NovelToon NovelToon

My Lover Is My Boss (Sweet Love Lian &Yumna)

Perpisahan

"Kenapa kamu harus pergi, sih? Emang kamu gak mau ya main berdua sama aku sampe kita dewasa nanti!" ucap anak perempuan bermata sendu berkulit putih itu kepada teman laki laki sebayanya. Teman laki-lakinya itu terlihat sedang menggenggam tangannya sambil menunduk lesu.

"Yumna ...." sahut teman lelakinya dengan nada lembut. "Aku minta maaf, bukan aku bermaksud untuk meninggalkanmu dan berhenti bermain bersamamu, keadaan yang memaksaku seperti ini, aku harus ikut orang tuaku pindah ke Singapore, Papaku memilih untuk tinggal di sana, Papa ingin aku melanjutkan study di sana," terangnya dengan penuh rasa kecewa.

"Aku juga udah memohon kepada Papa, agar aku tetap bersekolah di sini, tapi kamu tahukan bagaimana sifat Papa?" Anak lelaki itu terlihat sedih dan masih terus memandang iba ke wajah Yumna, gadis kecil yang sudah lima tahun ini selalu bermain bersamanya.

Yumna masih tertunduk, air matanya perlahan membasahi pipi. Wajahnya masih sangat polos. Tangan kanannya yang sedari tadi digenggam Lian, kini semakin tidak kuasa untuk ia lepaskan.

Senja itu disalah satu pelabuhan di Sumatera Utara, dua orang anak kecil berusia sekitar delapan tahun merasakan yang namanya perpisahan setelah lima tahun bermain bersama.

Belum selesai mereka bersendu-senda, ibu dari anak laki laki itu datang mendekati dan merangkul pundak anaknya.

"Lian," sapa wanita itu pelan. "Ayo Nak, kapal akan segera berangkat," ucap ibu Lian. Pandangannya terpacu pada Yumna yang sedari tadi tidak berhenti menangis.

"Yumna," lanjutnya. "Tante tahu perasaan kamu saat ini, dari kecil kalian adalah sahabat yang selalu bersama dan saling membantu satu sama lain. Tapi Tante minta maaf, ini semua sudah jalannya untuk kalian berpisah," ucap ibu Lian dengan segenap perasaan bersalah.

Yumna masih tertunduk sedih. Hanya air matanya yang terus mengalir. Lian yang melihat Yumna menangis, ingin rasanya ia menghapus air mata temannya itu. Tapi dia pun tak kuasa untuk mengangkat tangannya.

Sedang asik-asiknya terlena dalam suasana kesedihan itu, tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh suara kapal yang akan segera berangkat. Pandangan mereka pun tertoleh kepada sebuah kapal mewah yang sejatinya akan membawa Lian dan orang tuanya pergi meninggalkan pulau tersebut. Semakin kacaulah hati Yumna, begitu juga dengan Lian.

"Ayo Ma, tunggu apa lagi kapal akan segera berangkat!" Suara seorang laki-laki dewasa menghentak mereka. Mereka menoleh ke arah suara tadi. Ternyata suara itu adalah suara Papa Lian.

"Yumna!" ucap Lian cepat. "Berjanjilah padaku kamu tidak akan pernah melupakan aku! Aku janji, suatu hari nanti, jika aku sudah dewasa aku akan datang menemuimu! Aku janji akan main lagi bersamamu. Aku janji Yumna aku janji!" seru Lian mencoba menyemangati Yumna. Tetapi, Yumna masih saja terlarut dalam tangisnya.

Sirene dari kapal mewah yang akan berangkat tersebut berbunyi lagi. Kali ini cukup panjang. Yang mengartikan bahwa kapal akan segera berangkat dalam waktu sesingkatnya.

Ibu Lian perlahan menarik bahu anaknya yang sejak tadi ia rangkul. Genggaman tangan Lian dan Yumna perlahan terlepas seiring menjauhnya Lian dari hadapan Yumna. Semakin pecahlah tangisan Yumna. Gadis itu belum bisa bahkan tidak rela melepas kepergian sahabat sejatinya, apalagi untuk waktu yang cukup lama.

Beberapa menit berlalu, Lian dan orang tuanya sudah berada di atas kapal. Dari atas kapal, Lian tidak juga melepas pandangannya kepada Yumna yang berada tak jauh di bibir pantai. Untuk beberapa lamanya dua anak manusia itu terdiam dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Bahkan, ketika sirene yang menandakan kapal mulai bergerak menjauh dari pelabuhan berbunyi, keduanya pun tak urung melepas pandangan mereka. Hingga kapal yang ditumpangi Lian dan orang tuanya tak lagi memperlihatkan sosok Yumna, kedua orang tua Lian pun membawa putranya itu untuk masuk ke dalam kapal menuju kamar yang sudah mereka booking sebelumnya.

"Tuhan ... jaga dia untukku!!" gumam Yumna.

Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Ia berdoa dalam hati kecilnya agar Lian selalu dilindungi oleh Tuhan dan meminta agar suatu hari nanti, secepatnya ia bisa bertemu kembali dengan sahabat terbaiknya itu.

Air mata Yumna belum juga berhenti mengalir. Kedua bola matanya masih terus memandang kapal mewah yang terus menjauh dari pelabuhan tempatnya berpijak. Gadis itu memandangnya hingga hilang dari pandangan mata.

****

Sudah tiga hari Yumna terlihat murung. Bahkan ketika diajak main oleh temannya yang lain pun ia terlihat tak bersemangat. Hal itu membuat teman-temannya yang lain menjadi bingung. Mereka memandang satu sama lain. Saling mencari jawaban atas berubahnya sikap Yumna saat ini, meskipun mereka tahu hal apa yang membuat Yumna menjadi murung. Ya, mereka tahu kalau teman mereka yang satu itu sedang merindukan sosok Lian yang merupakan sahabat terbaiknya.

"Yumna. Kamu kenapa, sih?" Mili teman sebaya Yumna membuka suara.

"Iya kamu kenapa Yumna? Kami tahu kamu sedih karena Lian gak di sini lagi, kami juga sama, tapi kamu gak boleh terus-terusan murung seperti ini," cetus Rafka temannya yang lain.

"Maaf, ya, teman-teman! Aku juga gak tau kenapa aku jadi sesedih ini. Mungkin karena aku dan Lian dari kecil sudah bermain bersama, sampai umur delapan tahun ini kami suka saling bertukar cerita, makanya aku sangat merasakan kehilangan dirinya,," jawab Yumna sedih. Boneka beruang putih yang pernah diberi ayah Lian untuknya, kini menjadi benda yang sering ia peluk seperti sekarang ini.

"Iya kami ngerti kok, tapi kamu gak boleh terus-terusan murung kayak gini nanti kamu sakit," ucap rafka lagi.

"Iya Yumna! Jangan gitu, dong! Nanti kita jadi ikutan sedih."

Yumna menatap sendu kedua temannya itu. Matanya sedikit sembab. Wajahnya layu tak bergairah.

"Sudahlah, ayo kita main," ajak Rafka sambil menarik tangan Yumna.

Yumna tersenyum tipis. Gadis itu menghela nafas berat. Kemudian ia mencoba bangkit dan mengikuti saran dari teman-temannya itu. Anak-anak yang masih berusia 8 tahun itu pun bermain di pantai di sekitar tempat tinggal mereka. Sesekali Yumna memaksakan tawa untuk menghargai kedua temannya yang saat ini berusaha menghiburnya dengan bermain. Sejenak, Yumna sedikit bisa melupakan kepergian Lian, sahabat terbaik yang sudah dianggapnya seperti kakak laki-lakinya.

*****

Malam menjelma. Ibu Yumna masuk ke kamar anaknya dengan langkah pelan. Wanita paruh baya yang masih cantik di usianya itu mendapati anaknya yang tengah duduk di tempat tidur sembari menatap sebuah foto yang bingkainya terbuat dari kerajinan kerang-kerangan. Yumna masih saja memeluk boneka beruang pemberian ayah Lian. Melihat itu, ibu Yumna menghela nafas. Ia mendekati ranjang Yuma kemudia duduk di samping anaknya.

"Yumna.." sapa Bu Afni pelan. Wanita itu membelai lembut rambut anaknya.

"Ya, Bu!" jawab Yumna tak bersemangat. Bu Afni memaksakan senyum di bibir sebelum melanjutkan pembicaraan.

"Besok kita harus pindah ke Jakarta, Nak!" kata bu Afni pelan. Sontak Yumna kaget mendengar apa yang dikatakan ibunya.

"Ada apa Bu, kenapa kita harus ke Jakarta? Enggak Bu! Yumna gak mau pindah! Yumna mau tetap di sini!" tolak Yumna tak terima.

"Yumna, Ayahmu dipindah tugaskan oleh perusahaannya ke Jakarta, mau gak mau kita harus pindah ke sana, Nak," tutur Bu Afni menjelaskan.

"Tapi, Yumna ingin tetap di sini, Bu!" jerit Yumna pilu.

"Ibu tahu Yumna gak mau pindah dari sini, ibu tahu kamu suka banget sama pantai, tapi mau gimana lagi, Nak, kamu harus ikut Ayah dan Ibu, mana mungkin kamu kami tinggal di sini!" ujar Bu Afni lagi.

Mendengar perkataan ibunya, semakin murunglah hati Yumna. Belum lagi hilang rasa kecewanya yang satu, sudah hadir pula rasa kecewa yang lain.

"Benar Yumna!" sambung Ayah Yumna yang sejak tadi berada di depan pintu kamar anaknya. Rupanya sedari tadi ayah Yumna menguping pembicaraan istri dan anaknya itu. Lantas, ayah Yumna mendekati mereka sambil tersenyum kecil, kemudian duduk di antara mereka.

"Maafkan Ibu dan Ayah, karena udah bikin Yumna kecewa. Ayah tahu Yumna suka tinggal di sini, banyak kenangan yang sudah kita lakukan di sini. Tapi, apa boleh buat Nak, Ayah hanya karyawan biasa. Perusahaan ingin Ayah dipindah tugaskan ke Jakarta!" terang ayah Yumna dengan lemah lembut. "Kamu jangan khawatir Yumna. Nanti Ayah dan Ibu akan berusaha mencari tempat tinggal di sekitar pantai di sana, biar kamu gak ngerasa bosan dan bisa menciptakan kembali suasana seperti di sini," janji ayah Yumna sambil tersenyum manis.

"Gak akan ada yang bisa membuat Yumna bahagia selain orang orang di sini yah," jerit hati Yumna, namun kalimat itu tak kuasa ia lepaskan.

Yumna hanya dapat menerima kenyataan saat ini. Walau sejujurnya dia tak mau meninggalkan tanah kelahirannya itu.

(Bersambung)

Memulai hidup baru

Yumna dan kedua orang tuanya sudah berada di bandara Soekarno Hatta. Ayahnya segera memanggil taksi dan kemudian mereka pergi menuju rumah yang akan menjadi tempat tinggal mereka.

Waktu berlalu. Setelah beberapa saat kemudian, tibalah mereka di sebuah rumah sederhana yang terletak disalah satu pantai di daerah Jakarta.

Yumna keluar dari taksi yang ia dan kedua orang tuanya tumpangi. Seketika rambut panjangnya dihembus semilir angin pantai. Gadis itu memutar bola matanya, memandang rumah berlantai dua yang berada di hadapannya. Terlihat sebuah kamar di lantai dua yang balkonnya mengarah langsung ke pantai. Sepertinya kamar itu adalah kamar yang selama ini ada di mimpi-mimpinya.

"Nah! Yumna kita sudah sampai," seru Bu Afni dengan semangat. Perlahan ibu dan ayahnya mengajak Yumna untuk berjalan memasuki rumah itu.

"Yumna suka gak sama rumahnya," tanya ayah Yumna pelan.

Yumna tersenyum kecil, kemudian mengangguk pelan.

"Ya udah, yuk Ayah bantu bawakan barang barang Yumna ke kamar. Kamu pasti penasaran sama kamar kamu kan, Nak!" ajak ayahnya lagi. Kemudian pria itu merangkul anaknya, dan berjalan pelan ke arah kamar yang akan menjadi kamar Yumna. Kamar itu berada di lantai atas. Kamar yang mempunyai balkon yang menghadap ke pantai.

Namun baru beberapa langkah mereka berjalan, suara seorang laki laki paruh baya dari depan pintu, seketika menghentikan langkah mereka.

"Selamat datang Pak Ardhi!"

Secara bersamaan mereka menoleh ke arah pintu depan. Yumna terperanjat kaget. Pria paruh baya yang menyapa mereka tadi tak asing di matanya. Lidah gadis itu tiba-tiba menjadi kaku. Ia tak menyangka bahwa pria yang dilihatnya itu adalah papa Lian!

Dengan langkah santai, pria paruh baya itu mendekati mereka dengan senyum manis di bibirnya.

"Selamat menempati rumah baru kalian," ucap pak Mirwan, yang mana ia adalah ayah Lian. Pria itu berkata sambil membentangkan kedua tangannya.

Pak Ardhi, ayah Yumna tersenyum lebar.

"Pak Mirwan, terima kasih ya Pak! Saya jadi terkesan dengan pertolongan Bapak. Saya sangat suka tempat ini Pak, lebih lebih Yumna. Dia pasti bakalan betah tinggal di sini," ujar Pak Ardhi senang.

"Baguslah kalau begitu, saya sangat senang mendengarnya, mudah-mudahan kalian betah tinggal di sini!" Pak Mirwan menyemangati dengan senyum sumringahnya.

"Pasti Pak! Pasti kami betah tinggal di sini! Suasana di sini sama seperti tempat tinggal kita sebelumnya. Jadi tidak ada alasan bagi kami untuk tidak menyukai tempat ini," balas Pak Ardhi tersenyum lebar.

"Syukurlah kalo begitu, anggap saja ini sebagai rasa terima kasih saya karena dulu Bapak sudah mendonorkan darah untuk Lian, anak saya," ucap Pak Ardhi seraya mengenang budi karyawannya itu.

Seketika terlintas diingatan Yumna kejadian setahun lalu, dimana Lian mengalami kecelakaan fatal yang hampir merenggut nyawanya. Ia ditabrak oleh sepeda motor hingga badannya terlempar ke badan jalan. Lian tak sadarkan diri di tempat dengan kondisi kepala banyak mengeluarkan darah, hingga ia mengalami pendarahan hebat dan membutuhkan donor darah sesegera mungkin. Saat itu kebetulan Pak Ardhi, seorang karyawan yang kebetulan bekerja di perusahaan Pak Mirwan, memiliki golongan darah yang sama dengan Lian.

Pak Mirwan tidak dapat mendonorkan darah untuk anaknya, karena dia mempunyai riwayat penyakit yang tidak memungkinkan dirinya untuk mendonorkan darah kepada anaknya. Sedangkan bu Sofie memiliki golongan darah yang berbeda dengan anaknya. Pak Ardhi yang sudah menganggap Lian sebagai anaknya sendiri, tidak sungkan segera mengajukan pendonoran darah untuk Lian yang saat itu sedang koma. Atas dasar pendonoran itu dan kerja keras dari para dokter profesional, membuat Lian akhirnya bisa selamat dari maut.

Ah, jika mengingat kejadian itu, ingin rasanya Yumna menjerit. Sebab, hampir saja saat itu ia kehilangan sahabat sejatinya.

"Yumna!" Panggilan pak Mirwan menghentak Yumna.

Yumna terperanjat. Buyar dari lamunannya.

"Om tahu pasti kamu bingung dan bertanya-tanya dalam hati kenapa Om ada di sini padahal kemaren Om, Tante dan Lian pergi ke Singapore." Pak Mirwan mencoba memecahkan rasa penasaran Yumna.

Yumna menatap dengan serius wajah Pak Mirwan. Seakan menunggu lelaki paruh baya itu menyelesaikan kalimatnya. Hati kecilnya tidak sabar ingin segera mendengar penjelasan Pak Mirwan tentang semua ini.

"Om dan Tante hanya mengantar Lian saja, Lian di sana baik-baik aja kok. Dia harus menyelesaikan studynya sampai selesai. Saat ini dia tinggal bersama Tantenya, pekerjaan Om di sini tidak bisa untuk Om tinggali. Itu sebabnya Ayahmu Om panggil kemari karena Om sangat berhutang budi padanya, dan Ayahmu ini adalah seorang karyawan terbaik di perusahaan Om. Beliau karyawan jujur. Kinerjanya juga sangat bagus. Jadi Om perintahkan Ayahmu untuk pindah tugas di kota ini," terang Pak Mirwan menjelaskan.

Seketika Yumna tertunduk lesu. Hatinya ciut. Rasa kecewa yang ia rasakan semakin dalam. Sejenak tadi dia merasa sedikit lega karena berharap Lian ada di kota ini bersama orang tuanya. Namun, sekejap harapan itu buyar kembali setelah mendengar penjelasan dari pak Mirwan. Gadis cantik itu hanya bisa berharap semoga Lian cepat kembali.

*****

Lima belas tahun berlalu..

Kini gadis kecil yang bernama Yumna itu telah berumur 23 tahun dan tumbuh menjadi perempuan yang cantik. Penampilannya sederhana, namun terlihat anggun karena postur tubuhnya yang sangat sempurna sebagai seorang perempuan remaja.

Yumna berdiri di tepi pantai. Matanya memandang ke laut lepas. Ia tersenyum kecil melihat pemandangan yang ada di depannya. Dia takjub melihat ombak yang tak henti-hentinya berkejar-kejaran. Wajah putihnya disapu semilir angin pantai. Rok panjang yang ia kenakan terlihat melambai-lambai terhembus angin.

"Yumnaaaaa ...!"

Teriakan itu menyadarkan Yumna dari lamunan. Ia menoleh ke belakang dan mencari ke arah sumber suara. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat wanita paruh baya yang melambaikan tangan sambil tersenyum kepadanya.

Ternyata suara itu suara bu Afni yang tak lain adalah ibunya. Bu Afni memanggil Yumna dari balik pintu sebuah cafe yang berada tepat di sebelah kediaman mereka. Yumna pun membalas lambaian tangan ibunya dengan senyuman hangat.

"Ya, Bu ...." seru Yumna sembari berlari kecil menuju ke tempat ibunya berada.

"Yumna, ayo bantu Ibu menyiapkan makanan. Kebetulan hari ini Bu Dewi tidak bisa datang untuk membantu Ibu, karena dia sedang tidak enak badan," pinta bu Afni.

"Siap, Bu! Misi akan segera dijalani," jawab Yumna sambil menirukan gaya hormat pasukan militer.

Bu Afni tertawa melihat tingkah anaknya. Kemudian mereka masuk menuju dapur di cafe kecil yang mereka kelola. Sudah tujuh tahun ini bu Afni membuka cafe sederhana yang bersebelahan dengan rumahnya. Sejak ayah Yumna meninggal karena kecelakaan, bu Afni mulai banting setir agar dapat melangsungkan hidupnya dengan putrinya. Berkat bantuan dari pak Mirwan dan bu Sofie, bu Afni akhirnya dapat berjualan makanan dan minuman di cafe sederhana yang dibangun oleh orang tua Lian. Sebuah cafe yang mungil namun terlihat indah karena tempatnya berhadapan dengan pantai.

****

Pagi ini di kampus Yumna duduk di bangku perpustakaan. Ia membuka tasnya lalu mengambil selembar foto ayahnya di sana. Ia tersenyum kecil.

"Ayah ... Yumna kangen!" gumamnya. Yumna memeluk foto ayahnya seakan-akan benda tersebut adalah raga Ayahnya.

"Yumnaaaaa ...."

Panggilan ketiga temannya menyadarkannya dari lamunan. Ketiga gadis itu lantas duduk di dekat Yumna.

"Kalian, bikin kaget aja!" protes Yumna dengan bibir lima centinya.

"Kamu tuh yang kebanyakan melamun! Masih juga pagi, dah ngehalu!" ledek Karin. Gadis manis yang gayanya sedikit maskulin dari mereka.

"Biasalah, dia pasti lagi ngehalu cowok masa lalunya itu, berharap dia datang dengan seekor kuda putih, lalu membawanya ke istana, trus ketika tiba di istana, mereka berpelukan dan berciuman mesra. Oohhhh sooo sweeeettt," tambah Firly, gadis feminim dengan menirukan gaya centilnya.

"Iiihhh,, apaan, sih," seru Karin dan Raras bersamaan. Mereka berdua memandang geli ke arah Firly.

"Sekarang ini, Yumna yang sedang menghalu, atau kamunya?!" timpal Raras lagi.

Firly seketika memonyongkan mulutnya. Komat kamit tak jelas. Mengumpat Raras dan Karin yang meledek dirinya. Yumna yang melihat itu hanya dapat mengeleng-gelengkan kepala. Gadis itu merasa gemes melihat tingkah lucu dari para sahabatnya.

"Kalian ini pada kenapa, sih? Aku lagi mandangi foto almarhum Ayahku, bukan lagi menghalu! Nih lihat nih!" ucap Yumna menerangkan.

Melihat benda tipis yang dipegang Yumna sejak tadi, ketiga temannya pun langsung terdiam. Mereka seketika memahami apa yang Yumna rasakan saat ini.

"Yumna!"

Panggilan dari seorang teman pria mereka yang bernama Juna terdengar. Laki-laki berkulit sawo matang, bertubuh tinggi dan berwajah tampabn itu datang menghampiri. Ia menarik kursi yang ada di sebelah Yumna, kemudian duduk manis di dekat gadis itu.

"Ya." Yumna menyahut.

"Buku catatanku kemaren tinggal di rumahmu, ya?!" tanya Juna sambil melemparkan senyum manis yang menjadi ciri khasnya.

"Oh, ya? Maaf Juna aku gak tau kalau buku catatanmu tinggal di rumahku. Aku gak membawanya," ucap Yumna menyesal.

"Ya, udah ga pa'pa kok, itu bukan salahmu, aku yang lalai kemarin, hari ini aku belum membutuhkannya, entar aku ambil sendiri ya ke rumah mu," ucap Juna dengan santai.

"Oke," seru Yumna tersenyum lebar.

Setelah mendapatkan pernyataan dari Yumna, Juna pun beranjak kembali. Ia Kemudian pamit dan berlalu dari keberadaan keempat gadis-gadis yang menatapnya sejak tadi.

"Hoohhh ... kenapa Tamvan banget sih kamu, Juna!" seru Firly sambil memejamkan matanya. Tangannya tampak saling menggenggam. Hal itu membuat Raras dan Karin saling memandang geli.

"Nah tuh! Mulai deh ngehalu lagi ni anak!" cerca Karin geram.

"Pantang banget liat cogan!" sambung Raras sambil menjitak pelan kening Firly.

Seketika Firly pun tersadar dari lamunannya. Gadis itu tersenyum malu-malu.

Yumna menghela nafas seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berdiri dari tempat duduknya.

"Ya udah, yuk keluar! Bising banget tau gak kita di sini! Liat tuh penjaga perpus matanya kayak udah mau keluar lihat kita dari tadi!" titah Yumna. Kemudian gadis itu berjalan keluar perpustakaan diikuti ketiga teman-temannya.

***

(Bersambung..)

Pertemuan Yang Tak Disangka

Keempat gadis itu berjalan melewati ruangan demi ruangan kampus. Mereka berjalan sambil tertawa dan bercanda bersama. Namun, tiba-tiba Yumna terlonjak kaget ketika tubuhnya terdorong ke belakang.

Seorang pria bertubuh atletis keluar dari ruangan tempat di mana dosen dosen dan para petinggi kampus berkumpul. Laki-laki tampan yang terlihat rapi dengan setelan jaz berwarna navy itu tak sengaja membentur tubuh Yumna, hingga buku yang ia pegang jatuh ke lantai. Yumna membungkuk ingin menggambil kembali bukunya, namun laki-laki itu sudah lebih dulu mengambilnya, lalu menyerahkan kembali buku-buku itu kepada Yumna.

"Maaf, Mbak, saya tidak sengaja!" ucap pria itu sambil tersenyum.

Dengan cepat, Yumna mendogak, menatap wajah pria yang berada di hadapannya itu.

Jleb!

Mata Yumna membulat seketika. Lidahnya keluh. Perasaannya bercampur aduk. Entah kenapa, perasaannya kuat sekali pada laki-laki yang ada di depannya saat ini. Seperti pernah mengenai, tapi di mana?

Melihat Yumna diam bergeming. Laki-laki itu keheranan.

"Maaf Mbak,, ohh Mbak!" hentak pria itu sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke depan wajah Yumna.

Ketiga teman Yumna saling menatap. Mereka juga dibuat bingung akan sikap Yumna saat ini.

"Heeyy,, Yumna!!" ujar Raras. Menepuk bahu Yumna. Yumna pun tersadar.

"Haaa?! Aaa aada apa?!" Yumna terbata bata. Sadar dari lamunannya.

"Ada apa gimana?! Lah kamunya kenapa ngelamun gitu!" cetus Raras. Kedua temannya yang lain menatap Yumna. Melipat tangan ke dada sambil menaikkan satu alis mereka.

"Ha? Oohh iyaa, maaf!!" ucap Yumna kepada laki-laki itu.

Laki-laki itu kembali tersenyum.

"Ga pa'pa Mbak, saya yang seharusnya minta maaf, saya yang tidak memperhatikan keadaan sekitar tadi," ucap pria itu lagi.

Pak Rafli, dosen di kampus itu keluar dari dalam ruangan dan mendekati mereka.

"Ada apa ini?!" Pak Rafli memandang gusar keempat mahasiswinya. "Kenapa kalian di sini! Inikan jam kuliah kalian!" desis pak Rafli kepada keempat gadis tersebut, lalu menoleh ke arah laki-laki berjas navy itu. "Maaf Pak, maafkan mereka kalau mereka mengganggu Bapak," ucap pak Rafli kepada laki-laki yang lebih muda darinya itu.

Kembali laki-laki itu tertawa kecil.

"Gak pa'pa Pak Rafli, mereka gak salah kok, saya yang salah tadi keluar secara tiba-tiba, saya gak sengaja nyenggol Mbak ini sampai buku-bukunya terjatuh," aku pria itu. Melirik ke arah Yumna.

"Oohh begitu. Syukurlah, saya kira mereka menganggu Bapak pagi pagi begini, heehee.." celetuk pak Rafli cengegesan.

"Iiihhh apaan sih Pak!! Pagi pagi udah nuduh orang sembarangan," ketus Karin sebal.

"Yeee ada benernya juga keles yang di katakan Pak Rafli!! Siapa juga cewek yang gak terkesima, kalau pagi pagi begini sudah ditunjuki Sang Pencipta yang cool cool seperti Mas ini,, oooohh.." Firly mulai dengan kecentilannya.

Plaaakk!!

Karin menjitak jidat Firly.

"Awwww... sakiiit!!" keluh Firly kesal sambil mengusap-usap jidatnya. Karin melototkan matanya pada Firly.

Pak Rafli dan laki-laki tampan itu tertawa lucu melihat kelakuan mereka.

"Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu, Pak," pamit pria itu sambil mengulurkan tangannya kepada pak Rafli. Pak Rafli menerima uluran tangan itu. Mereka berjabat tangan.

"Oohh ya, silakan Pak, silakan!! Semoga dilain waktu kita bisa bertemu lagi!"

"Baik Pak! Oh, iya ... saya mohon maaf Pak, tolong jangan panggil saya dengan sebutan itu! Saya kan jauh lebih muda dari Bapak! Seharusnya saya yang menghormati Bapak, panggil saja saya dengan nama saya."

"Oh, tentu!! Itu bisa diatur." Pak Rafli terkekeh.

"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak!"

"Silakan." Pak Rafli menerbitkan senyum hangatnya. "Senang bertemu dengan anda.. Lian!"

Deg!

Hah!

Yumna terkesiap. Kedua bola matanya semakin melebar. Darahnya berdesir. Jantungnya berdegup kencang kala mendengar nama yang baru saja disebut pak Rafli. Tatapannya menajam, memandang dua laki-laki yang ada di hadapannya secara bergantian. Tubuhnya kembali kaku.

Nama yang baru saja disebut pak Rafli, benarkah si pemilik nama itu adalah orang yang selama ini dia rindukan? Atau nama itu hanya sebuah kebetulan saja, sama dengan nama sahabat lamanya.Dan, pria ini bukanlah orang yang dinantikannya?

Entahlah, yang jelas saat ini Yumna merasa seluruh jiwanya seakan mati. Matanya masih saja menatap tajam laki-laki yang telah berlalu dari hadapannya itu. Dia memandang laki-laki itu hingga hilang dari pandangan matanya. Setelah itu, muncul segudang pertanyaan yang ingin dia sampaikan kepada pak Rafli, dosennya.

"Lian??" sebutnya. Melirik pak Rafli seakan tak percaya.

"Iya Yumna, namanya Lian!! Dia putra tunggal Bapak Mirwan Aditya dan Bu Sofie, pengusaha sukses yang sering menyalurkan bantuan untuk kegiatan kampus kita, dia pewaris tunggal perusahaan, dan baru saja menyelesaikan studynya di Singapore, sekarang dia bekerja di perusahaan ayahnya dan membantu dalam pengembangan bisnis, semoga saja dia bisa menjadi pengusaha sukses seperti orang tuanya," terang pak Rafli yang tanpa dia sadari membuat Yumna memperdalam pikirannya.

Untuk selanjutnya, sejuta pertanyaan kembali menyerang pikiran Yumna. Tubuhnya serasa membeku seketika. Hatinya bertanya-tanya, mengapa orang tua Lian tak pernah memberitahunya tentang kepulangan putranya itu. Kenapa mereka merahasiakan itu darinya, padahal dalam sebulan pak Mirwan dan bu Sofie selalu mengunjunginya berulang kali.

Selama ini setiap Yumna bertanya, dia selalu kena omel sama ibunya. Bu Afni takut kalau orang tua Lian nantinya merasa tidak nyaman atas pertanyaan pertanyaan yang terlontar dari mulut Yumna. Karena selama ini orang tua Lian selalu membantu hidup mereka, yang membuat bu Afni semakin merasa tidak enak dan berhutang budi. Dan sekarang, dia baru saja bertemu dengan orang yang telah dinantinya selama bertahun-tahun. Tapi, apakah laki-laki itu masih mengingatnya?

Kenapa dia terlihat tidak menyadari kehadiranku? batin Yumna.

Matanya menerawang lurus ke depan. Menatap orang yang sedang ada di pikirannya sudah berlalu pergi.

"Heeyyy, Yumna!" sentak Raras seraya memetik jarinya ke arah wajah Yumna yang sedang terpaku. Raras, Karin dan Firly menatap Yumna tajam. Penuh tanya.

"Ha? I-iya!!" ucap Yumna terbata bata. Melihat lototan mata teman temannya, dia mencoba untuk mengembangkan senyum di bibirnya meski terasa kaku.

"Kenapa ngelamun lagi sih? Apa ini hari ngehalu sedunia ya? Semuanya pada berkhayal gak jelas!!" protes Raras tak habis pikir. "Ya udah hayuk kita masuk kelas! Lama lama kalau begini aku juga akan ikut gila!" ujar Raras sambil berjalan menuju kelas.

"Permisi pak!" ucap Karin dan Firly kepada pak Rafli. Menunduk sedikit, kemudian mereka bersamaan menarik tangan Yumna dan berlari menuju kelas.

Pak Rafli tersenyum lucu sembari mengeleng-gelengkan kepalanya melihat para mahasiswinya itu.

( Bersambung )

***

Author bagi visual ya☺️ Jika dirasa tidak cocok, boleh ikut dengan kehaluannya masing-masing 🥰🥰

Visual Lian Aditya👇

Visual Yumna Syafira👇

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!