NovelToon NovelToon

Bulan & Bintang (Revisi)

Pertemuan Pertama

Pagi itu, Bintang mengendarai motornya dengan ugal-ugalan. Lagi dan lagi, cowok berseragam putih abu-abu dengan penampilan acak-acakan itu terlambat bangun. Seolah kebiasaan buruk itu sudah mendarah daging di dalam dirinya dan susah sekali untuk tidak dihilangkan.

Selama perjalanan, Bintang mengendarai motornya tersebut dengan kecepatan penuh. Ia menghiraukan bahaya maut yang mengancam nyawanya sendiri. Bahkan dengan nekat, ia melambung pengendara-pengendara lainnya. Bunyi klakson yang bersahut-sahutan dari pengendara lain pun diabaikannya. Yang ada dipikirannya sekarang hanya satu ... jangan sampai terlambat!

Dari kejauhan, Bintang melihat persimpangan di depannya tampak sepi. Meski lampunya berwarna merah, akan tetapi tak seorang pun pejalan kaki yang lewat. Ia pun memutuskan untuk terus lanjut. Untuk apa juga berhenti dan menunggu sampai lampu merah berganti menjadi lampu hijau? Toh, pejalan kaki pun tak ada. Buang buang waktu saja!

Kira kira seperti itulah yang terlintas dalam pikirannya sehingga dengan nekat melintasi persimpangan tersebut. Bahkan, Bintang malah menambah laju kecepatannya.

Tanpa ia sadari, ada seorang gadis berseragam putih abu-abu dengan tumpukan buku di tangannya hendak menyeberang di persimpangan tersebut. Gadis itu pun rupanya tak menyadari akan hal tersebut. Ketika sudah berada di tengah jalan, barulah ia menyadari kalau ada pengendara yang sedang melaju cepat ke arahnya. Begitu pun dengan Bintang yang juga baru sadar ketika gadis itu sudah berdiri tepat di depannya sambil berteriak histeris.

“AAAHHH... !!!”

Bintang tampak frustasi. Dengan cepat, cowok itu menginjak rem motornya.

CITTT...

Suara gesekan antara ban motor dan aspal terdengar begitu memekakkan telinga. Suara bisingnya memenuhi tempat itu. Motor berhenti. Karena gerakan mendadak, tubuh Bintang sedikit terhuyung ke depan. Dada bidangnya menabrak setir motor.

“Shit!” Bintang mengumpat kasar.

Untuk kesekian menit, Bintang terdiam mematung di atas motor. Hanya deru napas memburu dan tubuh gemetaran yang memenuhi diri cowok itu. Hingga di menit berikutnya, cowok itu turun dari motor dan membuka helm full face-nya sedikit tergesa-gesa. Lalu meletakkannya dengan asal di atas jok belakang.

Bintang menghela napas kasar melihat gadis yang tersungkur di aspal tak jauh dari tempatnya berdiri. Untungnya, tak terjadi hal-hal yang tak dikehendaki.

Huh!

Bintang mengambil langkah lebar menghampiri gadis itu. Rahang kokohnya sudah mengeras tegas. Tak tinggal diam kedua tangannya yang sudah mengepal di bawah sana. Emosinya meletup-letup siap untuk memarahi gadis ceroboh itu.

“Lo ap—”

Omelan Bintang seketika menggantung begitu saja di udara. Mulutnya tiba-tiba terasa keluh, tak bisa berkata-kata. Semua umpatan kasar yang hendak dilayangkannya untuk gadis itu seakan lenyap terbawa angin lalu.

Mendapati wajah pucat dan raut takut gadis itu membuat amarah dalam diri Bintang tiba-tiba menguap dan berganti menjadi rasa iba. Mati-matian Bintang menahan gejolak itu agar tidak menyembur dan mengubur dalam-dalam niat awalnya. Mau bagaimana pun juga ini tetap salahnya, bukan?

Bukankah Bintang tahu kalau sekarang lampu merah, waktu bagi pengendara untuk berhenti sejenak dan membiarkan sang pejalan kaki untuk lewat?

Bukankah demikian?!

Bintang memiringkan kepalanya guna melihat wajah gadis itu yang tertekuk. Ia memberanikan diri untuk bertanya. “L-lo eng-enggak papa, kan?” tanyanya sedikit terbata.

Tak ada jawaban dari gadis itu. Kepalanya merunduk dengan isakan tangis yang terdengar begitu pelan di indera pendengaran Bintang. Mungkin masih shock, pikir Bintang.

Rasa bersalah dalam dirinya semakin menjadi-jadi. Sungguh, ia tak tega melihat gadis itu bersedih seperti ini apalagi dialah penyebabnya. Bintang pun menyejajarkan tubuhnya dengan gadis yang masih tersungkur di jalan itu, lalu memegangi kedua pundaknya.

“Gu-gue mi-minta ma-maaf, ya ...” ucap Bintang bersungguh-sungguh meski terbata. Tersirat penyesalan yang terpampang dari kedua bola mata cowok itu.

“... I-ini memang salah gue. Lo gak usah takut, oke?” tutur Bintang lembut guna menenangkan gadis itu.

Belum ada respon darinya. Lagi dan lagi, hal itu membuat Bintang menghela napas gusar. Apakah gadis itu marah?

“Gue—”

Grep...

Baru saja Bintang akan kembali bersuara, sepasang tangan mungil sudah lebih dulu melilit pinggangnya. Raut wajahnya langsung berubah serius dengan tubuh menegang. Tatapan matanya berubah kosong ke depan. Bukan sebuah omelan dan tamparan kasar yang ia terima, melainkan sebuah pelukan.

Cowok itu terkejut bukan main. Bukan karena apa-apa, hanya saja mereka tidak saling mengenal dan mungkin ini adalah pertemuan pertama mereka. Bagaimana bisa gadis itu main nyerocos gitu aja?

Meski awalnya terkejut, namun perlahan-lahan tangan Bintang terangkat ke atas dan membalas pelukan gadis itu dengan sayang. Ia paham dengan perlakuan gadis ini yang secara tiba-tiba. Ia tahu gadis ini pasti shock berat—ia membutuhkan penenang sesaat untuk menstabilkan pikirannya kembali.

Samar-samar terdengar suara isak tangis yang keluar dari bibir gadis itu dalam pelukan Bintang. Bintang mengelus-elus rambutnya dengan lembut guna menenangkannya. Awalnya biasa-biasa saja, namun makin ke sini suasananya makin berbeda. Entah kenapa Bintang tiba-tiba merasa nyaman dalam pelukan gadis itu. Jantungnya pun langsung berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Aneh! Perasaan apalagi ini?

Setelah dirasa cukup tenang, Bintang mengurai pelukannya pelan-pelan. Ia beralih memegang kedua pundak gadis itu dan bergumam singkat, “maaf!”

Gadis itu hanya menyunggingkan senyum tipis sembari menghapus bulir-bulir sisa air mata di pipinya. Kemudian bangkit dari posisinya dan pergi begitu saja meninggalkan Bintang tanpa sepatah kata pun. Bintang jadi bingung dengan sikap gadis itu. Kok, tidak marah? Aneh!

“Lah, kok main pergi gitu aja?” tanya Bintang heran. Ia pun ikutan bangkit dari posisi jongkoknya, terus memandangi punggung gadis itu yang kian jauh dari hadapannya. Perlahan tapi pasti, senyuman tipis terukir jelas di bibirnya.

“Sepertinya, gue telah jatuh cinta pada senyuman itu. Gue harap ini bukan pertemuan terakhir kita, cantik!” gumam Bintang penuh kekaguman.

“Shit!” umpat Bintang. Di tengah keterpukauannya pada gadis manis itu, Bintang seketika teringat akan suatu hal.

Bintang segera menghampiri motornya dan segera mengendarainya kembali dengan ugal-ugalan. Tak henti-hentinya ia merapalkan doa dalam hati agar pintu gerbang belum ditutup. Berdoa semoga dia tidak terlambat walaupun terdengar mustahil.

Ya, semoga saja.

...***...

Bagian 2. Murid Baru

Dan benar saja.

Ketika Bintang tiba tepat di gerbang, sekolah sudah tampak sepi. Sudah tak ada lagi kegaduhan murid-murid terdengar sana sini yang biasanya memenuhi seluruh area gedung besar tersebut. Pagarnya pun sudah tertutup rapat. Dari sini, ada satu hal yang dapat kita simpulkan bahwa Bintang benar-benar sudah terlambat. Mampus!

“Tuh, kannn!!! Gue bilang juga apaaa?!!!” Bintang berucap geram. Desisan kecil keluar dari mulutnya bersamaan dengan tangannya yang terangkat ke atas menggaruk tengkuk belakang yang tak gatal. Matanya berlarian sana-sini memastikan sekali lagi bahwa ia tidak salah lihat. Dan benar, suasana area sekolah sudah benar-benar sepi.

“Duh, gimana donggg!!!” decak Bintang risau plus frustasi. Garukan pada tengkuk belakangnya berubah menjadi usapan kasar. Lalu kedua tangannya terangkat ke atas mengacak-acak rambut hitam nan tebalnya yang mulai memanjang.

“ARGGHHH... !!!”

Bintang melangkah mendekat ke arah gerbang sekolah yang sudah tertutup. Cowok itu menyandarkan tubuhnya ke pagar tertutup. Tampak kedua tangannya yang terus mengacak-acak rambutnya.

Hening sejenak. Bintang merenung. Memikirkan hal apa saja yang bisa ia lakukan agar bebas dari masalah ini. Hingga, Bintang menyeletuk “Ahha!” pertanda sebuah ide muncul dalam pikirannya.

“Bagaimana kalau gue manjat pagar?!” tanya Bintang pada dirinya sendiri.

Seketika matanya berbinar. Senyum merekah di bibir. Hm, kalau dipikir-pikir gak ada salahnya juga!

“Okelah, gue manjat,” putus Bintang akhirnya. Tanpa basa-basi lagi, Bintang pun segera memanjat pagar yang cukup tinggi tersebut.

Hap!

Ia mendarat di dalam lingkungan sekolah dengan aman. Kepalanya mendongak lalu menengok sana-sini memastikan situasi. Setelah dianggap aman, kakinya dilangkahkan perlahan-lahan ke koridor sekolah. Jadi posisinya sekarang, mengendap-ngendap layaknya seorang pencuri yang sedang menjalankan aksi.

Sialnya, ketika jaraknya dengan pintu ruangan kelas tinggal beberapa senti, suara seseorang dari belakang bersamaan dengan sebuah tangan yang bertengger di pundaknya berhasil membuatnya mematung dan bungkam.

“Bin-tang... ?!” Orang itu memanggil dengan nada seperti orang bertanya. Nama Bintang seolah sengaja diejanya.

Suara itu ... suara yang cukup familiar di telinganya. Susah payah, Bintang menelan ludahnya. Dengan mulut berkomat-kamit merapalkan doa dalam hati semoga setelah ini ia masih baik-baik saja, Bintang membalikkan badannya ke belakang. Mampus dah gue!

Dan ...

Dugaannya benar.

Dia, Pak Andre. Guru matematika di SMA Mahardika, sekaligus Om-nya Bintang. Ya, Andre adalah adik kandung mamanya Bintang.

Bintang meringis yang berakhir menjadi cengiran lebar. Gigi-gigi putihnya tampak begitu saja.

“Eh, Om Andre! Kirain siapa, hehe...,” celetuk Bintang asal.

Pak Andre memelototinya tajam yang lagi-lagi membuat Bintang meneguk ludah. “Terlambat lagi kan, kamu!” tebak Pak Andre menuding.

Tepat sasaran.

Bintang tersentak. Tampak sekali raut terkejut di wajahnya. Namun dengan pintarnya, cowok itu langsung mengubah ekspresinya kembali ke wajah tengil.

“Ng-nggak dong, Om!” seru Bintang heboh. Lalu, tertawa garing. “Masa saya terlambat lagi, sih! Hahaha...”

Pak Andre menaikkan satu alisnya ke atas. Tampak tidak percaya dengan jawaban yang barusan Bintang berikan. Hingga ketika matanya menangkap sekilas benda yang bisa saja membuat Bintang, murid nakal satunya itu diam tak berkutik, guru itu menaikkan salah satu sudut bibirnya membentuk seringai kecil. Hm, sepertinya benda itu bisa dijadikannya sebagai senjata andalan.

“Terus, kenapa masih di sini?” tanya Andre penuh intimidasi.

Awalnya, Bintang terlihat biasa-biasa saja. Bahkan, cowok itu masih ketawa-ketawi tidak jelas. Rupanya tidak terpengaruh sama sekali dengan pertanyaan dari gurunya tersebut. Namun, ketika Pak Andre melanjutkan perkataannya, cowok itu langsung bungkam dengan air wajah masam.

“Tasnya juga ... kenapa masih dipake?” tanya Andre lagi.

Mulut Bintang sebentar terbuka sebentar tertutup. Rupanya ingin mengatakan sesuatu, namun tidak tahu mau bilang apa.

“A-anu, Om. I-itu loh ... emm... emm...” Bintang berucap gelagapan. Merasa dirinya gugup, cowok itu menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal sama sekali.

Tampak, Pak Andre yang menahan tawa. Senyum penuh ledekan terukir indah di bibirnya. “Anu? Anu kenapa, hm?!” tanya Pak Andre beruntun, menyela ucapan Bintang.

“Masa sama keponakan aja galak, sih Om!!!” Bintang merajuk. Bibirnya monyong beberapa senti ke depan. Raut wajahnya berubah masam.

“Keponakan, keponakan .... Di sini tidak ada yang namanya keponakan,  yang ada hanya anak murid saya!” Pak Andre menyahut sewot. Lalu, pria paruh baya itu mengangkat salah satu tangannya ke atas menyuruh Bintang masuk kelas.

“Ya udah, cepatan masuk!” titahnya tak terbantahkan.

Bintang terkekeh pelan. Lalu, cowok itu mengambil kedua tangan Pak Andre dan menciumnya layaknya seorang yang sedang pamit mau sekolah kepada orang tuanya. Padahal aslinya, ia sedang cari perhatian.

“Makasih, om kyuuu!!!” seru Bintang.

“Cepatan masuk!” bentak Pak Andre.

“Eh, i-iya Om!”

Dalam detik itu juga, Bintang langsung ngacir masuk kelas.

***

Di pagi hari cerah nan sejuk itu, kelas 11 IPA 2 kedatangan murid baru.

“Selamat pagi, anak-anak!” sapa Pak Andre yang baru saja memasuki ruang kelas. Kelas yang tadinya ribut, menjadi hening dalam sekejap mata. Dasar murid-murid munafik!

“SELAMAT PAGI, PAK!!!” seru murid-murid serempak.

Keantusian yang ditunjukkan murid-murid membuat Pak Andre mengulum senyum. Guru itu sedang berdiri di depan kelas dengan pandangan mengarah ke seluruh penjuru ruangan.

“Sebelum kita memulai kegiatan belajar mengajar, Bapak ingin menyampaikan sebuah informasi kepada kalian semua ...” ujar Pak Andre panjang lebar. Ia sengaja menggantung ucapannya.

“Pasti Pak Andre mau bahas soal kemarin.”

“Yang mana? Oh, soal si Dina yang ngelabrak pelakor itu?”

“Wah, kita pasti diceramahi lagi nih!”

“Parah sih!”

Kelas kembali ramai. Murid-murid mulai bisik-bisik, saling tanya-menanya mengenai informasi apa yang akan diberikan Pak Andre. Dengar-dengar, kemarin ada anak beberapa anak murid cewek di sekolah mereka yang melakukan pelabrakan ke sekolah lain dan berakhir berkelahi. Motifnya, anak murid itu ingin melabrak cewek yang sudah merebut pacarnya tersebut.

Mereka yakin, Pak Andre pasti akan membahas masalah kemarin dan berakhir berceramah.

“Hari ini, kelas kita kedatangan murid baru,” ucap Pak Andre melanjutkan ucapannya. Senyum yang sedari tadi tersungging di bibir semakin mengembang. Guru itu menoleh ke arah pintu kelas seolah sedang menatap seseorang di sana.

“Bulan, silahkan masuk!” pintahnya pada siswi baru tersebut yang masih setia berdiri di ambang pintu.

Murid pindahan yang bernama Bulan itu pun segera masuk ke dalam kelas. Ia melangkah ragu dengan kepala yang terus menunduk. Malu? Tentu saja! Apalagi, kini dirinya telah menjadi pusat perhatian.

Awalnya, Bintang bersikap cuek dan tak peduli. Namun ketika melihat wajah gadis itu, ia kaget bukan main.

“I-itu ...” celetuk Bintang terbata sembari menunjuk gadis yang berdiri di depan kelas itu. “... Itu kan, cewek yang hampir gue tabrak tadi!” lanjutnya menggumam.

“Hah, apa?! Lo nabrak orang?!” Surya yang duduk di bangku belakangnya berjengit kaget mendengar celetukan Bintang barusan.

Bintang melebarkan matanya. Jadi anak dajjal itu dengar?

Sialan!

Langsung saja cowok itu berbalik dan membekap mulut Surya. “Sttt, diam njirrr!” geramnya sembari menatap sekitar berharap tidak ada yang mendengar seruan Surya barusan.

Bernapas lega karena tampaknya murid-murid lain masih fokus dengan murid baru yang sedang perkenalan itu.

“Eh, i-iya! Hehe... sorry!” cengir Surya tanpa dosa. Ia mengangkat kedua jari tangannya ke atas membuat peace. “Tapi, kok bisa?!” tanyanya lagi dengan kedua alis saling menekuk.

“Ya bisalah, sat!” ujar Bintang sewot. “Udah, ah! Nanti aja ceritanya. Panjang!” tutur Bintang mengakhiri pembicaraan.

Cowok itu membalikkan badannya kembali ke posisi semula. Syukurnya, Surya pun tak melontarkan berbagai macam pertanyaan lagi.

“Bulan, ayo perkenalan!” ucap Pak Andre membuyarkan lamunan murid baru itu.

Tampak, gadis itu yang tersentak. Ia langsung menatap Pak Andre lalu tersenyum canggung. “E-eh, i-iya Pak!” ujarnya kikuk.

Lalu, gadis itu melayangkan pandangannya ke depan. Ia menyunggingkan senyuman tipis. “Hai, perkenalkan nama saya Bulan Purnamasari. Kalian bisa panggil saya Bulan. Terima kasih!” ucapnya lagi memperkenalkan diri.

“Hai, Bulan!”

“Halo, cantik!”

Murid-murid kelas 11 IPA 2 merespon baik, membuat senyum Bulan mengulum senyum malu-malu.

“Baik! Bulan, kamu duduk di bangku kosong sampingnya Bintang, ya!” titah Pak Andre pada Bulan dengan tangan terjulur menunjuk sebuah bangku kosong.

Bulan mengikuti arah telunjuk guru itu. Bola matanya membulat melihat sebuah objek di sana. Meneguk salivanya susah payah. Meski ragu, gadis itu menganggukkan kepalanya patuh. “I-iya, Pak!”

Lalu dengan ragu, Bulan melangkah ke sana. Ia mendudukkan bokongnya di bangku samping cowok itu.

Bintang diam-diam menyunggingkan senyum. Bukankah dengan begini, ia bisa lebih akrab dengan gadis itu?

“Hai Bulan! Kenalin, gue Bintang Prawijaya. Panggil Bintang aja.” Bintang tersenyum sembari menjulurkan tangannya ke arah gadis itu berniat untuk mengajaknya berkenalan.

Namun, Bulan hanya menyunggingkan senyum manis tanpa membalas uluran tangannya.

Bintang meringis malu. Lalu secepat kilat menarik tangannya kembali. Berakhir menggaruk tengkuk belakangnya merasa salting. Tanpa Bintang sadari, cewek yang duduk di sampingnya itu diam-diam memperhatikan gerak-geriknya dan tertawa pelan.

“Oke, anak-anak! Saatnya kita belajar...” Ucapan Pak Andre mengintrupsi keduanya. Kegiatan belajar mengajar pun dimulai. Pak Andre mulai menjelaskan satu-persatu angka yang ada di papan tulis. Ya, hari ini kelas 11 IPA 2 ada pelajaran matematika. Pelajaran yang sebagian murid benci.

“Jadi, begitulah langkah-langkah dalam mengerjakan soal semacam itu. Sampai di sini, ada yang mau ditanyakan soal matriks?” ucap Pak Andre mengakhiri pelajaran.

Tak ada sahutan, membuat Pak Andre mengangguk paham. “Oke, karena tidak ada yang menyahut, berarti Bapak anggap semuanya sudah paham. Baiklah, kalau begitu Bapak yang akan bertanya!”

Guru itu tersenyum penuh arti membuat murid-murid serempak meneguk salivanya susah payah. Mampus!

Tangan Pak Andre menari-nari di atas papan tulis. Tampaknya, ia sedang menulis soal yang akan diajukannya nanti.

“Anak-anak, siapa yang bisa jawab soal yang Bapak tulis ini?” tanya Pak Andre setelah menulis sebuah soal di papan tulis. Pandangannya mengarah ke murid-murid.

Di papan tulis itu, tertulis sebagai berikut.

Tentukan nilai a dan b dari kesamaan matriks berikut.

[   a + b  ] \= [  4a - 5   ]

[ 2a - 15 ]    [ 6a + 7b ]

Lagi-lagi, tak ada yang menyahut. Murid-murid serempak jadi patung dadakan.

“Tidak ada yang bisa?” tebak Pak Andre terdengar kesal.

“Saya, pak!” celetuk seorang murid di bangku kedua dari depan barisan kiri paling ujung. Tangannya mengacung ke udara.

Semua pasang mata langsung menoleh ke arahnya. Ada yang menatapnya sinis, berbinar, dan juga ragu.

“Bulan... ?” Pak Andre memanggil ragu. Kedua alisnya saling menekuk. “Kamu mau jawab?” tanyanya memastikan dan langsung mendapat anggukkan kepala mantap dari murid itu.

“Ya sudah, ke depan!” titah Pak Andre.

Bulan bangkit dari duduknya dan maju ke depan. Sesampainya di depan, Pak Andre langsung memberinya sebuah spidol berwarna hitam. Bulan mengambilnya dan mulai mengerjakan sederet angka-angka yang ada di papan tulis itu.

Jawab :

a + b \= 4a - 5

-3 + b \= -5

2a - 15 \= 6a + 7b

-4a - 7b \= 15

\=>Metode Eleminasi :

-3a + b \= -5   | x (-7) | 21a + (-7)b \= 35

-4a - 7b \= 15 | x 1      | -4a - 7b       \= 15

                                       ————————— -

                                        25a              \= 20

                                                         a \= 20/25

                                                         a \= 4/5

                                                         a \= 0,8

\=>Metode Subtitusi :

-3a + b \= -5

-3(0,8) + b \= -5

-2,4 + b \= -5

           b \= -5 + 2,4

           b \= -2,6

Jadi, nilai a \= 0,8 dan b \= -2,6

“Sudah, Pak!” ucap Bulan sembari menutup spidol yang baru saja selesai digunakannya itu dan menyodorkannya kembali ke Pak Andre.

Pak Andre tampak mengamati dengan baik jawaban yang ditulis Bulan di papan tulis. Lalu tak lama, pria itu manggut-manggut bersamaan dengan senyum lebar tercetak di bibirnya.

“Bagus.” celetuk Pak Andre. Lalu tatapannya beralih pada gadis yang berdiri di sampingnya itu. “Jawaban kamu benar!” katanya lagi dengan nada pujian.

Suara tepuk tangan dari murid-murid langsung menggema di ruangan tersebut.

“Makasih, Pak!”

Bulan berbalik lalu melangkah kembali ke tempat duduknya. Ia menggigit bibirnya malu karena kini dirinya menjadi pusat perhatian. Banyak tatapan memuja tertuju padanya.

Bulan melirik ke samping kala merasa orang yang duduk di sana sedang menatapnya. Dan benar, cowok itu sedang tersenyum ke arahnya lengkap dengan tatapan kagumnya yang tak bisa tersembuyi di kedua bola matanya.

Bulan tersentak. Tangannya langsung memegangi dada kirinya kala merasakan degupan cepat di sana.

Ada apa ini?

Perasaan apa ini?

Jujur, Bulan tidak tahu. Karena ini kali pertamanya Bulan merasakan hal aneh yang tak wajar ini.

Perlahan tapi pasti, sudut bibir Bulan melengkung ke atas hingga membentuk senyuman.

***

Bagian 3. Akrab

Hari ini adalah hari pertama seorang Bulan Purnamasari menginjakkan kaki di SMA Mahardika. Ya, gadis yang ceria dan murah senyum itu adalah seorang siswi pindahan dari SMA Kencana.

Setelah menghadap ke Kepala Sekolah, akhirnya Bulan dinyatakan resmi bersekolah di SMA Mahardika dan ditempatkan di kelas 11 IPA 2.

Bulan memasuki ruangan kelas barunya dengan dituntun oleh seorang guru. Awalnya biasa-biasa saja, tampak ia yang malu-malu mungkin karena pengaruh belum terbiasa. Namun ketika matanya tak sengaja menangkap sebuah objek di barisan kedua barisan paling kiri, ia terkejut bukan main.

Itu kan, cowok yang hampir menabraknya di persimpangan tadi! Batinnya dalam hati.

Jadi, mereka satu kelas?

Dan lebih sialnya lagi, mereka juga sebangku.

Walau demikian, tak bisa Bulan pungkiri bahwa ada perasaan suka saat mengetahui bahwa ia sekelas dengan cowok itu. Entahlah, Bulan tidak tahu perasaan apakah itu!

Yang jelas, hatinya menghangat setiap kali cowok itu tersenyum ke arahnya sekaligus jantungnya bergedup kencang.

Apakah ini yang orang-orang katakan jatuh cinta pada pandangan pertama?

***

Tak terasa, waktu terus bergulir hingga bel tanda istirahat pun berbunyi. Semua siswa-siswi SMA Mahardika pun berhamburan keluar kelas dan berlarian ke kantin untuk berebut tempat duduk. Jam-jam seperti ini banyak murid-murid yang berkunjung ke sana. Jadi, untuk mengantisipasi tidak dapat jatah tempat di sana, mending cabut duluan.

“Lan, ke kantin yuk!”

Bulan yang sedang sibuk mengemasi peralatan tulisnya yang ada di atas meja lalu dipindahkan ke dalam tas punggungnya, mendongak kala mendapati sebuah ajakan dari sampingnya.

Sedikit kerutan di dahi gadis itu kala mendapati Bintang lah sang pelaku. Cowok itu sudah berdiri di depannya dengan kedua tangan bersedekap di dada.

“Umm... enggak deh,” tolak Bulan secara halus.

Cowok itu manggut-manggut. “Ya udah, gue duluan ya!” pamit Bintang yang langsung mendapat anggukan dari Bulan.

Setelahnya, Bintang pun berlalu dari kelas bersama Surya, cowok yang duduk di bangku belakangnya.

Bulan kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat terjeda. Setelah itu, ia bangkit dari duduknya dan merapikan sejenak seragamnya yang sedikit lusuh. Bulan hendak ke perpustakaan membaca buku. Ya, dari pada hanya diam di dalam kelas seperti ini, mending waktu istirahatnya ia habiskan dengan membaca.

Ketika hendak melangkahkan kakinya keluar, tiba-tiba sebuah tangan dari belakang hinggap di pundaknya dan membuat langkanya terhenti.

Bulan mengernyit heran dan bertanya-tanya dalam hati, “siapa?”

Perlahan, Bulan membalikkan badannya ke belakang dan mendapati seorang gadis berdiri di depannya dengan senyum yang mengembang di bibir.

“Hai, Bulan!” Gadis itu menyapa dengan lambaian tangan.

Bulan tak terkejut sama sekali ketika gadis itu mengetahui namanya. Ya, karena tentu saja ia tahu saat perkenalannya tadi. Bulan pun hanya membalas sapaanya dengan menyunggingkan senyuman.

“Ohya kenalin ... gue Renata Anastasyah. Panggil Tata atau Rena aja!” ucap gadis itu memperkenalkan diri dengan tangan terjulur ke hadapan Bulan.

Bulan tersenyum lalu membalas uluran tangan Renata, sehingga sekarang mereka berjabat tangan. “Bulan Purnamasari. Panggil Bulan aja!”

“Lo mau kemana?” tanya Tata menyelidik.

“Oh, ini—”

“Ke kantin, yuk!” ajak Tata menyela ucapannya.

“Umm, gimana ya?” Bulan tampak menimang-nimang.

“Duh, gue udah laper nih. Please, temanin gue, ya!” ucap Tata memelas penuh permohonan. Tangannya terlihat memegang perutnya dan meremasnya pelan.

“Ya udah, deh!” Karena kasihan, Bulan pun mengiyakan saja. Gadis itu menghela napas kasar. Berbeda sekali dengan Tata yang kini meloncat kegirangan.

Keduanya pun bergegas ke kantin. Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di sana karena Tata menyeretnya. Tak ada yang bisa Bulan lakukan selain pasrah. Baru hari pertama sekolah, tapi sudah ketemu murid seperti Renata. Walaupun cewek itu sedikit nyebelin, tetapi Bulan bersyukur sekaligus merasa senang karena dipertemukan orang asyik seperti Renata.

Langkah kedua gadis itu terhenti di ambang pintu kantin melihat kepadatan penduduk yang melanda kantin saat ini. Tampak ribuan kepala yang memenuhi tempat itu. Ada juga yang berlalu lalang sengaja mau cari perhatian. Jangan lupakan bagaimana rusuhnya anak-anak yang sedang mengantri di stand jualan.

“Kita mau duduk dimana?” tanya Bulan dengan mata menengok sana-sini guna melihat tempat yang masih kosong.

Tata yang berdiri di sebelahnya melakukan hal yang sama. Hingga matanya berbinar ketika mendapati sebuah meja kosong di pojok kiri. Tangannya terangkat ke atas menunjuk tempat itu.

“Di situ aja, yuk!” ajak Tata.

Bulan mengikuti arah telunjuk Tata. Lalu di detik berikutnya, gadis itu mengangguk.

Keduanya pun melangkah ke meja yang masih kosong itu. Lebih tepatnya ke arah meja depan tempat Bintang dan Surya duduk.

Setelah sampai di sana, Bulan langsung mendudukkan bokongnya di salah satu bangku dan Renata ikut duduk di sampingnya. Posisi duduk mereka sekarang adalah menyampingi Bintang.

“Lan, lo mau pesan apa biar gue pesenin?” Renata bangkit dari duduknya dan menatap Bulan penuh tanya.

Bulan mendongak membalas tatapan cewek itu. “Apa aja. Samain sama punya lo!” jawabnya.

Renata mengangguk dan melangkah ke salah satu stand jualan. Bersamaan dengan kepergian Renata, Bulan menolehkan wajahnya ke samping kanan—melirik Bintang yang tengah lahap makan. Di luar dugaan Bulan, cowok itu ternyata sedang menatapnya juga. Bola mata mereka bertemu dan terkunci dalam satu tatapan dalam.

Deg!

Bulan tersentak kala merasakan jantungnya kembali berdetak dua kali lebih cepat dan tak beraturan.  Tanpa sadar, tangan kanan Bulan terangkat ke atas memegang dada kirinya yang kini berdentum keras. Ini jantung gue kenapa?

Bintang yang rupanya menyadari hal itu, menyunggingkan senyum. Jujur, Bintang pun merasakan hal yang sama.

“Lan, woyyy Bulan!”

Hingga Renata datang dan mengacau-balaukan semuanya. Tatapan mata keduanya terputus. Bulan langsung merubah posisinya seperti semula.

“Eh, Tata! Dah balik?” tanya Bulan basa-basi.

“Liatin apaan, sih?” tanya Renata dengan kening yang mengerut, menghiraukan pertanyaan basa-basi gadis itu. Nampan berisi dua mangkuk soto dan dua gelas es teh manis diletakkannya di atas meja.

“Nih!” Satu mangkuk soto dan satu gelas es teh manis disodorkannya ke arah Bulan dan sisanya adalah miliknya.

“Thanks!” ucap Bulan yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Renata. “Eng-enggak liatin apa-apa kok,” lanjutnya menjawab pertanyaan Renata yang tadi.

Renata duduk di bangkunya. Satu alisnya terangkat ke atas menatap Bulan tak percaya. Lalu, tatapannya jatuh pada tangan kanan Bulan yang kini bertengger di dada kirinya. “Terus, tangan kanan lo ngapain tuh, pegang-pegang dada kiri lo?” tanya Tata mengintrogasi.

Bulan menghiraukannya. Cewek itu menggigit bibir bawahnya dengan sesekali mencuri pandang ke arah Bintang. Awalnya, Renata bingung dengan gerak-gerik gadis itu. Hingga ketika ia mengikuti arah pandang Bulan, barulah ia manggut-manggut mengerti. Tak lupa senyuman jahil merekah di bibir.

“Suka lo sama si Bintang?”

“Hah?”

Bulan yang mendengar itu langsung mengalihkan pandangannya  arah Renata. Ia menatap bingung cewek itu. “Enggak, kata siapa!” jawabnya kemudian.

“Terus, kenapa diliatin kayak gitu?” tanyanya lagi dan berhasil membuat Bulan bungkam untuk beberapa saat. Bulan menundukkan kepalanya malu.

Renata tersenyum simpul melihatnya. Lalu atensinya beralih pada soto yang mulai dingin. Lantas, Renata menyendok soto itu lalu memasukkannya ke dalam mulut. Mengunyahnya cepat lalu tatapannya kembali jatuh pada Bulan yang masih menunduk.

“Lo mau tau tentang Bintang?!” tawar Tata yang terdengar seperti sebuah pertanyaan.

Senyum di bibir Renata merekah karena setelah itu Bulan mengangkat wajahnya cepat. Sebelum memulai ucapannya yang mungkin akan sepanjang jalan kenangan itu, Renata terlebih dahulu meraih gelas es teh manisnya dan menyeruputnya. Ah, segar!

“Bintang—dia itu sebenarnya anak baik-baik. Gue kenal banget dia gimana orangnya. Ya, karena dulu waktu SMP kita juga sekelas, sih. Setahu gue, Bintang tuh orangnya ganteng, baik, sopan, terus pinter lagi. Lo tau gak, dia itu kebanggaan guru-guru dulu loh. Tapi—” Raut wajah Renata yang tadinya ceria saat bercerita tentang Bintang berubah muram. Hal itu tentu membuat Bulan mengerut kening dalam.

“... Tapi, semenjak masuk SMA dan kenal Mentari hidupnya berubah total. Ia berubah jadi murid bandel dan pembangkang. Prestasinya pun menurun,” ujar Renata melanjutkan ceritanya.

“Kok, gitu?” tanya Bulan dengan kedua alis saling menukik.

Renata tak menjawab. Cewek itu hanya diam dengan senyum merekah di bibir. Lalu, hening. Tak ada lagi percakapan yang terjadi di antara keduanya. Baik Bulan maupun Renata sama-sama diam.

Hingga sebuah celetukan dari samping, membuat kedua gadis itu menoleh.

“Hai, Bintang!” sapa seorang murid dengan rambut berwarna cokelat muda dan rok yang berada di atas lutut datang menghampiri Bintang dan bergelayut manja di lengan kekar cowok itu.

“Halo, beib! Kabar baik, nih!”

Bukan Bintang yang menjawab, tapi sosok manusia tengil yang duduk di hadapan Bintang. Surya. Dari sini dapat kalian simpulkan bahwa Surya itu terobsesi berat sama cewek yang namanya Mentari.

Mentari memandang jijik cowok itu. “Ih, apaan sih lo, Sur?”

“Gue kan suka sama lo, Tar?” Surya mengendikkan matanya berniat menggoda cewek itu.

Rasanya Mentari ingin muntah saat itu juga. Mungkin, jika Bintang yang mengatakan hal itu, ia akan merasa senang dan meloncat kegirangan. Gak pake mikir lamgsung nyahut, “Gue juga suka kok sama lo.”

“Dih, centil banget sih tuh cewek! Surya juga mata keranjang banget, sih!” Renata mendecak kesal melihat itu.

“Kenapa lo?” tanya Bulan saat melihat perubahan wajah Renata yang tiba-tiba berubah jadi kesal.

Tak ada jawaban dari cewek itu membuat spekulasi dalam benak Bulan mengatakan benar.

“Lo suka sama Surya?” tebak Bulan yang berhasil membuat gadis itu menoleh, lalu mengangguk lemas.

“Udah, elah! Gak usah cemburu gitu!” Bulan terkikik geli melihat ekspresi Renata. Lalu tatapan Bulan teralih pada ketiga orang yang ada di samping kanannya.

“Ta, cewek itu siapa?” tanya Bulan lagi. ‘Itu’ yang Bulan maksud adalah Mentari.

“Cewek matre,” jawab Renata singkat, padat, dan jelas. Cewek itu masih kesal dengan Surya. Bisa-bisanya, cowok itu berani menggombal Mentari—cewek yang paling dibencinya—di depan matanya sendiri. Perasaannya berasa kagak dihargai tau nggak!

“Hah?” Bulan menatapnya cengoh, membuat Renata memutar bola mata malas.

“Namanya Mentari. Cewek matre plus licik di sekolahan. Kerjanya cuma morotin duit cowok doang. Lo tau, korbannya udah banyak. Salah satunya Bintang," jelas Renata dengan ekspresi setengah juteknya. Ia paling malas membahas cewek itu, tapi mau bagaimana lagi kali ini ia harus bercerita. Huh, menjengkelkan!

Sedangkan Bulan hanya manggut-manggut tanda mengerti. Cewek itu tidak banyak tanya lagi melihat raut tidak senang di wajah Renata. Tatapannya lalu beralih ke samping kembali. Lebih tepatnya ke arah Bintang. Entah kenapa ada rasa cemburu yang terbesit di hati Bulan melihat Bintang dekat sama cewek lain.

Cowok itu hanya diam ketika Mentari bergelayut manja di lengannya. Ia tidak melakukan pengelakan. Namun, tak bisa dipungkiri juga kalau wajahnya menunjukkan raut tak suka. Mungkin, ia merasa risih dengan kehadiran sang mantan di sampingnya.

“Bintang!” panggil Mentari, namun dihiraukan oleh cowok itu.

“BINTANGGG!!!” Panggilan cewek itu berubah menjadi sebuah pekikan yang berhasil membuat Bintang tersadar dari lamunannya.

Bintang menatap kesal cewek itu. “APA SIH?!” bentaknya murka.

“Lo dengar gak sih, gue panggil?” Mentari bertanya balik. Tak kalah kesal.

“CUKUP!!!” Bintang menyentak tangan cewek itu bersamaan dengan dirinya bangkit dari duduknya. Ia sudah muak. Muak dengan semuanya. Termasuk kenyataan bahwa Mentari mendekatinya hanya karena ingin memoroti hartanya. Sialan!

Dengan dada bergerumuh hebat dan wajah memerah padam, ia menatap Mentari penuh permusuhan. “LO MENTARI ... GUE PERINGATIN SEKALI LAGI SAMA LO, JANGAN PERNAH DEKET-DEKETIN GUE LAGI, PAHAM?!” teriaknya membentak cewek itu.

Emosi yang sedari ditahan-tahannya menyembur keluar begitu saja.

Ia menunjuk-nunjuk wajah Mentari lalu berkata, “lo itu gak lebih dari sampah tau enggak!” Berdecih, lalu melenggang pergi dari kantin.

Mentari yang masih duduk di bangku itu menunduk dengan wajah merah padam. Malu? Tentu saja. Bintang benar-benar sudah keterlaluan. Cowok sialan itu sudah mempermalukan dirinya di depan umum dengan cara seperti ini. Sial!

Diam-diam, kedua tangannya mengepal di bawah sana.

“BINTANG, LO MAU KEMANA?” teriak Surya namun dihiraukan oleh cowok itu.

Diam-diam, Bulan ikut bangkit dari duduknya dan mengikuti kemana arah cowok itu pergi.

***

Langkah Bintang berhenti di taman sekolah. Cowok itu sempat terdiam di tempatnya beberapa saat sebelum ia memutuskan untuk duduk di salah satu bangku taman.

“Sialan! Argghhhh!!!” Cowok itu mengacak rambutnya frustasi. Tampak, bara merah masih menyala di kedua bola matanya. Amarah masih menguasai dirinya sekarang.

Samar-samar, Bintang mendengar suara langkah seseorang dari arah belakang yang semakin mendekat ke arahnya. Hingga, ia merasakan bangku di sampingnya seperti diduduki oleh seseorang.

Tanpa menoleh pun, Bintang sudah tahu siapa orang itu.

“Siapa yang suruh lo duduk?” tanya Bintang kelewat sewot.

Cewek itu menoleh dan menatapnya bingung. “Emangnya, gue harus ijin dulu ya baru boleh duduk?” tanya Bulan balik.

Bintang langsung menolehkan wajahnya ke samping. Mendapati wajah bingung yang terlihat lucu di penglihatannya, membuat Bintang tertawa renyah.

“Kok ketawa?” tanya Bulan heran.

“Lucu,” jawab Bintang singkat dengan mata sipitnya efek ketawa.

“Apanya yang lucu?” tanya Bulan lagi.

Bintang menghentikan tawanya. Ia kembali bungkam. Tak tau harus menjawab apa.

Lalu, hening.

Benar-benar hening. Keduanya sibuk dengan dunianya sendiri. Bulan memutar otaknya bagaimana cara agar percakapan ini terus berlanjut dan Bintang dengan pandangan kosongnya ke depan.

“Oh ya, lo ngapain di sini sendirian?” tanya Bulan mengalihkan ke arah pembicaraan, mencoba mencari topik pembicaraan lain.

“Lo sendiri ... ngapain ngikutin gue?” Bintang bertanya balik. Ia menolehkan wajahnya ke samping.

Bulan mengangkat kedua bahunya ke atas dan menjawab polos. “Gak tau.”

“Kok gitu?” Kerutan di dahi Bintang menyembul.

“Ya, gue juga gak tau. Tiba-tiba aja gue kayak ditarik ke sini,” ujar Bulan mencoba jujur. Ya, kenyataannya memang seperti itu. Bulan seperti logam yang ditarik oleh Bintang yang berperan sebagai magnet ke sini.

“Btw, lo yang kuat ya, ngadepin cewek kayak dia.” Bulan tersenyum dan beralih mengelus-elus pundak cowok itu dengan lembut.

“Lo tau masalah gue?”

Bulan mengangguk. “Gue tau dari Tata,” jawabnya.

“Oh.”

Diam-diam, Bintang mengulum senyum. Lagi lagi, ia mendapatkan kenyamanan berada di dekat gadis ini. Tak dapat lagi membendung perasaannya itu, ia langsung memeluknya dari samping.

Tentu hal itu membuat Bulan berjengit kaget. Jantungnya kembali berdetak tak menentu. Ya Tuhan, kenapa hal ini harus Bulan rasakan setiap kali berada di dekat Bintang? Apakah tugas cowok itu memang untuk membuat jantungnya berdegup tak normal?

Tanpa mereka sadari, mereka sudah menjadi pusat perhatian teman-temannya.

“Ahhh, cieeeee...,” ledek teman-temannya serempak.

Bulan dan Bintang tersentak. Dua orang itu baru menyadari kalau mereka sudah menjadi tontonan gratis sekarang. Sejak kapan suasana kantin menjadi ramai?

Dengan senyum malu-malu, mereka mengurai pelukannya.

“Bang, enak ya, pelukannya?” ledek seseorang yang suaranya cukup familiar di telinga Bintang. Siapa lagi kalau bukan si Surya Dermawan?

“Cieee.... Bulan, my best friend gue yang statusnya murid baru udah dapat boyfriend aja. Um, so sweet banget sih! Jadi iri deh, gue!" Renata tak tinggal diam. Cewek itu ikut menimpali meledek keduanya. Lebih tepatnya, ia baper.

Hingga tanpa ia sadari, kini kepalanya sudah menyender di pundak Surya. Teman-temannya yang sedang meledek Bulan dan Bintang, kini beralih pada Tata dan Surya.

“Cieee... ada yang baru lagi nih, guys!” celetuk seorang murid cewek yang kebetulan melihat Tata dan Surya. Lalu, semua pasang mata melirik ke arah keduanya.

Sorakan cieee yang keras kembali terdengar. Surya yang baru menyadari akan hal itu, dengan cepat menyingkirkan kepala cewek itu dari pundaknya dengan tampang jijik.

“Apaan sih lo, Ta? Nyari kesempatan dalam kesempitan aja! Modus tau gak!”  Cowok itu bergidik ngeri.

Renata yang sedikit terjungkal ke samping gara-gara dorongan Surya memberenggut kesal. Ia menatap nyalang cowok itu.

“Gak usah malu-malu kucing, deh. Di mulut sih bilangnya nggak, tapi di hati bilangnya iya. Anjay, malu-malu kucing!” Bintang tertawa meledek yang langsung diikuti oleh teman-temannya.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!