(Cerita ini saya buat melalui pikiran saya sendiri. Jika ada kesamaan dengan cerita yang lain Itu hanyalah unsur ketidaksengajaan! Sekian dan terima kasih.)
...✿✿✿...
Agnasia Arista Alddes. Itu adalah namaku, sejak kecil kasih sayang dan cinta dari keluarga tidak pernah ada untukku.
Orang-orang terdekat pun hanya terdiri dari satu pelayan setia ku serta sahabat kecil ku Galen Alastor.
Ayah dan kakak sangat membenciku karena aku yang menyebabkan ibu meninggal. Mereka selalu menyebut ku putri pembawa sial dalam keturunan Alddes.
Ayah juga, sekarang dia hanya peduli pada nama keluarga Alddes dan selalu mengabaikan ku.
Walaupun begitu, aku tetap menyayangi mereka. Aku selalu ingin mendapat perhatian dari mereka dan terus berusaha agar mereka memberikan perhatiannya pada ku, walau hanya sedikit saja.
Aku selalu tersenyum pada mereka setiap saat. Lalu belajar dengan giat agar tidak membuat malu nama keluarga Alddes.
Tapi itu semua sia-sia saja. Itu karena aku begitu menjijikkan dimata mereka.
Di tengah keterpurukan ku, aku malah di jodohkan dengan pangeran Dellion Avel Alcander yang memberikan aku arti sebuah cinta dan rasanya dicintai.
Aku bahkan ingat janji yang dia katakan padaku di istana kristal saat liburan musim panas.
Masih sangat terasa genggaman hangatnya yang memegang kedua tanganku. Tatapan Dellion yang begitu tulus membuat perasaan ku menjadi tidak karuan.
"Aku akan tetap bersamamu, dan tidak akan pernah meninggalkan mu. Aku mencintaimu. ini janji ku."
Pangeran lalu memberikan setangkai bunga anyelir putih padaku.
Arti dari bunga anyeril putih adalah sebuah kesetiaan dan perasaan cinta pada pasangan. Karena itu di istana kristal di tanam bunga Anyeril putih sebagai lambang hubungan ku dengan pangeran.
Kebahagiaan pun terus berlanjut.
Dan aku berfikir semua akan berjalan dengan baik walaupun ayah dan kakak tidak menyukai ku. Karna aku memiliki Pangeran dan mereka yang selalu ada untukku, itu sudah lebih dari cukup.
Namun nyatanya, semua kebahagiaan ku berakhir saat kecelakaan pengeran Dellion secara tiba-tiba.
Dia bahkan melupakan ku bersama dengan janji yang di buatnya.
Aku terus berusaha karena aku yakin, dia pasti akan mengingat ku dan janji bunga Anyelir putih.
Sampai sebuah jalan untuk pangeran sembuh berada tepat di depan mata, aku sangat senang karena putri dari Viscount bisa membuat pangeran kembali sembuh.
Akan tetapi ... Pangeran memang bisa mengingat ku, namun rasa cintanya sudah tidak ada lagi untuk ku.
Dellion malah berpaling dan mencintai putri Viscount, yaitu Carin.
Dari saat itu aku sangat menyesal telah menunggunya dan mulai berubah menjadi lebih kasar karena sikap pangeran yang membuang ku tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Perlahan-lahan kebahagiaan ku makin menghilang dan berakhir lenyap.
Tamparan di depan umum oleh kakak ku kerena perbuatan yang ku lakukan, pelayan setiaku yang mati karena membela ku, sampai pada hukuman gantung untuk ku atas perintah pangeran.
"Tradisi setiap kerajaan adalah memenuhi permintaan terakhir dari sang tahanan, jadi apa permintaan mu putri?" tanya Galen Alastor sahabat dari Agnasia.
Wanita itu mengangkat kepalanya menatap pangeran serta kaisar yang duduk di sana, Lalu wanita yang di samping Dellion yaitu Carin.
Dia lalu membuka suaranya dan berbicara dengan lantang tanpa rasa takut sedikit pun. Ya, karena dia sangat membenci mereka.
"Aku hanya ingin pangeran dan kalian semua, mendengarkan aku untuk terakhir kalinya. Jangan menyesali keputusan kalian! Dan sampai aku mati aku tidak akan melupakan ini!"
Mendengar itu rakyat saling berbisik-bisik ada juga yg berteriak penjahat berdarah dingin pada Agnasia.
Kemudian, Pangeran Dellion membuka mulutnya membalas perkataan Agnasia sebelumnya.
"Aku tidak akan menyesalinya."
Perkataannya itu membuat Hati Agnasia seperti di cambuk ratusan kali, wanita mana yang ingin mendengar perkataan menyakitkan dari mulut pria yang dia cintai?
Kaisar kemudian mengangkat tangannya pertanda mempersilakan prajurit untuk melanjutkan pekerjaannya mengakhiri hidup dari putri Duke itu.
Di saat aku berfikir semuanya telah selesai, aku malah di kembali ke kehidupan ku yang dulu secara tiba-tiba.
Berbagai mata tertuju pada seorang wanita yang baru saja keluar dari dalam ruangan bawah tanah. Dengan tangan di rantai, di sampingnya berdiri kedua prajurit kekaisaran yang sedang membawanya ke tempat eksekusi.
Pandangan wanita itu tidak bisa melihat dengan jelas, karena dia sudah di kurung cukup lama dan hanya di beri makan seminggu 3 kali oleh para pelayan.
Rambut yang dulunya indah sekarang menjadi rusak. Kulit yang dulunya terawat sekarang menjadi kering dan mengelupas.
Langkahnya terhenti di tengah-tengah tempat eksekusi. Di depannya terdapat tali gantung yang mengerikan bagi si penerima hukuman.
Begitu matanya melihat itu, rasa menyesal, sakit, serta benci menjadi satu.
Dia menyesal karena sudah menunggu lelaki yang dia cintai untuk kembali bersamanya.
Dia sakit karena kenyataan yang menyakitkan menamparnya dengan begitu keras.
Dia membenci para penghianat yang telah merebut semuanya termasuk orang yang ia cintai.
Sayup-sayup teriakan orang-orang menyapu pendengarnya. Mereka menginginkan kematiannya agar segera di percepat mengingat dia adalah salah satu aib terbesar untuk Kekaisaran.
Mereka menganggapnya sebagai dalang dari semua keburukan yang terjadi dalam kekaisaran Aegeus.
Kini, pandangannya terarah pada sesosok pria yang dulunya mencintainya dan sebaliknya juga.
Padahal sebentar lagi ia akan menikah dan menjadi istri dari Pangeran Dellion, namun itu semua hancur saat penyerang tiba-tiba pada Pangeran yang akan kembali pulang dari peperangan beberapa tahun lalu.
Karena kejadian itu Dellion melupakan sebagian orang-orang terdekatnya, termasuk dirinya yang berstatus tunangan Pangeran.
Berbagai upaya sudah ia lakukan untuk membuat Pangeran sembuh, tapi itu sia-sia saja.
Sampai kedatangan Putri dari Viscount. Dia membantu dan mengobati Dellion sampai sembuh. Tapi pada akhirnya Pangeran malah jatuh hari pada wanita itu. Carin dari keturunan Alecta.
Dia sungguh tidak percaya bahwa Pangeran tidak lagi memiliki perasaan apapun padanya dan malah peduli pada Carin.
Melihat hal itu, dia mulai cemburu dan daberubah menjadi lebih kasar, sampai ia mencoba untuk melukai dan membunuh Carin.
Tetapi tindakannya itu di ketahui oleh salah satu pelayan kerajaan dan melaporkannya pada Pangeran. Ia kemudian di tangkap dan di tahan dalam penjara bawah tanah Kekaisaran cukup lama.
Duke Alddes ayah dari Agnasia, yang tidak peduli tentang kehidupan putrinya hanya bisa diam dan tidak membelanya sama sekali.
Di tambah kakak Agnasia yang tidak menyayanginya, karna dia hanyalah anak pembawa sial bagi keluarga Alddes.
Agnasia tersenyum pahit saat mereka mengikat tali itu di lehernya. Salah satu kaki tangan kaisar mendekat, dia adalah anak kedua dari keluarga Alastor.
Kedua mata biru lelaki itu melihat kearah Agnasia, ada sedikit rasa sakit dalam hatinya mengingat sang sahabat yang mendapati hukuman gantung dan dia tidak bisa menyelamatkannya.
"Tradisi setiap kekaisaran adalah memenuhi permintaan terakhir dari sang tahanan, jadi apa permintaan mu putri?"
Tanya Galen sahabat dari Agnasia. Wanita itu mengangkat kepalanya menatap Pangeran serta Kaisar yang duduk di singgah sana, lalu wanita yang di samping Dellion yaitu Carin.
Dia lalu melihat kakak beserta ayahnya yang hanya diam dengan raut datar, serta pasangan Viscount dan Viscountess.
Agnasia kemudian membuka mulutnya mulai berbicara lantang tanpa rasa takut sedikit pun, karena dia sangat membenci mereka.
"Aku hanya ingin Pangeran dan kalian semua, mendengarkan aku untuk terakhir kalinya. Sampai aku mati, aku tidak akan melupakan ini!!"
Mendengar itu rakyat saling berbisik-bisik, ada juga yang berteriak penjahat berdarah dingin pada Agnasia.
Kemudian, Pangeran Dellion membuka mulutnya membalas perkataan Agnasia.
"Aku tidak akan menyesalinya."
Deg!
Perkataannya itu membuat hati Agnasia seperti di cambuk ratusan kali, wanita mana yang mau mendengar perkataan menyakitkan dari mulut pria yang ia cintai?
Kaisar kemudian mengangkat tangannya pertanda mempersilakan prajurit untuk melanjutkan pekerjaannya mengakhiri hidup dari putri Duke itu.
'Aku tidak mau bertemu lagi dengan kalian.'
Lantai tempatnya berpijak tiba-tiba terbuka. Dia perlahan merasakan cengkraman yang begitu menyiksa.
Agnasia tidak bisa lagi bernafas dengan leluasa, hingga perlahan-lahan pandangannya menggelap di ikuti hembusan nafas yang terhenti.
...✾✾✾...
Keadaan gelap, wanita itu duduk meringkuk tidak tahu harus berbuat apa, padahal dia hanya ingin sebuah cinta dan berakhir seperti ini?
Memang benar semua salahnya, karena ia mencoba membunuh Carin karna api cemburu yang ada dalam dirinya tidak dapat terkontrol.
Roh yang malang, kamu sangat menyedihkan.
Agnasia mendongkak melihat kedepan, terdapat sebuah cahaya kecil yang berterbangan di depan matanya.
"Siapa kamu?"
Aku penjaga tempat ini, mari ikut aku.
Ia kemudian bangkit berdiri dan mengikuti cahaya itu pelan-pelan.
"Kirim aku ketempat yang lebih baik ... Jangan kembalikan aku kesana lagi,"
Lirih wanita itu pada cahaya yang memimpinnya di depan. Cahaya itupun terhenti.
Dia sangat menyayangi mu. Dia ingin membuat mu bahagia dengan menjalani kehidupan mu lagi.
"Hah! Bualan gila apa itu? Lalu dia? Siapa dia? Pokoknya aku menolaknya!"
Terlambat.
Tiba-tiba cahaya itu menjadi sangat besar dan menelan tubuh Agnasia. Tarikan tersebut terasa menarik kulitnya, dia berteriak pun kesakitan hingga akhirnya semuanya berubah menjadi gelap gulita.
...✾✾✾...
Di atas tempat tidur Agnasia bangun dengan nafas tidak beraturan, tangannya memegang leher tempat tali itu di ikat.
Dari arah pintu datang seorang wanita dengan pakaian maid sambil memegang wadah kecil di tangannya.
"Nona ... Anda kenapa? Apa ada yang terjadi? Kenapa wajah anda begitu pucat?" tanya pelayan bernama Marry bertubi-tubi pada majikannya. Sedang Agnasia hanya terdiam mengetahui bahwa dia kembali lagi di kehidupannya dulu.
"Tidak! Aku tidak mau kembali!!"
Wanita itu berteriak histeris sambil mengacak rambutnya. Marry yang melihat majikannya bertindak aneh, memberanikan diri bertanya.
"No-nona ... Kenapa ada jadi seperti ini?"
Dengan suara pelan Merry menanyakannya, tapi tidak di jawab oleh Agnasia.
"Tidak ... Tidak ... Aku akan tersiksa lagi jika kembali," gumam Agnasia dengan wajah pucatnya.
Pandangannya kini menjelajahi keseluruhan ruangan kamar, sampai maniknya menangkap sebuah pisau yang tertancap di salah satu buah di dalam wadah atas meja.
Bergegas ia bangkit berdiri dan pergi mengambil pisau itu. Merry kaget, dan reflek berteriak ketakutan saat melihat Agnasia sudah meletakan pisau itu di lehernya. Agnasia sudah siap untuk mengakhiri hidupnya.
"Nona! Jangan lakukan itu!!"
Setelah teriakan Merry, tiba-tiba pintu terbuka. Menampakkan seorang pria muda yang masuk dengan tergesa-gesa sebelum kemudian menangkap tangan adik perempuannya.
"Kamu sudah gila!!"
Sedikit goresan di tangannya karena menarik paksa pisau yang ada di tangan Agnasia.
"Tidak! Kalian pasti akan membunuh ku! Jadi aku saja yang akan mengakhiri hidup ku!" gumamnya pelan sambil berteriak histeris.
Pria itupun memegang pundak adiknya tapi di detik selanjutnya Agnasia pingsan dan tidak sadarkan diri.
Keadaan dalam ruangan kamar sangat hening saat dokter yang sering mengecek kesehatan para bangsawan datang memeriksa keadaan Agnasia.
Tiba-tiba pintu terbuka. Nampak Duke George masuk dengan tergesa-gesa, karena mendengar kabar dari pengirim pesan keluarga Alddes.
"Ada apa dengannya Deondre?!"
Manik obsidian miliknya melihat anak laki-laki yang berdiri menatap tenang sosok Agnasia. Perlahan Deondre membuka mulutnya, membalas pertanyaan sang ayah.
"Tiba-tiba saja dia bangun dan akan membunuh dirinya sendiri. Tapi saat itu, aku dengan cepat menahan tindakan yang ia lakukan. Setelahnya dia tidak sadarkan diri," jawab Deondre dengan singkat serta sangat jelas.
Duke mengerutkan alisnya sambil menatap kearah Agnasia yang tertidur tenang.
Kemudian dokter berdiri melihat kearah dua lelaki yang sedang menatapnya meminta jawaban.
"Sepertinya Putri Agnasia mengalami trauma complex sementara, mendengar penjelasan pelayan serta tuan muda tadi, bisa saja ada kejadian buruk yang menimpanya."
Penjelasan dokter membuat mereka terdiam, karena untuk pertama kalinya mereka mendengar bahwa Agnasia mengalami trauma.
"Apa ada obat untuk menyembuhkannya?"
Duke membuka suara menanyakan hal yang begitu ingin dia tahu itu.
"Seiring berjalannya waktu dia akan pulih, hanya saja jangan menanyakan hal yang menyangkut tentang kejadian buruk itu padanya dalam masa pemulihan."
Mereka berdua mengangguk kemudian Duke memanggil pengawalnya untuk mengantar dokter sampai ke tempatnya dengan selamat.
Sedangkan tuan Duke muda memanggil pelayan Marry untuk menjaga Agnasia dan menyuruh beberapa pelayan lainnya mengasingkan benda-benda tajam dari dalam ruangan yang Agnasia tempati.
...✾✾✾...
Dalam alam bawah sadar Agnasia, dia melihat adegan tubuhnya tergantung di tengah-tengah tempat eksekusi berkali-kali, serta pandangan orang-orang yang tidak menyukainya.
Wanita itu kembali lagi membuka kedua kelopak matanya dengan nafas yang memburuh tidak tenang, tapi dengan cepat Marry memegang tangannya mencoba menenangkan Agnasia.
"Nona, saya ada disini dan tidak akan meninggalkan nona."
Kalimat yang Merry lontarkan membuat Agnasia berbalik menatapnya. Dia lalu menarik wanita yang lebih tua dua tahun itu ke dalam pelukannya.
"Maafkan aku ... maafkan aku..." gumam berkali-kali Agnasia pada Marry dayangnya.
"Tenang nona, tenang..."
Usapan pelan Marry membuat Agnasia perlahan-lahan menjadi tenang. Nafasnya kini teratur dan ia mulai tertidur.
...✾✾✾...
Beberapa hari pun berlalu, di dalam ruangan kamar yang bernuansa minimalis, Agnasia menatap dayangnya yang sedang mengatur berberapa makanan di atas meja.
Ia teringat kembali akan kejadian dulu saat Marry membelanya di depan umum, tapi pada akhirnya dia di hukum penggal oleh pangeran.
Agnasia menyesali semuanya. Jika saja api cemburu dapat dia kendalikan, pasti Marry tidak akan mati karena membelanya.
"Nona ... ini supnya, saya sudah memanaskannya lagi sesuai perintah anda. Silakan di nikmati," ucapnya sembari membimbing Agnasia dengan hati-hati ke arah sofa.
Ia kemudian menyerahkan sup hangat untuk di nikmati sang majikan sebelum kembali berdiri tegak.
"Kamu boleh duduk Merry, pasti lelah berkerja seharian kan?" ucapnya tanpa memandang Marry yang berdiri di sampingnya.
"Tidak nona, saya tadi baru saja istirahat. Nona makanlah dan jangan pedulikan saya."
Penolakan tersebut membuat Agnasia berhenti dari aktifitas makannya. Ia lantas berbalik dan menatap Marry cukup dalam.
"Duduklah ini perintah."
Mendengar kata perintah serta tatapan majikannya yang terasa cukup membebani Marry, mau tak mau dia harus mematuhinya.
Ia kemudian bergerak kaku dan duduk di salah satu sofa yang tersedia di sana.
...✾✾✾...
Menjelang sore Agnasia membuka jendela kamarnya. Menyapu pandang ke sekeliling tempat yang terasa familiar.
Keadaan ini masih sama seperti dulu, tenang dan damai. Yang berbeda di sini adalah dia yang kembali menjalani kehidupan masa lalunya tanpa sepengetahuan orang-orang.
Agnasia kemudian teringat akan pembicaraannya bersama sesosok cahaya sebelum ia kembali ke masa lalu.
Sebenarnya siapa Dia yang cahaya itu maksudkan? Apa Dia itu adalah Dewa? Lantas, kenapa Agnasia harus mengulangi kehidupannya yang sangat buruk ini sekali lagi?
Banyak pertanyaan yang berterbangan dalam benaknya. Namun ia sama sekali tidak mendapatkan jawabannya itu.
Sampai tiba-tiba terbesit satu hal yang belum ia selidiki sejak kembali lagi ke masa lalu.
"Di tahun berapa aku kembali?"
Bergegas Agnasia mencari kalender untuk melihat bulan apa dan tahun berapa dia kembali.
Begitu ia mendapati apa yang di cari sedari tadi, tubuhnya seketika menegang saat melihat angka yang tertera di sana. Ternyata dia kembali saat sebelum Pangeran pulang dari perang.
"Artinya aku sudah bertunangan dengan Pangeran," ucapnya nanar sambil tersenyum getir.
Mengingat bagaimana Pangeran berpaling darinya tanpa rasa bersalah sedikitpun, membuat perasaan Agnasia sangat terluka.
Ingin sekali ia memutuskan hubungan antara dia dan Pangeran. Tapi, hal tersebut sangatlah tidak mungkin. Hubungan ini sudah seperti tali jerat yang tidak bisa di lepaskan begitu saja.
"Apa yang harus ku lakukan—"
Pintu kamar yang tiba-tiba terbuka lebar, mengundang Agnasia untuk berbalik menatap ke arah sebaliknya.
Terlihat sosok ayahnya yang berdiri tegak di depan pintu dengan ekspresi datar yang tidak berubah sejak terakhir kali dia melihatnya.
"Salam Tuan Duke."
Agnasia menarik kedua sisi gaunnya, memberi salam hormat pada Duke seperti yang sering di lakukan para bangsawan.
Jika di bandingkan dengan dirinya yang dulu, maka Agnasia sudah memeluk erat Duke untuk mencari perhatian pria itu.
Tapi, semuanya percuma saja. Sampai matipun kasih sayang serta kepedulian yang ia dambakan tidak pernah di tunjukkan mereka padanya.
Jadi, untuk sekarang, dia akan berhenti melakukan hal yang hanya membuang-buang waktu dan tenaga secara cuma-cuma. Lebih baik seperti itu.
Ketika ia kembali berdiri tegak, manik Agnasia menangkap raut terkejut yang di tunjukkan Duke. Membuatnya bertanya-tanya, apakah dia melakukan suatu kesalahan? Tidak mungkinkan.
"Ada apa tuan Duke menemui saya?" tanyanya memecahkan keheningan.
Detik berikutnya mimik wajah pria itu berubah seperti sebelumnya. Datar.
"Aku hanya ingin melihat mu saja, jangan terlalu memaksakan diri."
Ucapannya itu cukup membuat Agnasia berkutik kaget. Sangat jarang Duke mengucapkan kalimat yang menunjukkan rasa khawatirnya.
Karna biasanya, dia hanya berucap 'Jangan membuat nama keluarga rusak' atau hal lain yang menyakiti hati.
"Terima kasih atas perhatian yang tuan Duke berikan pada saya."
Jawaban seadanya keluar dari balik bibir ranum wanita itu. Dia sungguh merasa janggal akan sifat ayahnya yang tiba-tiba berubah.
"Jangan lupa, besok kita harus menyambut kedatangan Pangeran yang menang dalam perang perebutan wilayah."
Agnasia seketika terkejut saat mendengar pernyataan tersebut. Dia benar-benar sudah lupa soal kejadian ini.
Artinya, surat pemberitahuan pernikahan ku akan sampai. Ini sungguh gawat.
"Tuan Duke, bisakah saya tidak mengikuti acara penyambutan itu?"
tuturnya dingin membuat Duke mengerutkan dahinya merasa heran akan perkataan Agnasia.
"Kenapa tiba-tiba kamu berkata seperti itu? Bukannya kemarin kamu sangat menantikannya?" tukas Duke George tak kalah dingin sambil memicingkan matanya.
"Itu kemarin ... hari ini saya sudah berubah pikiran."
"Agnasia! Apa alasanmu berkata seperti itu? Jelaskan dengan benar."
Cetus Duke dengan oktaf suara yang meninggi. Dia begitu tidak menyukai jawaban Agnasia yang terdengar plin-plan.
"Saya sudah tidak menyukai pangeran," ungkapnya jujur yang makin mengundang amarah George.
"Apa?! Kamu jangan mengambil keputusan yang aneh-aneh! Kaisar sendiri yang menunjuk mu menjadi calon istri Pangeran. Jangan membuat malu nama keluarga Alddes! Pikirkan itu."
Ketika Agnasia ingin membalas perkataan Duke, tangan kanan pria itu terangkat. Dengan maksud menyuruhnya untuk diam. Setelahnya terlihat George melangkah keluar dari dalam kamar dan menghilang di balik pintu yang tertutup.
...✾✾✾...
Di siang hari yang tidak begitu terik, Agnasia keluar bersama Marry untuk melepas penat karna sudah terkurung dalam kamar cukup lama.
Ketika ia tiba di lantai selanjutnya, ingatan dulu langsung terlintas dalam benaknya.
Masih membekas dengan sangat jelas, suara tawa serta langkah kaki yang berlari ketika ia mencari perhatian orang-orang sekitar termasuk ayah serta kakaknya.
Tapi itu dulu, sekarang Agnasia tidak akan melakukan hal konyol yang tidak berguna itu dan berniat mengubah takdirnya.
Saat ia semakin jauh menelusuri koridor kediaman Alddes, samar-samar Agnasia melihat beberapa pekerja dan pelayan yang menatapnya aneh sambil berbisik satu sama lain.
"Biasanya nona sering tersenyum dan berlari menyapa kita, tapi kenapa sekarang tidak?"
"Mungkin karena kejadian hari itu, nona jadi berubah."
"Memangnya apa yang terjadi?"
"Ini karena trauma tiba-tiba."
Suara bisikan mereka cukup mengusik pendengaran Agnasia. Ia lantas melihat kearah para pelayan dengan lirikan tajam. Mereka seketika takut dan tidak membuka suara lagi.
Kembali melanjutkan perjalanan, dari kejauhan maniknya menangkap sosok seorang pria yang tidak lain adalah Deondre. Saudara laki-lakinya.
Sekejap Agnasia mematung. Tidak dapat bergerak sama sekali. Ingatan tentang dirinya di tampar di tengah-tengah ruangan aula kerajaan membesit layaknya sengatan listrik.
Keseimbangannya pun hilang dan berangsur jatuh, tapi beruntung Marry dengan cepat menangkap tubuh majikannya.
"Nona, anda baik-baik saja? Harusnya tadi beristirahat," ucapnya cemas sembari menatap khawatir Agnasia memegang kepalanya.
"Tidak apa-apa ... Jangan khawatir." jawab Agnasia meyakinkan dayangnya.
Namun tetap saja, rasa bimbang dalam hati Marry tak kunjung pudar. Ia begitu takut jika majikannya kenapa-napa seperti saat itu.
Saat Agnasia menoleh ke depan, nampak Deondre yang sudah ada di depan mata tubuhnya dengan ekspresi datar.
‘Pasti aku akan di usir olehnya.’
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!