telah menyakitimu," ucapnya tersedu.

Nissa mengusap lengan sang suami, perlahan ia mengusap air mata yang mengalir di wajah Ardian.

"Sudah kumaafkan dari dulu, jadi berhentilah meminta maaf. Memilikimu sudah membuatku bahagia, kak. Mulai sekarang mari kita menjalani rumah tangga ini dengan selalu berbahagia."

Ardian mengangguk. "Mulai sekarang aku berjanji, aku akan selalu membahagiakanmu, apa pun yang terjadi."

Malam Pertama (Sudah Revisi)

...Adegan skidipapap skuy skuy asolole sudah direvisi ya ...

...Jadi buat kalian yang baru baca...

...maaf...

...kalian terlambat 🤣🤣...

Setelah mengungkapkan isi hati mereka masing-masing, Ardian menarik kedua tangan Nissa kemudian mengecupnya secara bergantian.

Namun, Nissa menarik kedua tangannya secara perlahan hingga Ardian heran.

“Kenapa kau menarik tanganmu?” tanyanya. “Apa kau tidak suka diperlakukan seperti itu?” tanyanya lagi.

Dasar suami tidak peka, apa dia tidak bisa melihat betapa merahnya wajahku sekarang, batin Nissa.

Nissa hanya menunduk sembari menggelengkan kepala. “Aku suka, kok. Tapi....”

Ardian mengangkat dagu Nissa hingga gadis yang telah berubah status menjadi istrinya itu mendongak.

“Terus, kenapa?” tanya pria itu lagi.

Astaga, bagaimana aku bisa jatuh cinta pada manusia tidak peka ini sih, batin Nissa lagi.

“Aku ... malu,” lirih Nissa pelan.

Ardian tersenyum. “Masa? Coba kulihat,” godanya.

Kemudian wajahnya mendekat hingga hanya tersisa beberapa senti saja dari wajah Nissa. Bahkan Nissa bisa merasakan embusan nafas Ardian menerpa wajahnya.

“Sayang, pipimu kenapa jadi merah begini,” goda Ardian lagi.

Nissa berdecak kesal. Ia segera memalingkan wajahnya cemberutnya ke samping kiri.

“Tidak lucu!” serunya.

“Memang tidak lucu,” sahut Ardian. Kemudian ia mengarahkan bibirnya ke depan telinga Nissa. “Tapi aku suka kalau kamu tersipu seperti ini, jadi tambah gemas. Rasanya pipi semerah tomat ini ingin aku gigit saja,” bisiknya.

Tubuh Nissa meremang diperlakukan seperti itu. Ardian semakin gencar menggoda wanitanya.

“Kenapa lagi?” bisiknya.

“Geli,” sahut Nissa dengan lirih.

Ardian terkekeh geli, ia sekarang yakin jika Nissa benar-benar gadis polos. Ia menyesal, kenapa tidak dari dulu saja bertemu dengan gadis selugu ini. Tapi kalau dipikir lagi, mereka sudah saling bertemu beberapa tahun lalu, hanya saja situasi tersebut tidak memungkinkan untuk Ardian jatuh cinta pada Nissa. Mengingat betapa barbarnya sikap sang istri saat mereka berseteru di persimpangan jalan waktu itu.

“Annissa Nur Hafizah,” ucap Ardian memanggil sang istri.

Nissa kembali menatap Ardian, menatap kedua netra berwarna hitam itu dengan dalam.

“Aku mencintaimu, istriku.”

Nissa semakin tersipu, ia kembali menundukkan kepala sambil menggigit bibir bagian bawahnya.

CUP

Ardian mengecup benda kenyal berwarna merah muda itu secara tiba-tiba, membuat sang empunya refleks memukul lengan kekarnya.

“Mengapa kau terlahir secantik ini, sih?” pujinya.

“Apa aku tidak boleh terlahir cantik, tuan?” tanya Nissa dengan kesal.

Ardian mengangguk. “Jangan sampai terlihat cantik oleh orang lain, apalagi oleh pria lain,” ancamnya.

“Kenapa?” Nissa mengerutkan keningnya.

Ardian mengulurkan tangan untuk merapikan rambut Nissa yang setengah basah.

“Aku tidak mau kalah bersaing dengan pria lain,” jawab Ardian.

“Kenapa harus bersaing?” Nissa semakin heran.

Ardian mengusap pipi merona Nissa, kemudian ibu jarinya beralih ke bawah hidung, menuju benda kenyal merah muda itu.

“Kalau kamu secantik ini, akan ada banyak pria yang ingin memilikimu. Dan....”

“Dan ... apa?”

“Aku sadar tampangku pas-pasan,” jawab Ardian lirih. “Aku takut ada pria lain yang memiliki kelebihan di atasku dan berniat memilikimu, aku bisa apa kalau kau lebih memilihnya,” lirihnya lagi, kini wajahnya tenggelam dalam ceruk leher Nissa.

Nissa terkekeh. “Kenapa kau tertawa?” tanya Ardian, ia bahkan mengangkat kepalanya agar bisa melihat wajah Nissa yang kini masih tampak lucu.

“Ternyata, pria yang terkenal sombong, berkuasa, dan punya hobi tukang perintah itu bisa merasa rendah diri juga, ya,” ucap Nissa sambil menatap wajah tampan Ardian.

“Jangan membuatku marah, Nis,” sahutnya kesal.

“Tapi kak Ardi tambah ganteng kalau marah,” ucap Nissa menggoda.

“Nissa,” tegur Ardian pelan.

“Dan aku jatuh cinta pada si pemarah dan tukang perintah ini,” ucap Nissa lirih.

Raut wajah Ardian berubah senang mendengar pernyataan Nissa. Ia tidak menyangka, akhirnya Nissa menyatakan rasa cintanya.

“Kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu, kan?” tanya Ardian memastikan.

Nissa memilih diam dan tak menjawab pertanyaan Ardian. Ia malah menatap wajah tampan yang tampak sangat penasaran itu.

“Nissa, kau bersungguh-sungguh, kan?” tanyanya lagi.

Nissa tersenyum. “Menurutmu bagaimana?” goda perempuan itu lagi.

“Dengarkan aku, sayang.” Ardian mulai memasang wajah serius. “Kalau kau terus menggodaku seperti ini, maka aku akan menghukummu,” imbuhnya.

“Aku tidak pernah menggodamu,” elak Nissa dengan santai.

Ardian menghela nafasnya perlahan. “Kau yakin?” tanyanya lagi.

Nissa mengangguk. “Baiklah, kalau itu maumu.” Ardian tersenyum menyeringai pada Nissa.

Merasa ketenangannya terancam, Nissa beringsut mundur menjauhi Ardian.

“Mau ke mana, hem?” tanya Ardian, dengan suara parau.

Nissa semakin mundur dan menjauh.

“Stop!” serunya saat Ardian beringsut maju mendekatinya.

“Kenapa?”

“Malam ini ... apakah kita ...?” Nissa urung meneruskan kalimatnya.

“Apakah kita harus melakukannya?” Ardian seakan tahu arah pertanyaan Nissa.

Perlahan tapi pasti, Nissa mengangguk. Tampak semburat kemerahan pada kedua pipinya.

“Tergantung,” ucap Ardian.

“Tergantung apa, kak?” lirih Nissa.

“Tergantung, kau izinkan apa tidak.” Ardian menatap wajah ayu yang kini tampak tersipu itu. Dalam hati ia berharap Nissa mengizinkannya.

“Kenapa harus minta izin segala, sih?” lirih Nissa lagi.

“Aku tidak mau memaksamu,” jawab Ardian tegas.

Nissa mendongak hingga kedua bola mata mereka saling mengunci.

“Kalau kau menginginkannya, aku siap memberikannya,” ucap Nissa dengan tegas.

“Kau yakin? Tidak menyesal dengan keputusanmu?”

Nissa berdecak. “Seperti mau pergi berperang saja,” sahutnya.

Dengan sekali gerakan, Ardian sudah berada tepat di depan Nissa kemudian merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya.

“Setelah ini, aku tidak akan berhenti walaupun kau berteriak meminta berhenti,” bisik Ardian bernada sensual.

Setelah itu Ardian mulai melancarkan serangan cintanya pada Nissa. Di bawah kuasanya, Nissa pasrah. Ia menyerahkan seluruh tubuhnya pada Ardian, sang suami tercinta.

Ardian menepati ucapannya, ia tidak berhenti untuk terus meraih kenikmatan dari penyatuan tubuh mereka, walau Nissa sudah mendapatkan pelepasannya beberapa kali. Ardian belum berniat untuk menyudahi permainannya.

“Nissa, aku menginginkanmu,” erang Ardian, “lagi, dan lagi,” tambahnya.

Namun, sekelebat bayangan masa lalu datang menghampiri Nissa. Apalagi saat Ardian mengucapkan kalimat ‘Nissa, aku menginginkanmu’, perempuan muda itu teringat pada sosok pemuda yang telah tega menghancurkan masa remajanya.

Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Nissa berontak, ia berusaha melepaskan diri dari kungkungan Ardian. Namun sayangnya, sang suami salah paham.

Ardian semakin bersemangat melanjutkan kerja kerasnya saat perempuan dengan tubuh polos itu berontak, ia kira Nissa mencoba untuk bersikap nakal padanya.

Berulang kali Nissa memintanya untuk berhenti, namun Ardian tak menghiraukan.

“Aku sudah katakan padamu, kan. Aku tidak akan berhenti walau kau memohon padaku,” ucap Ardian di sela-sela acara tabur benihnya.

Setelah tubuhnya tumbang, Ardian berkali-kali mengecup kening Nissa dengan mesra. Melihat wajah Nissa yang kini sudah basah karena air mata, Ardian hanya bisa mengucapkan kata maaf karena telah membuatnya kesakitan.

Tanpa Ardian sadari, bukan karena hal itu Nissa menangis. Tapi karena ia merasa telah berkhianat pada sang suami. Nissa merasa jijik pada tubuh dan otaknya sendiri, ia juga benci pada masa lalunya. Beraninya masa lalu itu hadir dan mengganggu malam syahdunya dengan Ardian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!