Seorang pemuda berjaket orange terlihat sedang menyeberangi salah satu jalan di sudut Kota Tokyo. Ia baru saja menyelesaikan hari-harinya sebagai seorang mahasiswa di salah satu kampus yang ada di kota itu. Terlihat dirinya tengah membawa tas punggung dengan pundak kanannya sambil memasukkan tangan kiri ke dalam saku celana.
Pemuda itu bernama Nara, seorang pemuda dengan ciri khas yang unik. Rambut pirang tersisir harajuku dan bola mata yang berwarna biru. Ia seperti blasteran Asia-Eropa dengan tinggi 177cm dan berat badan sekitar 60kg. Namun, ia memiliki warna kulit yang sedikit gelap, seperti kebanyakan lelaki Asia pada umumnya.
Di tengah keramaian kota, terdengar nada pesan ponselnya bersamaan dengan getar yang ia rasakan, di dalam saku celana. Nara kemudian mengambil ponsel miliknya lalu melihat isi pesan tersebut.
Friday, 7.00 pm.
/Sayang, aku lapar. Bawakan aku sushi tuna, ya?/
Rie
Ternyata pesan tersebut datang dari Rie, kekasihnya. Nara lalu mencari toko sushi isi tuna untuk sang kekasih, ia pun berjalan menyusuri pertokoan yang ada di pinggir jalan. Tak lama, sebuah nada pesan kembali berbunyi, Nara kembali mengecek ponselnya.
Friday, 7.10 pm.
/Sayang, sekalian ice cappucino kesukaanku, ya?/
Rie
"Hmmm."
Baru saja Nara sampai di toko sushi, ia kembali menerima pesan dari Rie.
"Baiklah."
Hanya kata-kata itu yang dapat terucap dari mulutnya saat membaca pesan dari sang kekasih. Ia kemudian mencari kedai es untuk membelikan pesanan Rie sambil berjalan kaki. Tentunya setelah sushi isi ikan tuna ia dapatkan.
...
Sesampainya di kedai es, Nara menunggu cukup lama karena kebetulan di kedai es itu sangat ramai para pembeli. Namun, lagi-lagi ponselnya berbunyi, Nara pun segera mengecek pesan yang ia terima.
Friday, 7.25 pm.
/Sayang, sekalian bawakan aku makanan kaleng untuk besok pagi, ya? Jangan lupa, Sayang./
Rie lagi-lagi mengirim pesan kepada Nara. Namun, kali ini Nara benar-benar kesal dibuatnya. Rie selalu saja meminta ini dan itu tanpa memedulikan dirinya yang lelah sehabis mengais ilmu.
"Sebenarnya aku ini siapanya, sih? Kenapa dia selalu saja meminta ini dan itu?" tanya Nara kepada dirinya sendiri.
Akhirnya, mau tidak mau Nara mencari sebuah mini market untuk membeli makanan kaleng pesanan Rie dengan terus berjalan kaki.
Tokyo, 8.00 pm.
Malam pun datang, bintang-bintang bersinar dengan terang ditemani rembulan yang senantiasa setia menghiasi malam. Malam yang cerah ini mengantarkan setiap penduduk kembali ke rumah, bertemu dengan keluarga dan beristirahat bersama. Namun, hal itu tidak terjadi pada diri Nara. Ia tampak termenung di depan jendela kamarnya sambil memandangi rembulan yang bersinar terang.
Ia merenungi nasibnya yang malang. Tidak ada siapa-siapa di dalam rumah selain dirinya sendiri. Karena kenyataan pahit harus ia terima di kala kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai.
Nara telah lama hidup sendiri. Dan kini kesunyian tengah melanda hatinya. Berharap sebuah keajaiban datang lalu menyapa jiwanya yang sepi.
...
Di lain tempat, terdengar suara ketukan pintu di sebuah kamar kos yang berada di pinggir kota. Di depan pintu kamar kos tersebut, terlihat seseorang sedang menunggu dibukakannya pintu. Pemuda itu mengetuk pintu untuk yang kesekian kali dan tak lama seorang gadis membukakan pintu.
"Na—!"
Gadis berpakaian kimono putih setinggi lutut tampak terkejut di saat melihat kedatangan seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
"Permisi. Saya diminta tuan Nara untuk mengantarkan ini kepada Nona Rie. Apakah Nona Rie berada di sini?" tanya seorang pemuda berpakaian kurir cepat saji.
Nara tidak datang mengantarkannya sendiri. Ada apa, ya? gumam gadis berambut panjang ikal yang tak lain adalah Rie sendiri.
"Saya Rie," jawab Rie setengah hati.
"Baiklah, Nona. Ini."
Tanpa basa basi, sang kurir berseragam hijau memberikan pesanan Rie berupa beberapa plastik berisi makanan. Ia lalu segera berpamitan.
"Permisi, Nona."
Sang kurir membungkukkan sedikit kepalanya kemudian beranjak pergi. Sementara Rie masih terheran-heran karena bukan Nara sendiri yang mengantarkan langsung pesanannya.
Rie menutup pintu lalu meletakkan beberapa plastik berisi makanan itu ke atas meja yang ada di samping kasur lipatnya. Ia kemudian berusaha menelepon kekasihnya. Tapi sayang, nomor telepon Nara tidak aktif seketika.
"Arrgh!" Rie melemparkan ponselnya ke kasur saat teleponnya lama tidak terangkat.
"Ke mana sih, dia?! Buat kesal saja!" gerutunya sambil memegang kepala.
Rie khawatir jika Nara akan berpindah hati apalagi sampai kembali ke pelukan Shena. Karena Rie merasa kekasihnya itu benar-benar merupakan seorang kekasih yang penurut dan juga dapat dimanfaatkan.
"Kenapa akhir-akhir ini dia seperti tidak memedulikanku, ya?" Rie bertanya sendiri.
Rie telah cukup lama menjalin hubungan dengan Nara, sekitar satu tahun lamanya. Dan selama mereka menjalin hubungan kasih, Nara selalu memanjakannya. Apapun yang Rie pinta, Nara rela memberikannya. Walaupun harus menjual mobilnya sendiri demi memenuhi apa yang Rie pinta.
"Jangan-jangan ... ah! Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus melakukan sesuatu." Rie merasa gusar, ia lalu segera mengirim pesan ke Nara.
Tokyo, 8.30pm.
Di kediaman Nara, terlihat ia sedang mengusap kepalanya sendiri. Ia seperti orang yang frustrasi.
"Hah ...." Helaan napasnya terdengar berat seperti ada beban besar yang sedang ia pikul.
"Kenapa tiba-tiba aku merindukan Shena, ya?"
Nara teringat dengan mantannya itu. Wajah manis mantannya pun mulai terngiang di benaknya.
Selama ini Nara banyak berkorban untuk Rie. Namun, Rie hanya memanfaatkannya. Tanpa diketahui dan disadari oleh Nara sedikit pun. Tetapi akhir-akhir ini, Nara mulai menyadari kekeliruannya yang terlalu memanjakan Rie. Sehingga ia mulai bersikap acuh tak acuh kepada kekasihnya itu.
Shena, di mana dirimu?
Nara merasa jika dirinya tengah terpedaya. Penyesalan itupun mulai datang menghantuinya. Ia menyesal telah meninggalkan Shena hanya demi untuk memenuhi hasratnya bersama Rie. Tanpa peduli berada di atas tangisan seorang gadis yang tulus mencintainya. Seorang gadis yang nyaris sempurna namun ditinggalkannya begitu saja.
Shena ... aku rindu padamu ....
Rasa sesal itu mulai mengganggu pikirannya. Ia kemudian meneguk segelas air untuk menenangkan hati dan pikirannya yang sedang gundah. Namun, rasa sesal itu tetap saja menghantuinya.
Shena memang telah lama menjalin hubungan dengan Nara. Namun, kisah mereka harus kandas begitu saja ketika Rie datang dan merebut Nara darinya. Semua kenangan indah harus terkubur di dalam palung hati yang terdalam kala Shena mengetahui jika Nara dan Rie menjalin kasih, beberapa hari setelah Nara mengirimkan pesan putus kepadanya.
Rie sendiri merupakan seorang wanita cantik, berambut hitam panjang tergerai, dengan postur tubuh seperti gitar Spanyol. Ia selalu memakai kontak lensa dan pakaian mini untuk menunjang karirnya sebagai seorang Disc Joki. Namun nyatanya, kecantikan yang dimiliki Rie seakan sirna kala Nara mulai menyadari prilaku Rie yang begitu memperbudaknya.
Berbeda dengan Rie, Shena memiliki postur tubuh yang lebih langsing namun padat dan berisi. Rambutnya hitam panjang dan selalu terkuncir satu dengan poni yang menghiasi wajah manisnya. Kecantikan alaminya berhasil membawa Shena menjadi top model majalah dewasa di Kota Tokyo.
Tokyo, 9.00 pm.
Nara tengah menyandarkan kepalanya di atas bantal busa yang empuk. Pikirannya melayang saat merasakan kejanggalan telah terjadi pada dirinya.
"Setahun belakangan ini aku merasa sangat aneh. Hatiku selalu tidak tenang. Aku merasa hidupku seperti terbelenggu." Ia berbicara sendiri.
"Hah ...."
Nara membalikkan tubuhnya ke samping kiri lalu memeluk bantal gulingnya, sambil berusaha memejamkan mata. Tanpa sengaja, ia melihat sebuah gelang tangan berwarna hitam, terkait di sebuah paku yang ada pada dinding kamarnya. Ia lalu beranjak dari tidurnya, mengambil gelang itu kemudian kembali merebahkan diri di atas kasur.
"Shena ...." Ia memanggil nama seorang gadis yang pernah menemaninya dalam suka maupun duka.
"Sudah setahun kita tidak pernah bertemu. Apa kabarmu di sana?" Ia bertanya akan kabar seorang gadis berambut hitam panjang yang selalu terkuncir satu.
"Aku ingin mengetahui kabarnya, tapi ke mana harus mencari?" gumamnya sambil memegang bantal dengan kedua tangan di belakang kepalanya.
"Shena ...."
Rasa rindu itupun muncul setelah lama tidak bertemu. Nara mulai menyadari bahwa hubungannya bersama Rie hanya sebatas melampiaskan hasrat semata. Tak ada cinta membatin, hanya perasaan akan kebutuhan yang sudah menjadi rutinitas semata.
"Semoga kau baik-baik saja di sana."
Sebelum bersama dengan Rie, Nara terlebih dulu menjalin hubungan dengan Shena. Gadis yang pertama kali meluluh-lantakkan hatinya. Namun sayang, sesuatu terjadi pada mereka yang menyebabkan keduanya berpisah.
Kebenaran akan kejadian itu belum sempat terinvestigasi oleh Nara karena Rie selalu saja mendekat kepada dirinya. Tidak memberi cela ataupun peluang sama sekali untuk membiarkan Nara menemukan kebenaran akan kejadian yang memisahkan dirinya dan Shena. Namun, perasaan bersalah itu tiba-tiba datang menyelimuti pemuda bermata biru ini. Rindu yang membelenggu memunculkan hasrat untuk bertemu, membuat hatinya hanya memikirkan Shena seorang.
Lambat laun, kedua mata Nara pun terpejam. Ia tertidur sambil memegangi sebuah gelang pemberian dari Shena.
Beberapa saat kemudian...
"Selamat ulang tahun, Sayang."
Seorang gadis mengenakan baju terusan berwarna merah muda, memeluk tubuh Nara dari belakang, di kafe langganannya.
"Shena ...?" Nara kemudian menggapai tangan gadisnya yang membawa sebuah kue tar berukuran kecil. "Shena, kau tidak perlu repot-repot seperti ini." Nara terharu dengan kejutan yang diberikan Shena untuknya.
"Siapa yang merasa kerepotan, Sayang? Sekarang tiup lilin ini, aku akan memfotonya."
Shena tampak sumringah, sesaat setelah ia menyalakan lilin dengan sebatang korek api. Ia masih berdiri di hadapan Nara seraya tersenyum penuh cinta.
"Baiklah, aku tiup, ya?" sahut Nara yang sudah siap meniup lilin kue ulang tahunnya itu.
"Tunggu!" Tiba-tiba Shena berteriak.
"Shena, ada apa?" tanya Nara yang bingung.
"Sayang, berdoa dulu baru tiup lilinnya," jawab Shena seraya duduk di depan Nara.
Nara pun mengangguk, ia kemudian berdoa bersama Shena lalu meniup lilin kue ulang tahunnya. "Huuuuuhhh."
Lilin kue ulang tahun ditiup oleh Nara, tetapi tiba-tiba sesuatu terjadi. Ia tidak lagi berada di kafe, melainkan di sebuah rumah sakit, yang mana seperti melihat Shena di atas pembaringan lalu ditutupi kain putih.
Nara segera berlari, mendekat untuk melihat lebih jelas sosok yang berada di balik tutupan kain putih agar mendapatkan sebuah kepastian.
"Shena?!!"
Ia sungguh tidak menyangka jika yang dilihatnya adalah benar jasad Shena yang telah membujur kaku di hadapannya.
"Shena!"
Nara berteriak dengan histeris, tetapi teriakannya diabaikan oleh para suster yang hendak membawa jasad itu pergi dari hadapannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!