NovelToon NovelToon

Everything About You

Bab 1

"Saya terima Nikahnya Anisa binti Abdul arif dengan seperangkat alat shalat dan cincin emas tersebut dibayar tunai"

Bagaimana saksi, sah ?

Sah...

sah...

Alhamdulillah..

Suara lantang Dimas menggema di seluruh ruangan tempat di laksanakannya acara yang begitu sakral hari ini. Bahkan suara yang di bantu microfon menembus hingga ke telinga gadis yang masih berada di kamar lantai dua rumah ini. Anisa Rahmawati namanya, dengan memakai kebaya putih juga bunga melati yang menjuntai indah di kepalanya mengucapkan syukur atas hari ini dengan beberapa tetes air mata jatuh diatas pipinya.

Air mata bahagia ? Bukan, itu bukanlah air mata bahagia seperti yang di rasakan pengantin wanita pada umumnya, saat sang pujaan hati berhasil mengucapkan kalimat sakral yang sangat di idamkan oleh seluruh wanita di dunia. Namun meskipun begitu Anisa tetap mensyukuri pernikahan ini, karena dengan ini dia benar-benar bisa berbakti pada Abi dan Uminya. Melihat senyum yang terpancar dari Umi, juga suara haru dari Abi yang melafazkan ijab tadi membuatnya ikut bahagia.

"Kok nangis, nanti makeupnya luntur sayang, ayo kita kebawa suamimu sudah menunggu." Kata wanita paruh baya yang sedang menemaninya di dalam kamar yang sudah sejak kecil dia tempati.

"Umi, Nisa belum ingin meninggalkan kamar ini, Nisa masih ingin disini boleh ya ?" Tanya Anisa memelas

Umi Zainah tersenyum teduh pada putri tunggalnya yang mungkin beberapa hari ini tidak akan lagi tinggal bersamanya.

Dengan terpaksa Anisa bangkit dari tempat duduk yang berada di meja rias miliknya, Umi Zainah mengapit legan sang putri menuruni satu persatu anak tangga di kediamnnya menuju sang menantu berada.

Anisa sudah duduk di samping dimas, ikut mengaminkan di dalam hatinya ketoka do'a-do'a kebaikan yang di lafazkan pemuka agama.

Dengan perlahan Dimas memakaikan cincin emas putih dengan berlian di atasnya pada jari manis Anisa begitupun sebaliknya. Anisa mencium tangan laki-laki yang sudah menjadi imamnya khidmat.

********

** Anisa Pov's**

Satu Minggu Kemudian

Aku terus melangkah perlahan mengikuti sekertaris pribadi suamiku memasuki Apartemen mewah miliknya. Di apartemen inilah nanti aku akan menghabiskan hari - hariku setelah pulang dari tempat kerjaku. Satu hal yang masih aku syukuri, mas Dimas tidak melarangku untuk tetap melakukan aktifitasku sebagaimana mestinya.

Seminggu sudah berlalu aku berganti status menjadi istri dari seorang laki - laki bernama Dimas Prasetyo yang umurnya berbeda 10 tahun denganku. Pernikahan yang sama - sama tidak kami inginkan. Aku tahu suamiku punya wanita yang sangat dia cintai, namun karena alasan untuk berbakti pada orang tuanya sama seperti alasanku, dia mau menerima perjodohan ini dan bersedia menikahi ku. Entahlah aku masih belum tahu akhir dari kisah pernikahanku ini, aku hanya akan menjalaninya saja.

Aku baru saja menyelesaikan S1 di salah satu Universitas swasta di kota Bandung setahun yang lalu dan sekarang aku bekerja di perusahaan yang di pimpin langsung oleh suamiku.

Siti nurbaya di era milenial, begitulah aku menyebut diriku sendiri. Aku hanya bisa mengangguk pasrah saat abi menyampaikan titahnya untuk menikahkan aku dengan anak sahabatnya yang tidak lain adalah nas Dimas pimpinan perusahaan tempatku bekerja.

Sebelum pernikahan, aku dan mas Dimas sudah membicarakan banyak hal tentang apa saja yang harus aku lakukan setelah menjadi istrinya dia juga menceritakan wanita yang sangat dicintainya sejak kuliah hingga sekarang.

Sungguh aku tidak sakit hati dengan wanitanya, hanya saja sedikit tidak nyaman ketika membayangkan menghabiskan hidup dengan laki - laki yang mencintai wanita lain.

Aku tahu mas Dimas orang yang baik, namun aku juga bukan orang jahat yang dengan tega melukai wanita lain. Disini aku hanya memprioritaskan abi dan umi, memilih mana orang yang lebih penting dalam kehidupanku, sungguh aku juga tidak ingin melukai mereka dengan menolak perjodohan ini. Sama seperti mas Dimas, dia mendahulukan kebahagiaan Ayah dan Ibu dari pada kebahagiaanya sendiri.

Sudahlah semuanya sudah terjadi, tidak ada yang perlu disesali lagi, mulai saat ini aku hanya akan menjalani semuanya dengan ikhlas.

Hari ini hari pertama aku dan mas Dimas pindah ke apartemen. mas Dimas tidak ingin tinggal bersama Abi dan Umi atau Ayah dan Ibu. Dia membeli sebuah apartemen untuk kami tinggali, walaupaun ibu mertuaku memaksanya untuk tinggal bersama mereka tetapi Mas Dimas tidak mau.

Meskipun Abi dan Umi tidak pernah memintaku untuk tinggal bersama pmereka setelah menikah nanto, namun tetap saja hatiku terasa sesak saat meninggalkan mereka juga rumah yang sudah aku tinggali selama 22 Tahun ini.

Tapi kelihatanya mas Dimas sama sekali tidak perduli denganku. Setelah sampai di Jakarta mas Dimas langsung memilih pergi, aku tak tahu kemana perginya dia, hanya asisten pribadinya yang mengantarku dengan selamat sampai apartemen.

Aku pernah sekali datang ke apartemen ini, mas Dimas sengaja mengajaku agar aku bisa mengatakan padanya apa yang aku sukai.

Satu demi satu anak tangga terlewati, aku masih setia mengikuti asisten pribadinya mas Dimas yang bernama Tio dari belakang menuju kamar yang akan kami tempati nanti. Satu kamar dengan dua tempat tidur di dalamnya. Ibu mertuaku mengizinkan kami untuk tidak mau tinggal serumah dengan mereka, namun apartemen yang kami tempati tidak boleh memiliki dua kamar atau lebih. Dan berakhirlah dua kamar di renovasi menjadi satu kamar yang luas agar bisa menampung dua tempat tidur di dalamnya.

"Silahkan masuk nona." Suara dari asisten mas Dimas menyadarkanku dari lamunan tentang pernikahanku.

Sambil membuka pintu kamar asistennya mas Dimas mempersilahkan aku masuk. Masuk kedalam kamar, aku menjelajahi seluruh ruangan dengan pandanganku. Foto pernikahan kami terpajang di dinding kamar membuatku tersenyum miris.

"Kamar yang indah, terimakasih mas Tio" Kataku pada asisten suamiku.

"Sama - sama nona, silahkan beristirahat" Jawab Tia dan segera menutup kembali pintu kamar.

Selepas kepergian Tio aku membaringakn tubuhku di atas salah satu ranjang. Menikmati kesendirianku, Menatap langit-langit kamar yang mungkin akan menjadi pemandangan favoritku setiap hari. Dulu pernah berharap jika menikah nanti, bukan hanya akan menjadi suami tetapi juga teman yang bisa menjadi tempatku untuk berkeluh kesah. Tapi inilah kenyataan, semua takdirku sudah tertulis rapi di lauh mahfuz, aku hanya siap menjalaninya dengan ikhlas.

Ruangan yang luas menambah tingkat kesunyaian. Kamar ini bahkan lima kali lebih luas dari kamar kostku di Jakarta selama bebrapa bulan ini. Ranjang yang besar untuk tubuh seukuranku.

Beberapa kali netraku mengelilingi ruangan yang luasnya hampir setengah dari apartemen ini.

"Ah nikmati saja Nisa, tempat tinggal gratis makan gratis dan kartu kredit gratis. Bukankah banyak gadia yang ingin berada di posisimu." Kataku menyemangati diri sendiri.

Karena dari Bandung menuju Jakarta begitu melelahkan akhirnya aku terlelap di alam mimpi indahku, dan semoga kehidupanku kedepannya akan berjalan lancar meski tidak seindah mimpiku.

 

Bab 2

**Dimas Pov's**

Aku memutuskan untuk membawa Anisa pindah dari Bandung ke apartemen yang baru - baru ini aku beli atas nama dirinya hari ini. Aku tahu dia gadis yang baik, taat pada orang tua untuk itulah ayah dan ibu lebih memilihnya dari pada Rania.

Bertahun - tahun aku menjalani hubungan dengan Rania, gadis yang tidak kalah baik dari Anisa hanya saja, Rania yang seorang aktris dengan segala kecantikan dan kemolekan tubuhnya terpampang dimana - mana, sedangkan Anisa gadis yang berpakaian tertutup namun tetap terlihat bersahaja.

Aku tidak mencintai Anisa, aku jujur akan hal itu. Aku tidak menginginkannya dalam hidupku, untuk itu aku tidak ingin mengikatnya. Aku memberikan kebebasan padanya sama seperti dulu sebelum menikah denganku, dan aku meminta kebebasan pula darinya sama seperti sebelum menikah dengannya.

Aku dan Anisa sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing - masing. Aaku akan bertanggung jawab sebagai suami untuk nafkah lahirnya namun tidak dengan nafkah batin. Katakanlah aku egois akan hal ini, namun aku todak perlu melakukan hal itu dengan wanita yang tidak aku sukai. Aku hanya ingin menikmati itu dengan Rania meskipun aku tidak tahu kapan dia siap untuk menikah denganku.

Anisa hanya terdiam sewaktu aku menyatakan semuanya tentang kehidupan setelah kami menikah nanti. Aku tahu dia mungkin tidak menyetujui semua perkataan ku namun dia juga tidak bisa menolaknya, karena memang seperti inilah keadaanya dan mau tidak mau dia harus bisa mengerti akan hal yang tidak bisa kami lewati. Aku berjanji akan memperlakukan dia dengan baik sebagai teman atau adik mungkin.

Baru bebrapa bulan ini Anisa bekerja di perusahaan yang aku pimpin. Dia gadis yang mandiri juga telaten dalam pekerjaanya. Di kantor banyak yang menyukai kinerjanya juga sopan dengan siapa saja yang di temui dan aku mengakui hal itu.

Sudah hampir dua jam aku duduk di restoran tempat aku janji janjian bertemu Rania. Beginilah seorang Rania, pekerjaan dan karirnya adalah prioritas utama sedangkan aku nomor dua.

Aku berjanji untuk menunggunya disini karena ingin menyelesaikan masalah yang beberapa hari ini tidak sempat aku bicarakan dengannya. Aku tahu Rania kecewa padaku, namun aku juga tidak ingin mengecewakan ayah dan ibuku.

Ayah dan ibu bukan tidak menyukainya, tapi Rania tidak ingin melepaskan karirnya meskipun kami sudah menikah nanti dan ibu todak ingin akan hal itu.

"Sudah lama ? maaf ya membuatmu menunggu, aku masih syuting tadi." Suara Rania membuyarkan lamunanku. Suara yang suda sangat aku rindukan bebrapa hari ini.

" Lumayan Ran sekitar dua jam mungkin." Jawabku.

" Dim aku takut bertemu denganmu ditempat ramai seperti ini, aku tidak ingin hubungan kita mengganggu kredibilitas kamu, mempengaruhi perusahaan kamu dan karir aku, kamu sudah menikah Dim."

" Ran aku minta maaf atas semuanya." Mohonku padanya.

"Mau bagaimana lagi Dim semua sudah jadi keputusanmu, aku tidak bisa melakukan apapun lagi bukan ? semua sudah jadi keputusanmu." Jawab Rania.

" Aku sudah berusaha membujuk Ayah dan Ibu, namun sama sekali tidak merubah pendirian mereka Ran. Ayo menikahlah dengan ku tanpa sepengetahuan mereka." Kataku yakin.

"Dan saat mengetahui akan hal itu aku akan menjadi menantu yang dibenci seumur hidupku Dim, aku tidak menginginkan itu. aku ingin kamu membujuk ayah dan ibu bukan memaksa menikahi ku tanpa persetujuan apalagi secara sembunyi - sembunyi dari mereka, ngga Dim aku takut aku ngga berani." Jawab Rania yang kembali mematahkan hatiku.

" Maaf Ran, sepertinya mereka benar - benar tidak menginginkanmu jika kamu masih mempertahankan karir keartisanmu. Apa susahnya Ran berhenti dari dunia keartisan mu dan hanya menjadi istri dan ibu dari anak - anakku nanti. Aku bisa memberikan kehidupan mewah jika kamu mau. Aku bisa memberikan apapun yang kamu inginkan." Kataku.

"Dan kamu pun begitu Dim, sepertinya kamu pun sudah tidak menginginkan aku di kehidupanmu. Kamu tidak pernah berusaha meyakinkan mereka aku bisa menjadi istrimu tanpa meninggalkan pekerjaanku.. Kamu adalah orang paling tahu, karirku ini adalah kehidupanku. Ini adalah impianku dan aku tidak bisa melepaskannya begitu saja setelah sudah bersusah payah untuk meraih hal ini. Maaf Dim aku harus kembali ke lokasi syuting. Jangan menghubungiku jika kamu tidak yakin dengan perasaanmu Dim" Kata Rania kemudian beranjak dari tempat duduk di hadapanku dan berlalu dari sana.

Aku masih terduduk melihat kepergian Rania, wanita yang sekian lama mengisi kehidupanku terlihat mulai beranjak pergi. Dan sampai sekarang aku masih belum bisa memberikan dia kebahagiaan yang selama ini kami idam - idamkan.

Aku merogoh ponselku dari saku celana dan menuliskan pesan untuk Rania.

"Fikirkanlah Ran, jika kita menikah nanti aku tidak akan memintamu untuk meninggalkan dunia keartisanmu. Sungguh aku hanya ingin hidup bersama denganmu. Aku janji pernikahan kita tidak akan mengganggu karirmu. Aku bersedia merahasiakan ini dari siapapun asalkan aku bisa hidup bersamamu. Aku sangat mencintaimu Ran, Ku mohon "

" Aku akan memikirkannya, datang keapartemenku besok kita akan membahasnya disana"

Aku tersenyum senang membaca balasan pesan dari Rania. Dengan langkah yakin aku keluar dari restoran menuju mobilku yang sedang terparkir di halaman restoran. Sebenarnya ini masih hari liburku namun karena tidak punya tujuan lain aku bergegas menujun kantor. Aku lebih beristiraht disana dari pada kembali ke apartemen dan bertemu dengan gadis itu yang akan semakin membuatku merasah bersalah dengan keadaan ini.

Bab 3

**Aku sudah menyusun kerangka cerita ini dengan baik, namun beberapa bulan lalu aku ngga tau gimana caranya menjabarkan biar jadi cerita yang bagus.

Semoga kalian suka yaa, dan selamat membaca 😊**

Setelah pertemuannya dengan Rania, Dimas kembali melajukan mobilnya menuju perusahaan. Sebenarnya masih ada dua hari lag untuk kembali bekerja namun dia masih belum ingin kembali kerumah dan hanya berdua dengan istrinya diapartemen.

Anisa juga bekerja di perusahaan milik Dimas, hanya saja cutinya masih tersisa dua hari lagi sama seperti dirinya, jadi untuk dua hari kedepan Anisa hanya akan ada di Apartemen tanpa melakukan apa - apa.

Gadis itu memang senang jika hanya terkurung didalam rumah, untuk itu Dimas memilih kembali ke kantor dan istirahat disana dari pada pulang ke apartemen dan berduaan dengan Anisa disana. Dan jika kembali ke rumah ayah dan ibunya, Dimas pasti akan di interogasi oleh ibunya.

Dimas meremas rambutnya ketika mengingat betapa rumitnya kehidupan yang dia jalani. Dalam hal ini tidak tahu siapa yang harus dia salahkan. Anisa, jelas saja tidak mungkin karena gadis itu juga hanyalah korban. Kedua orang tua mereka. Orangtuanya yang salah namun mana berani berani dia menyalahkan orang yang selalu mendahulukan kepentingannya. Baginya Ayah dan Ibu adalah orang yang selalu menjadi tempatnya untuk pulang.

********

Restoran tempat dia bertemu Rania tadi memang tidak terlalu jauh dari perusahaannya, tidak membutuhkan waktu lama jika jalanan Jakarta bisa di ajak bekerja sama.

"Sial aku sangat lapar." Ucap Dimas masih dengan sabar menikmati kemacetan di depannya. Karena masalahnya dengan Rania yang tidak teratasi dengan baik tadi dan belum mendapat titik terang, Dimas bahkan tidak sempat makan tadi padahal dia berada di restoran.

Setelah mobilnya sudah terparkir di dekan lobi kantor, Dimas bergegas keluar dari dalam mobilnya, seorang penjaga keamanan mendekat meraih kunci mobil dari Dimas untuk di parkirkan di tempat yang seharusnya.

Dengan langkah terburu-buru Dimas masuk kedalam kantor langsung menuju lift naik ke lantai tempat dimana ruangannya berada.

Melihat kedatangan Dimas di kantor siang ini, sekertarisnya terkejut, bagaimana tidak mereka tahu Dimas sedang cuti menikah dan mungkin tengah berbulan madu bersama istrinya yang sampai saat ini mereka tidak tahu siapa wanita yang sangat beruntung menikah dengan bos mereka itu. Namun kenapa laki - laki impian sejuta wanita ini tengah berada dihadapan mereka mereka sekarang.

"Siapakan makanan dan bawa keruanganku." Perintah Dimas pada salah satu sekertaris wanita.

"Baik pak, akan saya siapkan." Jawab Laura sopan.

Dimas sehera berlalu dan masuk kedalam ruangan dan berbaring disofa yang berada didalam ruangannya. Beberapa menit kemudian sahabat sekaligus asistenya masuk kedalam ruangan. Dia juga ikut terkejut ketika mendapati Dimas sedang terbaring di sofa di dalam ruangan.

Tio masih berdiri di dekat sofa melihat kearah laki - laki yang sedang berbaring disofa sesekali menarik nafas berat, Dia satu-satunya orang yang tahu serumit apa masalah yang sedang di hadapi laki - laki yang baru benerapa bulan ini dilayaninya. Dimas baru saja menggantikan kepemimpinan sang Ayah, dan Tio sudah bekerja dengan Ayah Dimas cukup lama namun sudah menjadi sahabatnya sekian tahun.

"Duduklah Tio kenapa kamu hanya berdiri disitu ? apa diruangan ini tidak ada tempat duduk ?" Kata Dimas ketus, karena laki-laki yang sudah sejak tadi masuk kedalam ruangannya ini hanya terus berdiri melihat kearahnya.

"Terimakasi pak." Jawab Tio formal kemudian mendudukkan tubuhnya di atas sofa yang sama dengan Dimas.

"Mau mati kamu ?? ngga usah sok cool gitu sialan." Ketus Dimas kemudian bangun dari baringnya untuk ikut duduk di sofa.

Mendapati umpatan dari sahabatnya itu, Tio tertawa terbahak-bahak. Dia yang paling tahu Dimas sangat frustasi dengan masalah yang sedang dia hadapi

"Kamu kenapa sih Dim ? Sudahlah lepaskan Rania dan belajar membuka hati untuk Anisa. Dia wanita yang baik dan tidak kalah cantik dari Rania." Kata Tio serius.

"Kamu benar - benar ingin mati di tanganku sekarang ? Bukanya membantu mencari jalan keluarnya, malah ngomong yang ngga masuk akal." Kesal Diams yang sudah duduk disamping Tio dengan tatapan membunuhnya.

"Itu dalah jalan satu - satunya Dim, pertimbangkan Anisa, dia gadis yang baik." Kata Tio lagi berusaha untukmemberikan pengertian pada sahabatnya ini.

"Kamu ingin aku hidup dengan gadis ingusan itu ? Kamu fikir aku pedofil." Ucap Dimas dengan suaranya yang semakin meninggi.

"Dia sudah dewasa Dimas, memang sih masih terlihat imut dan menggemaskan. Aku saja deg - degan melihat wajahnya yang manis itu." Kata Tio tersenyum membayangakan wajah istri dari sahabatnya yang begitu teduh tadi.

Dia baru bertemu dengan istri dari sahabatnya itu di Bandara hari ini, Dimas yang memintanya untuk datang dan mengantarkan Anisa ke apartemen mereka.

"Jangan melihatnya lama - lama Tio, dia istriku dapat dosa kamu." Ketus Dimas

Tio semakin terkekeh dengan sahabat yang sedang duduk di sampingnya ini. " Istrimu ? Jika menganggapnya istri, berhenti menemui Rania. Aku mengingatkan ini sebagai sahabatmu Dim, penyesalan akan selalu berada di belakang jadi jangan sampai kamu melakukan hal yang akan kamu sesali di kemudian hari." Ucap Tio panjang lebar.

" Aku akan menikahi Rania secepatnya." Ucap Dimas pelan namun masih bisa di dengar jelas oleh Tio yang membuat laki-laki itu segera beralih menatap Dimas tajam.

"Jangan bermain api jika tidak ingin api itu ikut membakar dirimu Dimas." Kata Tio tegas. Dia ingin memperingati sahabatnya ini, bahawa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. " Mungkin sekarang Anisa belum berarti apa-apa bagimu, tapi tidak ada yang bisa menjamin itu besok jika masih sama dengan hari ini." Sambungnya.

Obrolan mereka terhenti ketika seorang sekertaris mengetuk pintu dan masuk membawa makanan yang tadi dipesan oleh Dimas.

"Kamu bisa keluar Laura aku akan menyiapkan makanan untuknya." Kata Tio pada sekertaris yang membawakan makanan untuk atasan mereka ini.

"Baiklah pak, saya permisi." Jawab sekertaris itu lalu keluar dari ruangan Dimas.

Tio menata makanan yang di bawa oleh sekertaris tadi di atas meja dengan diam. Dia masih tidak habis fikir dengan apa yang ada di fikiran sahabatnya ini.

Banyak hal yang ingin Tio sampaikan pada laki-laki yang sudah di butakan oleh cinta di aampingnya ini. Namun dia mengurungkan niatnya, membiarkan Dimas memmakan makanannya terlebih dahulu dan menunggu dengan Diam.

"Kamu ngga ikut makan ?" Tanya Dimas.

"Aku sudah makan dengan Anisa tadi sebelum ke apartemen. Dia mengeluh lapar karena tidak sempat sarapan dirumah mereka." Ucap Tio bohong. Dia hanya ingin memastikan reaksi yang akan keluar dari wajah sahabatnya ini.

Namun Dimas hanya menganggukan kepalanya tenang, seauatu menyentil hatinya namun dia tepis begitu saja.

"Jika Bapak dan ibu mengetahui hal ini, mereka akan sangat marah Dim." Kata Tio, ketika melihat dimas sudah selesai makan dan kini kembali duduk di sofa yang sama dengannya.

"Jangan sampai mereka tahu, tolong aku kali ini. Aku sangat mencintai Rania mau gila rasanya jika todak bisa bersamanya." Kata Dimas memohon.

"Ini bukan lagi cinta, tapi obsesi Dimas. Cinta tidak akan menyakiti orang lain." Kata Tio maaih menatap lekat sahabatnya.

"Anisa juga tidak mencintaiku, jadi ini tidak akan menyakitinya." Jawab Dimas dan Tio hanya tersenyum miris membiarkan saja apa yang ingin di lakukan oleh sahabatnya ini.p

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!