NovelToon NovelToon

Jodoh Sang Bahu Laweyan

BAB 1 Kelahiran Yang Diharapkan

Tengah malam yang diguyur hujan deras, petir menyambar-nyambar, seorang laki-laki memakai mantel hujan, tergopoh-gopoh keluar dari rumah. Ia berlari dengan segala kemampuannya, dengan payung di tangannya.

Sementara itu, di bawah pohon tak jauh dari rumah yang ditinggalkan laki-laki itu, berdiri seorang perempuan memakai jubah yang bertudung. Tudung jubahnya menutupi sebagian wajahnya yang tirus, dengan mata yang cekung, dan bibir yang melengkung sadis. Meskipun begitu, wajahnya terlihat begitu antusias.

Ia mendekap botol kecil yang terbuat dari kristal di dadanya.

"Kamu mau seorang pengantin kan? Baiklah ... keluarlah, dan tunggu pengantinmu layak mendampingimu!" kemudian wanita itu membuka botol tadi dengan terkikik-kikik.

Asap hitam pekat keluar dari dalam botol, kemudian asap itu melayang masuk ke dalam rumah.

"Siapa suruh kamu merebut calon suamiku, Mayang. Maka keturunanmu lah yang akan menanggung akibatnya ... hihihi ...." kata wanita tadi dengan kilatan dendam di matanya.

Tak berapa lama, laki-laki tadi sampai di rumah dengan membawa seorang perempuan yang menjinjing tas hitam. Meski mereka berdua berjalan dengan susah payah, menerjang derasnya hujan.

Laki-laki itu tergesa-gesa membukakan pintu untuk perempuan tadi.

"Ayo! Ayo cepat Bu Bidan Prapti ... istri saya sudah daritadi merasa kesakitan." kata laki-laki itu sambil mencopot jas hujan yang dipakainya. Kemudian ia membantu perempuan tadi menangkupkan payungnya.

"Iya ... Pak. Iya ... tolong Pak Bagas tunjukkan kamarnya ...." jawab perempuan tadi, yang ternyata adalah seorang bidan.

Bagas berjalan cepat-cepat di depan Bidan tadi.

"Bapak sendirian di rumah ini?"

"Iya, Bu."

"Kalau begitu, tolong siapkan air hangat. Baju ganti buat ibu, dan baju-baju si kecil."

"Kalau baju si kecil sudah di dalam, Bu. Saya ke belakang dulu, untuk merebus air."

Prapti masuk ke dalam sebuah kamar. Di dalamnya, tergeletak sesosok perempuan yang sudah terlihat begitu kesakitan. Perempuan itu tersenyum, begitu melihat kedatangan Prapti. Setelah menutup pintu, Prapti menghampiri perempuan itu, dan mengelus rambutnya.

"Sudah waktunya ya, Bu?"

Mayang mengangguk lemah.

Setelah Prapti menyiapkan segala perlengkapan bayi yang bersih, ia segera menutupkan kain jarik keatas perut Mayang, dan memeriksa jalan lahir.

"Wahhh ... kepalanya dedek bayi sudah kelihatan, Bu. Yuk, sekarang, Ibu harus berjuang ya," kata Prapti sambil tersenyum.

Tanpa berlama-lama, Prapti segera memberi aba-aba kepada Mayang untuk mulai mengejan.

Beberapa menit kemudian, setelah Mayang berjuang sekuat tenaga, terdengar lah tangis bayi.

"Alhamdulillah ... seorang bayi perempuan yang sehat, dan cantik, Bu."

Mayang tersenyum.

Prapti segera meletakkan bayi itu di atas sebuah meja, dan membersihkan kotoran dan lendir-lendir yang menempel pada bayi dengan handuk lembut. Prapti terkejut dengan tanda lahir bayi ini, berbentuk seperti lingkaran, berwarna coklat kemerahan yang terletak di bahu kiri. Ia baru pernah melihatnya kali ini.

Bagas tergopoh-gopoh membawa seember kecil air panas ke dalam kamar tadi.

"Itu terlalu panas, Pak. Kan buat mandi dedek bayi ...."

Bagas kembali berlari keluar dan masuk lagi, membawa ember besar, berisi air dingin.

"Maaf ... maaf Bu bidan, baru pertama kali saya menemani orang lahiran."

Prapti tersenyum.

"Ndak apa-apa, ayah muda memang begitu, selalu gugup di awal-awal ... sekarang tolong dicampurkan air nya, Pak."

"I—iya Bu ...."

Setelah dirasa airnya pas, Prapti mulai memandikan bayi tadi. Sementara Bagas menghampiri istrinya yang masih terbaring lemah di ranjang.

"Terima kasih ya, Sayang," ucap pria berambut ikal itu sambil mengecup kening istrinya.

Bulu kuduk Prapti meremang, saat berjalan mendekati sepasang suami istri itu. Ia mendekap bayi yang ada dalam gendongannya. Selintas, ia melihat bayangan hitam berdiri di dekat jendela kamar itu. Berusaha tak menghiraukannya, Prapti terus berjalan. Kemudian ia meletakkan bayi tadi di samping ibunya.

"Saya pamit dulu, Pak ... Bu. Dan sekali lagi selamat atas kelahiran bayinya." Prapti mulai memberesi peralatannya. Ia melirik ke arah tadi, tapi sosok bayangan hitam itu sudah tidak ada lagi. Ia mulai berjalan cepat keluar kamar.

"Saya antar ya, Bu." Bagas segera menghampiri Prapti.

Sesampainya di depan pintu rumah, Prapti menoleh ke arah Bagas.

"Sudah, antarnya sampai sini saja, Pak. Nanti kalau ada apa-apa dengan ibu atau bayinya. Segera datang ke tempat saya."

"Ya, Bu. Terima kasih, ini sekedar ucapan terimakasih saya ...." Bagas mengeluarkan sebuah amplop dan menyodorkannya kepada Prapti.

Di luar sana, hujan mulai reda, hanya tersisa gerimis kecil. Prapti segera berjalan cepat-cepat dengan payung di tangannya. Teringat dengan bayangan tadi, membuatnya enggan berlama-lama lagi di rumah itu.

Setelah kepergian Prapti, Bu bidan yang menolong kelahiran putrinya. Bagas buru-buru masuk ke dalam kamar. Ia menimang putrinya yang masih terlelap, dan mulai mengumandangkan azan di telinga bayinya, pelan-pelan. Mayang menangis terharu melihat pemandangan itu.

*******

Prapti baru saja sampai di rumahnya, dan mendapati suaminya terbangun. Setelah Prapti mengganti bajunya dengan baju yang kering dan bersih, suaminya datang menyodorkan teh hangat untuknya.

"Piye Bu? Sudah lahir anaknya? Kok tumben cepet?"

"Iya Pak, tadi sampai sana, kepala bayi sudah terlihat. Tapi aku baru lihat e Pak, bayi yang lahir punya tanda toh merah."

"Wah, kalo kata mbah-mbahku dulu, itu pertanda ndak baik lho, Bu ...."

"Hish, jangan ngomong gitu Pak ... ya semoga aja, ndak ada apa-apa."

"Oh ya, Pak. Tadi pas aku nggendong bayinya, aku juga kayak lihat sesosok bayangan hitam di dekat jendela, sampe merinding rasanya." Prapti bergidik ngeri.

"Ya sudah Bu. Kamu istirahat aja, besok masih tugas di poliklinik desa kan?"

Prapti mengangguk.

"Oh iya, Bu. Masalah kelahiran anak ini, ndak perlu cerita ke siapa-siapa. Ndak enak kalo nanti ada desas desus ndak jelas tersebar."

Prapti mengangguk lagi.

Bagaimana ia akan bercerita kepada orang-orang, ingat kejadian tadi saja, masih membuatnya merinding.

*******

"Sekarang kamu istirahat saja, Bu ... biar aku yang menjaga bayi kita," kata Bagas pada istrinya. Sambil masih menimang gadis kecilnya.

Bagas sangat bahagia, setelah berbagai usaha dan berbagai cara ia lakukan untuk mendapatkan seorang anak. Ia benar-benar takut karena teringat sumpah serapah Retno waktu datang ke pernikahannya dengan Mayang.

"Bapak akan menjaga dan melindungimu, Nduk ... apapun yang terjadi," janji Bagas pada gadis kecilnya. Kemudian ia mengecup dahi putrinya itu.

Ingatan Bagas terlempar pada masa itu. Tadinya ia menyanggupi untuk menikah dengan Retno, tapi kegilaan Retno pada ritual-ritual anehnya, dan segala bentuk koleksi benda mistisnya, membuat Bagas urung menikahi perempuan itu. Meskipun setiap hari Retno mendatangi rumahnya, untuk memohon agar Bagas tetap menikahinya. Bagas bersikukuh dengan keputusan yang sudah dibuatnya.

Bahkan di saat hari pernikahan Bagas dengan Mayang, Retno datang, berteriak-teriak seperti orang gila. Dia mengancam, menyumpah dan mengumpat. Beberapa tamu meringkusnya yang mulai menangis histeris.

Bagas melanjutkan acara pernikahannya. Namun, ia tak pernah tahu. Sejak hari pernikahannya dilangsungkan, akan ada nasib yang kurang baik menimpa keluarganya. Apakah karena keputusannya? Atau memang takdir yang sudah tertulis?

Bersambung ....

******

Piye : Bagaimana.

Nduk : Panggilan sayang, dari orangtua kepada anak perempuan, kependekan dari Genduk.

Jarik : Kain bermotif baik, yang biasa digunakan orang-orang Jawa.

Mbah : Kakek/nenek/leluhur.

BAB 2 : Pertanda

Seorang gadis kecil berlarian di sebuah halaman rumah. Ia bermain sendirian, dengan bahagia. Tak jauh darinya, seorang wanita duduk mengamati gadis kecil itu. Ia melambaikan tangan pada gadis kecil yang sedang berlarian.

"Hati-hati, Nduk ...."

Baru saja wanita itu terdiam, Mesha kecil jatuh tersungkur, tapi terlihat, anak itu terdiam menatap lurus dengan matanya membelalak.

Di dalam penglihatannya, Mesha melihat seorang laki-laki berwajah pucat dan memakai pakaian serba hitam berdiri di depannya.

"Haloooo, gadisku. Maukah kamu bermain denganku?"

Mesha hanya terdiam, mata Mesha terbelalak melihat laki-laki yang berdiri di depannya.

"Om siapa?"

"Aku? Calon suamimu," kata laki-laki itu dengan tawa seramnya.

Mesha menangis ketakutan, sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan mungilnya.

"Ibu ... ibu ...!" panggilnya di sela-sela tangisan.

Mayang segera berlari mendekati anaknya ketika ia melihat gadis kecil itu menangis histeris. Mayang kebingungan, kenapa putrinya bisa menangis histeris seperti itu. Dipeluklah gadis kecil itu.

"Sayaaang ... Genduk nangis kenapa? Apa ada yang sakit?"

Gadis itu menggeleng dalam pelukannya.

"Bu ... Ibu ... calon suami itu apa?" tanya Mesha kecil, ketika tangisnya mereda.

Mayang tersentak kaget.

"Kamu tau kata-kata itu darimana?"

"Dari om-om yang tadi berdiri di sini, Bu. Echa takut, omnya sereeemmm ...."

Mayang memeluk kembali putrinya, dengan perasaan yang tak menentu.

Malam harinya, setelah menidurkan Mesha, Mayang berjalan mondar-mandir dengan gelisah di ruang tengah. Bagas, suaminya memperhatikan Mayang dari kejauhan. Bagas tidak bisa menahan diri ketika Mayang mulai menghela nafas dan duduk membantingkan tubuhnya di sofa.

"Ibu kenapa sih?" tanya Bagas dengan wajah menyelidik.

Mayang terperanjat, ia memegang dadanya.

"Bapak ih ... bikin kaget ibu saja ...."

"Dari tadi, bapak perhatikan, Ibu tuh mondar-mandir kayak setrikaan, kenapa?"

Mayang menghela napas, kemudian ia merendahkan suaranya.

"Mesha, Pak ...."

"Kenapa dengan Mesha, Bu?"

"Sudah beberapa kali, ibu perhatikan. Ada yang aneh dengan anak ini ...."

"Aneh? Maksudnya?"

"Entahlah, ibu juga ndak tahu, Pak ... anak itu seperti melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain."

"Apa besok bapak tanya sama saudara bapak yang bisa liat 'begituan' , Bu?"

"Boleh, Pak."

"Yaudah ... ibu sekarang istirahat aja."

Mayang mengangguk, sementara Bagas masuk ke dalam kamar.

Tiba-tiba bulu kuduk Mayang meremang. Ia mengelus-ngelus tengkuknya, matanya berkeliling mencari sesuatu. Ia terbelalak, ketika melihat sebuah bayangan hitam tak jauh darinya. Ia memejamkan mata, dan ketika matanya terbuka, bayangan itu sudah lenyap.

Mayang buru-buru berjalan masuk ke kamar, dan cepat-cepat menutup pintu. Bagas yang melihat kelakuan istrinya, terpana.

"Kenapa lagi Bu?"

"Ndak ... ndak apa-apa, Pak. Yuk tidur!"

Mayang langsung menyelusup ke dalam selimut, begitu sampai di ranjang.

Sementara itu, sosok bayangan hitam tadi, berjalan menuju kamar Mesha yang terlelap memeluk boneka beruang coklat kesayangannya. Bayangan itu menjelma menjadi sesosok laki-laki. Ia duduk di tepi ranjang Mesha, ia memerhatikan wajah Mesha, menyeringai, kemudian mengelus pipi kemerahan itu.

Laki-laki itu, tersenyum lagi, kemudian berubah menjadi gumpalan asap, dan menghilang.

*******

Keesokan harinya, Bagas sedang berbicara di telpon dengan seseorang.

"Iya, Kang ... minta tolong dengan sangat Kang. Pokoknya, panjenengan kudu liat anakku ya...ya Mesha to, siapa lagi? yaaa ... ya ... aku tutup dulu telponnya Kang."

Mayang memperhatikan suaminya itu, sambil menyuapi Mesha yang duduk sambil bermain bonekanya.

"Gimana, Pak?"

"Nanti sore, katanya Kang Suryo mau mampir kesini, Bu. Mau lihat, ada apa sama Mesha."

Mayang hanya manggut-manggut.

"Emang ada apa sama Echa, Bu?" tanya Mesha kecil dengan polos.

"Ndak ada apa-apa kok sayang ... inget sama pakde Suryo kan? Yang dulu pernah belikan Echa mainan gangsing kayu itu ...."

Mesha mengangguk.

"Nah, pakde itu pengen ketemu Echa lagi."

"Ooohhh ...." jawab mesha membulatkan bibir mungilnya.

"Ah ... panas ...." Tiba-tiba Mesha memegangi bahu kirinya.

Mayang bergegas mendekati Mesha. Ia membuka baju bagian pundak Mesha, melihat tanda berwarna merah kecoklatan sebesar koin, dan mulai mengusapnya. Meskipun ratusan kali Mayang melihat tanda lahir Mesha, Ia masih saja heran, kenapa tanda lahir putrinya itu seperti terlihat tidak biasa.

"Masih panas ndak, Nduk?"

Mesha menggeleng, dan melanjutkan bermain bonekanya.

Mayang memeluknya, dan mengelus kepala Mesha. Di dalam hatinya ia berkata,

"Sebenarnya ada apa to, Nduk?"

Hari sudah semakin sore, terlihat ada sebuah dokar memasuki pekarangan rumah. Dari dokar tadi, turun lah seorang laki-laki memakai blangkon dan berbaju lurik. Mayang yang sedang menyapu teras segera memanggil Bagas, suaminya.

"Monggo ... pinarak dulu Kang." kata Bagas, sambil mengacungkan jempolnya ke arah sebuah kursi teras yang terbuat dari kayu jati.

Laki-laki tadi masih memandang berkeliling, matanya seperti mencari dan meneliti, kemudian ia duduk di kursi.

Tak berapa lama, Mayang keluar dengan membawa senampan minuman dan makanan ringan.

"Gimana kabarnya, Kang Suryo? Sehat?" kata Bagas memecah keheningan di antara mereka berdua.

Suryo menyunggingkan senyumnya.

Mesha berlari keluar menuju halaman, Mayang mengikuti dengan tergopoh-gopoh di belakangnya.

"Hati-hati to, Nduk ...."

Seketika, Suryo melihat ke arah Mesha. Ia melihat seperti gumpalan asap hitam, gumpalan asap itu terlihat di belakang Mesha. Suryo langsung berdiri karena keterkejutannya.

Bagas melihat reaksi Suryo ketika mengamati Mesha, ia makin khawatir.

"Echa! Sini, Nduk. Salim dulu sama pakde!" kata Bagas.

Mesha berjalan mendekat dengan pelan dan malu-malu, kemudian ia mengulurkan tangan mungilnya ke arah Suryo.

Setelah menyentuh tangan Mesha, Suryo melihat sebuah "penglihatan". Dalam penglihatannya, seorang laki-laki berpakaian serba hitam, sedang duduk menatapnya tajam. Suryo buru-buru menarik tangannya.

Bagas memberi kode kepada Mayang.

"Nduk, ayo! Sudah sore, mandi dulu ya Cah ayu ...." kata Mayang sambil menggandeng tangan Mesha, untuk masuk ke dalam rumah.

"Gas, anakmu itu, ada yang ndak beres ...." Suryo seperti ragu-ragu mengucapkan kata-kata itu.

"Maksudnya, Kang? Yang ndak beres itu apanya?"

Suryo memberi kode kepada Bagas untuk mendekat. Setelah Bagas mendekat, Suryo berkata di telinga Bagas,

"Anakmu ini, disukai bangsa lelembut ...."

Bagas tersentak, dan spontan menjauh.

"Yang bener aja, Kang!"

"Aku ndak bisa bicara panjang lebar, mungkin makhluk ini sedang mengawasiku sekarang," kata Suryo setengah berbisik.

"Tapi apa ndak ada akibat buruknya buat putriku itu, Kang?

"Ya ada, itu pasti. Untuk sementara ini, sepertinya aman. Tapiiii ... mungkin makhluk itu kadang-kadang akan muncul menyapa Mesha."

Bagas masih belum percaya dengan apa yang didengarnya.

"Ini kutukan, Bagas. Percaya ndak percaya ...."

Suryo pergi meninggalkan rumah Bagas. Seorang tukang ojek langganan Bagas, mengantarkan Suryo pulang. Dalam perjalanan, ia melihat seorang laki-laki berdiri di bawah sebuah pohon, dengan tatapan tajam ke arahnya. Siapa sebenarnya laki-laki itu? Suryo bertanya-tanya di dalam hatinya.

Bersambung ....

******

Kang : sebutan untuk kakak laki-laki, atau laki-laki yang dituakan/dihormati.

Panjenengan : Kamu, dalam bahasa jawa halus.

Pakde : Sebutan untuk kakak laki-laki dari ibu/ayah.

Monggo pinarak : Silahkan duduk.

Salim : tradisi bersalaman dengan mencium tangan, sebagai rasa hormat.

Cah ayu : Sanjungan, yang berarti anak yang cantik.

BAB 3 : Ikatan

Setelah kepergian Suryo, Mayang mendekati Bagas yang masih berdiri termenung di teras.

"Gimana, Pak? Tadi kang Suryo bilang apa?"

"Itu ... nanti aja bapak jelasin, sudah sore, ayo masuk rumah dulu, Bu!"

Bagas dan Mayang menutup semua jendela dan pintu.

Malam harinya, Mayang baru saja keluar dari kamar Mesha, ia melihat Bagas duduk dengan menopang dagunya. Mayang berjalan mendekati Bagas dan duduk di sampingnya.

"Mikir apa Pak?"

"Ini Bu ... tadi, perkataan kang Suryo, ngganjel banget di pikiranku."

"Memangnya kang Suryo bilang apa, Pak?"

"Putri kita, Bu. Ada bangsa lelembut yang menyukainya, Bu. Untuk sekarang mungkin belum terlalu keliatan efeknya. Tapi setelah dewasa baru terlihat, Bu."

"Gimana ini, Pak?" Mayang mulai merasa khawatir.

"Wes to, ibu ndak usah khawatir. Kita cari cara gimana biar ndak membahayakan, Mesha."

Mayang mengangguk.

Terdengar suara teriakan Mesha dari dalam kamar, Mayang dan Bagas tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar Mesha. Mata Mesha masih terpejam, tapi ia menangis dan berteriak.

Mayang menangis dan memeluk putrinya itu dengan penuh kesedihan.

******

Ini hari pertama Mesha masuk sekolahnya di sebuah Taman Kanak-Kanak, ia terlihat antusias. Pagi-pagi sekali, ia sudah ribut kesana kemari meminta segera berangkat ke sekolah.

"Echa seneng, Bu. Echa bakal punya temen banyaaakkk ...." kata Mesha sambil merentangkan tangan kecilnya.

Mayang mengangguk dengan senyuman.

"Nanti, Echa harus nurut sama bu guru ya. Harus pinter!"

Mesha mengangguk senang, matanya membulat menggemaskan.

"Tapi Om itu, ikut Echa sekolah juga, Bu?"

"Om siapa, Nduk?"

"Yang suka main sama Echa ...."

Mayang terperanjat, dia pikir, dia dan suaminya sudah berhasil mengusir makhluk jahat yang sering mengganggu putrinya dengan bantuan orang pintar beberapa tahun lalu, ternyata tidak ada pengaruhnya samasekali.

"Ndak sayang ... ndak akan ikut," jawab Mayang kepada putrinya.

"Yaaaaa ...." Mesha tertawa.

"Yuk, sekarang mandi dulu ya ...."

"Ya, Bu ...."

Setelah memandikan Mesha dan memakaikan seragamnya. Mayang mengikat rambut Mesha dan menyematkan pita yang cantik di kedua kunciran Mesha.

"Cantiknyaaaa putri ibu ...."

Mayang memeluk putrinya, dan berharap, tidak akan terjadi apa-apa di hari pertama Mesha masuk sekolah.

Sekolah Mesha tidak terlalu jauh dari rumah, sehingga Mayang mengantarkan Mesha dengan berjalan kaki.

Dari kejauhan, nampak seorang wanita mengamati mereka berdua, dari balik pohon.

"Bocah itu ... ingin rasanya aku membunuh bocah itu. Tapi dia sudah punya pengantin. Hihihi ... kalo langsung kubunuh, Bagas dan Mayang, tidak akan merasakan penderitaan yang sama sepertiku ... hihihihi," perempuan itu bergumam sambil terkikik-kikik.

"Bu guru, bu guru, Echa bikin nangis Adit, Bu ...."

Seorang gadis berteriak-teriak melapor pada ibu gurunya. Bu Mila, ibu guru tadi, ia tergopoh-gopoh mendekati Adit yang terduduk di lantai sambil menangis, sementara Mesha berdiri kebingungan.

"Adit kenapa nangis?"

"Itu ... itu Bu ...."

"Mesha, Adit kenapa?"

"Echa gak tau, Bu. Echa gak ngapa-ngapain adit, Bu ...." ada nada ketakutan di ucapan Mesha.

Mila mengelus rambut Mesha.

"Sayang ... bu guru ndak nuduh Echa kok, bu guru cuma tanya, kenapa Adit menangis, gitu ...."

"Echa gak tau, Bu ... hu hu hu" Mesha menangis dan berlari.

Mila berjongkok dan membantu Adit berdiri, setelah berdiri, Adit mulai buka suara.

"Tadi Adit liat ada orang berdiri di belakang Echa, Bu ...."

Mila mengerutkan dahinya.

"Adit gak bohong, Bu ... orangnya serem, Bu. Dia melototin Adit!" Adit menutupi wajahnya dengan kedua tangan mungilnya, dia ketakutan.

Mila memeluk Adit.

"Sudah ... sudah ... Adit ndak perlu takut, kan ada bu guru, di sini. Yuk masuk kelas lagi!"

Adit mengangguk. Mila berdiri, kemudian menggandeng Adit masuk ke dalam kelas.

Di luar sana, Mesha duduk sendirian di bawah pohon. Ia memeluk lututnya sambil menangis.

"Kenapa gak ada yang mau main sama, Echa? hiks ...."

Seorang anak laki-laki mendekati Mesha. Meskipun anak itu bisa melihat makhluk yang membayangi Mesha. Ia tidak takut seperti anak lainnya, mungkin ia juga sudah terbiasa dengan hal semacam itu.

"Kamu kenapa nangis di sini?"

Mesha mendongakkan kepalanya, anak laki-laki itu pun duduk di sebelah Mesha.

"Kamu gak takut sama Echa?" tanya Mesha dengan mata membulat.

"Kenapa harus takut? Jadi, namamu Echa?"

Mesha mengangguk antusias.

Anak laki-laki itu mengerling punggung Mesha, kemudian ia berdiri, dan pergi.

"Tunggu! namamu siapa?" tanya Mesha.

Anak laki-laki itu berhenti dan menoleh.

"Zay ... Zayan!"

"Ooh .... eh, tunggu!"

Mesha berlari-lari kecil di belakang Zay, ia senang telah mendapatkan seorang teman.

Setiap hari, Mesha membututi Zayan. Meskipun terkadang Zayan tidak memperhatikan kehadiran Mesha. Setiap waktu istirahat, ketika memakan bekal bawaan dari rumah, Mesha selalu duduk di sebelah Zayan. Zayan hanya diam membiarkannya. Zayan cuma tidak mau berurusan dengan makhluk yang selalu dilihatnya membuntuti Mesha.

Hari ini, ketika Mayang menjemput pulang Mesha. Mila memintanya untuk berbicara empat mata di kantor.

"Maaf, Bu Mayang. Sebelumnya saya minta maaf. Apa setiap pulang Mesha selalu menangis?"

"Kenapa Bu guru?"

"Beberapa temannya di TK ini, takut bermain bersama Mesha ...."

Mayang terkejut.

"Memang awalnya, begitu, Bu guru, tapi akhir-akhir ini, ndak ...."

"Begini, Bu ... beberapa wali murid telah menyampaikan protesnya pada pihak sekolah. Mereka tidak nyaman membiarkan anak-anaknya bersekolah di sini, selama masih ada Mesha ...."

Mayang merasa tersinggung, ia berdiri.

"Jadi, maksud Bu guru, Mesha harus pindah dari TK ini? Ndak masuk akal!"

Mila ikut berdiri dan mencoba menenangkan Mayang.

"Maaf, Bu. Sungguh saya minta maaf. Tapi kalau boleh tahu, sebenarnya, ada apa dengan Mesha, Bu?"

"Ada apa? Apa maksudnya?"

"Mohon Ibu tenang dulu, silahkan duduk kembali."

Mayang kembali duduk.

"Saya juga mengkhawatirkan kondisi Mesha, Bu. Cuma laporan wali murid lain, juga tidak bisa diabaikan ...."

Tiba-tiba bel berbunyi.

"Maaf Bu Mayang, saya mohon diri dulu."

Mila berdiri dan kemudian diikuti Mayang.

Mesha berlari-lari, ketika melihat ibunya sudah berdiri menunggunya saat pulang sekolah. Mayang menyambut anaknya dengan pelukan. Kemudian mereka berdua berjalan kaki untuk pulang. Dari kejauhan, Zayan mengamati sosok yang ikut berjalan di belakang Mesha. Makhluk itu melirik pada Zayan, tapi Zayan berpura-pura tidak melihatnya.

Malam telah tiba, seperti biasa, setelah menidurkan Mesha, Mayang duduk di ruang tengah. Ia meminum teh herbal kesukaannya dengan tingkah gelisah. Bagas memperhatikan istrinya, dan mendekatinya.

"Kenapa, Bu?"

"Tadi aku dipanggil gurunya Mesha ke sekolah, Pak ...."

"Terus?"

"Banyak aduan wali murid lain, tentang Mesha."

"Kok bisa?"

"Ya kalo yang aku dengar, anak mereka sering lihat Mesha bertingkah aneh, bahkan beberapa dari mereka, melihat makhluk yang mengikuti Mesha, Pak."

"Duh, gimana ya, Bu?"

"Ibu juga bingung, Pak ... kasian Mesha. Masa dia ndak bisa bergaul dengan siapapun?"

"Sudah, Ibu tenang aja ya, biar bapak pikirkan caranya."

Bagas menggenggam tangan istrinya, menenangkan.

Mayang mengangguk pasrah.

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!