NovelToon NovelToon

Unforgettable Mistake

UM (1)

"Aku suka melihat pantai saat sore-sore seperti ini." Merentangkan tangannya lalu menghirup udara pantai dalam-dalam.

"Masa??"

"Apa lagi kalau lihatnya sama kamu, Berlianku." Ucap Farrel dengan menampilkan senyum manisnya sembari menatap Berlian yang duduk dikumpulan pasir pantai beralaskan jaket miliknya.

"Duh sejak kapan kamu jadi berlebihan. sini duduk dan nikmati saja pemandangannya." Menepuk sisa jaket yang masih luas, kalau untuk duduk berdua masih cukup, pikirnya.

Farrel mengerucutkan bibirnya. "Aku bicara jujur. Aku janji, saat kita sudah menikah dan bulan madu, kita akan pergi ke sini lagi." Kemudian dia tertawa mendengar ucapannya sendiri.

"Farrel.. Farrel.. Meminta izin kepada keluargaku untuk menikahiku saja kamu ragu, ini malah membicarakan soal bulan madu." Menepis ucapan kekasihnya.

"Sayang, aku ini butuh memperkaya diri buat nikahin kamu, aku masih malu dengan kehidupanku yang berbeda jauh denganmu,." Ucap Farrel percaya diri dan berjalan mendekati wanita yang sedang memandangnya dalam, dia duduk di sebelahnya dan mendaratkan kepalanya di pundak wanita itu.

"Memangnya aku ini siapa? Aku dan keluarga bahkan tidak pernah mempermasalahkan hal itu." Tutur Berlian sambil memainkan bulir pasir, dia selalu kesal setiap membicarakan perihal ini dengan Farrel.

"Aku Sayang kamu.. "

"Berlian." perempuan itu tersentak dan tersadar dari lamunannya, ia melihat ke arah suara panggilan. "Lagi ngapain lo di sini?? senang ya berjemur? gue susah-susah ngerawat kulit gue biar putih, lo malah asik menyapa matahari."

"Ada masalah!!" Charlotte, biasa di panggil Chacha, dia adalah adik Berlian yang selalu tidak terima tentang perbedaan warna kulit mereka. Berlian lebih putih darinya malah lebih sering berpanas-panasan. Sedangkan Charlotte harus selalu merawat kulitnya agar tetap terlihat terawat meskipun susah untuk putih.

Chacha hanya mencibir. "Kalau pergi itu biasakan bawa ponsel, jadi gue gak perlu cari lo ke sana kemari, Ayo pulang, pakde nyariin." Chacha menghampiri kakaknya yang sedang duduk di pasir beralaskan kain. "Jangan karena jomblo lo jadi males pegang ponsel, kasihan banget." Ucapnya sembari tertawa meledek.

"Iya iya, mentang-mentang punya pacar baru." Ejek Berlian kepada adiknya yang baru memiliki pacar baru setelah putus dari Andic yang dia pacari dua minggu lalu.

"Makanya cari pacar dong. Masa lo kalah sama gue." Celetuk pedas dari mulut adiknya yang membuatnya tertawa lepas. "Cih.. ketawak lagi, bukannya mikir."

"Memangnya gue itu lo?? baru dua minggu pacaran, putus sehari, eh sudah dapet lagi." Berlian berdiri membersihkan celana dan bajunya yang terkena hamparan pasir.

"Kan lo sendiri tau, gue itu enggak bisa sendiri."

"Gue sama Mami, lo kemanain sayang?" Berjalan menjauh dari bibir pantai.

"Bukan seperti itu maksud gue, ihh tungguin..." Chacha berusaha membela diri dan mengejar kakaknya yang berjalan semakin jauh.

...***...

"Eh sudah pulang." Berlian terkejut melihat wajah sumringah dari Pakde yang menyambutnya dengan rangkulan, menuntunnya menuju ruang tamu. Terlihat tiga orang mengisi ruang tamu, sepertinya tengah ada tamu penting hingga pakdenya membawa Berlian ikut turut serta.

Dua orang pria dan satu orang wanita, mereka sebuah keluarga atau entahlah, Berlian juga tidak mengenal mereka.

"Kenapa pakde?" Sepasang suami istri tersenyum hangat menatapnya. Wanita yang terlihat seumuran dengan Mamanya itu mendekati Berlian dan langsung meraih tangannya.

"Hallo, saya Udayana Kabinawa." Senyum semangat yang tergambar dari wajah cantik wanita ini. Berlian menatap pakdenya sebentar dengan wajah bingung.

Lalu kembali menatap wanita yang menggenggam tangannya erat. "Hallo tante..."

"Panggil Yana saja sayang." Sambung wanita ini mengetahui bahwa Berlian tampak bingung harus memanggilnya dengan sebutan apa.

"Hallo tante Yana, saya Berlian..." Wanita ini diam dan menatapnya lama. "Berlian Wijaya Valfredo, panggil saja Berlian atau terserah Tante nyamannya bagimana." Wanita ini mengangguk mengerti, dia sangat tampak bersemangat.

Timo, merangkul Berlian lembut. "Ini om Abraham Mahesvara, teman bisnis pakde." Berlian mengalihkan pandangan pada pria yang di sebutkan pakdenya, seorang pria tinggi yang memiliki wajah tegas.

Berlian mendekati dan menyalami pria tersebut.

"Hallo om, saya Berlian." Berlian tersenyum manis. Ia sempat di buat bingung. Tidak biasanya Pakde-nya mengenalkan rekan bisnisnya kepada dirinya, kenapa Berlian merasa curiga di sini. Terlebih dengan wanita bernama Udayana ini, sejak tadi senyumnya aneh sekali menatap dirinya.

"Kenapa pakde?" Tanya Berlian pada Pakde-nya.

Timo tampak tertangkap basah sedang tersenyum aneh menatapnya juga. "Hah? tidak ada. Hanya ingin mengenalkanmu pada rekan bisnis Pakde, itu saja."

Timo kembali meminta Udayana dan Abraham untuk kembali duduk, beserta Berlian juga yang tiba-tiba di minta untuk bergabung. Saat hendak duduk matanya menangkap sosok pria yang duduk tertutup oleh Abraham. Merasa Berlian sedang melihat ke arah seseorang di belakangnya, Abraham menggeser dirinya. "Ini anak kami, Aryan Tara Mahesvara."

...☘️☘️...

Hallo semua,

Maap ya kalau berantakan, ini adalah karya pertamaku. Awalnya coba-coba sih, kali aja oke kan 😁. Hehe......

Jangan lupa kasih jempolnya ya kalo kalian suka sama cerita aku.

 

UM (2)

"Ini anak kami, Aryan Tara Mahesvara." Pria itu memperlihatkan wajahnya dan tersenyum tipis menatap Berlian.

Berlian yang melihat itu membisu, hampir saja dia terhipnotis oleh senyuman manis laki-laki itu. Berlian hanya menyapa dengan melambaikan tangannya kecil dan tersenyum kaku karena laki-laki itu hanya membalas sapaannya dengan mengangguk kecil.

"Ayo duduk Nyonya Abraham, kenapa masih berdiri disitu." Berlian yang di arahkan Pakdenya untuk ikut dudukpun menurut.

"Berlian cantik ya?" Berlian yang masih mencari posisi terbaiknya untuk duduk langsung terkejut dan menegapkan tubuhnya menatap Udayana.

"Terima kasih tante." Sedikit menundukkan kepala lalu duduk kembali.

"Ini siapa?" Chacha langsung menghampiri Udayana dan menyalami wanita itu setelah menyerahkan nampan berisi minuman kepada Berlian.

Berlian meraihnya dan menaruh minuman di atas meja, di hadapan tamu serta pakdenya, dia melirik Aryan sekilas karena pria itu terus menatapnya.

"Hallo tante, saya Charlotte Wijaya Valfredo biasa di panggil Chacha." Mengayunkan tangan Udayana.

Sejak kapan ni anak jadi sok manis gitu. Menatap Chacha dengan tatapan sedikit sebal.

"Adik Berlian?" Di jawab dengan anggukan oleh Chacha.

"Cantik-cantik ya, seperti Basagita."

"Haha.. Benar, Papa mereka ini asli Jerman. Makanya wajah mereka blasteran gitu." Ucap Timo

"Wah.. Pantas saja." Sekali lagi, menatap Berlian dan Chacha bergantian dengan wajah penuh kekaguman. Berlian tampak risih.

Setelah hampir satu jam mereka ngobrol, Berlian hanya tersenyum dan mengangguk kalau salah satu di antara mereka menatapnya. Sesekali ia menguap karna merasa bosan, bersandar dan menopang kepalanya dengan tangan.

Chacha melihat Berlian yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hampir kehilangan kesadaran karena rasa kantuknya. Chacha tersenyum jahil, dia mendapat sebuah ide, menjitak dahi mulus Berlian, Sontak Berlian terlonjak kaget dan melotot menatap Chacha, sedangkan yang di pelototi malah cekikikan tidak merasa bersalah.

Namun Chacha terdiam ketika Timo menatapnya dengan sebuah peringatan untuk diam.

Aryan yang duduk di sebrang tersenyum tipis melihat tingkah kakak-beradik itu, terdiam dan pura-pura tidak melihat ketika Berlian melototinya.

"Chacha sudah kelas berapa?"

"Dua SMA om." Chacha sedikit terkejut tiba-tiba Abraham bertanya. Setelah asik mengobrol akhirnya mereka sadar kalau ada dua perempuan yang hampir tertidur karena mereka disini.

"Kalau Berlian kesibukannya apa?" Beralih bertanya kepada Berlian.

"Berlian buka usaha book cafe om." Jawab Berlian cepat. Berlian mendapatkan sebuah firasat buruk, tentang sesi tanya jawab yang akan ditujukan hanya kepadanya.

"Book cafe?" Tanya wanita cantik itu penasaran.

"Iya tante. Sebenernya sih lebih kayak perpustakaan gitu, menyediakan semacam cemilan dan minuman. Tapi ternyata peminat lebih suka nongkrongnya dari pada membaca, maka dari itu Berlian ubah jadi Cafe yang di penuhi sama buku-buku." Udayana manggut antusias mendengar penjelasan Berlian.

"Buku apa saja???" Tanya lagi.

"Kayak Novel, komik, majalah juga ada. Yang mau pinjem juga bisa kok tante." Berlian menjelaskan usahanya dengan waktu pelan.

"Wahh, kreatif kamu ya Berlian." Puji Abraham membuat Berlian tersenyum kaku. "Kamu gak kuliah?" Berlian melirik Timo, Pakdenya itu malah pura-pura tidak melihat. Dia selalu benci saat di tanya pasal kelanjutan tentang pendidikannya.

"Engga Tante, dulu Berlian pernah kursus penerbangan jurusan Pramugari." Udayana menganga kaget.

"Terus?"

"Sebenernya tidak ada masalah sih tante, cuma setelah lulus ternyata Berlian di tugasin di bandara jauh, Berlian lupa di mana. Mami gak ngizinin dan kalau soal kuliah memang Berlian sama sekali tidak berminat." Intonasi yang merendah terdengar seperti sebuah kekecewaan dalam dirinya.

"Makanya kamu buka Book cafe ini?" Tanya Udayana. Aryan, pria itu hanya menjadi pendengar dalam obrolan ini, matanya hanya tertuju pada wajah Berlian yang selalu berubah di setiap dia menjawab pertanyaan.

"Sebenernya itu cita-cita Alm.Papi om-tante, jadi Berlian coba kembangin." Jawab Berlian.

"Papa Berlian sudah meninggal? Kapan?"

"iya, sudah lama. Sewaktu bertugas." Timo menimpali, Berlian sedikit sensitif jika menceritakan sesuatu yang berhubungan dengan Papanya.

"Om turut berduka cita ya Berlian"

"It's Ok om, itu udah lama kok." Jawab Berlian santai. Tampak Abraham tersenyum tulus.

Abraham bergerak meraih gelas kopinya dan menatap Berlian lama, "kamu memiliki kekasih?"

Chacha menatap Berlian, ekspresi kakaknya berubah seketika saat di tanyakan tentang hal itu, dia tahu Berlian sedang kebingungan akan menjawab apa. Pilihan terakhir dia jawab dengan sebuah senyuman tipis.

"Jomblo itu bukan sesuatu yang memalukan kok, yakan Aryan?" Menyikut lengan anaknya.

Aryan menoleh ke arah sang papa, lalu matanya bertemu dengan mata Berlian. "Iyaa."

"Berlian bukan jomblo kok om, dia ini single." Chacha menyela pembicaraan.

Timo menusuk pipi Chacha, "apa bedanya?"

"Beda dong, Single itu pilihan kalau jomblo itu nasib,"

Abraham menahan tawanya. "Memangnya pilihan apa yang Berlian ambil?"

"Pria dewasa mana paham, hanya perempuan yang mengerti tentang ini." Jawabnya sembari bersidekap.

Udayana tampak terpancing disana. "Dan tante tidak paham di sini."

"Tante itu kan wanita dewasa, bukan perempuan muda. Ya mana paham juga."

Timo yang merasa kesal dengan tingkah keponakannya langsung menepuk kepala Chacha pelan, "Diam, ada-ada saja bicaramu."

"Tidak apa-apa mas. Oh iya. Bagaimana kalau kita langsung saja mas?" Abraham menatap Timo dengan senyum penuh makna.

"Boleh. Saya panggil Gita dulu ya?" Setelah pergi ke belakang Timo kembali dengan Basagita di belakangnya.

Basagita memilih duduk di dekat Berlian dan menggenggam tangannya. Karena Chacha sudah menghilang pergi entah kemana, mungkin merasa obrolan orang dewasa itu membosankan.

"Lanjut Abraham." Perintah Timo.

Abraham tersenyum ke arah Basagita. "Begini Gita." Basagita menepuk dadanya pelan, perasaannya berubah tidak enak. "Selain alasan datangnya kami ke sini untuk bersilaturahmi, sebenarnya kami ingin mengikat tali persaudaraan ini menjadi lebih erat"

"Iya.."

Abraham memposisikan duduknya dengan benar. "Maka dari itu kami ingin meminta izin untuk menjodohkan Berlian dengan anak sematawayang kami, Aryan." Pria itu tersenyum merekah menatapnya.

Basagita sedikit terkejut. Menoleh manatap ke arah Berlian, ia merasakan getaran dari tangan Berlian yang ia genggam sedari tadi. Tidak ada perubahan di wajah Berlian tapi Basagita tahu anaknya pasti terkejut.

"Duh gimana ya mas, mba. Saya terserah Berlian saja. Toh Dia sudah besar dan bisa memilih, aku dan Andro tidak pernah memaksa hak anak-anak kami." Basagita tersenyum ke arah putrinya, putrinya itu hanya mengangkat bahunya sebagai pertanda tidak tahu. Tidak pernah terlintas dalam pikiran Berlian untuk mengenal laki-laki selain Farrel, Berlian masih terpukul kehilangan kekasihnya itu, lalu kenapa Berlian harus di kasih ujian dengan mendatangkan laki-laki baru untuknya.

"Berlian?" Tanya Timo.

"Kenapa Berlian?" Udayana dan Abraham malah saling pandang. Sedangkan laki-laki yang bersangkutan juga sepertinya tidak tertarik, dia diam saja sedari tadi. "Kenapa harus Berlian?"

Tidak ada yang menjawab pertanyannya dari pihak keluarga calon maupun pakdenya, Berlian berdiri dari duduk dan pergi meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya setelah mengatakan. "Maaf, Berlian permisi."

Kenapa? Kenapa perjodohan? Berlian sangat anti dengan perjodohan. Berlian tidak suka ini. Dia lebih memilih tidur saja untuk hari ini, sebuah perjodohan sangat tidak masuk ke dalam otaknya.

"Maafkan Berlian ya mas, mba." Basagita tersenyum dengan penuh penyesalan atas sikap kurang sopan putrinya.

"Haha.. Engga apa-apa, maklumi saja. Malahan saya sempat tercengang melihat sikap Berlian yang tampak santai dan tidak kaget. Karena biasanya anak jaman sekarang tidak suka di jodohkan dan lebih cenderung memberontak." Ucap Udayana masih dengan mata menatap ke lantai atas, tepat di mana Berlian menghilang dari pandangannya. "Saya cukup tertarik."

Basagita tersenyum tipis. "Berlian sudah tidak kaget lagi mba, Soalnya Pakdenya sudah beberapa kali jodohin dia." Jelasnya.

"Hhaha, iya juga ya?" Timo mengelus dagunya. "Habis, setiap liburan ke sini mukanya di tekuk terus kata anak sekarang sih sebutannya galau. Ck namanya juga jomblo eh single. Kan saya jadi kasihan, makanya saya berniat baik untuk mengenalkan keponakan saya dengan beberapa laki-laki yang kemungkinan cocok." Basagita tersenyum mendengar ucapan Timo. Memang setelah kepergian suaminya, Basagita sedikit membiarkan Timo untuk mencampuri urusan keluarganya.

...***...

"Woy Bee." Berlian terbangun dari tidur akibat teriakan menusuk kupingnya.

"Turunin gak kaki lo dari punggung gue sekarang, dasar gak tau sopan!" Chacha menurunkan kakinya dan duduk di sebelah Berlian yang masih tidur dengan bertelungkup.

"Mandi nyet, mentang-mentang sudah laku, lo jadi males mandi." Ejek Chacha.

"Berisik banget." Chacha tertawa mendengar kakaknya yang mengumpat.

"Mandi sana, terus turun, lalu kita makan malam bersama." Ajaknya lagi, seingatnya dia belum ada melihat Berlian makan sejak siang.

"Hemm..."

Chacha pun beranjak dari kasur. "Sepuluh menit lo gak turun, cumi panggang akan habis." Berlian langsung beranjak dari kasur dan berlari ke kamar mandi. Chacha tertawa melihat tingkah kakaknya sembari keluar dari dalam kamar.

Setelah selesai menyegarkan badannya, tiba-tiba Berlian merasa cacing di dalam perutnya merongrong kelaparan.

"Laper, Tapi mager."

Mengingat bahwa Pakdenya ini tidak suka ada yang makan selain di meja makan dia mengurungkan niat untuk meminta adiknya mengambilkan makanan. Apalagi mengingat cumi panggang adalah makanan kesukaannya. "Ahhhh.... pergi kamu kemageran." Berlian mengibas tangannya di udara seperti sedang mengusir kemageran yang melandanya. Dengan penuh pertimbangan, Berlian akhirnya turun dengan malas.

"Selamat malam Berlian."

^^^Bersambung🍀🍀^^^

UM (3)

Berlian menatap takjub kepada seorang wanita cantik dan terlihat sangat awet muda yang berdiri anggun di hadapannya. "Kok,,,, kok tante disini? Belum pulang?"

Udayana menggeleng pelan, mereka berdiri di tengah-tengah anak tangga dan saling pandang. "Untuk beberapa hari kedepan kami akan menginap di sini, kenapa? Apa kamu keberatan?"

Astaga, cobaan apalagi ini Tuhan. Berlian sangat merasa tertekan saat ini.

Seharusnya dia bisa tenang karena tadi sudah mencoba menghindar dengan baik, pakde atau mamanya juga tidak mengatakan apa-apa, makanya dia santai saja sejak tadi. Tapi ini,,,,,,,

Ya ampun, iya saya keberatan Tante. Pulang sana. Lontaran kata yang ingin dia ucapkan saat ini.

"Ya enggak lah tante!!!" Dan berbanding terbalik dengan ucapan kenyataannya, dia menjawab pertanyaan Udayana di bumbuhi dengan tawa ringan. Takut akan menyinggung Udayana yang terlihat sangat bahagia malam ini atau memang wanita utu selalu bahagia? entahlah...

"Bagus kalau kamu tidak keberatan." Dia tersenyum lebar menatap Berlian, tiba-tiba saja wanita itu bergerak merangkul lengannya dan mengajaknya untuk bergabung di ruang makan. Berlian hanya tersenyum kaku saat dengan santai Udayana mengajaknya berbicara selama perjalanan menuju ruang makan.

Basagita menoleh, melihat Berlian dan Udayana sedang berjalan berdampingan. "Bee ayo duduk." Panggilnya saat tidak sengaja matanya bertemu pandang dengan sang putri.

Sebelum Berlian mendaratkan pantatnya di kursi sebelah Mamanya, Udayana lebih dulu menyeret Berlian untuk duduk di sebelah Aryan. Pria yang di jodohkan dengannya.

"Disini aja. Nah cocokkan mereka duduk sandingan gitu." Celetukan Udayana membuat mereka semua tertawa, namun tidak untuk Berlian dan Aryan.

Acara makan malam tampak ramai saat suara menggelegar Udayana memenuhi ruangan, dia menjadi moderator malam ini. Bertanya dan terus bertanya.....

Kepada Berlian tentunya...

Setelah selesai membantu membersihkan meja makan, Berlian menuju kamarnya. Rasanya malas untuk berada di lantai bawah bergabung bersama bude, mamanya dan wanita yang terus berusaha menarik perhatiannya itu.

Apalagi saat dengan mudahnya dia terus mengatakan Berlian cocok dengan anaknya.

Ck.

Setelah bosan bermain game, ia beralih menatap Alicia yang sedang menggunakan masker pada wajahnya. "Mba" Panggilnya pelan.

"Hmm." Tanpa menoleh, dia harus fokus mengoles.

"Kenapa sih Berlian harus di jodohin, Berlian itu bukannya tidak laku. Tapi memang belum dapet aja. Berlian itu masih muda. Dan lagi,,,, perjodohan? memangnya ini jaman kapan?" Berlian tampak melampiaskan protesnya kepada Alicia anak dari pakdenya itu, karena dia tidak berani menghadapi Timo lebih baik dia keluarkan saja unek-uneknya kepada anaknya.

"Ya mba gak tau Bee." Masih sibuk mengoles.

"Kalau cuma mempererat hubungan, kenapa pakai perjodohan. Terus, kenapa harus Berlian? kan di keluarga Wijaya anak perempuan yang masih lajang banyak." Berlian benar-benar di buat sangat kesal dengan perjodohan ini. "Selama ini Berlian diam saja loh sewaktu pakde jodoh-jodohin Berlian, tapi kali ini kok rasanya kesal sekali."

"Mereka maunya kamu gimana." Jawab Alicia. "Nurut saja."

"Apa enaknya nurut. Ya mba kan ada?" Ucap Berlian.

"Huss, Mba kan sudah tunangan " Berlian terdiam menatap Alicia yang menunjukkan jari yang terselip sebuah cincin dengan balutan mutiara di sekelilingnya, dia baru ingat kalau Alicia sudah bertunangan dua bulan lalu. "Kalo kata mba, mau saja sih. Toh keluarga Mahesvara itu baik, kamu tidak akan menderita kayak di film-film." Alicia tertawa keras, bahkan ia harus ulang mengoles masker di wajahnya karena sedikit retak akibat ia tertawa. "Sudah, tidak perlu di pikirin terlalu dalam Bee. Nikmatin saja, Aryan juga tidak jelek, kamu tidak akan malu bawa dia ke kondangan."

"ARGGGHH.....mba Cia nyebelin." Berlian beranjak pergi. Alicia hanya tetawa mendengarnya dan kembali memperhatikan masker diwajahnya.

********

Karena merasa terganggu dengan obrolan berisik dari Abraham dan Timo, Aryan pamit pergi. Ia menemukan tempat pas untuk mengerjakan tugas kantor yang menumpuk. Sebuah taman luas dan air mancur yang di kelilingin bunga, cukup nyaman untuk sekedar mengerjakan tugas.

Selagi berkutat dengan tugas kantor yang menumpuk, Aryan berhenti ketika mendengar suara seorang perempuan bernyanyi.

Aryan beranjak dan mencari sumber suara. Menemukan seorang perempuan di sebuah ayunan kayu. Sebenarnya, jarak mereka dekat hanya terhalang air mancur saja.

Play Now (Tentang Rindu - Virzha, Cover Chintya Gabriella)

'Ku hanya diam

Menggenggam menahan

Segala kerinduan

Memanggil namamu

disetiap malam ...

Aryan bertepuk tangan setelah melihat Berlian menyelesaikan lagu yang dia mainkan. Bagaimana tidak? Berlian sangat mahir bermain gitar, suaranya juga merdu terdengar.

"Sejak kapan lo disitu??"

"Gak lama kok, aku duduk disana." Aryan menunjuk tempat yang ia singgahi tadi.

"Ternyata lo bisa ngomong juga?" Pria itu tampak terkejut dengan pertanyaan yang Berlian lontarkan untuk dirinya.

"Ya,,, bisa lah."

"Soalnya dari tadi siang gue gak denger lo ngomong, gue kira bisu." Karena memang Aryan pria yang pendiam. Mendengar dia berbicara adalah suatu keberuntungan.

"Jadi, kamu penasaran sama suaraku?" Aryan bertanya dengan wajah datar. Ya, kalau boleh jujur, Berlian cukup penasaran dengan pria yang dijodohkan dengan dirinya. Selain senyumnya yang manis, ternyata suaranya cukup berat. membuatnya terlihat semakin Manly.

OH GOD!!!!!...

Berlian berdecih. Aryan malah tersenyum melihat itu. "Yuk duduk disana? Aku ninggalin kerjaan disitu." Berlian mengikuti Aryan yang mengajaknya duduk dibangku panjang.

Entahlah, kenapa juga dia menuruti itu.

Aryan kembali sibuk dengan kerjaannya saat mereka berdua sudah duduk bersebelahan berhadapan dengan air mancur. "Kalo sibuk kenapa kesini, Ribet?" Ucap Berlian sembari memainkan senar gitar dengan asal dipangkuannya.

"Kata Mama, kesini lebih penting." Jawab Aryan sembari mengetik serius.

"So?"

"Ya gitu deh." Berlian memalingkan wajahnya menatap pria disampingnya yang terfokus ke layar laptop. "Tapi gak apa-apa kok, jangan khawatir."

"Hah, gue lagi gak khawatir sama lo." Menatap kearah lain, "Lebih baik lo pulang aja sana, disini gak ada yang penting juga kan?" Pria itu menghentikan tugasnya dan pandangannya beralih menatap Berlian.

"Jelas banget loh ngusirnya." Berlian memang tidak suka berbasa basi.

"Sadar juga." Aryan menarik ujung bubirnya, tersenyum simpul tanpa Berlian ketahui. "Kalau boleh tau, lo kenapa sampai dijodohin, jangan bilang kalau lo gay?" Aryan tertawa mendengar ucapan wanita disampingnya ini. "Kok ketawak? Gue lagi gak ngelucu."

"Kenapa kamu bisa bilang aku gay??" Aryan bertanya dengan nada sedikit merendah berusaha menahan tawa apalagi ditambah Berlian yang tanpa ekspresi membuatnya semakin ingin tertawa lenih keras.

"Yaaaa,, lo keliatan cool sama berkharisma aja, gak mungkin lo gak punya pasangan kalau bukan gay kan?" ini yang ia pikirkan sedari tadi saat mengurung diri di dalam kamar.

"Makasih atas pujiannya." Aryan tersenyum tipis.

"Gue gak lagi muji."

"Iya, tapi maaf aku bukan gay. Aku dijodohin mungkin karna aku sibuk kerja aja, jadi gak sempet cari pasangan."

Dia ngomong gak sempet cari??? kayak pasangan itu baju astaga.

"Batalin aja gih, gue gak minat soalnya." Menatap wanita itu sejenak, lalu memfokuskan pandangannya ke layar laptop lagi.

"Kamu sudah punya pacar?" Berlian terdiam, ia hanya memandangi gitarnya. Masih disebut pacarkah kalau seorang kekasih menghilang tanpa kabar dan jejak....

Sepasang suami istri saja, jika suami pergi tanpa kabar selama tiga bulan, istri bisa meminta cerai kepada suami. Lantas, bagaimana dengan Berlian yang ditinggalkan lebih dari tiga bulan atau mungkin sudah dua tahun, Berlian tidak lagi mengingatnya. "Seharusnya kamu bilang kalau kamu sudah punya pacar ke om Timo dan yang lain. Biar gak salah paham, aku akan menolak kalo kamu yang meminta."

Setelah malam itu, seharusnya Farrel dan Berlian sudah bertunangan sekarang. Merasakan menjadi sepasang kekasih yang akan membuat seluruh dunia iri.

Tapi, Farrel tidak datang, menghilang tanpa kabar. Pergi entah kemana. Tidak ada satupun orang tahu keberadaanya.

"Berlian? Are you oke?" Berlian tersadar dari ingatan pedihnya saat Aryan mengguncang bahunya pelan. "Kamu kenapa?"

Berlian tampak kebingunhan saat berdiri dari duduknya. "Gue masuk duluan, ngantuk." Melambaikan tangan kearah Aryan dan berlalu pergi.

...☘️☘️...

Jangan lupa vote dan like ya Cium online. muahh~~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!