Halloo...
Assalamualaikum Wr Wb
Selamat datang di novel Calon Suami Pilihan Papa!
Bab ini sudah di revisi, karena yang kemarin terlalu banyak kesalahan dan ceritanya monoton.
Oke, Lanjuutt!
Selamat membaca!!!
Terima kasih bagi yang sudah baca sekaligus like/komen/vote/follow. Sukses selalu!
.
.
.
BAB 1 : KELAHIRAN VIVIANA PUTRI
.
.
Tubuh Indra ambruk ke lantai saat mendengar kabar dari Dokter yang menangani persalinan istrinya. Ia benar-benar terpukul. Tidak menyangka jika istrinya akan pergi secepat itu. Tubuhnya gemetar tak sanggup untuk melihat bayi mungil yang baru saja di lahirkan istrinya.
Tidak jauh dari tempatnya terduduk, ada seorang bapak yang juga sedang menunggui persalinan istrinya. Laki-laki itu merasa trenyuh melihat Indra. Ia segera mendekat.
“Sabar, Pak. Ini takdir. Doakan saja istri Bapak. Ia mati syahid. Istri Bapak meninggal dengan tenang, bayi itu sudah menggantikan istri Bapak, dia lah satu-satunya harapan Bapak” nasihatnya sambil mengelus punggung Indra. Indra tak bergeming. Tangannya menepis halus tangan laki-laki itu. Ia berdiri kemudian berkata,
“Aku tidak butuh anak itu. Jika kau mau, ambil saja.” Setelah berkata begitu Indra melangkah.
“Tunggu! Kau tidak bisa menelantarkan bayi yang tidak bersalah itu!” teriak laki-laki yang bernama Darmawan. Indra tidak menyahut. Ia terus berjalan meninggalkan Darmawan dengan perasaan kecewa.
Pintu persalinan berdecit, Dokter keluar sambil menggendong bayi perempuan yang mungil. Matanya mencari-cari sesuatu. Darmawan mendekat.
“Ayah bayi ini sudah pergi. Ia menolak untuk membawa bayinya.” Kata Darmawan. Dokter mengerutkan dahi.
“Lalu? Bagaimana dengan bayi ini? Ibunya meninggal saat melahirkan. Sekarang Ayahnya pun meninggalkannya. Bayi yang malang,” ucap Dokter sambil menatap sendu ke arah bayi yang terlelap di gendongannya.
“Tolong Bapak saja yang merawat bayi malang ini.” Saran Dokter kepada Darmawan.
“Tapi istri saya juga sedang melahirkan, Dok. Bagaimana mungkin,..”
“Tolonglah. Apa Bapak tidak kasihan dengan bayi tak berdosa ini?” pinta Dokter. Darmawan menatap bayi itu. Tidur terlelap didalam dekapan sang Dokter. Wajahnya yang sudah terlihat cantik membuat siapa saja tergoda untuk menjadikannya anak.
“Hhhhh, saya perlu persetujuan istri dulu, Dok,” sahut Darmawan. Bersamaan dengan itu, pintu persalinan tempat istri Darmawan terbuka. Darmawan segera menghampiri.
“Bagaimana, Dok?”
“Alhamdulillah, ibu dan bayinya selamat.”
“Alhamdulillah,” Darmawan menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah. Dengan senyum mengembang ia segera memasuki ruang persalinan. Dokter yang membawa bayi malang tadi mengikuti Darmawan.
“Ma? Anak kita laki-laki. Sangat tampan.” Seru Darmawan. Istrinya melempar senyum.
“Tentu tampan. Siapa dulu ayahnya,” balas istri Darmawan. Matanya mengerling menatap Dokter yang sedang menggendong bayi.
“Itu bayi siapa, Dok?” tanya Istri Darmawan.
“Ini bayi yang ditinggalkan kedua orang tuanya, Bu.”
“Astagfirullah, kenapa?” tanya Istri Darmawan.
“Ibunya meninggal saat melahirkan dan Ayahnya menolak untuk merawat bayi ini,” jelas Dokter.
“Astagfirullah tega sekali.”
“Apakah Ibu bersedia merawat bayi malang ini?” tanya Dokter. Istri Darmawan yang bernama Anita pun saling bertukar pandang dengan Darmawan.
Ia terdiam sesaat. Matanya melirik ke arah bayi yang baru ia lahirkan. Kemudian menghela nafas.
“Sebenarnya saya keberatan, Dok. Karena saya juga memiliki bayi yang butuh perhatian lebih dari kedua orang tuanya,” kata Anita.
“Tapi saya seorang ibu, saya terbayang jika anak saya terlantar seperti dia,” Anita berkaca-kaca. Darmawan mendekati dan mengelus bahunya.
“Saya bersedia merawat bayi itu, Dok.” Ucapnya. Dokter bernapas lega. Ia mengembangkan senyum dibibirnya.
Akhirnya bayi malang itu di rawat oleh keluarga Darmawan, seorang pengusaha sukses di Jakarta. Bayi itu di beri nama Viviana Putri Darmawan.
*****
“Hiks hiks hiks!”
“Woy! Siapa yang gangguin adekku!” teriak Angga. Beberapa anak yang sejak tadi mengganggu Vivi pun berlarian mendengar teriakan Angga. Angga mendekat dan menenangkan Vivi.
“Udah jangan nangis.” Katanya sambil memeluk adiknya itu. Sudah hal biasa jika Angga menjadi pembela jika Vivi di ganggu oleh beberapa teman satu kelasnya. Sampai saat ini mereka belum saling mengetahui jika hubungan mereka tidaklah sekandung. Angga begitu menyayangi adiknya dan menjadi dewa ponolong untuk adiknya.
“Kamu apakan Vivi sampai menangis seperti itu, Angga?!” tegur Darmawan begitu melihat Vivi berderaian air mata.
“Diganggu teman-temannya, Pa.”
“Makanya lain kali yang benar jaga adiknya. Jangan sampai nangis kayak gini!”
“Iya maaf, Pa.” Angga menunduk. Melihat itu Vivi merasa bersalah. Ia pun memeluk Angga.
“Bukan salah Angga, Pa. Jangan marahi Angga.” Pinta Vivi. Darmawan hanya tersenyum menanggapi ucapan putrinya itu.
*****
Anita jatuh sakit. Sudah lama ia menyembunyikan penyakitnya dari suami dan anak-anak. Hingga puncaknya, tubuhnya drop dan harus di rawat selama beberapa hari di rumah sakit.
“Ma, kenapa sih gak bilang sama kita kalo Mama sakit?” ucap Vivi sedih.
“Iya, Mama tega banget sembunyiin dari kita.” Sambung Angga dengan mata berkaca. Darmawan juga terlihat sedih. Ia meraih tangan Anita. Anita tersenyum.
“Aku gak apa-apa, Mas. Jaga anak-anak ya. Mereka cuma punya kamu sekarang.”
“Husstt! Kamu ngomong apa, Anita! Kita akan jaga anak-anak bersama!” sergah Darmawan sembari mencium tangan istrinya. Anita menoleh ke arah anak-anak.
“Angga, Vivi, kemari, Nak.” Perintahnya. Kedua anaknya mendekat.
“Mas tolong ambilkan dompet kecil yang biasa aku bawa,” pintanya. Darmawan segera mengambilkan permintaan istrinya. Kebetulan ia membawanya ke rumah sakit. Darmawan menyerahkan dompet kecil itu. Anita mengeluarkan isinya.
“Ini simpanlah. Kalung ini milik Ibu kandungmu.” Ucapnya pada Vivi. Vivi kebingungan.
“Maksud, Mama??” tanya Vivi. Jantungnya mulai berdegup. Anita tersenyum sembari mengelus kepala Vivi. Ia mulai menceritakan kejadian yang sebenarnya. Vivi terkejut, Angga pun tak kalah terkejutnya.
“Jadi? Mama?” suara Vivi bergetar. Anita mengusap lembut wajah Vivi.
“Kamu anak Mama. Akan selalu jadi anak Mama. Tapi kamu perlu tahu tentang keluarga kandungmu. Itulah mengapa Mama menceritakan hal itu sekarang.” Ucapnya lirih. Vivi meneteskan air mata. Ia memeluk Anita erat.
“Aku sayang Mama.” Isaknya. Anita mengusap sayang punggung Vivi. Matanya melirik ke arah Angga yang termangu.
“Angga, tolong jaga adikmu. Meskipun kalian tidak sekandung tapi dia adalah adikmu satu-satunya. Jaga baik-baik, ya?” pinta Anita. Air mata Angga meleleh di pipi.
“Angga janji akan jaga Vivi, Ma.” Jawabnya. Anita merentangkan tangan memberi kode kepada Angga. Angga pun segera memeluk Anita. Darmawan tersenyum, ia pun memeluk mereka. Lama-lama pelukan Anita mengendur. Matanya perlahan memejam. Angga yang menyadari hal itu segera berteriak memanggil.
“Ma! Mama! Mama bangun, Ma!!!” teriak Angga sambil menggoyang-goyangkan tubuh Anita.
“Mama! Bangun!” teriak Vivi.
“Anita! Bangun Anita! Anita!!” Darmawan ikut berteriak. Namun tubuh Anita tak bergerak sama sekali. Ia panik dan segera memanggil Dokter.
Tidak berapa lama Dokter datang dan segera memeriksa Anita. Dokter itu menghela napas panjang.
“Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun kanker yang di derita Ibu Anita sudah stadium 4. Ibu sudah pergi.” Sesal Dokter. Tangis pun pecah di ruangan itu. Angga dan Vivi meraung sambil memeluk Anita. Tubuh Darmawan lemas seketika. Ia menatap nanar, air mata menetes di pipi.
“Anita,” bisiknya lirih. Ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.
*****
Beberapa tahun telah berlalu, Angga dan Vivi sudah memasuki usia remaja. Mereka bersekolah di SMA Galaksi Jakarta.
‘Bruk!’
Buku yang di bawa Vivi jatuh berhamburan di lantai. Ia membungkuk untuk memungut buku-bukunya. Orang yang menabrak dirinya segera membantu.
“Maaf,” ucapnya. Vivi menoleh.
“Kenalin, gue Farhan.” katanya sambil menjulurkan tangan. Vivi memicingkan matanya. Sejenak tangan itu diabaikan.
“Viviana,” jawab Vivi kemudian. Farhan tersenyum, mereka saling menatap satu sama lain.
Farhan, begitulah nama laki-laki yang saat ini sedang dekat dengan Vivi. Hingga pada suatu hari Farhan berniat untuk berkunjung kerumah Vivi.
“Vi, Gue boleh main gak kerumah lo?” Tanya Farhan.
“Kapan?”
“Hari minggu besok. Gimana?”
“Oke deh.” Vivi mengiyakan.
Hari ini adalah hari minggu, Farhan sudah tiba didepan rumah Vivi. Meskipun ia gugup namun ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah Vivi.
Tok..tok..tok....
“Assalamualaikum.” Beberapa menit kemudian terdengar suara langkah kaki menuju pintu.
“Waalaikumsalam. Silahkan masuk, nak?” Jawab Papa sambil mempersilahkan tamunya masuk kedalam.
“Terimakasih, Om.” Kata Farhan. Lalu ia bergegas masuk kedalam rumah Vivi.
“Silahkan duduk. Ini temennya Angga atau Vivi?” Tanya Papa. Sembari duduk di kursi yang telah tersedia, Farhan menjawab pertanyaan Papa.
“Vivi, Om.”
“Ya sudah Om panggilkan Vivi dulu ya. Silahkan tunggu sebentar.”
“Baik, Om.” Tak berapa lama kemudian Vivi pun muncul sambil membawa segelas minuman untuk disajikan kepada Farhan.
“Hai, Farhan.”
“Hai, Vivi.”
“Udah lama nunggu?” Tanya Vivi sambil tersenyum.
“Enggak kok.”
“Oh ya, itu tadi Papa Lo Vi?” Tanya Farhan.
“Iya, Papa gue.” Jawab Vivi.
“Mama lo mana.?”
“Gue gak punya Mama. Mama gue udah meninggal 6 tahun yang lalu.”
“Oh, sorry ya, Vi.”
“Gak papa kok. Sans aja kali.” Tiba-tiba muncul Angga dan duduk disebelah Vivi.
“Vi, ini temen Lo.?”
“Iya, kenalin Ga. Ini Farhan, temen sekolah Gue.” Angga pun menyodorkan tangannya kepada Farhan untuk bersalaman.
“Angga Putra Darmawan. Kakak nya Vivi.”
“Farhan.” Jawab Farhan sambil menjabat tangan Angga.
“Temen lama Vivi?” Tanya Angga.
“Enggak terlalu lama sih, baru sebulan kenal.”
“Oh baru kenal. Baru kenal udah deket, apalagi kalau udah akrab, mau jadi apa kalian.” Kata Angga dengan nada sinis. Ia terlihat kurang suka melihat Vivi sembarangan dalam memilih teman apalagi laki-laki.
“Angga!” Teriak Vivi terkejut mendengar ucapan Angga.
“Angga, Lo saudaranya Vivi?” Tanya Farhan.
“GUE KAKAKNYA!” Jawab Angga dengan nada tinggi.
“Angga! Jangan gitu dong, gak sopan tau sama tamu.” Sahut Vivi.
“Gue kan ditugasin buat ngejaga lo. Itu wasiat mama gak boleh diingkari. Gue hanya ngejalanin perintah mama, kenapa lo sesewot itu sih.” Kata Angga ketus.
“Tapi kan jangan keterlaluan dong. Gue jadi gak enak sama Farhan.”
“Bawel lo. Dijagain gak mau. Gak dijaga juga salah.” Angga terlihat sangat kesal kepada Vivi.
“Ga, lo boleh jaga gue. Tapi caranya gak kaya gitu.”
“Gimana caranya kalo gak gitu.!”
“Ya lo jangan ngelarang gue berteman sama cowok.”
“Itu caranya?! Itu cara yang salah Vivi. Seharusnya gue jaga lo supaya lo jangan keterlaluan main sama cowo. Kalo lo berteman sama cewe gue gak ngelarang. Tapi lo berteman sama cowo yang baru dikenal selama sebulan. Lo belum tau siapa dia, latar belakang dia, kalo lo diapa-apain gimana, gue juga yang susah. Lo cewek Vivi. Berteman sama cowok ada batasnya. Gak bisa sebebasnya. Lo harus bisa jaga diri kalo gue gak ada.!” Kata Angga. Farhan termangu mendengar perdebatan mereka. Ia tidak berani menyela karena takut akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi. Vivi langsung bangkit dan berlari menuju kamarnya sambil menangis.
“Eh Vi, lo mau kemana!!”
“Makanya jadi kakak tuh jangan egois.” Kata Farhan.
“Apa lo bilang?! Egois?! Eh denger ya, Vivi itu adik gue satu-satunya, jadi gue berhak melindungi dia dari gangguan para cowok ga jelas asal usulnya kayak lo!”
“Terserah lo mau bilang apa sama gue. Gue ingetin ke elo, vivi itu udah gede, bukan anak kecil lagi. Jadi berhak dong bergaul sama cowo untuk menemukan cinta sejatinya. Kalo lo terlalu keras sama dia, dia bisa tertekan. Inget tuh pesen gue!” Farhan bangkit dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Angga tanpa mengucapkan salam.
Didalam kamar Vivi menangis, tiba-tiba Hp nya berdering. Nama Farhan tertera dilayar Hpnya.
“Halo, han.” Vivi mengangkat panggilan itu.
“Sabar ya Vi, kakak lo adatnya keras. Dia begitu karena sayang sama lo. Jadi lo harus sabar ngadepinnya.” Kata Farhan dari seberang sana.
“Gak papa kok han. Udah biasa. Gue tau Angga sayang sama gue dan berusaha jagain gue. Tapi caranya salah.”
“Ya udah, lo sabar aja ya.”
“Maaf ya han, sambutan gue gak enak dihati lo.”
“Gak papa vi. Yaudah aku pulang dulu ya, assalamualaikum.”
“Hati-hati dijalan. Waalaikumsalam.” Vivi menutup panggilan telvon nya.
Hari-hari berlalu, Vivi semakin akrab dengan Farhan. Angga jadi semakin benci kepada Farhan. Sarah, musuh bebuyutan Vivi dari SD mengetahui bahwa Angga benci melihat Vivi dengan Farhan. Lalu ia mencari cara untuk mempermalukan Vivi.
“Hai Angga.”
“Eh, ada apa?”
“Denger-denger lo benci ya sama Farhan yang lagi deket sama Vivi?”
“Iya. Emang kenapa?”
“Gue mau kok bantu lo untuk menyingkirkan Farhan dari Vivi.”
“Gimana caranya?” Sarah dan Angga merencanakan sesuatu untuk memisahkan Farhan dan Vivi.
Pada suatu hari, Vivi sedang duduk berdua dengan Farhan. Lalu tiba-tiba Sarah datang menghampiri mereka.
“Oh, sayangku Farhan. Dari tadi gue tunggu kok lo gak dateng-dateng, ternyata disini ya. Sayang ngapain lo sama cewek itu, lo kan pacar gue. Gue kan udah ngasih semuanya sama lo masa lo tega sih ninggalin gue demi cewek ini.” Kata Sarah sambil bergelayut di lengan Farhan. Sarah memang pandai berekting hingga membuat Farhan kebingungan. Karena Vivi mulai terlihat kesal kepadanya.
“Oh jadi lo udah punya pacar. Lo tega ya nyakitin gue. Mulai dari sekarang gue gak mau deket sama lo!” Teriak Vivi sambil beranjak pergi meninggalkan Farhan. Sarah pun tersenyum ceria.
“Tunggu vi, dengerin penjelasan gue dulu. Ini ga seperti yang lo lihat vi!” Kata Farhan sambil menarik tangan Vivi.
“Dasar cowok hidung belang!”
“PLAK!!!” Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Farhan. Farhan meringis kesakitan. Vivi pergi meninggalkan mereka. Sarah melihat kejadian itu sambil tersenyum senang karena rencananya berhasil.
Angga yang melihat Vivi berlari sambil menangis, langsung mendekatinya sambil memeluk Vivi.
“Vi, kenapa lo nangis?” Kata Angga sambil mengusap rambut Vivi.
“Gue telah di tipu sama Farhan. Ternyata dia pacar Sarah.”
“Makanya vi, dari awal kan gue udah ingetin lo, gue udah feelling pasti Farhan cowok ga bener. Kebukti, kan? Pokoknya mulai dari sekarang lo harus lebih hati-hati lagi sama cowok.”
“Iya.”
Setelah menenangkan Vivi, Angga pun segera menemui Sarah untuk berterimakasih.
“Rah, makasih ya.”
“Ok sama-sama.” Jawab Sarah sambil mengedipkan sebelah matanya. Sambil pergi meninggalkan Angga ditempat itu.
Hampir setiap hari Farhan mencoba untuk menghubungi Vivi tapi Vivi tidak memperdulikannya.
“Tuh, Vi, Hp lo bunyi. Dari siapa tuh?”
“Ihh lagi-lagi Farhan. Bosen gue denger namanya.”
“Lo ganti kartu aja vi biar aman.”
“Ok deh.” Vivi mengiyakan.
Farhan kesulitan untuk menghubungi Vivi karena selalu tidak aktif. Padahal Vivi sudah mengganti kartu ponselnya tanpa sepengetahuan Farhan. Farhan mencoba untuk pasrah namun ia tak akan pernah menyerah. Ia bertekad untuk menemui Vivi dikemudian hari saat keadaan sudah kembali normal.
Pada suatu hari, Vivi dan Angga sedang menonton TV bersama di ruang keluarga sambil sesekali mengobrol. Papa sangat pekerja keras sehingga selalu pulang lewat tengah malam. Pagi harinya juga jarang bertemu dengan Papa karena Papa sudah berangkat kerja. Papa menjadi giat bekerja semenjak Mama meninggal. Mungkin Papa merasa sangat kesepian apabila berada dirumah tanpa melakukan kesibukan apapun. Jadi Papa menyibukkan diri agar tidak terlalu larut dalam kesedihan sepeninggal Mama. Waktu bersama anak-anak menjadi berkurang. Hal tersebut membuat Vivi dan Angga merasa sedih namun mereka mengerti dan memakluminya.
“Vi, kapan lo ada rencana untuk nyari kakak kandung lo?” Tanya Angga sambil tangannya sibuk memainkan game di HP nya.
“Emm,, eh tapi tunggu deh, Ga. Gue kok ngerasa deket banget sama Farhan kalo lagi sama dia ataupun gak sama dia padahal kan kita baru kenal sebulan.”
“Terus...?”
“Apa jangan-jangan Farhan itu sebenarnya kakak kandung gue ya?” Kata Vivi sambil mengernyitkan alisnya dan meletakkan tangannya didagu seolah-olah sedang berpikir keras.
“Husss!! Ngaco lu ya. Cowok ga jelas gitu dibilang kakak lo!” Angga langsung berang setiap mendengar Vivi menyebut nama Farhan.
“Ya mana tau aja Ga, kita kan gak pernah menduga. Gimana kalo kita coba tanya sama dia.” Vivi mendadak menjadi sangat bersemangat.
“Hmm..” Angga hanya berdehem. Ia sangat tidak rela apabila Vivi kembali menemui Farhan. Mereka terdiam beberapa saat dan akhirnya Angga mencoba untuk membuka hatinya untuk menerima pendapat dari Vivi.
“Ya..yaudah kalo gitu. Coba lo hubungi Farhan. Tapi...???”
“Tapi apa???”
“Tapi kalau rupanya dia gak ada hubungan keluarga sama lo gimana?” Tanya Angga serius.
“Yaudah gue gak akan ketemu lagi sama dia selama-lamanya.”
“Bener ya?”
“Iya Ga, janji deh gue.” Kata Vivi berusaha menyakinkan Angga.
“Oke deh, yaudah silahkan kamu telvon dia. Suruh dia kerumah.” Perintah Angga pada Vivi. Vivi langsung mengambil Hpnya dan menelvon Farhan. Beberapa menit kemudian, Farhan menjawab telvon dari Vivi.
“Hallo, ini siapa ya?” Kata suara diseberang sana. Vivi lupa kalau dirinya telah berganti nomor. Wajar Farhan tidak mengetahuinya.
“Ini gue, Vivi.”
“Oh Vivi. Apa kabar, Vi? Akhirnya lo nelvon gue.” Suara Farhan terlihat begitu senang mendapat telvon dari Vivi.
“Baik. Iya gue mau nyuruh lo datang kerumah sekarang. Ada sesuatu yang mau gue tanyakan sama lo.”
“Oh, oke gue kesana sekarang.” Vivi menutup teleponnya. Dan Farhan segera bersiap-siap untuk pergi kerumah Vivi.
Sesampainya dirumah Vivi, Farhan duduk berhadapan dengan Angga dan Vivi. Suasana canggung menyelimuti pertemuan mereka. Terlebih Angga, ia merasa kurang nyaman berada didekat Farhan. Namun ia berusaha menyesuaikan diri demi Vivi.
“Langsung ke pokok pembicaraan aja ya. Han, papa lo masih hidup?” Tanya Vivi to the point.
“Papa masih hidup. Mama gue udah meninggal. Ia meninggal saat melahirkan adik gue.”
“Kapan?”
“Sekitar 17 tahun yang lalu.”
“Adik lo tinggal sama lo?”
“Enggak. Gue gak tau adik gue dimana. Sejak lahir emang gak tinggal sama gue. Ada orang lain yang merawat dia. Karena waktu itu papa gue ekonominya memburuk jadi gak sanggup buat merawat dua anak.” Kata Farhan. Jantung Vivi mulai berdegup kencang mendengar penjelasan Farhan. Cerita Farhan begitu mirip dengan kisahnya.
“Adik lo cewek atau cowok?” Vivi semakin penasaran.
“Kata Papa cewek.”
“Ultahnya tanggal berapa?!” Vivi semakin tegang. Sesekali ia menoleh ke arah Angga yang hanya diam mengawasi mereka.
“Tanggal 12 Desember.”
“Tahun?!” Vivi panik.
“1996.”
“Lahir di rumah sakit mana?” Vivi menahan nafas.
“Di rumah Sakit Jaya Bakti.”
“Apa?!!!” Vivi dan Angga terperanjat mendengar jawaban Farhan. Mereka sama-sama terkejut dan berusaha untuk tenang karena informasi tersebut masih belum memiliki bukti yang akurat. Angga pun mulai berbicara sambil mendekat ke arah Vivi.
“Vi, lepas kalung lo.” Kata Angga. Vivi langsung melepas kalung pemberian Mama kandungnya tersebut.
“Han, lo punya kalung ini?” Tanya Angga seraya menyodorkan kalung tersebut didepan Farhan. Farhan membelalak. Ia terkejut melihat kalung yang di tunjukkan oleh Angga. Karena ia memiliki nya juga. Farhan meraba lehernya dan mengeluarkan kalung yang terpasang disana.
“Ini. Gue punya kalung yang sama.” Lalu ia melepaskan kalung tersebut dan menggabungkan kalungnya dengan kalung yang dimiliki Vivi dan menyatu sempurna. Kalung itu memang kalung yang sama. Kalung yang berbentuk belahan hati dan bisa dimiliki oleh dua orang yang memiliki hubungan terikat. Farhan dan Vivi sama-sama memiliki kalung tersebut. Yang artinya mereka berdua saling berhubungan atau terikat. Farhan berusaha tenang sedangkan Vivi masih terlihat shock melihat kejadian tersebut. Angga terdiam tidak tahu harus berkata apa. Ruangan itu mendadak senyap seperti tak berpenghuni.
Mereka mematung bagaikan terhipnotis oleh sesuatu. Farhan menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan lalu berkata.
“Kalung ini adalah kalung pemberian Mama. Papa yang ngasih ke gue. Papa bilang Cuma ini satu-satunya alat untuk bisa menemukan adik gue yang gak tau dimana keberadaannya. Dulu pas adik gue diserahkan ke orang yang merawat, Papa lupa untuk meminta kontaknya karena Papa sedang merasa terpukul atas kepergian Mama. Dan gue masih terlalu kecil waktu itu dan gue juga dititipkan ke tante gue. Kita bener-bener kehilangan adik gue. Waktu itu Papa sempet nyari tapi sulit untuk ketemu. Jadi Papa ngasih kalung ini ke gue karena Papa tau Mama pasti udah ngasih kalungnya ke adik gue. Ini kalung milik Papa dan Mama sewaktu mereka pacaran dulu. Sebelah dimiliki Papa ini yang gue pegang. Dan sebelah lagi dimiliki Mama dan itu ada sama lo, Vi.” Farhan bercerita panjang lebar tentang kalung tersebut. Ia terlalu larut bercerita hingga tanpa ia sadari ia telah masuk ke dalam bayangan masa lalu. Ia diam sejenak lalu berusaha menerima keadaan dengan lapang dada. Ia pun mencoba untuk tersenyum namun terasa berat.
“Vi, lo adik gue. Adik kandung gue yang hilang 17 tahun yang lalu. Kalung ini yang telah mempertemukan kita. Dunia ini sempit hanya saja kita yang kurang menyadarinya. Adik gue udah ketemu sejak sebulan yang lalu. Didepan mata gue. Dan gue gak menyadarinya sama sekali. Bahkan gue sempet suka sama lo. Ada benernya juga lo jauhin gue. Mungkin ini juga termasuk petunjuk dari allah supaya kita gak menjalin hubungan lebih karena lo adik gue. Adik kandung gue.” Kata Farhan dengan nada yang tenang dan datar. Vivi menghela napas panjang. Antara percaya dan tidak namun ia berusaha menerima keadaan.
“Hhhh.... iyah. Lo kakak gue. Yang gue cari selama ini. Gue juga baru tau kalo gue sama Angga bukan saudara kandung itu pas Mama meninggal dulu. Waktu itu kita masih SD. Mama ngasih tau ke gue kalo gue anak angkat dan ngasih kalung ini ke gue. Mama bilang ini kalung dari Ibu kandung gue yang ia titipkan ke dokter sebelum meninggal. Lalu dokter itulah yang memberikan kalung ini ke Mama.” Vivi berusaha tersenyum.
“Han, gue pengen ketemu Papa. Gue gak pernah tau Papa kandung gue.” Pinta Vivi kepada Farhan. farhan tersenyum sambil mengangguk.
“Iya. Ayo kita ketemu Papa. Papa pasti seneng banget. Selama ini Papa selalu mikirin lo. Pengen ketemu sama lo. Dan minta maaf sama lo karena gagal menjadi Ayah.” Kata Farhan. Vivi meneteskan air mata. Ia terharu, sedih, kesal, senang, dan berbagai macam rasa yang ia rasakan saat ini. Vivi memeluk Farhan. Seperti dua orang yang telah lama berpisah dan kemudian bertemu. Angga berusaha tersenyum melihatnya. Ia sedih karena Vivi akan meninggalkannya dan kembali ke keluarga kandungnya namun ia juga senang karena Vivi telah menemukan keluarganya. Kini ia pasrah dengan pilihan yang Vivi ambil nantinya. Asalkan Vivi bahagia. Vivi menarik tangan Angga dan memeluknya sambil tetap memeluk Farhan. Vivi bahagia kini telah memiliki dua orang kakak yang akan menjaganya nanti. Tiba-tiba Angga meneteskan air mata. Vivi menyeka air matanya dan memegang tangan Angga dan juga Farhan.
“Ga, lo tetep kakak gue. Kakak yang selalu jagain gue dari gue kecil sampai sekarang. Jangan takut kehilangan gue. Gue gak akan pernah ninggalin lo. Meskipun gue udah menemukan kakak kandung gue. Kalian berdua adalah kakak gue yang bisa jagain gue. Gue seneng punya banyak kakak.” Kata Vivi tersenyum sambil menatap mereka satu persatu. Mereka berdua mengangguk dan tersenyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!