"Qil? yakin pulang sendirian nih? gue anterin aja mau gak?" itu Reya, sahabat Aqilla, mereka berdua sedang berdiri berhadapan di teras rumah sahabat Aqilla itu.
"Santai, gue gak se-parno itu," kata Aqilla sembari tertawa, yang sebenarnya hambar.
"Yauda deh, tapi inget pesan gue, jangan balik badan ya kalau ada yang manggil lo, pura-pura gak denger aja, ntar kalau lo balik badan, yang ada malah-"
"STOP!" Aqilla berteriak menyela ucapan Reya, jari telunjuknya mengacung tepat didepan wajah Reya.
"Lah katanya gak takut, gimana sih," ejek Reya bersedekap tangan dan menyenderkan bahunya ke kusen pintu.
"Ya-ya emang enggak! maksud gue, ya gue parno, tapi ga se-parno ini gegara lo ngomongin hal tadi!" Kesal Qilla, yang dibalas gelak tawa oleh Reya.
"Haha, Bilang aja parno-an, Qil," Reya menegakkan badannya. "Yuk gue anterin."
Aqilla mundur dua langkah dengan tangan melambai. "No, No, gue bisa sendiri, okey?"
Reya tersenyum lebar, hampir tertawa. "Okey-okey, Hati-hati ya."
Aqilla memutar bola matanya karena tahu kalau Reya mau menertawakannya lagi, tapi ia tetap melambaikan tangan sembari berucap, "okee!" dan meninggalkan pekarangan rumah Reya.
Malam ini cukup dingin, hujan baru saja reda tapi masih menyisakan rintiknya, air masih tergenang di sudut jalan.
Aqilla berjalan sendirian di gang sepi itu, bisa saja dia lewat jalan besar sana, tapi ia akan lama sampai rumahnya. Sebenarnya ia sedikit takut lewat gang ini, tapi karena malam ini cukup terang benderang, keberaniannya mencuat, ya walaupun fifty-fifty dengan ketakutannya.
Aqilla merasa kakinya berjalan sangat lambat, padahal gang ini tak lebih dari 500 meter.
"Sepi amat sih," gumamnya sambil merapatkan kardigannya. Pikirannya kembali terngiang apa yang dibilang Reya tadi, dan seketika bulu kuduknya menegang. "No-No! Reya bohong."
Meow!
Gadis itu berhenti berjalan, seekor kucing hitam melintas didepannya, membuatnya membuang pandangan karena mengingatkannya dengan sesuatu yang seram. Ditambah angin kencang yang tiba-tiba berhembus membuatnya semakin parno.
Aqilla mempercepat jalannya, tapi tiba-tiba lampu padam. Dengan tangan bergetar ia mengeluarkan ponselnya untuk menghidupkan senter, tapi ketika menyala ia malah tersentak saat senternya mengarah pada sesuatu yang putih berdiri di pinggir jalan.
Mulut Aqilla serasa terkunci, kakinya melemah, jantungnya berdegup kencang, ia kemudian berbalik tapi sungguh sial, ia tersandung kayu yang melintang disana.
Sakit sebenarnya, tapi Aqilla benar-benar tak perduli, ia cepat-cepat berdiri dan menoleh ke belakang. Tapi, sesuatu itu sudah tidak ada, kemana perginya? perasaannya semakin tak karuan.
Aqilla menoleh kembali ke depan, tapi...
"Aaaa!!" Pocong itu berada persis didepan wajahnya! Aqilla berbalik dan berlari sekuat tenaga, tapi karena gelap, ia jadi menabrak seseorang, tanpa perduli rasa malu, Aqilla langsung memeluk orang itu, menangis menyebut pocong dengan tangannya menunjuk-nunjuk ke belakang.
Yang tidak Aqilla sadari, kalau jantung orang yang ia peluk sedang berdegup sangat kencang dibuatnya.
*****
End of prolog, bisa lanjut ke chapter one😉
Update setiap hari 🤩
p.s.
How is it going guys?
You can leave your suggestion for this prolog, are you enjoy it or not, is it interesting or not, are you got the feelings or not, comment below okey!
See you soon on the next phase ;)
Dentuman musik memekakkan telinga, cahaya lampu berpendar ke segala arah, hampir semua orang menggerakkan badan mengikuti alunan musik keras itu seolah malam hanya milik mereka.
Disana, tiga cowok tengah duduk dengan sebuah meja bundar, ketiganya saling diam, ada yang merokok, meminum minuman keras, dan satunya lagi hanya bermain ponsel.
Tak lama, seorang cowok berjaket hitam masuk dengan raut wajah kesal, ia berjalan mendekati meja ketiga cowok tadi.
Brak!
Ia menggebrak keras meja tersebut lalu menarik kursi kosong dan duduk disana.
"Ngapa lo? Dateng-dateng main gebrak aja," gerutu Ivan, cowok yang meminum minuman keras.
Erik, cowok itu menggosok mukanya kasar. "Gue di tolak! Sialan, ini pertama kalinya gue nembak cewek, dan langsung di tolak mentah-mentah!"
"Turunin tuh ego, Rik. Terserah si cewek kali mau gak sama lo." Damar, cowok calm yang sedari tadi main ponsel itu angkat suara.
Erik mendelik kesal ke Damar. "Gue gak terima! Awas aja tuh cewek, gue bakal buat perhitungan sama dia!"
Lalu arah pandang Erik beralih ke satu temannya lagi yang sedari tadi melamun, tapi tetap dengan rokok yang terselip diantara dua jarinya.
Ia lalu menatap Ivan dan Damar meminta jawaban. Untuk sebentar, Ivan dan Damar saling pandang, bingung mau jawabnya bagaimana.
Ivan kemudian menatap Erik, ia mengucap kalimat 'broken heart' tanpa suara.
Mata Erik membulat, tanpa sadar ia bersuara keras. "What!? Sama Nesya?"
Ivan menjitak kepala Erik. "Suara lo bege! Gue ngomong tanpa suara, eh lo malah teriak, gue gibeng juga lo lama-lama!"
Erik nyengir, Ia lalu merangkul pundak Adam, temannya yang ia yakin sedang patah hati akut.
Tapi belum juga dua detik, tangan Erik sudah di hempas kasar oleh Adam. Erik menarik nafas dalam, sebenarnya ia emosian, tapi kalau ia menuruti kemauan egonya, yakinlah ia yang akan masuk rumah sakit malam ini, secara yang ia lawan adalah Adam! Cowok yang benar-benar jago adu jotos.
Erik kembali merangkul pundak Adam, kali ini erat agar tak mudah dihempas Adam, ia kemudian berbisik di telinga Adam. "Daripada lo stress mikirin dia, mending lo ikut gue seneng-seneng."
Erik melepas rangkulannya, ia merampas botol vodka dari tangan Ivan dan meminumnya rakus.
"Bisik apa sih lo?" Tanya Ivan sambil merampas kembali botol vodkanya.
Erik tersenyum miring, matanya menerawang jauh. "Balas dendam sama tuh cewek." Lalu ia menatap mata Ivan dengan serius. "Bukan cuma gue, tapi kita."
"Emang siapa sih?" Tanya Damar menyimpan ponselnya di saku celana.
"Aqilla Zemira, cewek 12 IPS satu." Erik mengambil sebatang rokok dan mancis dari saku kemejanya.
"Hah? Anak baru itu? Yang cantik gila itu kan!? Lo nembak dia?" Cecar Ivan, tapi kemudian ia tertawa keras. "Ahahaha, ya gak mungkin lah dia mau sama lo, level dia mah kayak Adam sama Damar kali!" Ivan sangat puas menertawakan Erik yang memerah karena malu.
"Oh ya? Gue belum pernah ngeliat dia," ujar Damar.
"Gila, manis parah orangnya, Dam. Lo kalau ngeliat sekali pasti langsung jatuh!" Kata Ivan sembari menepuk-nepuk pundak Damar, sedangkan yang ditepuk hanya mengiyakan biar cepat.
Adam sendiri tidak perduli dengan apa yang teman-temannya bicarakan, pikirannya hanya mentok ke satu arah, Nesya, si gadis yang benar-benar memporak-porandakan hati dan pikirannya.
"Dam!"
Itu suara Damar, tapi Adam sama sekali tak menoleh, ia asik menghisap rokoknya lalu menghembuskan asapnya ke arah Damar.
"Shit!" Damar mengibaskan tangannya didepan wajah.
Melihat itu, Adam hanya tersenyum tipis, ia lalu menginjak rokoknya.
"Dam, lo setuju kan?" Tanya Erik.
"Kasih infonya ke gue," jawab Adam sembari memakai jaketnya. Ia kemudian berdiri dan pergi meninggalkan teman-temannya.
"Si Adam keliatan galau," gumam Erik, ia lalu menatap kedua temannya serius. "Padahal dia gak tau gimana busuknya tuh cewek," lanjutnya tersenyum miring.
"Gue setuju sih, tapi mau gimana orang si Adamnya gak mau percaya," tambah Ivan.
"Udahlah, toh sekarang mereka udah putus kan," kata Damar menyeruput jusnya.
"Tapi gue kasian ke Adam, mana lagi si Nesya itu cinta pertamanya, gimana gak payah move on coba?" Ujar Ivan.
"Stop! Gak usah bahas ini lagi, yang penting mereka udah putus." Erik menengahi.
"Lah kan lo yang mulai tadi bege!" Ivan sepertinya akan teler, matanya mulai layu, ia berdiri dan berjalan sempoyongan menuju bar.
"Sialan! Nih anak nyusahin aja!" Umpat Erik, ia menarik Ivan dan menyeretnya pulang, Damar sendiri tertawa melihatnya.
***
Adam mengendarai motornya pelan, ia tak tahu mau kemana, hanya mengikuti insting dan akhirnya sampai di rumah mantan pacarnya, Nesya.
Dan disaat yang sama, sebuah mobil melaju kencang disampingnya dan masuk ke pekarangan rumah Nesya.
Ia memang pernah mendapati foto-foto mantan pacarnya itu dengan cowok lain saat berpacaran dengannya, tapi ia tak percaya sebelum ia melihat langsung dengan kedua bola matanya sendiri.
Sesaat, Nesya menoleh menatap Adam, setelahnya ia membuang muka dan mengajak cowoknya masuk ke dalam rumah.
Adam mendecih pelan, sakit memang, tapi ia juga lega akhirnya bisa melihat sendiri kebusukan dari perempuan yang selama ini benar-benar ia sayangi.
***
Besok malamnya, keempat cowok itu berkumpul di sebuah gang, Erik dan Ivan sibuk memakai kostum yang membuat Damar memutar bola matanya.
"Rik, lo yakin sama rencana lo? Konyol gak sih?" Kata Ivan.
"Yakinlah, tuh cewek songong kan parnoan, palingan dia cuma kencing di celana doang." Erik tertawa kejam. "Biar ****** dia," lanjutnya sinis.
Adam melipat tangannya di dada, sebenarnya malas ikut rencana Erik yang kekanakan ini, tapi daripada ia dirumah meratapi nasibnya, lebih baik dia ikut saja kan?
*****
NEXT!!
"Lo yakin pulang sendiri? Gue anter aja deh yah, dah malem nih," ujar Reya, sahabat Aqilla.
"Tenang aja, gue udah berani kok," sahut Aqilla, ya berani di mulut saja sebenarnya.
"Emm yauda deh, lagian jalan yang itu terang kok malam ini, gatau deh tumben kok terang," kata Reya, ia duduk di sofa sedangkan Aqilla memakai sepatu ketsnya di dekat pintu rumah.
"Bagus dong kalau gitu," jawab Aqilla, ia sedikit kesusahan memakai sepatunya.
"Em btw, lo udah tau belum sama cowok the most nya Rajawali?"
Aqilla menatap Reya sebentar. "Maksud lo? The most apaan nih?"
"Yah intinya yang paling terkenal lahh," gemas Reya. "Udah tau belom? Lo kan anak baru."
"Taulah gue, temennya Damar kan? Siapa tuh namanya? Adam yah?" Kata Aqilla, ia telah selesai memasang sepatunya. "Tapi menurut gue Damar tetep nomor satuu!"
Reya memutar bola matanya. "Hiyalah orang lo pindah ke Rajawali juga karena dia kan?" Aqilla cengengesan menjawabnya. "Tapi lo sendiri udah ketemu sama Adam belum?"
"Cuma sekilas, udah ah kenapa bahas dia sih." Aqilla membuka pintu rumah. "Gue cabut yak."
"Eh tunggu! Trus yang sama Erik itu?"
Aqilla menggaruk kepalanya. "Gue tolak, apaan dah, gue cuma mau sama Damar, titik."
Reya mengangguk-anggukan kepalanya. "Yauda hati-hati deh lo."
"Okee!"
***
Adam dan Damar berada di posisi tersembunyi, sedangkan Erik dan Ivan siap di posisi masing-masing, tinggal menunggu momen yang pas saja.
"Lo tau gak gimana rupa cewek yang nolak si Erik?" Kata Damar pada Adam.
Adam mengangkat bahu. "Gak."
"Kok gue ngerasa kasian ya ke dia? Nolak kan juga hak dia."
Adam tertawa kecil. "Lo tau Erik gimana kan?"
Damar menepuk pelan pundak Damar. "Itu dia."
Adam mendongak, matanya ikut mengarah pada satu sosok perempuan yang berjalan pelan ke arahnya. Dan tak lama, Erik juga Ivan memainkan perannya.
Adam jelas melihat wajah pucat cewek itu saat melihat Erik dengan kostum pocongnya, entah kenapa ia juga jadi tegang, sampai dimana cewek itu menjerit, Adam tak bisa lagi mencoba tidak perduli.
Cowok itu keluar dari tempat persembunyiannya.
"Eh Dam!" Panggil Damar yang sama sekali tidak disahut Adam.
Adam terhentak saat tubuhnya ditabrak kuat, saat tubuhnya dipeluk begitu erat sama cewek yang bahkan ia lupa namanya apa.
"Tolong, tolongin gue, it-itu ada hantu, ada pocong!" Cewek itu malah terisak.
Adam tidak membalas pelukannya, ia memandang dua temannya yang kini menatapnya tidak percaya, ya ia akui ia telah keluar dari rencana, harusnya tidak begini.
Apalagi Erik, ia menatap Adam kesal. Tapi saat melihat Adam menggelengkan kepalanya dua kali, Erik dan Ivan langsung paham dan bersembunyi untuk mengganti baju mereka.
Kembali ke cewek yang sekarang masih terisak di dada Adam. Cewek yang tidak lain adalah Aqilla.
Adam sendiri merasa aneh dengan dirinya, ia merasa jantungnya berdetak kencang, tubuhnya kelu, seperti mati rasa.
"Em kalian gak papa?"
Suara itu mengagetkan Aqilla, ia segera melepas pelukannya, dan kaget ternyata sudah terang, dan lebih kaget lagi saat melihat dua cowok di depannya, Adam dan Damar!
"Eh sori-sori, tapi tadi gue ngeliat," kepala Aqilla berputar ke belakang, tapi ia tak menemukan apapun selain kesunyian. "Ta-tadi ada-"
"Kaki lo luka," ujar Damar pelan, tapi mengagetkan Aqilla, sumpah demi apa Aqilla salah tingkah jadinya.
Damar berjongkok di kaki Aqilla. Ia mengeluarkan tisu dan plester dari sakunya. Tapi sebelum itu, ia mendongak menatap Aqilla, "gue plesterin yah?"
"E-eh iya, makasih," ujar Aqilla gugup.
Aqilla mendongak menatap Adam, ia tersenyum kikuk. "Lo Adam kan? Makasih yah, untung ada lo, tapi gue bingung tadi bener atau gak sih?"
Adam diam.
"Eh? Sori-sori." Aqilla merutuki kebodohannya, ingin menepak jidatnya tapi ia harus tahan, yang ada ia tambah malu nanti.
"Udah," ucap Damar seraya bangkit. "Lo mau dianterin?" Tawarnya dengan senyum manis.
Demi apa, Aqilla meleleh melihatnya. "Ha? Gak usah, rumah gue deket sini kok, makasih yah," ujarnya yang sesungguhnya sangat bertentangan dengan apa yang hatinya teriakkan.
"Oh oke, btw gue Damar."
Aqilla membalas jabat tangan Damar seraya mengucapkan namanya, tidak lupa senyum menawannya yang kata orang-orang bisa memikat hati siapa saja.
"Ini Adam," ujar Damar memperkenalkan Adam.
Aqilla juga menjabat tangan Adam, tapi beda dengan Damar, tangan Adam begitu dingin, sama seperti tangannya.
"Kalau gitu gue balik dulu," ujar Aqilla yang diangguki Damar, cowok itu melambaikan tangannya dan berucap hati-hati kepada Aqilla.
Setelah Aqilla sudah tak terlihat, barulah Erik dan Ivan muncul dengan wajah kesal, lebih lagi Erik yang sepertinya marah kepada Adam.
"Lo apaan sih, Dam!? Hah? Lo ngerusakin rencana gue!" Erik menendang tong di sebelah kakinya. "Sialan!" Lalu ia pergi, cuma itu yang bisa di lakukan Erik kalau sudah berurusan dengan Adam, karena ia tahu kalau ia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan cowok yang saat ini masih betah dengan wajah dinginnya.
"Gue sih b aja, Dam. Gue netral," ucap Ivan yang tidak di respon sama sekali.
"Udah deh, yuk balik, ngantuk juga gue," ujar Damar mengikuti arah perginya Erik, diikuti juga oleh Ivan.
Adam berbalik, melihat ke jalan yang tadi di lewati Aqilla.
"Aqilla ya?"
*****
NEXT!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!