NovelToon NovelToon

Istri Pengganti

BAB 1

klontang... pyak...praang...

Suara gaduh dari dapur membangunkan Arini tengah malam. Dia khawatir ada seorang pencuri salah masuk rumah, kenapa salah? tentu saja karena Arini bukanlah orang yang berada. Bangunan yang hampir rubuh ini saja tidak layak di sebut rumah, tapi ia senantiasa bersyukur masih punya tempat bernaung dari terik matahari dan air hujan.

Suara perabotan rumah berjatuhan masih terdengar, akhirnya Arini memberanikan diri untuk mengecek ke dapur.

"Ya Allah nek, nenek perlu apa di dapur?" Arini berlari menghampiri neneknya yang nampak sedang mencari-cari sesuatu.

"Lapar." hanya kalimat itu saja yang keluar dari mulut nenek.

"Ya udah nanti Arini bikinin makanan ya, nenek duduk dulu." Arini menuntun neneknya agar duduk dan memberinya segelas air.

Arini hanya hidup dengan neneknya saja di dunia ini, ibu Arini sudah meninggal dunia saat usianya menginjak enam tahun, sedangkan ayah Arini meninggal sejak ia masih di dalam kandungan ibunya karena kecelakaan. Untungnya ada nenek yang merawat dan mencurahkan segala kasih sayangnya untuk Arini. Namun sekarang nenek Arini sudah tua, ia sudah mulai pikun terlebih lagi nenek Arini kini mempunyai riwayat penyakit jantung. Karena hal itulah yang membuat Arini harus bekerja keras dalam menjalani hidupnya, untuk membeli obat neneknya Arini hanya mengandalkan gaji dari mengajar anak-anak TK.

"Mana makan?" nenek Arini mulai memukul-mukul meja.

"Iya nek ini udah mau mateng kok nasi gorengnya."

Malam ini hanya ada nasi sisa di dapur, Arini membuat nasi goreng sederhana untuk neneknya, semoga saja beliau akan menyukainya. Dan benar saja dalam waktu sekejap nasi gorengnya sudah habis dimakan. Sepertinya nenek Arini benar-benar lapar.

Arini mengantarkan neneknya ke kamar agar ia tidur kembali, nenek butuh banyak istirahat agar kesehatannya tidak menurun.

°°°

Matahari baru menampakan sinarnya di ufuk timur, tapi Arini sudah siap untuk bekerja. Segala keperluan neneknya juga sudah ia siapkan, selama bekerja nenek Arini akan di titipkan ke tetangganya.

"Arini kamu tugas di kelompok B ya?" bu kepala sekolah memberitahu Arini.

"Baik bu." jawab Arini.

Hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru, artinya ia akan kerepotan hari ini, ia menyiapkan mental dan tenaga extra untuk menghadapi anak didik barunya dengan bermacam-macam kepribadian.

"Semoga saja anak didik ku pada nurut semua." Arini mencoba positive thinking.

Suasana riuh tersaji di hari pertama, bagaimana tidak, macam-macam drama sedang Arini tonton saat ini, ada anak yang menangis tidak mau di tinggal ibunya, ada anak yang meminta pulang terus ada juga ada anak yang sudah nakal bahkan di hari pertamanya sekolah.

Namun saat Arini sedang mendata nama-nama anak didiknya, tiba-tiba seorang gadis kecil memeluknya.

"Mama!!" ia memanggil Arini.

Arini bingung dengan situasi ini, anak siapa ini? bagaimana bisa ia menyebut Arini dengan sebutan mama?

"Hallo gadis manis, siapa namamu?" tanya Arini lembut.

"Mama." tidak ada jawaban selain kata itu.

Dia menangis dan memeluk erat dirinya, Arini menggendongnya berusaha menenangkan gadis kecil itu sambil mencari orangtuanya.

"Chika!!" panggil seorang wanita, Arini pikir dia ibunya.

Arini menoleh, tapi respon yang ia dapatkan saat wanita itu melihat Arini sungguh aneh.

"Bagaimana mungkin?" katanya, terlihat wanita itu sangat terkejut melihat Arini, apa dia mengenali Arini?

"Bu ini anaknya ya? tiba-tiba dia nangis di dalam kelas." Arini memberi tahu wanita itu dan bermaksud ingin menyerahkan gadis kecil itu padanya.

"Nggak mau, Chika maunya sama mama." gadis kecil itu menolak bersama wanita itu.

Arini sungguh sangat bingung dengan kejadian ini, kenapa anak kecil ini terus memanggilnya mama?

"Maaf bu guru, Chika merepotkan ya?" tanya wanita itu.

Akhirnya Arini memutuskan untuk duduk dan tetap memangku gadis kecil yang dipanggil Chika itu.

"Maaf sebelumnya, ini anak ibu?" tanya Arini sopan.

"Ah saya Rena tantenya Chika." wanita itu memperkenalkan diri.

"Oh maaf saya kira mamanya." Arini tersenyum.

"Sebenarnya Chika baru kehilangan mamanya, ia sengaja di sekolahkan disini agar tidak selalu mengingat tentang mamanya, dan wajah mamanya sangat mirip dengan bu.."

"Ah saya Arini." ia memperkenalkan diri.

"Wajah mamanya Chika mirip sekali dengan bu Arini, jadi maaf jika Chika membuatmu kebingungan." Rena menjelaskan kondisi Chika.

"Ya Allah, kasian sekali kamu nak." Arini membelai lembut kepala Chika, nampak Chika sangat bahagia di perlakukan seperti itu.

"Lalu ayahnya ada dimana mbak?" tanya Arini.

"Ah ayahnya bekerja di jakarta, Chika sengaja di titipkan ke saya di sini, agar psikis Chika stabil, di sana dia selalu menangis memanggil mamanya terus."

"Bu Arini mengajar di kelompok mana?" tanya Rena.

"Saya kebetulan mengajar di kelompok B mbak."

"Kalau begitu apa saya boleh titip Chika di kelompok B, saya akan berbicara dengan kepala sekolah." Rena sangat berharap.

"Tentu mbak, sebagai guru saya tidak mungkin menolak mendidiknya." Arini tersenyum.

Arini lalu mengajak Chika masuk ke dalam kelas, Rena mengawasi dari luar ketika keponakannya itu sedang belajar.

Rena merasa lega, akhirnya senyum Chika sudah mengembang lagi, dia tidak lagi murung sekarang. Mungkin memang lebih baik jika Chika berada di pengawasan Arini sekarang. Selain membuatnya riang kembali, Rena juga melihat Arini orang yang lembut dan begitu sabar menghadapi sifat labil anak-anak.

...

Rena tengah duduk sambil membalas pesan masuk saat Arini datang bersama Chika.

"Chika sekarang ikut tante pulang ya sayang." Arini mencubit pelan hidung gadis manis itu.

"Tapi Chika mau pulang sama mama aja." jawab Chika polos, sepertinya gadis kecil ini belum mengerti dengan apa yang menimpa mamanya, sehingga ia masih berfikir Arini adalah mamanya.

Arini menatap ke arah Rena, ia tak tahu harus bicara bagaimana lagi.

"Chika sayang, katanya kita mau beli hadiah buat mama, yuk kita beli. Besok Chika kasih ke mama ya." bujuk Rena.

Tak di duga Chika menangis lagi, ia tak mau berpisah dari Arini, ia terus memegangi baju Arini tak mau pergi bersama Rena.

Arini iba melihat rengekan gadis kecil ini, akhirnya ia menggendong Chika kembali.

"Ya udah, bu guru antar ya. Tapi Chika nggak boleh nangis lagi ya sayang." ucap Arini sambil menepuk-nepuk pelan- punggung Chika.

Terpaksa Arini harus mengantar Chika pulang, sepertinya keluarga mereka dari orang berada, karena Rena mengantar Chika sekolah dengan menggunakan mobil.

Arini duduk di belakang, sedangkan Rena yang menyetir, Chika terlihat nyaman berada di pelukan Arini.

Arini merebahkan badan Chika dengan kepala bersandar di pahanya, tak butuh waktu lama ternyata gadis kecil itu sudah terlelap.

"Maaf merepotkan bu Arini, saya jadi tak enak hati." Kata Rena sambil tetap fokus menyetir.

"Tak mengapa, saya juga khawatir jika Chika terus menangis." ucap Arini sambil tetap membelai gadis kecil yang sedang tertidur di pangkuannya.

"Mama Chika bernama Zahra, dia juga wanita yang lembut seperti anda, Chika sangat dekat dengan mamanya, makanya saat mamanya meninggal, Chika sangat kehilangan sosok seorang ibu, sementara kakakku sibuk dengan urusan kantornya." cerita Rena.

"Kalau boleh tahu, mama Chika meninggal kenapa mbak Rena?" Arini penasaran.

"Kehilangan banyak darah pasca keguguran bu." Rena nampak sedih mengatakan itu.

Sungguh kasian kamu Chika, di usia sekecil ini harus kehilangan sosok seorang ibu, nasibnya persis seperti Arini waktu kecil.

BAB 2

Arini mengantar Chika hanya sampai depan rumah saja, dia tak enak hati jika harus masuk ke rumahnya. Setelah itu Rena kembali untuk mengantar Arini pulang. kebetulan rumah Arini memang tidak jauh dari sekolah tempatnya mengajar.

"Berapa umur bu guru?" tanya Rena.

"Arini saja mbak."

"Oh kalau begitu, berapa umurmu Arini?"

"Duapuluh satu tahun."

"Benarkah? kau bahkan lebih muda dua tiga tahun dariku." Rena membelalakan matanya seolah tak percaya.

"Ah mungkin mukaku boros jadi seperti kelihatan tigapuluh tahun."

"Bahkan aku kira kau baru lulus SMA rin." Rena mulai lebih akrab dengan Arini.

Arini hanya tersenyum mendengar perkataan Rena.

"Sebelumnya aku meminta maaf jika nanti Chika akan terus memanggilmu mama, aku berharap kau tak keberatan dengan semua itu." Pandangan Rena seperti kosong menatap kedepan.

"Aku tidak keberatan kok, apa aku begitu mirip dengan ibu kandung Chika?"

"Tentu saja, namun sekarang yang kulihat adalah mbak Zahra versi muslimah, hehe."

Arini memang menggunakan kerudung dalam kesehariannya, tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang mungil menambah kesan anak remaja melekat pada Arini, walaupun Arini sekarang berumur dua puluhan tapi sering kali orang mengira Arini adalah anak SMA.

"Mbak Zahra dan mas Radit hanya terpaut selisih umur satu tahun saja, sedangkan aku dan kakakku itu selisih lima tahun." ungkapnya.

"Oh..." Arini nampak bosan dengan percakapan ini.

°°°

Rena baru saja sampai ketika suara tangisan Chika membuatnya bergegas masuk ke dalam rumah.

"Ada apa Sus?" tanya Rena pada baby sitter Chika.

"Nggak tau mbak, Chika manggil-manggil mamanya terus."

"Sini sayang sama tante yuk."

Tapi yang terjadi malah Chika mengencangkan volume tangisannya. Rena bingung harus bagaimana, selain karena ia belum punya anak, ia juga tak punya pengalaman menghadapi anak kecil.

"Chika sayang kamu kenapa?" suara tak asing itu, Rena menoleh dan melihat kakaknya akhirnya datang.

"Biasa mas nyari mamanya," Rena memberitahu penyebab Chika menangis.

"Chika mau sama mama pa." kata Chika seraya memeluk papanya itu.

"Sayang, mama udah pergi jauh, nggak mungkin Chika sama mama lagi, kan ada tante Rena, ada papa dan ada suster Ani juga." Radit menenangkan anak semata wayangnya itu.

"Nggak, tadi juga Chika sama mama, mama mana papa." rengek Chika.

Radit menatap Rena, dia tampak kuwalahan mengurus buah hatinya itu.

Kini tangis Chika sudah mereda, entah apa yang di lakukan Rena pada anaknya itu, Radit duduk termenung melihat langit-langit rumah.

"Mas, ini aku bawakan teh." ucap Rena sambil meletakkan teh yang ia bawa.

"Chika dimana?" tanya Radit.

"Lagi main sama susternya." jawab Rena.

"Mas, apa kau tak bisa pindah saja kemari, toh dari perusahaan disini kau bisa menghandle perusahaan mu yang di jakarta bukan? kasihan Chika, bukan hanya butuh sosok ibu, dia juga butuh sosok seorang ayah. Aku tak bisa selalu mengawasi Chika, aku juga punya banyak pekerjaan." Rena bicara dengan pelan, takut kakaknya itu tersinggung.

Radit hanya diam saja tak membalas ucapan Rena, dia hanya menghela nafas panjang lalu meninggalkan Rena pergi untuk melihat anaknya.

Tampak Chika sedang asyik bermain bersama bonekanya, Radit melihatnya dari balik pintu, hatinya sesak ketika melihat anaknya terus-terusan menangisi kepergian mamanya.

"Sayang, coba kau lihat Chika anak kita, dia sangat kehilanganmu, aku harus bagaimana?" gumam Radit mengingat mendiang istrinya.

Buih air mata menyembul di sudut mata Radit, bukan hanya Chika, ia juga sangat kehilangan sosok istri yang amat di cintainya, bayang-bayang Zahra selalu terlintas di otaknya, bahkan bau tubuhnya Radit masih mengingat dengan jelas.

Radit mendekati Chika dan ikut main dengannya, sebenarnya ia tak sanggup jika harus berpisah lama dengan buah hatinya, mungkin ucapan Rena ada benarnya juga.

°°°

"Aku akan membawa pekerjaanku kemari." ucap Radit kepada Rena.

"Syukurlah, aku senang mendengarnya."

"Aku juga tak bisa jika harus berpisah lama dengan Chika, hanya dia yang aku miliki sekarang." Radit menunduk berusaha menyembunyikan luka hatinya.

"Sabar mas, mbak Zahra sudah tenang di sana, kamu fokus saja pada tumbuh kembang Chika." Rena mencoba menyemangati kakaknya itu.

"Bagaimana perkembangan butik disini Ren?" tanya Radit.

"Lumayan mas, bahkan rencananya aku mau membuka cabang." jawab Rena.

"Benarkah? dimana?"

"Masih tahap survey lokasi kok mas."

"Semoga lancar deh, kalau perlu bantuan mas bilang aja, jangan sungkan." Radit tersenyum.

"Siap."

Hubungan Radit dan Rena memang sangat dekat, terlebih karena Rena merupakan adiknya satu-satunya. Orangtua mereka menetap di luar negeri mengelola bisnis mereka di sana. Bakat bisnis keduanya pun menurun pada dua anaknya itu.

Raditiya Anggara baru berusia 29 tahun, tapi dia sudah sukses menjadi CEO Anggara grup. Anak perusahaannya di mana-mana, sedangkan Rena putri Anggara sukses mereka jadi desainer terkenal, bahkan rancangannya sudah wara-wiri nampang di televisi.

°°°

"Sekarang papa bobo sama Chika?" tanya Chika dengan riang.

"Iya dong, papa tiap hari mau bobo sama Chika, hehe." ucap Radit.

"Yeee, semoga besok mama bisa bobo sm Chika juga."

Radit memeluk putri kecilnya itu, menepuk-nepuk pelan punggungnya, agar cepat ia terlelap, biasanya itu yang akan dilakukan Zahra ketika menemani anaknya tidur.

"Aku rindu kamu ra. Chika nyari-nyari kamu terus, aku mesti gimana ra, mesti gimana lagi menjelaskan pada Chika kalau kamu sudah nggak disisi kami." lagi-lagi Radit teringat Zahra mendiang istrinya.

Bukan hal yang mudah melupakan bayang-bayang istrinya itu, selain karena Radit sangat mencintainya, Zahra adalah wanita yang setia menemaninya dari sejak merintis usaha. Perjuangannya yang tulus tak pernah ia lupakan.

°°°

"Sarapan sudah siap... taraaa... nasi goreng ala tante Rena." dengan riang Rena memberikan hasil karyanya untuk kakak dan keponakannya itu.

"Waaahh, baunya enak tante." Chika pun riang menyambut piring yang di berikan Rena.

"Mas, hari ini kamu yang antar Chika ya, aku harus ke butik sekarang."

"Iya kamu pergi aja, nanti Chika aku yang antar." ucap Radit sembari menyeruput kopi paginya.

°°°

Radit pun mengantar putrinya pergi ke sekolah, ini pertama kalinya ia mengantar anaknya berangkat sekolah, saat TK kecil dulu Zahra lah yang selalu mengantar putrinya.

"Chika udah nggak sabar ketemu mama." kata Chika dengan riangnya.

"Mama?" Radit bingung dengan perkataan putrinya itu, namun ia cuek aja, namanya juga anak kecil, jiwa imajinasi mereka memang menakjubkan.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di sekolah baru anaknya, bersih dan rapi hal yang terlihat pertama dari TK negeri itu.

"Selamat pagi Chika." Arini menyapa Chika dengan ramah.

Radit sangat terkejut melihat seseorang di hadapannya itu.

"Sayang.." hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Radit.

BAB 3

Arini sebenarnya terkejut mendengar kata-kata Radit namun ia tetap tersenyum tenang.

"Anda pasti orangtua Chika bukan?" Arini memberanikan diri untuk bertanya lebih dulu.

"Aahh, benar saya ayahnya." Radit gugup menjawab pertanyaan Arini.

"Saya Arini, gurunya Chika." Arini memperkenalkan diri.

"Kalau begitu mohon bantuannya." Radit tersenyum pada Arini.

"Mama," rengek Chika meminta Arini untuk menggendongnya.

Arini pun menyambut Chika dengan hangat, tampak Chika terlihat sangat dekat dengan orang yang baru menjadi gurunya itu.

Radit seakan terkecoh dengan penampilan Arini, hampir saja ia akan berlari memeluk Arini yang di anggap nya sebagai Zahra mendiang istrinya.

Arini meminta izin untuk membawa Chika masuk kedalam kelas, dan Radit pun bergegas pergi kekantor.

Radit masih tak percaya dengan apa yang di lihatnya tadi, ia masih tercengang melihat seseorang yang begitu mirip dengan mendiang istrinya. Yang ia tahu Zahra adalah anak tunggal, sehingga tidak mungkin memiliki saudara.

Tapi ia tak terlalu memikirkan itu, setidaknya ia lega saat bersama dengan Arini, Chika terlihat sangat gembira.

°°°

Jam istirahat Arini melihat Chika tak banyak bergaul, dia lebih memilih menemaninya di dalam kelas.

"Chika nggak main sama teman-teman sayang?" tanya Arini pada Chika yang tengah asyik mewarnai.

"Enggak, Chika disini aja sama mama."

Sebenarnya Arini agak risih di panggil mama oleh gadis kecil itu, namun ia mencoba mengerti, Chika masih dalam masa berkabung, dan itu membuat Arini membiarkan Chika menganggapnya mama.

°°°

Saat pulang Chika tak di jemput oleh ayahnya, kini ia di jemput oleh baby sitter nya.

Seperti kemarin, Arini pun mengantar Chika untuk pulang. Karena Chika akan merengek menangis jika ia tak mengantarnya.

"Ayo masuk ma, kita main bareng." ajak Chika.

"Maaf ya sayang, bu guru ada urusan dulu yang harus di kerjakan. Chika masuk dulu yah."

"Nggak ah, ntar kaya kemaren, mama nggak pulang, Chika jadi bobo sama papa."

Ya Allah, harus bagaimana ini? Arini nampak bingung apa yang harus ia lakukan sekarang, di satu sisi ia tak ingin lebih jauh masuk ke kehidupan Chika, di satu sisi yang lain ia tak tega jika harus melukai hati anak kecil ini.

"Ya udah, bu guru temenin sebentar yah," Chika nampak senang mendengarnya.

Chika bersemangat mengajak Arini untuk masuk, rikuh sekali memang, tapi keadaan mengharuskan Arini melakukan ini.

Chika menunjukan kamarnya di sini, mengajak Arini untuk bermain bersama, dan bahkan meminta Arini untuk membacakan dongeng si kancil kesukaan Chika.

Sepertinya gadis kecil itu sangat kelelahan, sampai ia ketiduran saat bermain. Arini mengangkatnya ke ranjang, dan memutuskan untuk pulang ke rumah, pasti nenek sudah menunggu kedatangan Arini sekarang.

Saat Arini baru melangkahkan kaki keluar rumah, terlihat mobil memasuki pekarangan rumah ini, ternyata Rena pulang lebih awal.

"Arini, apa Chika merepotkan mu lagi?" tanya Rena.

"Tidak mengapa mbak, toh saya juga senang bermain dengan Chika, tapi saya harus pulang sekarang." pamit Arini pada Rena.

"Ah kalau begitu aku antar saja, biar cepat sampai." Rena menawarkan diri.

"Tak perlu repot-repot mbak, saya kebetulan di jemput."

Rena sedikit kecewa, apalagi saat tahu yang menjemput Arini adalah seorang pria.

Ya, Arini tentu saja mempunyai teman dekat. Namanya Ferdi, usia 24 tahun, dan ia bekerja sebagai sekretaris desa.

Arini di bonceng Ferdi dengan sepeda motornya. Ferdi tentu saja dengan senang hati menjemput di manapun pujaan hatinya itu berada.

"Kamu ngajar kelas tambahan dek?" tanya Ferdi.

"Enggak mas, cuma nganterin anak didik." jawab Arini singkat.

Ferdi sebenarnya agak aneh dengan jawaban Arini, karena selama ia mengajar ia belum pernah repot-repot mengajar anak didiknya.

Apa ada yang di sembunyikan Arini padanya?

"Makasih ya mas, udah jemput Arini."

"Jangan sungkan begitu dek, mas justru senang kok." Ferdi tersenyum pada Arini.

"Mas mari mampir?" ajak Arini.

"Kebetulan mas ada urusan dek, kapan-kapan aja ya." Ferdi berpamitan pada Arini.

°°°

Radit baru pulang sore itu, dan memilih duduk melepas lelahnya di ruang tamu.

"Ma.. mama!!" teriakan Chika membuat Radit terkejut dan berlari mencarinya.

"Ada apa sayang." Radit memeluk Chika yang tengah menangis.

"Mama pergi lagi." Chika terus menangis di pelukannya.

"Maaf tuan, tadi non Chika di antar bu Arini, bahkan bu Arini baru pulang saat non Chika tidur," suster Ani memberi tahu Radit.

"Oh benarkah,"

Sebenarnya orang seperti apa Arini itu, kenapa ia mau repot-repot di susahkan oleh Chika.

Butuh waktu lama agar Chika tenang kembali, Radit merasa sangat lelah hingga dia memilih untuk merebahkan badannya di sofa.

"Mas, Chika udah tenang?" tanya Rena membawakan teh.

"Iya Ren, apa Chika selalu begitu selama disini."

"Ya begitulah mas, tapi si no problem." jawab Rena santai.

"Aku sungguh kasian pada anak itu, mentalnya belum siap kehilangan Zahra, aku menyesal dulu tidak banyak menghabiskan waktu dengan Chika, jadi sekarang dia tak terlalu nyaman denganku." Radit melihat lurus ke atas.

"Udah lah mas, sesuatu hal yang sudah pergi harus di ikhlaskan, bukan untuk di tangisi."

"Iya Ren, tapi melupakan penguasa hati sangatlah sulit."

"Sulit bukan berarti tidak bisa mas."

Radit diam saja, tak melanjutkan lagi perbincangannya dengan Rena, ia lebih memilih pergi untuk menyegarkan diri dengan mandi.

°°°

Nenek Arini tiba-tiba tak sadarkan diri, Arini panik dan meminta pertolongan warga untuk membantu membawa neneknya ke rumah sakit.

Belum sempat neneknya dirawat, pihak rumah sakit sudah meminta administrasi awal. Kini sisa tabungan Arini tidak lah banyak. Bagaimana cara Arini melunasi kekurangan administrasi nanti, ia kalut dan bingung harus berbuat apa untuk mendapat banyak uang sekarang.

Arini mengontek teman-teman nya siapa tahu ada informasi seseorang yang butuh tenaganya. Namun tidak ada satupun dari mereka yang mempunyai info lowongan pekerjaan.

Arini berusaha berfikir dengan keras, namun tetap saja buntu.

°°°

"Maaf tuan, saya ingin mengundurkan diri dari pekerjaan saya." suster Ani tak berani menatap Radit.

"Apa Chika menyusahkan mu?" tanya Radit.

"Orangtua saya di kampung sakit keras tuan, jadi saya harus mengurusnya tuan." alasan suster Ani.

Radit tentu saja tidak bisa menolak alasan suster Ani. Baginya juga orangtua adalah segalanya, apapun akan ia lakukan demi mereka.

"Baiklah jika itu sudah menjadi keputusanmu, aku tidak bisa menahanmu untuk tetap tinggal."

"Makasih tuan." suster Ani pergi untuk mengemasi barang-barangnya.

Masalah baru justru muncul kali ini, bagaimana caranya ia dengan cepat mencari pengganti suster Ani dengan cepat.

Bukan hanya harus cocok dengan Chika, dia juga harus sesuai dengan kriteria nya juga.

Dan untuk sementara ini siapa yang akan menjaga anaknya saat dia dan Rena harus pergi bekerja?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!