"Berhenti!"
Sebuah perintah dari seorang polisi yang sedang melakukan razia lalu lintas, ia menghadang sepeda motor yang aku kendarai menuju tempatku magang saat ini.
Sebagai seorang dokter yang baru, aku memang diharuskan untuk menjalani proses magang atau internship di salah rumah sakit satu agar mendapatkan izin untuk praktik mandiri dan tentunya di bawah naungan dari dokter senior.
"Selamat pagi, bisa tolong tunjukkan SIM dan STNK kendaraannya?" Ujar polisi itu ramah padaku, aku pun mengangguk mengiyakan tanpa melihat ke arahnya jujur saja sedari kecil aku memang takut dengan polisi meskipun kakakku juga seorang polisi.
Aku mengecek tas serta dompetku namun tak kutemukan kedua barang itu. Aku menepuk jidatku pelan bisa-bisanya aku lupa membawa kedua barang penting itu saat bepergian seperti ini apalagi berada di kota yang cukup besar ini, pasti razia seperti ini sudah tak asing lagi.
"Ma maaf pak saya lupa, tapi saya punya kok pak."
Ucapku terbata sambil mencoba membela diri.
"Kalo tidak membawanya berarti sudah melakukan pelanggaran lalu lintas. Silahkan menepi!" Ucapnya lagi dengan tegas mengarahkan ku untuk menepi.
Aku pun menuruti perintahnya dengan menepikan motor matic yang sedang kukendarai ini. Lalu ia mengeluarkan secarik kertas yang sudah ku ketahui pasti surat tilang, ia menuliskan beberapa kata lalu memberikan padaku untuk di tanda tangan dan aku pun menurutinya berharap setelah ini aku bisa langsung pergi.
"Tinggalkan motornya disini dan pada saat waktu yang ditentukan di dalam surat itu pergi ke pengadilan untuk mengambil kembali motormu ini."
Ucapnya yang membuatku membulatkan mata tak terima dengan perkataannya tadi.
"Wah gak bisa gitu dong pak, saya buru-buru pasien saya pasti nungg..."
Ucapku kemudian menatap wajahnya satu detik, dua detik, aku terpaku dengan pesonanya, OMG ternyata tidak semua polisi itu mempunyai wajah garang seperti yang kupikir selama ini.
Walau kakakku sering membawa teman-temannya ke rumah namun aku tak mau menampakan diri pada mereka aku lebih memilih mengurung diri di kamar daripada harus berhadapan dengan seorang polisi.
"Kenapa liatin saya kayak gitu? Naksir sama saya? Iya saya tau saya ini ganteng." Ucapnya dengan kepedean tingkat dewa menyadarkan aku yang sedari tadi menatapnya tanpa berkedip.
Aku menunduk malu saat kepergok menatapnya dengan tatapan kagum.
"Pak, motor saya jangan ditahan dong pak pasien saya sudah nungguin ini! Bagaimana kalo salah satu dari mereka sudah sangat parah dan membutuhkan saya? Ini urusan nyawa orang loh pak." Ucapku berusaha meyakinkannya sekaligus mengalihkan pembicaraan.
"Jangan mengalihkan pembicaraan jawab dulu pertanyaan saya tadi! Kamu naksir sama saya?" Tanyanya lagi dengan serius dengan sorot mata tajam mengarah padaku, seperti mengintrogasi seorang pencuri. Ckck PD sekali pak pol satu ini, pertanyaan macam apa yang ia tanyakan itu.
"Pak, emang pertanyaan macam itu wajib ya kalo razia kayak gini?" Tanyaku yang berhasil membuatnya tersenyum kikuk menyadari itu.
"Kamu dokter?"
"Bukan, saya kuli bangunan." Ucapku kesal padanya, banyak sekali pertanyaannya itu
"Lah kalo kuli bangunan ngapain bawa-bawa nama pasien? Kamu gila ya?" Pertanyaan-pertanyaannya itu yang membuat ku ingin membanting apa saja yang ada di depanku ini termasuk dirinya.
"Komandan!". Tiba-tiba ada yang memanggilnya yang ku yakin adalah bawahannya, aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk kabur darinya.
Kulajukan sepeda motorku dengan kecepatan diatas rata-rata agar ia tak bisa mengejar ku.
Haha, bukan Anastasya Azalea namanya jika tidak bisa kabur dari yang beginian walaupun itu perbuatan yang salah tapi ini kulakukan agar tidak mengecewakan para pasienku.
Mohon jangan ditiru kelakuan Anna ini ya! Ini perbuatan yang salah!:v
***
Seharian aku melayani pasien-pasien dengan berbagai macam kelu kesahnya padaku yang ku balas dengan nasehat-nasehat kesehatan yang selama ini kupelajari saat menempuh pendidikan kedokteran.
ternyata menjadi dokter tidak hanya sulit saat masa pendidikan saja pengaplikasiannya juga ternyata cukup sulit. Tetapi untungnya aku mendapatkan dokter senior yang sosoknya sangat penyabar saat mengarahkan ku melayani pasien membuatku nyaman saat bersamanya, dia bernama dokter Zahra.
Aku meletakkan kepala ku di atas meja mencoba untuk memejamkan mata walau hanya beberapa menit saja namun sahabatku yang gila datang merusuh.
"Anna, kamu tadi kenapa telat?." Tanya Ify yang membuat ku harus mengingat pak pol menyebalkan itu lagi.
"Tadi ditilang." Jawabku singkat tak mau membahas hal itu lagi.
"Terus motor kamu ditahan?"
"Gak, tadi aku kabur." Ucapku enteng hingga membuat Ify kaget dengan perkataanku.
"Serius? Kamu kabur? Kok bisa?"
Pertanyaan-pertanyaan itu keluar dari mulut Ify.
"Udah gak usah dibahas lagi, males".
"Eh tapi kalo ketemu pak pol itu lagi gimana?"
Ucapan Ify membuat ku mengingat saat aku kepergok menatap kagum pada pak Pol ganteng, aku jadi tersenyum sambil membayangkan wajah tampannya tadi.
"Hey, kesambet neng?".
"Tau gak tadi pak Polnya ganteng banget! Jadi mau ketemu lagi."
"What? Terus kamu mau ditilang lagi sama dia? Pasti sanksinya lebih berat deh".
Apa yang dikatakan Ify benar juga, bagaimana kalo aku bertemu lagi dengannya dan memberi ku sanksi lebih berat? Atau melaporkan kelakuan ini pada direktur rumah sakit? Atau bisa saja memenjarakan ku? Oh tidakkk bagaimana ini, aku harap tidak bertemu dengan pak Pol yang tadi.
"Fy aku pulang duluan ya, udah sore".
Pamit ku pada Ify yang masih bingung dengan sikap ku yang tiba-tiba panik.
Saat aku pulang aku menutupi wajahku dengan masker hitam serta helm yang berbeda dari yang ku gunakan tadi pagi.
Aku sengaja menukar helmku dengan helm Ify tadi, berharap jika bertemu pak Pol itu di jalan dia tidak akan mengenaliku.
Kecuali dia menghapal plat nomor kendaraan ku ini, ah kuharap dia tidak segabut itu untuk menghapal plat nomor kendaraan orang.
Aku tiba di rumah dan menemukan mobil bang Satya sudah terpakir di garasi, berarti dia sudah pulang duluan.
Aku tinggal bersama kakakku bernama Satya Nugraha
aku biasa memanggilnya bang Satya atau bang sat:v
Selain bang Satya, aku juga tinggal bersama bibi yang sudah ku anggap ibu sendiri sementara orang tua kami tinggal di kota lain karena papaku punya perusahaan yang harus diurus di sana.
"Assalamualaikum princess Anna pulang."
Ucap ku sambil memutar kenop pintu yang tidak dikunci itu.
"Waalaikumsalam, eh non Anna udah pulang."
Jawab bi Ira menyambut ku sementara bang Satya justru tidak menghiraukan ku dan malah melempari aku dengan bantal sofa.
"Ishh Abang apaan sih."
Ujarku tak terima lalu membalas melemparinya juga hingga terjadilah perang bantal diantara kami, bi Ira hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kami yang kadang masih seperti anak-anak.
"Dek, minta no Wanya Ify dong!"
Pinta bang Satya dengan wajah memelas padaku dan mengakhiri perang kami.
"Ify? Buat apa? Abang sakit?"
Tanyaku padanya yang tiba-tiba meminta nomer WA sahabatku itu.
"Iya."
"Lah sakit apa? Sini Anna periksa!"
Ujarku sambil memegang keningnya memastikan suhu tubuh bang Satya normal atau tidak.
"Abang butuhnya dokter cinta."
"Yee si bang sat malah ngebucin."
Kesal ku padanya lalu menghadiahi sebuah jitakan di kepalanya.
"Abang suka sama Ify ya?"
Tanyaku dengan menyipitkan mataku curiga dengannya.
"Hmm."
Jawab bang Satya mengangguk.
"Sudah kuduga, oke kalo gitu nanti Anna kasih tapi nanti! Anna mau mandi dulu gerah, ingat ya bang kalo Abang emang serius sama Ify jangan pernah sakitin dia atau Abang berhadapan sama Anna langsung."
Ancamku pada bang Satya yang dijawab dengan gerakan hormat padaku.
To Be Continued ...
Hari ini aku sedang tidak punya jadwal untuk praktek maka dari itu kuhabiskan waktu untuk menonton Drama Korea yang dibintangi aktor favoritku, Ji Chang Wook di laptop ku dengan ditemani camilan-camilan yang tentunya bukan punyaku tetapi punya Abang Satya yang kuambil diam-diam xixixi:v
Sekali lagi perbuatanku ini jangan ditiru ya!!:v
"Dek, bukain pintunya dong."
Ucap bang Satya menggedor-gedor pintu kamarku.
Aku pun buru-buru menyembunyikan camilan-camilan tadi ke dalam selimut agar tak ketahuan oleh bang Satya, lalu bergegas membuka pintu untuknya.
"Kenapa bang?"
"Boleh minta tolong gak ambilin kemeja Abang di rumah temen Abang?"
"Di mana bang?" Tanyaku mulai was-was karena setahuku teman-temannya itu rata-rata Pak Pol jangan sampai ia menyuruhku untuk ke rumah salah satu polisi atau bahkan ke perumahan yang isinya pak Polisi semua.
"Di jalan xxx no 3x".
"Lah bang pake baju yang lain lah gak usah pake kemeja yang ada di temen Abang itu."
"Ayolah dek tolongin Abang, Abang udah janji sama Ify buat couple-an."
"Hah couple?" Tanyaku tak percaya, baru beberapa hari yang lalu mereka PDKT sudah couple-an pula.
"Tolong lah abang mu ini yang sedang memperjuangkan cinta pertama dan terakhirnya."
Ujar bang Satya mendramatis membuat ku ingin muntah di depannya.
"Lebay, alay."
"Abang ikhlasin deh camilan-camilan Abang yang kamu ambil."
What darimana tau abangku ini kalo aku yang mengambil camilannya?
"Abang kan polisi, ilmu untuk cari jejak pencuri-pencuri kayak kamu mah kecil urusannya."
Ucap bang Satya seolah dapat membaca pikiranku. Eh tapi tunggu, dia menyebutku pencuri? Oh aku tidak terima ini lebih baik ku turuti permintaannya daripada disebut pencuri:v
***
Aku membelokkan motorku memasuki kawasan perumahan yang suasananya asri membuat siapapun akan betah lama-lama tinggal di sana.
Saat akan memasuki gerbang, aku ditahan seorang penjaga yang ditemani beberapa orang polisi di sana. Rupanya ini perumahan khusus bagi polisi.
Kemudian penjaga itu menghampiri ku aku buru-buru mengambil SIM dan STNK ku yang ada di dalam tasku lalu menyerahkan padanya.
"Beberapa orang disana terlihat menahan tawanya melihat tingkahku yang selalu menunduk dan sesekali menatap mereka satu-persatu."
"Maaf dek, kami tidak butuh SIM dan STNK ini bukan razia."
Ucap penjaga itu tersenyum geli.
"Mau ketemu siapa dek?"
Tanya seorang polisi paru baya padaku
"Saya disuruh kakak saya ke rumah temennya,ini alamatnya pak." Ucapku memberikan alamat yang diberikan oleh bang Satya padaku.
"Nama kakaknya siapa?"
"Satya Nugraha."
"Oh Satya, ini mah alamat rumah pak Dean! Itu di ujung sana." Jawab mereka setelah mengecek alamat itu. Aku pun dipersilahkan untuk masuk ke lingkungan tersebut.
***
Aku mengetuk pintu berwarna jingga yang ada di depanku, namun nihil tak ada jawaban dari sang empunya. Kemudian mataku beralih pada sebuah bel yang ada di dekat pintu lalu aku memencetnya hingga sabuah suara bariton terdengar dari dalam sana.
"Ya tunggu sebentar."
'Deg' suara itu seperti....
"Iya cari siapa?" Sudah kuduga suara itu miliknya, seorang pria dari balik pintu berbadan tegap sedang menggendong seorang bayi yang ku perkirakan berusia setahun.
Ada rasa kecewa dalam hati ini mengetahui dia telah memiliki anak.
"Kamu?"
Tanyanya kaget melihatku begitu pun aku terlebih saat mengetahui dia mempunyai anak.
"Maaf pak saya kemarin buru-buru, tapi kali ini saya bawa kok pak ini.".Ucapku memelas sambil menunjukkan SIM dan STNK ku.
Jantungku berdetak lebih cepat serasa ingin copot dari tempatnya. Aku terus mengatur nafas agar tak terlihat gugup di depannya.
"Saya sudah tidak butuh itu, cepat katakan apa tujuanmu kesini. " Ujarnya memasang wajah datar serta dinginnya padaku. Kurasa dia sedang dalam mode marah atau itu memang wataknya.
"Saya disuruh bang Satya ambil kemejanya yang tertinggal disini." Ucapku langsung to the point.
"Kamu adiknya Satya?"
"I.. iya pak." Jawab ku terbata.
"Saya tidak menyangka Satya punya adik pembangkang sepertimu." Ucapnya yang membuat hatiku sakit disebut 'pembangkang'. Aku hanya menunduk dalam menyadari kesalahanku itu.
"Tunggu disini." Kemudian dia masuk kembali ke dalam rumahnya yang sudah ku pastikan akan mengambil kemeja bang Satya.
"Momma,.momma." Bayi itu menangis memanggil ibunya tapi entah kenapa ia terus menjulurkan kedua tangannya padaku seolah-olah ingin digendong olehku.
Ia menarik-narik kaos yang dipakai pak pol yang ku ketahui bernama Dean itu.
Bayi itu semakin menangis saat Pak Dean membawanya masuk.
"Momma, momma." Rengeknya terus lalu mencakar wajah Pak Dean, lalu Pak Dean berbalik.
"Boleh tolong gendong ponakan saya dulu?"
Ujarnya meminta tolong padaku dan apa tadi? Ponakan? Huh ada rasa lega dalam hati ini mendengar bahwa itu bukan anaknya tetapi keponakannya.
"Hah iya, sini." Ucapku sambil menjulurkan tanganku untuk mengambil alih bayi itu dan betapa senangnya bayi itu saat ada di dalam gendongan ku.
Dia terus menyebut 'momma, momma.' Kurasa itu adalah panggilan untuk ibunya tapi kenapa ia memanggilku dengan sebutan itu?
Aku terus menciumi wajahnya yang cubby sesekali menggelitik perutnya yang membuatnya tertawa dan itu sangat menggemaskan.
Tak berapa lama kemudian Pak Dean datang membawa paper bag yang ku rasa berisi kemeja bang Satya. Lalu ia memberikannya padaku dan segera mengambil alih bayi yang belum ku ketahui namanya itu.
"Ya, yaa". Ucap bayi itu senang saat Pak Dean menggendongnya, euhh memang calon ayah yang baik lah pokoknya.
"Namanya siapa pak?" Tanyaku tanpa ragu sambil menggenggam tangan bayi yang sudah ada dalam gendongan pak Dean.
"Nama saya Andrean Prasetya, panggil saja Dean". Jawabnya dingin macam es balok.
"Bukan pak, maksudnya nama bayi ini siapa?". Tanyaku kembali dengan menahan tawaku.
"Oh, namanya Nayla." Jawabnya kembali tanpa mengubah ekspresi wajahnya yang datar.
"Oke, kalo gitu saya pamit dulu pak, terima kasih! Bye bye cantik!" Pamitku padanya dan Nayla.
"Saya gak cantik tapi ganteng." Jawabnya yang kurasa dia memiliki tingkat kepedean di atas rata-rata.
"Ya Allah pak, saya ngomongnya ke Nayla pak bukan bapak!"
"Emang Nayla ngerti sama omongan kamu?"
Benar juga apa yang dia katakan untuk apa aku pamitan pada seorang bayi yang belum tau apa-apa.
"Tinggal bilang 'bye Dean ganteng' apa susahnya sih." Ucapnya lagi yang sedari tadi melihatku bengong sendiri.
"Hah iya bye Dean ganteng." Ckk aku terkejut dengan ucapannya hingga tak sadar mengatakan itu juga.
Aku menatapnya saat ia sedang tersenyum jahil melihat tingkah ku. Bahkan senyuman bisa menahan ku untuk berlama-lama disini, dan lagi-lagi jantungku terasa ingin melompat keluar melihat kedua lesung pipi yang menghiasi wajahnya.
Ku putuskan untuk cepat-cepat pergi dari sana dan segera memeriksakan jantungku pada dokter spesialis jantung untuk memastikan apakah aku punya riwayat penyakit jantung atau tidak. Saat aku membalikkan badanku untuk pulang tiba-tiba Nayla menangis ingin menjangkau ku.
"Momma momma." Rengeknya memintaku kembali menggendongnya. Ia terus menangis saat melihatku mulai menaiki motorku untuk pulang.
Tiba-tiba Pak Dean memanggil ku..
"Hey! Bisakah kamu disini sebentar? Nayla membutuhkan mu!"
"Nayla yang butuh atau bapak nih." Batinku terkekeh geli.
"Tapi pak, saya harus anterin baju bang Satya dulu ini." Tolak ku secara halus.
"Nanti saya yang bicara pada Satya! Sepertinya Nayla merindukan ibunya dan mungkin ia berfikir kamu ibunya."
"Emang ibu Nayla kemana pak?"
"Dia ... sudah meninggal." Air mukanya tiba-tiba berubah keruh. Ada duka mendalam yang tergambar dari pancaran wajahnya
"Maaf pak, saya tidak bermaksud demikian."
Ujarku menatap Nayla dengan rasa iba membuat hatiku ikut merasakan nyeri, diusianya yang masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu malah ditinggal untuk selamanya.
"Anna, bisakah kamu membantu saya hari ini mengurus Nayla? Hanya sampai dia tidur, kumohon!"
Pintanya padaku tapi tunggu dari mana dia tau namaku?
"Saya tau nama kamu dari Satya dia pernah cerita bahwa dia punya adik perempuan namanya Anna, yang phobia dengan polisi, tapi mungkin sudah tidak lagi setelah bertemu Pak Pol ganteng seperti saya". Ucapnya lagi seolah-olah dapat membaca pikiranku seperti bang Satya tadi dan tentu saja dengan kepedeannya itu. Ah kurasa semua polisi bisa membaca pikiran orang? Atau hanya kebetulan saja?
To Be Continued ...
Saat ini aku sudah berada di dalam rumah Pak Dean bermain dengan Nayla yang terus saja memanggilku momma.
Sementara pak Dean dengan asyiknya tidur di atas sofa, dia pikir aku ini baby sister? Dan untuk kemeja bang Satya ia sudah memesan ojek online untuk mengantarkannya ke rumah.
Setelah beberapa lama bermain, Nayla mulai rewel dan menangis sejadi-jadinya ku coba menenangkannya dengan cara menghibur dia segala cara telah ku coba namun nihil dia tetap saja menangis.
Akhirnya ku putuskan untuk membangunkan Pak Dean yang sama sekali tak terusik oleh suara tangisan Nayla yang nyaring memenuhi seisi ruangan.
Beberapa kali aku membangunkannya namun sama sekali tak mengganggu tidurnya, kuputuskan untuk ke dapur membuatkan Nayla susu mungkin dia kelaparan.
Tak berapa lama, aku keluar dengan membawa sebotol susu dan tentu saja mengacak-acak dapur pak Pakpol itu untuk mencari susu serta botol susu Nayla siapa suruh dibangunin gak bangun-bangun juga.
Aku memberikan susu itu pada Nayla dan benar saja dia langsung meminumnya sepertinya dia benar-benar kelaparan. Setelah meminum susu di botol yang hampir tandas itu, Nayla pun tertidur di dalam gendonganku ia mungkin kelelahan setelah bermain.
"Pak, pak saya pulang duluan ya udah sore ini Nayla udah tidur." Aku menepuk-nepuk pipinya untuk membangunkan dari tidurnya.
Ia pun mulai mengumpulkan kesadarannya lalu mengangguki perkataanku, saat aku mulai berbalik untuk pulang tiba-tiba tanganku dicekal olehnya.
Lagi-lagi debaran tak biasa ini hadir membuatku grogi di depannya, aku tidak bisa menyimpulkan bahwa aku suka padanya. Tidak semudah itu! Perasaan ini mungkin hanyalah rasa kagum atau obsesiku saja padanya.
"Terima kasih". Ucapnya sambil mengubah posisinya untuk duduk. Aku hanya membalas dengan senyuman lalu meninggalkan rumahnya menuju rumahku sendiri.
***
Setelah satu hari libur, aku kembali bekerja dan kebetulan aku dapat shift sore. Aku datang 20 menit lebih awal sebelum jam kerja, agar aku dapat leluasa mempersiapkan keperluanku saat melayani pasienku.
Rumah sakit tempatku bekerja ini lumayan besar dan fasilitasnya juga lengkap. Aku merasa beruntung bisa kerja disini bersama Ify sahabatku.
"Bisa kita mulai dok?" Tanya Leny seorang suster yang biasa menemaniku.
"Oke sekarang." Jawabku dengan ramah.
"Pasien pertama atas nama ibu Renata." Ucap Leny memanggil nama pasien.
Saat pasien atas nama ibu Renata itu mulai memasuki ruangan, aku mulai memperhatikannya sambil mempersilahkan dia duduk di depanku.
Dia menatapku lekat, mulai dari ujung kaki hingga rambutku tak luput dari penglihatannya. Setelah merasa puas memperhatikanku dia mulai tersenyum.
Sekilas dia terlihat mirip dengan Leily Sagita yang biasa berperan di sinetron sebagai mertua jahat yang sering menyiksa menantunya. Aku jadi bergidik ngeri saat mengingat akting-aktingnya dan ujung-ujungnya mendapat azab.
"Keluhannya apa Bu?" Tanyaku memecah keheningan diantara kami.
"Gini dok saya itu sering sakit kepala udah coba minum obat sakit kepala gak mempan terus tengkuk saya ini berat kayak angkat beban." Ucap bu Renata.
"Saya periksa dulu ya Bu."
Tak berapa lama aku sudah menyelesaikan kegiatan memeriksa pasien dengan alat-alat kesehatan yang disediakan dan menyimpulkan hasil pemeriksaannya.
"Dokter ini cantik ya! masih muda lagi." Pujinya kepadaku.
Aku hanya tersenyum canggung.
"Namanya siapa dok?"
"Nama saya Anna Bu." Jawabku seramah mungkin.
"Dokter Anna ini kalo dilihat-lihat masuk kategori kriteria calon mantu saya loh."
"Ibu bisa aja, tapi saya belum kepikiran untuk nikah Bu." Jawabku sambil menuliskan resep obat untuknya.
"Beneran nih dok ntar nyesal loh, saya cuma punya satu anak namanya Adit dia juga dokter cuma sekarang ini dia lagi di Singapura ambil spesialis jantung. Ia dulu pernah nikah sih tapi sama anak SMA yang masih labil yang katanya dihamili anak saya, padahal ia cuma jebak anak saya supaya mau nikahin dia, saya gak suka sama dia jadi habis dia lahiran saya suruh anak saya tinggalin dia dan lagi pula saya tidak yakin anak yang dikandungnya itu cucu saya."
Perkataannya itu membuatku membelalakkan mata tak percaya bisa-bisanya ibu ini menceritakan perihal rumah tangga anaknya kepadaku.
Apakah ia benar-benar serius ingin menjadikanku menantunya? Ah melihat wajahnya yang mirip Leily Sagita sudah membuatku ngeri untuk menjadi menantunya apalagi mendengar ceritanya bahwa ia menyuruh anaknya untuk meninggalkan istrinya, benar-benar mertua kejam persis akting Leily Sagita:v
"Sudah selesai dok? Ini pasien di luar pada nungguin."
Ucap Leny menyelamatkanku dari suasana seperti ini.
"Oh iya sus silahkan panggil pasien selanjutnya."
Jawabku pada Leny.
"Kalo gitu saya numpang duduk disitu dulu ya dok, nunggu supir saya jemput." Tunjuknya pada sebuah sofa panjang di sudut ruangan.
"Silahkan Bu."
"Pasien selanjutnya atas nama ibu Laila." Panggil Leny pada pasien selanjutnya.
Seorang ibu yang berpenampilan anggun berumur sekitar 50 masuk ke ruanganku sambil tersenyum pada Leny dan juga padaku beda sekali dengan ibu yang satu tadi yang memandang Leny dan aku dengan pandangan sinis tetapi saat menelisik penampilanku dia mulai tersenyum.
Aku dan ibu Laila berbincang-bincang sangat akrab saat konsultasi denganku dia begitu hangat bahkan Leny dan ibu Renata pun tak luput ia ajak bicara. Namun apa reaksi dari ibu Renata saat Bu Laila mengajaknya bicara? Ia hanya memandang bu Laila dengan tatapan sinis persis seperti tadi. Sepertinya ia kurang suka dengan keakrabanku dengan bu Laila. Dan yang kulihat dia mengomel sendiri di tempatnya lalu setelah itu keluar dengan menghentak-hentakkan kakinya di lantai.
"Dokter Anna udah punya calon belum nih?" Tanya Bu Laila padaku.
"Calon apa ya Bu?" Tanyaku mulai was-was jangan-jangan ia juga mempromosikan anaknya padaku seperti Bu Renata tadi.
"Ya calon suami lah dok, saya punya anak yang belum nikah-nikah juga padahal usianya udah pantes buat nikah tapi alasannya selalu sama yaitu belum punya calon. Jadi saya berinisiatif cari jodoh buat anak saya dan sepertinya dokter Anna ini cocok."
Hmm ... Sudah kuduga pasti ujung-ujungnya promosiin anaknya.
"Saya punya dua anak yang satu perwira polisi yang saya ceritakan tadi, dan yang satunya perempuan tapi sudah meninggal karena bunuh diri." Ujarnya memasang wajah sedih.
"Saya turut berdukacita Bu."
"Tapi sudahlah saya sudah ikhlas. Konsultasinya udah kan dok?" Ucapnya sambil berusaha kembali tersenyum.
***
Seperti biasa selepas melayani pasien-pasienku aku beristirahat sejenak di ruangan yang sering kupakai mendengar celotehan-celotehan para pasienku contohnya curhat masalah keluarga atau sekedar mempromosikan anaknya padaku seperti Bu Renata dan Bu Laila tadi.
Aku mengecek notifikasi yang terus berdering di ponselku dan ternyata itu hanyalah Abang laknat yang sedang gabut.
BangSat ya🥴
[Dek]
[Kangen]
[Aku]
[Padamu]
[Gabut]
[Agsvshsjggshhsbsnu]
[Fsgvshjsbs]
[Dajsvdksujs]
[Rafsnsbksj]
[Aku tanpamu bodo amat]
[Aku si janda bodong]
[Suami minggat di pohon kedondong]
[Istri bukan janda bukan]
[Dah lah gabut_-]
^^^[Idih stres_-]^^^
Chat dari bang Satya hanya kubalas dengan singkat aku malas sekali meladeni makhluk jadi-jadian yang satu itu, kenapa selalu aku yang menjadi korban kebobrokannya sedangkan pada orang lain sifatnya begitu dingin seolah-olah dia adalah cowok calm yang tidak banyak bicara tetapi kenyataannya Abangku itu begitu cerewet. Kutaruh kembali HPku lalu bersiap-siap untuk pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam dan kulihat Leny juga bersiap-siap untuk pulang.
"Mau bareng Len?". Tawarku pada Leny.
"Gak usah dok, saya udah telpon suami saya buat jemput". Tolak Leny. Leny berusia 2 tahun lebih muda dariku ia sudah menikah dan memiliki satu anak perempuan yang kira-kira seumuran dengan Nayla. Ah aku jadi merindukan Nayla apalagi saat ia memanggilku dengan sebutan momma><.
"Ouh kalo gitu saya duluan ya Len".
To Be Continued ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!