NovelToon NovelToon

Menjadi Suami Guruku

Eps. 1– Dia Istriku

Tidak ada yang lebih membahagiakan ketika mengetahui bahwa yang kita cintai mencintai kita.

Namaku Raka, usiaku 16 tahun. Aku baru menginjakan kaki di SMA. Mungkin sudah 2 bulan lamanya aku duduk di sekolah yang baru ini, yang kata orang lain bilang SMA masa-masa paling indah.

Tinggi dan berat badanku cukup ideal dengan kebanyakan orang lain.Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, tidak gemuk pun tidak terlalu kurus. Intinya aku mempunyai badan yang ideal.

Apakah aku berwajah tampan? Menurutku iya, dan tidak ada keraguan dengan itu.

Kalau hobi, aku masih bingung, mungkin saja hobi ku bermain game dan membaca. Cita-citaku tidak bisa di ceritakan di sini, itu terlalu rahasia, dan aku pun malu mengatakannya.

Segitu saja pengenalannya dulu. Sangat sedikit dan terlalu simpel bukan? Tapi nanti-nanti kalian akan lebih mengenalku di masa depan, jadi ikuti saja cerita ini.

\*\*\*

Di awal musim hujan, langit sepertinya tidak terlalu ramah dengan orang yang beraktivitas keluar. Baru saja kemarin malam hujan deras, angin kencang, guntur berteriak, namun kini setelah beberapa jam reda. Langit mulai kembali mendung.

Sambil duduk di kursi yang paling belakang dan pojok. Aku menggesekkan kedua tangan agar tidak kebas kedinginan. Ini menyebalkan, seharusnya tadi aku membawa sarung tangan ke sekolah jika bakal sedingin ini.

Sekarang hampir jam setengah sembilan pagi, itu tanda bahwa pelajaran matematika akan di mulai. Anehnya sampai saat ini keberadaan gurunya masih tidak ada, sepertinya dia datang terlambat.

Ngomong-ngomong pelajaran matematika di sekolah ini adalah pelajaran favorit bagi kaum laki-laki. Mereka di setiap minggunya selalu menunggu kapan pelajaran itu akan tiba. Bukan karena mereka pintar di bidang matematika, melainkan karena hal lain.

Aku akan memberitahukannya langsung pada kalian. Semua murid laki-laki di kelas rata-rata menaksir pada guru matematika tersebut. Itu tidak mengherankan, karena secara jelas gurunya cantik dan begitu muda. Bahkan kalau dilihat-lihat dia seperti anak remaja sama seperti kami.

Begitulah alasan semua laki-laki menyukai pelajaran matematika, walaupun alasan ini membuatku kesal, tapi setidaknya mereka jadi lebih giat dalam belajar.

Pintu depan kelas akhirnya terbuka dan terlihatlah sesosok wanita cantik berambut sepinggang. Dia mempunyai mata hitam indah dengan bulu matanya yang lentik alami. Tubuhnya ideal untuk seumurannya, kulitnya pun seputih mutiara. Dia tampak bagaikan wanita yang memiliki segala keindahan.

Dia adalah guru yang aku maksud, namanya Bu Lisa, atau biasanya kami menyebut sebagai Bu Lisa. Guru matematika tercantik dan termuda di sekolah ini.

Dengan aura tegas dan kedewasaannya, membuat kami menjadi lebih menghormati dia. Jika tidak ada aura itu, mungkin kami akan selalu menggodanya di saat dia mengajar, dan jelas itu adalah hal buruk baginya.

“Selamat pagi anak-anak.” Ucap Bu Lisa menyapa, melangkahkan kakinya ke tempat meja guru.

“Selamat pagi, Bu.” semua murid menjawab, terutama laki-laki yang berkata dengan keras saking semangatnya.

Bu Lisa tersenyum. Dia menulis sesuatu terlebih dahulu di buku absensi sebelum berdiri dan berkata pada kami semua, “Seperti biasa, kumpulkan tugas rumah terlebih dahulu ke depan. Ibu akan memeriksanya di awal!”

Tanpa di suruh dua kali, semua murid kelas langsung bergegas mengambil buku di tasnya, karena buku matematika memiliki dua kategori yaitu catatan dan tugas, jadi tidak masalah jika salah satu buku di kumpulkan di bagian awal waktu.

Akupun tak kalah sama dengan mereka dan langsung merogoh tas, berniat mengambil buku tugas tersebut, namun setelah beberapa menit kemudian aku mengerutkan alis, buku tugas matematikaku tidak ada.

Wajahku berlipat kesal ketika mengingat bahwa buku tersebut tertinggal di meja belajar. Aku lupa pas tadi pagi untuk mengambilnya ke dalam tas.

“Apakah ada yang tidak mengerjakan tugas?”

Tepat aku dalam keadaan masih mencari buku, berharap semoga saja buku tersebut tiba-tiba langsung ada di tas. Bu Lisa berseru dari depan.

“Apakah ada yang tidak mengerjakan tugas?” dia bertanya lagi, yang berarti Bu Lisa sudah menyadari kalau ada orang yang tidak mengumpulkan bukunya ke depan.

Aku menghela napas panjang, siap berdiri untuk mengaku, sebelum nanti Bu Lisa yang akan menangkap basah bahwa aku tidak mengerjakan tugasnya.

“Kau tidak mengerjakan tugas, Raka?” dia bertanya padaku saat aku mengacungkan tangan.

“Sudah, Bu. Cuma tugasnya tadi ketinggalan di rumah.”

“Sayang sekali kalau begitu. Tidak membawa sama dengan tidak mengerjakan. Raka kamu harus keluar.”

Aku sudah menduganya jauh-jauh menit lalu. Pada akhirnya aku akan di hukum keluar kelas walaupun alasanku berlaku jujur. Tidak ada yang bisa aku perbuat selain berjalan keluar.

Aku menghela nafas panjang di kursi panjang luar kelas, menatap ke langit yang kini sudah mulai menjatuhkan buliran jutaan tetes air. Sejam tiga puluh menit ke depan aku akan seperti ini, menunggu pelajaran selesai dengan perasaan bosan.

Kira-kira sekitar 30 menit berlalu, suara langkah kaki melangkah terdengar dari dalam menuju keluar, Ia terdengar tenang dan halus. Saat aku mendengarnya, aku tidak harus repot-repot untuk mendongak, karena aku tahu siapa orang itu.

“Jadi, buku tugas kamu ketinggalan dirumah?” Bu Lisa menatapku dari lawang pintu.

“Menurutmu?” Jawabku ketus, tidak peduli.

“Kamu marah?” tanya dia lagi.

Aku mendengus, tidak menjawabnya. Kenapa pula dia bertanya yang sudah tahu, bukankah tadi aku mengatakannya di dalam kelas.

Bu Lisa menghela nafas panjang, dia melangkahkan kakinya dan duduk tepat di sampingku. Aroma parfum yang ia pakai tercium harum melewati hidung.

“Aku harus adil Raka, aku harap kamu mengerti tentang hal ini.” katanya yang malah ikut mendongak ke langit.

“Tapi aku suami ibu, kenapa harus mengusirku? Kenapa tidak di hukum yang lain?” Aku menatapnya dengan pandangan tidak terima.

"Sudah aku bilang. Aku harus konsisten dan adil pada semua murid. Bahkan jika kamu suamiku, aku tetap harus adil dan menghukum mu jika salah.” Dia menatapku tajam, tapi nadanya tetap halus dan lembut.

Aku mencibir, tetap saja tidak mengubah fakta bahwa dia mengusir suami sendiri.

“Kamu kan tahu bahwa aku mengerjakannya semalaman di kamar, bukankah ibu yang menyelimuti ku saat aku tertidur di meja belajar.” ucapku dengan sebal.

Wajah Bu Lisa terlihat memerah samar-samar, mungkin karena aku tahu bahwa dia diam-diam memperdulikanku dikala aku tidak menyadarinya.

“Kita tidak boleh membicarakan ini Raka. Hubungan rahasia di antara kita tidak bisa di bicarakan di sekolah.”

Aku tidak peduli, “siapa suruh ngusir suami sendiri."

“Sudah, Raka. Jangan membicarakan hal ini! Aku sebagai istrimu meminta maaf karena telah menyakitimu, tapi kamu harus mengerti. Aku juga mempunyai kewajiban yang lain. Aku gurumu dan aku harus mendidikmu di sini.”

Aku membuang muka, walaupun perkataan dia ada benarnya, namun saat ini aku benci mengakui hal itu, jadi aku tetap marah padanya.

“Dasar istri durhaka.” Celetukku pelan.

Bu Lisa bangkit dari tempat duduknya ketika mendengar perkataan terakhirku. Wajahnya memerah karena kesal, “Terserah apa yang kamu katakan! Aku pergi dulu.”

Dia langsung berjalan pergi meninggalkanku. Bahkan saat dia pergi pun aku tidak meliriknya. Tetap membuang muka, tidak terima.

Jangan salah paham. Bukannya aku tidak sopan pada guruku, namun saat ini aku berbicara sebagai suami Bu Lisa bukan seorang murid.

Kalian tidak salah dengar, kalau dia mengatakan bahwa aku adalah suaminya, karena memang seperti itulah hubunganku dan dia. Guruku adalah istriku.

\*\***Bab sudah direvisi**...

**Jika di episode selanjutnya tidak ada kata revisi, itu tandanya belum di Revisi**\*\*

Eps. 2- Panggilan Khusus

Perkataan orang lain bisa membuatmu bahagia layaknya laksana kamu terbang, dan juga bisa membuat sedih laksana terjatuh ke jurang kesedihan.

Sepulangnya sekolah, wajahku sedikit murung memikirkan tentang kejadian tadi.

Seharusnya aku memang tidak berbicara kasar padanya. Bagaimanapun perkataan Bu Lisa memang benar, dia disini sebagai guru, bukan menjadi seorang istri.

Untuk berpikir ke sana aku menghela napas pelan. Baiklah, kali ini aku tidak akan memalingkan muka padanya.

Sudah sejak sejam lalu sekolah dibubarkan, entah itu para murid dan guru sudah diperbolehkan untuk pulang. Namun kenapa meski jam hampir menunjuk ke angka 4, Bu Lisa masih tidak terlihat.

Kelima kalinya aku melihat jam tangan. Ini hampir satu jam lebih aku menunggu di pertigaan pasar. Untungnya hujan sudah reda, jadi tidak masalah menunggu lebih lama.

Baru saja dipikirkan, datang dari kejauhan ada angkutan umum yang berhenti tepat di pertigaan pasar. Wajahku tersenyum hangat melihat siapa yang turun. Dari semua penumpang yang berada di angkot, Bu Lisa terlihat mencolok dari lainnya. Tentu saja karena ia yang paling cantik.

Aku memandang wajahnya dari kejauhan saat di setiap langkah Bu Lisa mengarah kesini. Rambut lurusnya yang panjang beberapa kali tertiup miring, yang membuatnya harus bersusah payah membenarkan kembali.

Aku memandang wajahnya yang manis begitu lama sampai tak sadar dia sudah berada di depan tubuhku.

“Ayo pulang!" Seru Bu Lisa ketika sudah dekat.

“Kamu cantik.” kataku tersenyum mengabaikan kalimat dia sebelumnya.

“Bukannya tadi kamu selalu membuang muka saat bertemu di sekolah."

Aku menggaruk kepala sambil menyeringai lebar, "Tadikan di sekolah aku marah karena Ibu mengusirku dari kelas."

“Ohh, Kalau sekarang?”

“Kalau sekarang tentu saja tidak, mana bisa aku marah lama sama istriku ini."

Bu Lisa memutar bola matanya dengan malas mendengar gombalan tersebut. Ia tidak menjawab ucapanku melainkan langsung menaiki motor di jok belakang.

Saat beberapa waktu aku melihat ke langit. Awan sudah mendung di atas sana, jika benar, maka malam nanti akan ada hujan deras di kota ini.

Tidak ada yang aku lakukan selain bergegas maju menaiki motor, tidak terlalu lama, hanya membutuhkan lima belas menit berkendara hingga akhirnya bisa tiba di rumah.

Kata rumah, tentu saja maksudnya adalah rumahku dan dia. Tempat tinggal ini adalah hadiah dari pernikahan kami 3 bulan lalu, yang berasal dari orang tuaku.

Sesudah memarkirkan motor di garasi dan memasuki rumah, aku menghempaskan tubuh pada sopa tanpa peduli seragam yang masih melekat. Rasanya malas sekali jika bergerak atau beraktivitas apapun.

"Sayang, ambilkan minum dong... Aku haus!"

Bu Lisa yang baru saja meletakan sepatunya mendongak, dari wajahnya ia hendak berbicara padaku tetapi tidak jadi. Dia lebih memilih langsung mengambil air minum di dapur.

"Terima kasih." Kataku setelah menerima gelas darinya.

Bu Lisa menjawabnya dengan anggukan dan senyuman tipis, setelah itu ia pergi ke kamar berniat mandi dan ganti baju.

\*\*\*

Di malam harinya, hujan deras terdengar sayup-sayup dari luar rumah. Saat itu, aku baru bangun dari tidur akibat terlalu keenakan berbaring di sopa.

Hal pertama yang aku lakukan setelahnya adalah mencari keberadaan Bu Lisa. Tidak terlalu sulit menemukannya karena dari yang aku tahu, di jam seperti ini dia sekarang berada di kamar.

“Kenapa Ibu tidak membangunkanku?” Aku bertanya saat tiba dikamar, menganggu dia yang kini sedang memainkan laptopnya di kasur.

“Sudah hampir lima kali aku mencoba membangunkanmu, Raka. Tetap saja kamu tidak sadar-sadar, jadi lebih baik aku membiarkanmu lebih lama beristirahat." Jelasnya tanpa menoleh sedikitpun.

Aku menyeringai sekaligus menggaruk kepala. Ibuku saja dulu, untuk bisa membangunkan ku harus dengan air seember.

“Kamu mandi dulu gih, nanti aku akan siapkan baju juga makannya." Seakan tau apa yang harus dia lakukan, Bu Lisa segera bangkit dan mengambilkan handuk untukku.

Aku langsung mengangguk patuh dan dengan cepat menyambar handuk tersebut. Tidak terlalu lama di sana, karena perut kosong aku mempercepatnya sesingkat mungkin.

Aroma masakan Bu Lisa sudah tercium harum dari dalam kamar yang membuat perutku semakin lapar dan ingin segera menyantap makanan.

Sesampai di sana Bu Lisa tengah asik memasak. Bahkan kedatanganku ke dapur tidak di sadari olehnya. Aku tersenyum jail melihatnya dan sepintas ide jahat terlintas di dalam pikiran.

“DORR!”

Aku berkata dengan suara keras yang membuat Bu Lisa menjerit kaget. Dan setelah apa yang aku buat, ia malah reflek langsung memukulku dengan spatula yang di pegangnya.

Pukulan spatula itu memang pelan namun masalahnya adalah terdapat minyak panas yang masih menempel di sana, dan dengan telak tetesannya terbang pas ke arah wajahku.

Seketika aku berteriak kaget, mengusap wajah yang terkena minyak panas.

Bu Lisa tertawa lepas melihatku, “Lain kali jangan ganggu orang yang masak, kan tau sendiri akibatnya sekarang.”

Aku mengusap pipi yang masih terasa panas, “Dasar."

Beberapa menit berlalu untungnya masakan Bu Lisa sudah matang sehingga kekesalanku menguap di gantikan dengan senyuman.

“Bagaimana masakannya, enakan?”

Melihat wajah dari pertanyaannya, dia sepertinya mengharapkan penilaian atas masakan yang dia buat.

“Enak sayang, masakannya juga lezat-lezat.” Aku tersenyum memujinya.

“Benarkah?” Tanyanya lagi yang langsung aku jawab dengan anggukan.

Dia tersenyum bahagia, wajahnya yang cantik seakan lebih bersinar saking senangnya. Aku menghentikan ayunan sendok, menatap Bu Lisa. Apakah betul dia itu guru matematika yang galak?

“Eh, kamu tidak makan bersamaku?” Bu Lisa tiba-tiba bangkit dari kursi dan hendak pergi dari dapur.

“Aku sudah makan tadi." Jawabnya singkat.

“Kalau begitu temenin.”

“Memangnya kamu gak bisa makan sendiri?”

“Bukan gitu, kalau di temenin kan rasanya beda di banding sendiri, lebih asik.” aku menjawab asal, menyendokkan makanan ke mulut.

Dia menghela nafasnya pelan sebelum dengan terpaksa berbalik dan kembali duduk di kursi meja makan. Aku tersenyum melihatnya, dia selalu patuh dengan apa yang aku perintahkan dan tak pernah membantah. Benar-benar istri idaman.

Selesai makan aku hendak membereskan piring yang telah dipakai sebelumnya, itung-itung membantu Dia. Namun saat aku siap mencucinya dia tiba-tiba melarang, katanya ini adalah tugasku.

Aku pun mengalah dan membiarkannya. Sepintas adegan seperti ini terasa tidak asing, sampai aku akhirnya berani untuk melakukan sesuatu padanya.

Masih memakai celemek yang dia pakai, aku memeluk perutnya dari belakang, yang justru membuatnya terkejut dan protes. tetapi setelah aku mengatakan hanya lima menit saja, Bu Lisa pun diam dan menurut.

Tentu saja itu hanya kebohongan. Bahkan setelah lima menit pun aku tetap tidak melepaskan pelukan dengannya.

Lalu mungkin karena risih Dia mengomel padaku, “Raka lepaskan! Aku tidak bisa bergerak."

Aku menghiraukan ucapannya, saat ini aku tergoda mencium bau rambutnya yang harum, Entah apa merk shampo yang dia pakai, namun yang pasti dengan mencium aromanya membuatku tenang dan *rileks*.

“Raka aku mohon ..." Dia menatap mataku dengan wajah yang hampir menangis.

Aku menelan ludah, dia terlihat sangat cantik. Pada akhirnya, aku melepaskan pelukan itu yang setelahnya langsung dibalas cubitan keras di pinggang, “Dasar tidak sopan” celetuknya melotot padaku.

“Enggak apa-apa kali ... kan kita udah sah” kataku menyeringai.

Dia memutar bola matanya dengan malas, tidak membalas lagi.

Sekitar jam 9 malam aku dan dia duduk menyandar di kasur. Saat ini baik aku ataupun dia sama-sama memainkan ponsel, sibuk dengan dunia masing-masing.

“Sayang. Boleh gak aku meminta hak sebagai suami." Setelah berpikir terlebih dahulu, aku akhirnya mengatakan sesuatu yang terpendam sejak tadi.

Dia melirikku sebelum mematikan hp yang di pegangannya, dengan wajah sedikit ragu-ragu dia bertanya, “Kau meminta hak yang itu?”

Aku mengangguk, meski tidak mengerti maksud kata 'itu' dari ucapannya.

“Mm... sepertinya aku belum siap, Raka. Aku masih agak takut.”

Aku mengerutkan dahi, “Kenapa tidak siap dan takut? Aku hanya ingin meminta tentang pernikahan kita, maksudku, tentang aturan pernikahan."

Bu Lisa yang sebelumnya menunduk kini kembali mengangkat kepala dan menatapku, "maksudnya?”

“Aku ingin kita memiliki panggilan khusus biar romantis. Jadi aku menginginkan agar Ibu memanggilku dengan sebutan ‘Mas’ mulai detik ini, nahh sedangkan untuk sebaliknya aku tidak memanggil ‘ibu’ lagi, melainkan dengan sebutan 'Adek'. Gimana?"

Dia tiba-tiba seperti menghembuskan napas lega, seperti terselamatkan oleh sesuatu, “Sebenarnya permintaan ini agak ganjil mengingat bahwa aku lebih tua darimu, namun kamu adalah suamiku. Sudah kewajiban agar aku mematuhi apa yang kamu minta, jadi perlahan aku akan mencobanya." Dia tersenyum manis.

Saat itu hatiku tersentuh bahagia atas ucapannya, walaupun jika di pikir bahwa dia menikahi berondong. Dia tidak pernah membantah dan selalu menuruti permohonan ku yang aneh.

\[**Sudah Direvisi**\]

\*\****Jangan lupa vote dan likenya***..!!

***Terimakasih***\*\*..

Eps. 3– Teman

Jika ada yang membencimu itu wajar, yang tidak wajar adalah ketika semua orang menyukaimu.

Seperti Deja vu. Kejadian hari ini sama persis dengan kejadian kemarin saat tepat aku di keluarkan dari kelas. Bagaimana tidak? Aku dua kali di keluarkan disebabkan oleh hal yang sama hanya karena gara-gara tugas.

Hanya saja kali ini aku benar-benar tidak mengerjakannya sama sekali, bukan karena malas mengerjakan tugas, namun tepatnya aku tidak tahu keberadaan tugas itu ada atau tidak.

Yang sama lainya lagi adalah cuaca hujan gerimis, aku kembali lagi di keluarkan oleh istriku sendiri. Kau tahu, ini benar-benar menyedihkan.

Saat malam tadi, Bu Lisa tidak menceritakan tentang tugas yang di berikan olehnya padaku, dan tahu-tahu tepat saat jam pelajarannya dimulai barulah aku menyadarinya.

Hasilnya mudah di tebak, aku di keluarkan dari kelas. Aku menggerutu dalam hati. Awas saja! kalau nanti kami bertemu dirumah, kali ini aku akan benar-benar marah padanya.

Tiga puluh menit berlalu aku menunggu di luar. Bu Lisa akhirnya berjalan ke teras kelas setelah sebelumnya memberikan tugas pada murid di dalam.

Aku menatap wajahnya sesaat saat dia duduk di sampingku, tapi hanya sesaat sebelum aku mendengus dan memalingkan muka padanya.

Sebenarnya aku memang mau menuntut tentang hal ini, kenapa dia tidak memberitahukan tugasnya semalam. Tetapi aku tidak tahu harus memulai marahnya dari mana.

"Aku lupa memberitahukan tugas Ini semalam." Bu Lisa menyentuh pahaku sehingga wajahku menoleh padanya. "Aku minta maaf. Aku akan meringankan hukuman ini."

Aku tidak menjawabnya. Enak sekali Bu Lisa bilang maap, sedangkan aku sudah terhukum oleh kesalahannya.

"Yasudah, aku akan kembali ke kelas." Merasa tidak ada respon dariku, dia menghela napas pendek dan segera bangkit.

"Eh, sebentar! Setidaknya kamu temani aku disini." Aku memegang tangannya, mencegah ia lari dariku.

"Kenapa?"

Aku menghembuskan napas kasar, merasa kesal karena Bu Lisa masih saja bertanya. "Aku bosan, jadi setidaknya kamu temani aku di sini. Anggap saja ini hukuman karena kamu telah lupa."

Bu Lisa diam sebentar, ia tengah menimbang-nimbang tentang permintaanku, apakah ia akan menemaniku atau tidak. lalu setelah beberapa waktu ia akhirnya mengangguk setuju.

Aku tersenyum, tidak memasang wajah jutek lagi. Jujur saja, bahkan tadi menurutku dia akan menolaknya tegas. Bu Lisa kembali duduk di sampingku, sedangkan aku memegang tangannya erat.

Bu Lisa bereaksi ketika tiba-tiba aku bertindak demikian, tetapi alih-alih protes dia hanya diam, membiarkanku mempererat cengkraman tangan.

"Aku harus kembali ke kelas, tidak baik meninggalkan mereka begitu lama." Setelah beberapa menit berlalu bersama, dia meminta izin untuk kembali ke kelas.

Aku mengangguk dan melepaskan cengkraman tangannya, tidak lupa aku sempat mencium pipinya singkat.

Wajah Bu Lisa merona sekaligus salah tingkah, dengan segera ia buru-buru masuk.

Aku tertawa menatap punggungnya yang hilang dari belokan, apakah saat ini dia sudah benar-benar jatuh cinta padaku? Entahlah, aku tidak tahu.

Suasana hatiku jelas berbalik seratus delapan puluh derajat, yang awalnya aku marah dan kesal karena dia, namun kini berganti bahagia dengan bunga-bunga cinta.

\*\*\*

Jam istirahat berdering menyusuri semua lorong, semua murid bersuka cita keluar dari kelasnya dan langsung menuju kantin. Aku yang kini sudah bisa balik ke kelas dan belajar seperti biasa, menguap lebar merasakan kantuk yang amat sangat.

Pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran kedua setelah matematika, saat jam pelajaran berlangsung, alih-alih mengajarkan pelajaran, gurunya malah mendongeng dan menceritakan kisah perjalanan hidupnya.

Para murid tidak protes sedikitpun tentang hal ini malah terkesan berlaga sok antusias mendengarnya. Tentu saja mereka melakukan itu karena niat tersembunyi, tepatnya karena mereka lebih suka mendengar cerita dibanding mendengarkan pelajaran-pelajaran membosankan.

Namun efek sampingnya kini membuat seluruh murid di kelas merasakan ngantuk, tak dapat di pungkiri menguap mereka saling menular dari satu ke yang lainnya dan itu termasuk aku diantaranya.

Kembali saat ini, Aku berjalan bersama temanku Zildan dan Reza menuju kantin. Ketika di sana, kantin itu hampir sepenuhnya diisi oleh semua murid.

Kebetulan sekali di sudut kantin terdapat meja yang masih kosong. Kami berdua bergegas berjalan ke sana, takut-takut ada murid lain yang datang.

Tepat beberapa langkah lagi kami sampai, tiba-tiba tiga murid perempuan datang dan langsung menyerobot kursi yang kami tuju.

“Hei, itu meja punya kita!" Reza melotot kesal. Dia tidak terima saat mejanya di curi.

“Lahh, emang kursi ini punya bapak situh?” Della menjawab ketus.

“Kalau kalian tidak menyerobot, mungkin kursi itu punya kami sekarang!”

“Siapa suruh lambat, siapa yang cepat dia yang dapat."

“Dasar GENDUT ... "

Della langsung reflek bangkit ketika mendengar kata 'gendut'. Wajahnya merah padam, dia sangat bersiap kapan saja meninju Reza. Untungnya kedua temannya sudah sigap menahannya.

Tiga perempuan itu sebenarnya adalah teman sekelas kami, namanya adalah Della, Arin, dan Airin.

Della merupakan ketua kelas kami yang tegas dan berjiwa pemberani, dia adalah perempuan yang sopan dan ramah pada yang lain, dan tentu saja pengecualian bagi Reza.

Sedangkan untuk Arin dan Airin, mereka adalah kembar seiras yang unik dan cantik. Arin yang sebagai kakaknya mempunyai watak yang ceria dan aktif. Lalu kebalikan dengan adiknya Airin, dia mempunyai sifat yang pendiam dan terkesan pemalu.

Agar bisa membedakan kedua wajah gadis kembar itu, kalian tinggal lihat pita rambut yang mereka pakai. Yang satu berwarna cyan dan satunya lagi berwarna ungu, itu adalah letak kami bisa menebak dari salah satu keduanya.

Pertengkaran Reza dan Della sebenarnya tidak asing di pandangan kami, Reza memang sering bertengkar dengan Della di setiap harinya, selalu ada perkara yang membuat mereka ribut.

Namun yang unik dari keduanya adalah, bahwa di kelas kami kedudukan mereka berdua adalah ketua kelas dan wakil ketua kelas. Anehnya bukannya saling akur dengan jabatan kelas itu, justru di setiap harinya mereka asik bertengkar, apalagi ketika berdekatan bersama.

“Sudah Za, kita mengalah...” Aku awalnya memang tenang-tenang saja tetapi karena melihat banyak para murid menoleh pada pertikaian kedua insan ini, membuatku risih dan tidak bisa berdiam diri.

Reza mendengus kesal saat menyadari tatapan murid tertuju padanya. “Ok, aku ngalah sekarang, tapi di masa depan awas aja kau."

“Emang aku takut gituh, wlee, ... pergi sana, hush hush.” Della mengayunkan tangannya, mengusir Reza seperti anak kucing.

Aku dan Zildan saling tatap, lalu kemudian menepuk jidat masing-masing.

\[**Sudah di revisi**\]

\*\*\****Like dan Votenya Jangan lupa***..!!

***Silahkan komen kekurangan novel ini dengan begitu author akan cepat bisa memperbaikinya***

***Terimakasih***\*\*\*..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!