NovelToon NovelToon

My Teletubbies Boy

Episode 1

Metha masih celingak - celinguk mencari keberadaan adiknya, Jeno. Jeno berjanji akan pulang sekolah bersamanya. Sehingga Metha masih betah menunggu Jeno di parkiran sekolah.

“Nih anak bandel kemana sih?! Udah dari tadi di tungguin nggak muncul - muncul!” gerutu Metha menunggu Jeno di parkiran sekolah.

Metha terus menekuk mukanya masam, menghentak - hentakkan kakinya ke tanah seperti anak kecil yang tidak di turuti keinginannya.

Bagaimana tidak kesal, karena bel pulang sekolah sudah berbunyi 15 menit yang lalu, dan sekolah juga sudah mulai sepi karena sudah banyak yang pulang.

Metha teringat akan cerita teman - temannya yang menceritakan bahwa sekolah ini ada penunggunya. Metha juga menahan sakit perutnya karena ini hari pertamanya kedatangan tamu bulanan.

“Ihhh Jenooo... kemana sih tuh anak?” ucapnya pelan kerena ketakutan. Mereka memang selalu pulang sekolah jam 4 sore.

Jeno yang berjalan di koridor sekolah, melihat kakaknya yang tengah berdiri di samping motornya dengan kelakuan seperti anak kecil. Jeno menahan tawanya melihat kelakuan kakaknya itu.

Jeno berjalan perlahan, berhati - hati supaya tidak ketahuan oleh Metha, dan memang Metha tidak menyadarinya.

“Akak!!” pekik Jeno berdiri di belakang Metha.

Metha yang kaget langsung saja memukul kepala Jeno bertubi-tubi.

“Aww... kak! SAKIT KAK!” teriak Jeno kesakitan karena kepalanya di pukuli oleh Metha, memang tidak keras Metha memukulnya tapi karena sering dan bertubi-tubi makanya jadi sakit.

Metha masih belum berhenti memukul kepala Jeno.

“OI KAK! SAKIT! UDAH KAK! INI JENO!” teriak Jeno menyadarkan Metha sambil menepis tangan Metha yang memukuli kepalanya.

Metha seakan sadar ketika Jeno menyebutkan namanya sendiri dan kemudian berhenti memukul Jeno. Dia juga sangat sensitif hari ini karena sedang datang bulan.

“Kamu, Jen? Maafin kakak ya, Jen. Kirain orang yang mau culik anak!” ucap Metha kaget pada Jeno dan merasa bersalah sambil mengusap kepala Jeno lembut.

“Mana ada penculik anak nyuliknya orang tua kayak lo!” kesal Jeno yang masih meringis kesakitan dan merapikan rambutnya yang berantakan.

Mendengar dirinya disebut tua, Metha pun kesal dan sebal sambil mencubit lengan Jeno.

“Ih udah dong, kak! KDRT lo sama gue!” kesal Jeno yang masih saja di sakitin oleh Metha. Bukan hanya pukulan di kepala tapi sekarang Metha juga mencubit lengannya.

“KDRT apaan? Kita bukan suami - istri!” ketus Metha sambil menyilangkan tangan di dadanya.

Jeno tidak menggubris itu dia hanya cuek dan berjalan menaiki motornya.

“Sekarang belum, kita liat aja nanti,” balas Jeno enteng menaik turunkan sebelah alis matanya, menggoda Metha.

Mana mungkin kakak - adik akan jadi pasangan suami - istri?

“Terserah...” singkat Metha.

Metha memutar matanya jengah, sudah biasa dia mendengar Jeno berbicara ngelantur seperti itu.

Jeno memang selalu saja suka menjahili kakaknya, mengganggunya, dan selalu berbicara tidak jelas.

Selisih umur mereka cuma 1 tahun, Metha lebih tua 1 tahun dari Jeno. Namun, membuat Jeno lebih dewasa dari Metha. Dari fisik saja sudah Jelas terlihat, Metha bertubuh mungil dan juga kurus, sedangkan Jeno bertubuh tinggi dan kekar.

“Mau pulang nggak nih?” tanya Jeno pada Metha, kerena Metha hanya diam berdiri.

“Ya iyalah mau pulang. Udah dari tadi di tungguin!” ketus Metha dengan nada dingin.

Metha pun menaiki motor dengan bantuan Jeno. Alasan Metha jarang pulang atau pun berangkat sekolah dengan Jeno adalah ini, motor Jeno terlalu tinggi untuk Metha.

“Pegangan Po!” ucap Jeno menyuruh Metha berpegangan padanya.

“Nggak mau!” ketus Metha yang masih kesal dengan Jeno.

Jeno tersenyum misterius, kemudian dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, sehingga mau tidak mau Metha harus berpegangan dengan memeluk Jeno dari pada jatuh terjengkang ke belakang.

‘Untung kamu adik aku, Jen!’ batin Metha mendengus kesal.

...***...

Perjalanan mereka belum jauh dari sekolah, Metha yang duduk di bonceng Jeno merasa tidak nyaman karena rok sekolahnya tersingkap karena tertiup angin. Rok sekolah Metha yang di atas lutut, ketika duduk di motor menjadi naik ke atas dan mengakibatkan pahanya yang putih dan juga mulus terekspos di tambah lagi dia tidak memakai dalaman tambahan.

Jeno yang sadar kalau Metha sedang gelisah pun agak memelankan motornya.

“Lo kenapa, kak?” tanya Jeno yang suaranya tertahan oleh helm yang di pakainya.

Metha menyerngitkan dahinya karena samar-samar mendengar suara Jeno.

Metha pun semakin mendekatkan tubuhnya ke tubuh Jeno dan memajukan kepalanya agak ke depan.

“Kamu bilang apa barusan, Jen? Kakak kurang denger,” ucapnya bingung pada Jeno.

Jeno berdebar saat posisinya dengan Metha terlalu dekat. Tidak ada celah antara mereka, Metha begitu menempel pada Jeno. Jeno bisa merasakan benda kenyal yang menempel pada punggungnya.

Dan itu sukses membuat darah Jeno berdesir, tiba - tiba membuatnya panas. Tidak mau ambil resiko akhirnya Jeno pun memutuskan memberhentikan motornya di jalan yang agak sepi.

Jeno melepaskan helmnya dan menoleh ke arah Metha. “Lo kenapa, kak?” tanya Jeno lagi dengan nafas tidak teratur.

Jeno sedang tidak fokus saat ini.

Metha menunduk malu sambil memegang kedua sisi pahanya, memegang ujung roknya.

“Rok kakak di kibas - kibas sama angin. Kakak nggak pake daleman tambahan...” jawab Metha malu-malu.

Jeno mengerti apa maksud dari perkataan Metha. Metha juga tidak mungkin bilang kalau pahanya kelihatan.

Jeno pun jadi salah tingkah, suasana ketika jadi canggung. Untung tidak hening karena ada beberapa pengendara mobil dan motor yang masih lewat.

Jeno pun menyuruh Metha untuk turun dulu dari motor. Jeno heran karena melihat rok Metha yang ada bercak darah.

Jeno yang memang tidak tahu kalau Metha sedang haid pun panik.

“Lo ada yang luka, kak?” tanyanya panik memutar - mutar tubuh kecil Metha.

“Eng-nggak. Emng kenapa?” Metha juga jadi bingung karena memang dia tidak sedang terluka.

“Kok rok lo ada darahnya?” jawab Jeno masih tidak tenang menatap Metha.

Metha membeku dan membulatkan matanya. Darah yang dilihat Jeno adalah darah haidnya. Bocor.

“Bu-Bukan... Itu bukan darah. Kakak nggak pa pa kok. Nggak ada yang luka juga,” jawab Metha gugup. Dia tidak tahu menjawab apa lagi.

Jeno pun tiba - tiba ingat, kalau sekarang Metha tidak terluka melainkan sedang haid. Jeno jadi malu sendiri.

Tidak ambil pusing, dia membuka jaketnya dan langsung menutupi paha Metha dengan mengalungkan jaketnya di pinggang Metha.

Suasana menjadi awkward, secara mereka berdua terlihat sedang berpelukan. Kedua insan itu jantungnya sama-sama berdegup kencang.

“Udah kan, kak?” tanya Jeno pada akhirnya memecah suasana.

Metha merasa lidahnya kelu tidak dapat memproduksi kata - kata, apalagi pikirannya, dia hanya merespon Jeno dengan mengangguk.

‘Ada apa dengan jantungku?’ batin keduanya sama-sama bingung.

_Ini cerita pertamaku, mohon dukungannya:')_

Episode 2

Sesampainya motor Jeno di depan rumah, Metha yang masih di landa rasa malu, langsung berlari masuk ke dalam rumah dan menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai 2.

Jeno yang melihat tingkah kakaknya hanya tersenyum simpul, dia tahu kalau Metha sedang malu sekarang karena kejadian tadi.

Dia juga merasa bersalah dan juga malu, karena tidak peka pada Metha yang ternyata sedang haid. Jeno pun memilih melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.

Sonia, Ibunya Metha dan Jeno, menatap Metha heran karena berlari terbirit-birit dari depan rumah menuju kamarnya.

“Kakak kamu kenapa, Jen? Lari-lari masuk rumah?” tanya Sonia pada Jeno yang bingung dengan tingkah Metha.

“Nggak tahu mah. Lagi marathon kali,” ejek Jeno tertawa renyah.

Sonia yang gemas dengan Jeno mencubit perut anak bungsunya itu. “Mama tanya serius kamu malah becanda!”

Jeno yang di cubit pun malah semakin ketawa karena cubitan dari Ibunya yang geli-geli sakit.

“Jeno bener nggak tahu, Mah! Mama tanya langsung aja sama kakak!” elaknya tidak lagi mau meladeni Ibunya.

Kalau pun Jeno jelaskan pada Ibunya, tentu dia tidak enak hati dan Ibunya pasti akan malu. Secara itukan masalah perempuan.

“Jeno ke kamar dulu ya, Mah. Capek,” tutup Jeno dan berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya yang juga berada di lantai 2.

Lebih tepatnya di samping kamar Metha.

...***...

Metha gelisah di dalam kamarnya, entah sudah berapa kali dirinya memutari tempat tidurnya sendiri. Bagaimana tidak, pembalutnya sudah habis, untuk di pakai saat ini saja tidak ada lagi.

Metha merutuki dirinya sendiri karena merasa malu kalau belanja ke supermarket dan yang manjaga kasirnya seorang laki-laki. Metha akan membeli pembalut kalau yang menjaga kasirnya seorang perempuan, dan sangat jarang dia bertemu dengan penjaga kasir yang perempuan.

“Duh! Kan nggak mungkin minta tolong sama Jeno!” racau Metha sendiri di dalam kamar di landa gelisah.

Tapi kalau bukan Jeno siapa lagi yang akan membantu Metha? Ibunya? Tidak mungkin, jarak supermarket dari rumahnya lumayan jauh, dan Ibunya tidak bisa mengendarai motor. Pembantu? Dirumah Metha tidak ada pembantu kecuali supir, karena Ibunya lebih senang kalau pekerjaan rumah dia yang mengerjakan.

Pilihan terakhir Metha cuma Jeno. Terpaksa.

Dengan ragu Metha langsung saja masuk ke kamar Jeno lewat pintu penghubung kamar mereka. Di lihatnya Jeno tengah tiduran di kasur sambil bermani ponsel.

‘Pasti nonton Teletubbies’ batin Metha.

“J-Jen..?” lirih Metha memanggil Jeno.

“Yes?!” jawab Jeno antusias.

Jeno masih fokus pada ponselnya, dia terlihat lebih berminat menatap ponsel dari pada melirik Metha. Tentu saja, yang sedang di nontonnya dalam ponsel itu adalah film kesukaannya.

Jeno dan Metha memang suka menonton film Teletubbies, dan kalau mode akur, mereka saling memanggil dengam sebutan 'Po'.

“Bo-Boleh minta tolong nggak?” tanya Metha ragu.

Jeno pun mendudukkan dirinya di atas tempat tidurnya itu. Jeno menatap Metha bingung. “Kok, lo belum ganti baju, kak?” Jeno memandangi Metha yang masih memakai seragam, lengkap dengan jaket Jeno yang masih melekat di pinggangnya.

“Ceritanya panjang,” alibi Metha. Dia sangat mau jika menceritakan panjang lebar pada Jeno secara rinci.

“Boleh minta tolong nggak?” ulang Metha lagi.

Jeno menatap heran kakaknya itu, biasanya Metha kalau minta tolong padanya tidak pernah meminta izin atau bertanya terlebih dahulu.

Metha terlihat gugup dan memegang ujung roknya kuat, dia malu karena meminta Jeno membelikan pembalut untuknya. “Ba-Bantuin... b_”

“Buka baju?” ucap Jeno ngasal memotong perkataan Metha. Padahal bukan itu yang akan di katakan Metha.

“Ihh.. bukan!!” jawab Metha tegas yang terdengar manja oleh Jeno.

Jeno tersenyum miring melihat Metha yang sudah menunduk karena malu. Dia berdiri dan berjalan ke arah Metha.

“Jadi?”

Metha tidak akan bertele-tele dengan Jeno, dia tidak suka jika selalu di goda oleh Jeno. Metha pun menghela nafasnya berat. “Tolong beliin pembalut di supermarket yang ukurannya 35 cm!” jawabnya dengan satu tarikan nafas seperti sedang nge-rap.

Setelah mengatakan itu Metha membalikkan tubuhnya, tidak berani menghadap Jeno. Sedangkan Jeno melongo mendengarnya, dan kemudian dia berusaha menahan tawanya, gemas sendiri dengan tingkah Metha.

“Gue cowok, kak. Masa di suruh beli pembalut. Yang iya-iya aja lah, kak!” jawab Jeno tidak terima dan tidak mau di suruh oleh Metha.

“Mau minta tolong sama siapa coba? Masa sama Mama?”

“Ya itu masalah lo, kak!” cuek Jeno.

“Jeno, kali ini... aja. Bantuin kakak, besok nggak lagi,” pintanya memohon pada Jeno dengan wajah lesu, sambil memegang perutnya yang sangat sakit.

Metha rasanya sudah begitu lelah, dia ingin menidurkan dirinya. Hari pertama haid Metha memang selalu begini, sakit perutnya tidak dapat di tahan jika berdiri.

Metha memang tidak pernah meminum obat ketika haid, dia hanya butuh berbaring dan meringkuk di atas tempat tidur. Dia merasa jika tidur meringkuk di tempat tidur sakit di perutnya berkurang.

Jeno menautkan alisnya menatap Metha merasa ada yang aneh. “Lo beneran sakit ‘kan, kak? Lo pegangin perut dari tadi,” khawatir Jeno kumat lagi.

Metha merasa lelah dengan semua ini. “Kakak nggak pa pa. Beliin aja pembalutnya sana, cepetan!” bentak Metha pada Jeno.

“Iya, kak!” seru Jeno tanpa ba - bi - bu lagi, Jeno segara meraih kunci motornya di nakas dan berlari keluar kamar. Dia takut, karena kakaknya sudah mengamuk.

...***...

Metha tidak tahan lagi, sudah 20 menit dia menunggu Jeno berdiri di dalam kamar mandi. Namun belum juga ada tanda-tanda akan kehadiran Jeno.

Dengan berat hari Metha mencari Ibunya di dapur.

“Mah?” panggil Metha yang melihat Sonia tengah hanyut dalam dunia masaknya.

“Iya sayang?” jawab Sonia membalikkan badannya menatap Metha.

“Mama ada pembalut nggak? Boleh minta? Pembalut Thata abis belum di beli,” ujar Metha pada sang Ibu sambil menahan sakit di perutnya.

“Ada kok, sayang. Bentar Mama ambil ya!” seru Sonia dan beranjak dari dapur menuju kamar tidurnya.

Metha bersyukur karena Ibunya masih ada pembalut, kalau tidak entah apa yang akan terjadi dengannya sekarang, karena sudah lama menunggu Jeno.

'Po versi tengil!' dumel Metha dalam hati.

Beberapa saat kemudian pun Sonia kembali lagi ke dapur dan memberikan pembalut itu kepada Metha.

“Makasih ya, Mah.”

“Iya. Masih sakit ya perutnya?” tanya Sonia khawatir.

Sebenarnya Sonia tidak awam lagi dengan keadaan Metha kalau haid di hari pertama, dia sudah sering melihat Metha sakit perut karena haid, dan dia juga sedih melihatnya.

Metha tersenyum dan menggeleng kecil. “Nggak terlalu kok, Mah. Nanti di bawa tidur pasti juga ilang sakitnya,” jawabnya mencoba membuat Ibunya tidak khawatir.

“Thata ke kamar dulu ya, Mah. Mau mandi,” tutupnya pamit pada Sonia dan di angguki oleh Sonia.

_Ini cerita pertamaku, mohon dukungannya:')_

Episode 3

Jeno menghampiri seorang gadis yang sepertinya juga seumuran dengannya, dia ingin meminta bantuan kepada gadis itu, yang sekarang juga sedang berada di rak supermarket dimana para pembalut berbaris rapi

“Permisi...?” ucap Jeno sopan pada gadis itu.

Gadis itu pun menoleh. “Saya?” balik bertanya pada Jeno, dan Jeno menyanggupinya dengan mengangguk.

Jeno berpikir sepertinya semua perempuan mempunyai sifat yang tidak bisa di baca. Jelas saja hanya ada mereka berdua di rak pembalut itu, dan gadis itu malah balik bertanya.

‘See... Beginilah perempuan!’ batin Jeno.

“Iya?”

“Gue Jeno!” mengulurkan tangannya basa - basi pada gadis itu memperkenalkan diri.

Tetapi gadis itu tak kunjung menjabat uluran tangan Jeno. Gadis itu manautkan alisnya bingung dengan tingkah Jeno, yang tiba-tiba mengajaknya berkenalan.

Seakan mengerti dengan ekspreksi wajah gadis itu Jeno menarik tangannya kembali. Kasihan.

“Maaf, gue cuma mau minta tolong, pacar gue minta di beliin ini!” jelas Jeno tidak ingin berbasa - basi lagi sambil menunjuk barisan para pembalut yang ada di depan mereka berdua.

Gadis itu masih setia mendengarkan Jeno.

“Tapi gue nggak tau yang mana, dia cuma bilang ukuran 35 cm. Bisa bantuin gue nggak?” sambung Jeno lagi meminta bantuan memilihkan pembalut yang di maksud oleh kakaknya, Metha.

Gadis itu pun langsung mengambilkan pembalut yang di maksud Jeno, dan memberikannya pada Jeno.

“Makasih...?”

“Olivia!” jawab gadis itu, yang ternyata bernama Olivia.

“Makasih Olivia!” ulang Jeno lagi dan kemudian gadis itu pun berlalu.

Tanpa pikir panjang lagi Jeno mengambil 5 bungkus pembalut yang sama dengan yang di pilihkan oleh Olivia.

“Beliin banyak, biar nggak kena suruh lagi,” monolog Jeno terkekeh pelan dan berlalu, berjalan menuju kasir.

...***...

Jeno memberikan kunci motornya pada pak Supri, supir pribadi yang bekerja di rumah itu. Karena dia sangat terburu - buru menuju kamar Metha, dia tahu sudah terlalu lama berada si supermarket.

“Kamu dari mana, Jeno?” tanya Sonia yang berada di ruang tamu sedang menunggu suaminya pulang.

“Dari supermarket, Mah,” jawabnya sambil mencium tangan Sonia. Tumben.

“Jeno ke kamar dulu ya, Mah,” pamitnya.

Jeno pun melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju kamar Metha, untuk mengantarkan pesanan Metha.

Setelah sampai di depan pintu kamar Metha, Jeno tidak mengetuknya melainkan langsung masuk tanpa permisi. Ketika masuk ke dalam kamar Jeno melihat Metha yang sedang tertidur pulas meringkuk di atas tempat tidur.

Selimut tebal membungkus tubuh kecil Metha, mungkin dia kedinginan.

Jeno pun duduk di samping Metha yang sedang tidur, menatap Metha dengan jarak dekat. Di lihatnya wajah damai Metha yang tertidur pulas. Jeno pun teringat bahwa begitu lama dia berada di supermarket.

Jeno tersenyum menatap wajah Metha, tangannya terulur ke wajah Metha, menjauhkan rambut Metha yang menutupi wajah cantiknya.

Jeno memberanikan dirinya untuk menyentuh lembut pipi Metha.

Metha merasa terganggu dengan sentuhan lembut di pipinya. Metha pun membuka matanya pelan, dan visual yang pertama matanya tangkap yaitu wajah tampan milik Jeno.

“Aku ganggu yah?” tanya Jeno lembut.

Metha manautkan alisnya bingung. 'Aku?'

Metha menggeliat merenggangkan ototnya, dengan masih menguap dan menutupi mulutnya dengan telapak tangan, Metha mendudukkan dirinya dan bersandar ke kepala tempat tidur.

“Tidur aja lagi! Masih ngantukkan?” ujar Jeno lagi dengan suara begitu lembut.

“Nggak!” jawab Metha ketus.

“Kenapa lama banget belinya? Beli dimana sih?” gerutu Metha pada Jeno yang sangat lama membeli pembalutnya. Dia sangat kesal pada Jeno yang ternyata tidak bisa di andalkan.

“Lama? Kenapa, kangen yah?” jawab Jeno terkekeh dengan percaya dirinya.

“Mana yang kakak suruh beli tadi?” Metha mengabakannya dan tidak menjawab perkataan Jeno yang tidak jelas.

Dengan terpaksa Jeno memberikan pembalut itu ke tangan Metha, usahanya untuk menggoda Metha saat ini belum berjalan lancar. Pikir Jeno mungkin Metha masih belum tersadar penuh karena baru bangun tidur.

“Berapa nih? Biar kakak ganti uang kamu!”

“Ehhh... nggak usah, sayang. Aku ikhlas!” jawab Jeno sambil mengedipkan sebelah matanya.

‘Dasar Aneh!’ batin Metha tidak percaya.

“Yaudah. Makasih!” ucap Metha sambil kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur.

“Cuma makasih doang?” tanya Jeno lagi yang masih duduk di samping Metha.

“Tadi katanya nggak usah bayar! Kok sekarang malah minta uang?” jengah Metha pada adiknya yang satu itu.

“Nggak pake uang, tapi pake tindakan!”

“Tindakan?” ulang Metha bingung.

Jeno menunjuk pipi kirinya. “Cium!” pinta Jeno dengan entengnya cuma nyengir kuda, menampakkan giginya yang putih dan rapi.

Metha geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya itu, yang setiap hari makin menjadi.

PLAKKK

Tanpa pikir panjang Metha langsung melayangkan tangannya menampar pipi Jeno.

“Tuh! Ciuman hot!”

...***...

Makan malam ini, di meja makan Metha tidak ikut bergabung karena perutnya yang masih sakit. Masih betah berada di atas kasur. Dia harus kembali segar besok pagi untuk berangkat kesekolah.

“Thata mana, Mah?” tanya Davin suaminya Metha.

“Di kamar, Pah. Perutnya masih sakit karena datang bulan,” jelas Sonia pada Davin. Sedangkan Jeno fokus pada makan malamnya.

“Jadi dia nggak makan? Tambah sakit nanti perutnya,” khawatir Davin.

Sonia mengusap lengan suaminya lembut. “Makan kok, Pah. Nanti Mama yang anterin makan buat Thata,” jelas Sonia pada Davin. Dan di angguki oleh Davin dengan tersenyum.

“Nggak usah, Mah! Jeno aja nanti yang bawain makan buat kakak!” sela Jeno, Jeno ingin dia yang mengantarkan makan untuk Metha.

“Oke,” tutup Sonia.

Mereka pun kembali melanjutkan makan malam mereka.

Setelah selesai makan malam, Sonia langsung menyiapkan makanan untuk Metha dan di antarkan oleh Jeno ke kamar Metha.

Ternyata Metha masih tidur di atas tempat tidur. Jeno hanya geleng-geleng kepala heran, karena sudah sangat begitu lama Metha tidur.

Metha jika sedang haid memang seperti itu, hari pertamanya di isi dengan tiduran karena tidak sanggup menahan sakit di perutnya.

“Bangun kak! Makan dulu!” ujar Jeno membangunkan Metha. Mengusap lembut rambut Metha.

“Eungh!” erang Metha menggeliatkan tubuhnya.

“Jam berapa sekarang, Jen?” tanya Metha masih berbaring di kasurnya.

Jeno melihat jam yang ada di nakas. “Jam 8 malam,” jawab Jeno menatap Metha.

“Kamu ngapain ke sini?” heran Metha.

“Nganterin makanan buat lo. Makan gih! Ntar sakit, gue yang repot,” sewot Jeno membantu Metha mendudukkan dirinya.

“Emang pernah kakak ngerepotin kamu?” heran Metha tidak terima juga di katakan sering merepotkan Jeno.

“Sering malahan. Tuh, kayak tadi suruh beli pembalut,” kesel Jeno karena masalah siang tadi.

“Iya iya. Besok nggak bakal minta tolong lagi,” sahut Metha, menutup tidak ingin berdebat dengan Jeno.

Jeno merebahkan tubuhnya di kasur Metha sambil menunggu Metha selesai makan.

_Ini cerita pertamaku, mohon dukungannya:')_

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!