NovelToon NovelToon

Menikahi Duda Tampan

BAB 1

Pengenalan Tokoh

Alysa Suwandari

Alysa merupakan gadis Desa yang kini bekerja di perusahaan Hardware Group sebagai cleaning service. Ia mengadu nasib di sana dan harus jauh dengan orang tuanya. Ia harus kerja banting tulang untuk menyekolahkan adik kembarnya. Usianya 20 tahun, berperawakkan tidak terlalu tinggi, cantik, lugu dengan bola mata yang indah dan bibir yang tipis. Keadaan mengharuskannya untuk selalu tersenyum di situasi apapun.

Anggara Pradifta

Anggara Pradifta adalah Pengusaha muda dan pemilik perusahaan Hardware Group terbesar di kotanya. Ia merupakan seorang duda muda yang berusia 32 tahun, dan mempunyai anak yang bernama Edward Putra Pradifta yang usianya kini menginjak 4 tahun. Wajahnya yang tampan, berwibawa dan kekayaannya yang bergelimang membuat wanita mana pun ingin menjadi kekasihnya. Istrinya sudah meninggal setelah melahirkan anak pertama mereka. Angga memutuskan untuk tidak menikah lagi dan fokus mengurusi anak semata wayangnya itu.

***

Pagi itu Matahari mulai terbit dari upuk timur, memancarkan sinarnya yang tembus pandang pada sebuah kontrakan kecil, membuat seorang gadis itu terbangun. Gadis itu terbangun dari tidurnya, menggeliatkan tangannya dan beranjak pergi membuka tirai jendela dengan lebar. Ia mulai membuka jendela itu dan udara segar mulai menghampirinya.

"Sejuk sekali hari ini," gadis itu memejamkan matanya, menghirup udara yang kini masuk ke dalam kamarnya sembari melihat beberapa burung-burung berkicauan.

Hari ini merupakan pertama kalinya ia bekerja. Perasaan haru dan bahagia tercampur ketika harus jauh dari orang tuanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, semoga apa yang dia kerjakan hari ini akan membuahkan hasil di kemudian hari. Perekonomian keluarganya sangat memprihatinkan. Untuk makan sehari-hari saja sangat susah. Apalagi kedua adik kembarnya kini sangat membutuhkan biaya besar untuk pendidikannya.

Do'a demi do'a ia panjatkan selepas sholat agar hidupnya di beri kecukupan. Sampai akhirnya ia memberanikan diri mencari pekerjaan ke luar Kota. Hidup di Kota sangatlah tidak murah, apalagi ia tidak mempunyai pegangan uang sepeser pun.

Orang tuanya selalu berusaha agar anak gadisnya itu bisa sampai ke Kota tujuan dengan meminjam uang ke tetangganya. Ayahnya hanya bekerja serabutan, dan itu pun tidak setiap hari. Berbagai cara ia lakukan untuk kebahagiaan keluarganya.

Berdiri cukup lama dan berpikir ia bisa mempunyai semuanya, mungkin hidupnya tidak akan sesengsara ini. Hanya tersenyum dan do'a yang ia panjatkan yang membuat dirinya kuat. Terlebih orang tuanya yang selalu mensupport lebih untuk dirinya.

Alysa memejamkan matanya sejenak dan beranjak pergi untuk segera membersihkan diri. Selepas itu ia memakai pakaian dan berdandan alakadarnya. Tak lupa pula ia membawa bekal untuk makan siang nanti, ia hanya punya uang kecil saja, itu pun sisa ongkos dan kontrakan kecilnya itu. Ia tidak berkecil hati sedikit pun, dan bersyukur kepada Tuhan masih di beri kesehatan sampai saat ini.

***

Di sebuah rumah mewah, tampaknya Tuan rumah masih tertidur dengan pulasnya. Entah ia sedang bermimpi di dunia lain? Atau mungkin semalam ia tidur terlalu larut malam? Matahari mulai mencondongkan sinarnya dan membuat anak kecil yang berada di sebelah Tuan itu terbangun.

"Papa...Ayo bangun, jangan tidul telus...!" teriak anak kecil itu, menggoyangkan tangan kekar milik si Tuan.

Berusaha bangkit, walaupun ia sangat kelelahan. Namun suara teriakan anak semata wayangnya itu mengharuskannya untuk segera bangun. Si kecil menggemaskan yang selalu mewarnai hari-harinya.

"Hmm..." menggeliat, mengangkat kedua tangannya ke atas dan mendorong dengan sekuat tenaganya.

"Ayo bangun. Papa halus bekelja dan halus mengantalkan Edwald ke cekolah," teriakannya menggema di dalam ruangan itu. Wajahnya yang menggemaskan membuat Papanya tertawa.

"Iya, cium Papa dulu. Nanti kita langsung mandi."

"Enggak mau...Kalo Edwald cium Papa, nanti Edwald gak bica ke cekolah," memalingkan wajahnya sembari menyilangkan kedua tangan mungilnya.

"Apa hubungannya?"

"Ayo Papa cepat mandiin Edwald. Edwald halus cekolah," teriaknya lagi membuat Papanya harus cepat-cepat segera memandikannya.

Angga segera menggendong anaknya untuk di mandikan. Ia hanya memakai kolor biasa tanpa menggunakan pakaian apapun di badannya, dan membuat juniornya terlihat dengan jelas.

"Papa kok pake kolol sih. Kan keliatan itu," Edward menunjuk junior Angga. Edward yang suka ceplas-ceplos membuat Angga terkejut dengan celotehan anaknya itu.

"Jangan bicara terus, diam ya. Mau di mandiin apa enggak?"

"Iya Papa, Edwald diam kok."

Dua puluh menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Angga menggendong anaknya lalu segera memakaikan pakaian. Namun Edward anak yang sangat aktif membuat Angga kewalahan, karena Edward tidak bisa diam dan berlari-larian.

"Hey...! Jangan lari-lari. Ayo sini pake dulu bajunya, tuh itunya keliatan sama Papa." Angga mencoba membujuk Edward agar mau mendekatinya. Namun Edward terus berlari, membuat Angga harus bekerja extra dengan mengejarnya kembali.

"Jangan lari-larian. Papa capek nih. Sini, katanya mau sekolah, masa lari-lari terus. Ya sudah kalo enggak mau, Papa tinggalin ya, awas saja kalau nangis." Angga berpura-pura pergi menuju ambang pintu dengan mengunakan sehelai handuk yang masih terlilit di pinggangnya.

Tiba-tiba saja Edward menangis dengan kencang membuat Angga berlari dan harus menenangkannya.

"Cup, cup. Jangan nangis. Papa masih di sini. Masa anak tampan nangis sih? Kayak Papa dong, Papa enggak pernah nangis tuh." Angga mencoba menenangkannya, namun tangis Edward tidak bisa reda dengan cepat, dan itu membuat Angga akan terlambat ke kantornya.

"Ayo pake dulu bajunya. Ini udah siang, nanti Papa terlambat ke kantor," akhirnya Edward pun mengangguk, dan Angga dengan cepat segera memakaikan pakaian pada anaknya.

Andaikan Mommy masih di sini, mungkin Daddy gak akan repot kayak gini, ngurusin si kecil yang mulai aktif. Jujur saja, Daddy belum siap di tinggalkan Mommy. Semoga Mommy tenang di sana ya. Jangan pikirkan dan khawatirkan Edward, Edward baik-baik saja di sini.

BAB 2

Setelah itu, Angga segera menggendong Edward pergi dari kamar besarnya. Ia melangkahkan kakinya dengan lambat karena tubuh Edward sudah sangat berat. Jam menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh lima menit, Angga bergegas untuk segera pergi mengantarkan Edward ke sekolah TK ( Taman Kanak-kanak) tanpa sarapan terlebih dahulu.

Setelah mengantarkan Edward, Angga pun melajukan mobil sportnya menuju Perusahaan. Hari ini begitu cukup melelahkan baginya. Mengurusi si kecil yang sudah sangat lincah kesana-kemari, yang membuatnya harus benar-benar extra menjaganya. Sampai saat ini, Angga masih belum mencari sosok pengganti Ibu tiri untuk anaknya.

Padahal orang tuanya sendiri sudah menyuruhnya berkali-kali untuk menikah kembali. Namun Angga masih tetap tenang dengan kesendiriannya dan lebih fokus mengurus anak semata wayangnya itu. Mungkin rasa cinta pada wanita sudah hilang dari diri Angga.

Sudah satu jam berlalu, sampailah di Perusahaannya. Angga segera memarkirkan mobilnya dan menyuruh Security untuk membersihkannya. Ia segera masuk dan di sambut oleh beberapa karyawan dan resepsionisnya. Sikap Angga cukup dingin dan sensitif pada siapapun, setelah kepergian almarhum Istrinya itu. Karyawan sangat mengerti dengan perasaan Direkturnya.

"Pagi, Pak," ucap karyawan beridentitas wanita dengan tersenyum, lalu menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.

"Iya..." balas Angga dengan wajah datar. "Siapkan berkas-berkas yang harus saya tandatangani, dan segera simpan di meja saya," lanjutnya.

"Baik, Pak. Dan nanti dari pihak klien akan datang kesini untuk menemui Bapak mengenai proyeksi baru."

***

Alysa sudah berada di Perusahaan itu tepat pada pukul enam lewat tiga puluh menit, karena Perusahaan tempat ia bekerja di buka pada pukul tujuh pagi. Ia berjalan kaki dari kontrakan ke tempat kerjanya, karena ia harus menghemat uang yang di berikan orang tuanya di kampung.

Perasaan bahagia masih menyelimuti dirinya. Ia masih tidak percaya bisa bekerja di luar Kota dan harus jauh dari orang tua dan keluarganya. Dan ia berharap di hari pertamanya bekerja ini, ia bisa bekerja dengan maksimal tanpa ada beban apapun dan mendapatkan rekan kerja yang baik padanya. Alysa segera membersihkan satu per satu ruangan, mulai dari ruangan lobby, ruangan karyawan dan yang terakhir adalah ruangan Direktur yang paling atas dari gedung tersebut.

Namun sedari tadi, ia tidak melihat Direktur itu, ia sangat ingin bertemu dengannya dan akan mengucapkan terima kasih padanya, karena ia bisa bekerja di sini. Dan mendengar dari beberapa rekan cleaning service dan juga karyawan lain, kalau Direktur itu sangat dingin dan juga sensitif dengan siapapun, apalagi dengan bawahannya sendiri. Ya begitulah sifat Angga yang tidak ingin bergaul dengan para karyawannya.

Setelah selesai mengerjakan pekerjaannya, Alysa pun segera turun kembali dengan menaiki lift khusus karyawan. Sesampainya di bawah, ia segera kembali menuju ruangannya. Cukup melelahkan karena rekan kerja cleaning service menyuruhnya untuk membersihkan semua ruangan sendirian.

"Capek sekali. Aku mau minum air dingin, tapi tidak ada. Kalau pun aku beli, nanti uangku habis untuk biaya makan dapat dari mana, lagian aku juga baru bekerja di sini," ucap Alysa sembari menggibas-gibaskan tangannya. "Aku harus ke dapur, mudah-mudahan saja ada air dingin di sana." Alysa segera pergi menuju dapur yang hanya berjalan sekitar lima meter dari tempatnya berdiri.

"Will, nanti pukul sebelas siang tolong jemput Edward di sekolahnya. Dan bawa kesini," titah Angga dengan nada tegas.

"Baik, Pak. Saya akan segera menjemputnya," balas Willy, yang merupakan Asisten pribadi Angga. Ia bekerja kurang lebih empat tahun dengannya, setelah kepergian Istri Angga.

Pukul dua belas, semua karyawan berhenti bekerja sejenak. Mereka segera berpisah dari ruangan, ada yang makan siang dan juga menunaikan kewajibannya sebagai seorang Muslim untuk melaksanakan sholat dzuhur. Begitupun dengan Alysa, setelah melaksanakan sholat ia segera pergi menuju lobby untuk menawarkan beberapa minuman pada resepsionis, namun resepsionis tidak ada akhirnya ia pun kembali ke ruangannya. Tiba-tiba dari arah pintu masuk ada anak kecil berlarian dan menabraknya. Sontak saja ia terkejut dengan keberadaan anak kecil itu.

BRUG

Alysa merasa panik, karena ini pertama kalinya ia melihat anak kecil sendirian masuk ke Perusahaan besar tersebut. Apalagi tanpa pengawasan dari orang tuanya.

"Eh maaf ya Dek, kakak enggak sengaja," Alysa mencoba membantu anak kecil itu untuk berdiri. Anak kecil itu menatapnya, lalu tersenyum membuat Alysa tampak keheranan. Tapi ada untungnya jika anak kecil itu tidak menangis saat menabrak dirinya.

Anak siapa dia? Orang tuanya kemana?

Anak kecil itu lalu memeluknya dengan erat. Entah ada apa dengannya, sepertinya anak itu mulai menyukainya.

"Tante, Papa aku di mana? Katanya mau jemput aku pulang cekolah," tanya Edward dengan memonyongkan bibirnya dengan gemas. Ia seketika marah, namun Alysa tersenyum melihatnya.

"Gemas sekali, utututu. Muachh..." Alysa tanpa sadar langsung mencium pipi gembul Edward.

"Ihh...Tante, kok Edwald di cium sih. Nanti Papa aku malah lho...Papa aku kan galak," ucap Edward ceplas-ceplos, membuat Alysa tertawa dan menciumnya kembali.

"Kok, Papanya galak? Kalo galak berarti enggak sayang. Ayo duduk dulu, nanti Tante anterin ke Papa ya." Alysa membawa Edward ke kursi tunggu depan resepsionis dan mendudukkan di pahanya sendiri.

"Kalo boleh tau, anak tampan ini siapa namanya?" tanya Alysa, ia sangat menyukai Edward yang menggemaskan itu. Ia merasa memiliki tenaga kembali setelah bertemu dengannya.

"Nama aku Edwald, Tante. Baguskan nama aku?" ucap Edward, lagi-lagi ia memonyongkan bibirnya.

"Edwald? Namanya Edwald apa Edward?" Alysa pun tertawa.

"Edwald, Tante, Edwald," teriak Edward membuat Alysa terkejut.

Astaghfirullah. Sabar Alysa, dia masuk anak-anak.

"Iya-iya. Papanya di mana?" tanya Alysa semakin penasaran dengan orang tua dari anak kecil itu. Bagimana mungkin anak sekecil itu berjalan sendirian tanpa pengawasan orang dewasa. Alysa belum tahu jika anak kecil itu adalah anak Direkturnya. Bahkan melihat wajah Direkturnya pun ia belum pernah melihatnya sama sekali.

"Enggak tau, tapi keljanya di sini."

Tanpa Alysa sadari, ternyata ada sepasang mata yang memperhatikannya dari kejauhan. Ya, dia Angga sedang memperhatikan mereka yang sedang berbincang-bincang. Angga mulai memperhatikan wajah cantik Alysa. Terlihat senyum kecil di bibir. Baru kali ini ia melihat anaknya begitu akrab dengan orang lain, bahkan dengan dirinya sendiri saja Edward tidak seakrab begitu.

Siapa wanita itu. Kenapa dia akrab sekali dengan Edward. Saya rasa, memang dia pegawai baru di sini.

Angga mengambil ponselnya di saku celana, lalu ia menelpon seseorang.

"Anak saya ada di mana?"

"Udah saya jemput, Pak. Tadi saya antar ke depan lobby, mungkin resepsionis ada yang mau mengantarkannya ke Bapak. Tapi, Edward udah sampe ke ruangan 'Bapak kan?"

"Belum sampe!" Angga memutuskan teleponnya. Ia geram dengan Willy. Kalau saja tidak ada wanita itu di lobby, mungkin saja anaknya tidak akan ia temukan di area sana.

Angga mulai melangkahkan kakinya menuju mereka yang sedang asyik berbicara. Angga menarik tangan Edward, membuat Alysa sangat terkejut dengan kedatangannya. Alysa langsung berdiri, lalu menundukkan kepalanya. Ia baru tahu jika itu adalah Direktur Perusahaan ini. Direktur yang dingin dan bisa di bilang kejam. Alysa hanya bisa menunduk, ia tidak bisa menatap wajah tampan itu.

"Ma-maaf, Pak. Ta-tadi, saya hanya mengajaknya berbicara saja." Alysa semakin menunduk. Perasaan salah mulai menyelimuti dirinya. Ia sangat takut jika Direkturnya itu akan memarahi dirinya.

"Iya, tidak apa-apa. Terima kasih sudah menghiburnya," balas Angga dengan wajah datarnya dan segera membawa Edward pergi dari hadapan Alysa. Alysa terus menunduk sampai Direktur itu tak terlihat lagi. Perasaanya begitu was-was.

Ternyata, dia Direktur Perusahaan ini. Emang sih keliatannya dia bersikap dingin dan membatasi dengan bawahannya. Dari cara bicaranya saja sudah menakutkan kayak gitu. Tapi kalau di pikir-pikir, Bapak Direktur tampan juga. Hey Alysa jangan bermimpi terlalu jauh, dia tidak akan melihatmu. Lagi pula dia sudah memiliki seorang Istri yang jauh lebih cantik dari dirimu, dan yang tadi juga anaknya. Alysa menampar pipinya dengan keras dan segera berjalan menuju ke ruangannya.

***

BAB 3

Angga segera membawa Edward ke ruangannya. Edward selalu mengoceh ketika sedang bersama dengannya, membuat ruangan itu seperti hidup dengan kehadirannya. Ia merasa heran dengan wanita tadi yang bermain dengan anaknya, anaknya terlihat sangat menyukainya, apalagi mereka sepertinya baru bertemu.

"Papa-papa, Tante yang tadi cantik ya?" tanya Edward tiba-tiba sembari berlari-larian dengan di ikuti Angga di belakangnya.

"Hey, jangan lari-lari. Nanti jatuh...!" Angga berlari mengejar Edward yang sudah jauh darinya.

Sekilas Angga terdiam membisu sejenak dan mulai mencerna ucapan anaknya.

Edward bicara apa tadi? Tante itu cantik? Tante siapa? Apa wanita yang tadi bicara sama Edward?

Angga masih terus memikirkannya sampai-sampai ia lupa jika Edward sudah tak berada di sana. Angga tersadar kembali dan segera pergi.

"Edward... Di mana kamu, Nak? Jangan ngumpet, Papa masih banyak kerjaan...!" teriak Angga sembari berlari, mencari keberadaan Edward.

Angga mulai memasuki ruangannya,dan tampaklah Edward sedang mengambil buku-buku kesayangannya di rak. Rak itu cukup tinggi, dan membuatnya kesusahan saat mengambilnya. Angga mendekatinya, dan mengambil buku itu dan menyerahkan pada Edward.

"Nih, diam ya jangan lari-lari lagi, jangan ngoceh lagi. Tuh liat kerjaan Papa masih numpuk." Angga menunjuk berkas-berkas yang menumpuk di meja kerjanya. Edward tak menghiraukannya, dan langsung duduk di sofa yang tak jauh.

"Hah...! Anak ini selalu saja bikin saya pusing. Kalau setiap hari seperti ini, bisa-bisa saya langsung gila karenanya...!" Angga mendengus kesal sembari menjambak rambutnya sendiri.

Angga pun segera duduk di kursi kebanggaannya. Ia memejamkan matanya sejenak dan mulai membuka berkas-berkas itu. Edward terlihat serius membuka satu per satu buku cerita yang menggambarkan seekor kelinci yang di kejar oleh buaya. Wajahnya sangat menggemaskan, pipi yang gembul, serta memonyongkan bibirnya dengan lucu.

Angga memperhatikan Edward sejenak, ia tersenyum kecil, sepertinya Edward bisa diam selama beberapa menit ke depan, dan itu ia bisa membuatnya berkonsentrasi dengan cepat.

"Papa... Celitain buku ini. Edwald mau dengel...!" Edward menyuruh Papanya untuk menceritakan cerita yang ada di dalam buku tersebut.

Aduh, baru saja tenang kerja, mulai lagi mulai lagi. Ceritain apalagi coba? Sepertinya saya membutuhkan seseorang untuk menceritakannya.

"Papa ihh, celitain cepet..." teriak Edward, Angga langsung beranjak dari duduknya dan segera mendekati Edward.

"Kamu ini, baru saja Papa mau kerja. Papa gak bisa ceritain sekarang, nanti saja kalau udah pulang ke rumah," ucap Angga dengan menyilangkan kedua tangannya. "Tuh lihat kerjaan, Papa...!" lanjutnya dengan menunjuk ke arah meja kerjanya.

"Enggak mau, huaa...!" Edward langsung menangis dengan keras.

"Drama apalagi ini?" Angga memalingkan wajahnya, lalu menarik nafasnya dalam-dalam. Ia segera menenangkannya kembali, namun Edward tetap saja menangis dengan keras.

Karena tidak bisa menenangkan Edward, akhirnya Angga menelpon Sekretarisnya untuk segera datang ke ruangannya di saat itu juga. Dalam panggilan ke tiga, Sekretarisnya pun mengangkat teleponnya.

"Fiii... Ke ruangan Saya sekarang. Terus jagain Edward, dia nangis gak reda-reda. Saya masih banyak kerjaan."

"Saya tidak bisa, Pak. Masih banyak kerjaan untuk meeting nanti. Saya suruh orang lain saja," ucap Fia, Sekretarisnya Angga.

"Ya udah, cepet jangan lama...!" titah Angga dengan tegas.

***

Di kerumunan itu, Dia segera menyuruh beberapa karyawan Perusahaan untuk menjaga Edward. Namun di karenakan karyawan yang lain juga masih banyak kerjaan, mereka semua menolaknya mentah-mentah. Tiba-tiba saja Alysa melewati kerumunan itu, dan di hadangnya oleh Fia.

"Eh, eh. Kamu sini..." Fia menghentikan langkah kaki Alysa.

"Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu? Mau di buatkan sesuatu? Kopi? Susu? Apa teh?" tanya Alysa segera menawari.

"Bukan itu, saya tidak menginginkannya. Kamu ke ruangannya Pak Angga ya sekarang. Jangan lama!"

Pak Angga? Siapa, Pak Angga? Mau ngapain dia nyuruh aku ke ruangannya.

"Maaf, Pak Angga siapa ya, Bu?" tanya Alysa dengan polos, karena ia tidak tahu nama-nama pegawai di sini.

"Itu lho, Pak Angga. Direktur Perusahaan ini, sikapnya yang dingin banget. Cepet kesana ya, anaknya nangis." Fia mendorong tubuh Alysa gara segera pergi menuju ruangan Direktur.

Mau ngapain Pak Angga? Apa dia marah karena tadi aku deket-deket sama anaknya?

Alysa masih terdiam, ia memikirkan apa yang terjadi dengannya. Bagaimana jika ia akan di keluarkan dari pekerjaannya saat ini. Mencari pekerjaan sangatlah susah karena keterbatasan pendidikannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!