Terlalu
sulit melupakan cinta pertama. Maaf, sudah ku coba tapi tak bisa.
-
Bastian
memukul beberapa kali sasak tinjunya, dengan kesal, dia masih ingat benar
bagaimana cinta pertmanya, bagaimana dia berusaha keras untuk melupakannya.
Bahkan melibatkan wanita yang, bisa dibilang tak bersalah.
“Kalo lo
gak cinta beneran sama Tania, kenapa lo harus mainin dia, melibatkan cia dengan
permainan lo, Bas!”
Bukk
Satu
pukulan keras tepat mengenai pipi Bastian, bastia hanya diam dan menerima
pukulan itu. Dia merasa pantas mendapatkan pukulan itu. Dia merasa pantas
menerima pukulan itu, sangat pantas.
“Sorry,
Tan. Gue kira gue bakalan bisa cinta sama lo.”
Bastian
melihat wanita yang sejak tadi sudah menangis itu. Tania, siapa lagi.
“Gu
ekira? Lo bener-bener ya. Gue gak terima lo nyakitin perasaan sahabat gue bas,
dasar anak kecil kuran ajar.”
Kata
bima, lagi. Benarkan, bastian itu anak kecil, satu tahun dibawah Tania. Tapi
dia berani sekali memainkan tania.
Kejadian
itu sudah beberapa tahun silam, tapi masih bastian pikirkan, bahkan move on
dari lala, itu adalah hal tersuli yang masih dia coba.
Kini bastian
sudah menjadi pemegang perusahaan amanya, masih single dan makin tampan.
Usianya kini sudah 30 tahu. Tapi belum mau menikah, alasannya satu, terllau tak
pantas untuk mencinta wanita lain, takut dia hanya mempermainkannya seperti
tania dulu. Belum bisa melupakan lala sepenuhnya, iya.
“Bas,
mau sampai kapan kamu sendiri?”
Protes
sang mama pada bastian, yang masih di kantor dan sedang membaca beberapa
dokumen pekerjaann. Percaya, dia sangat mirip dengan dimas, kecuali parasanya.
Tabiatnya yang gila kera, mirip. Mengingat bastian ingin menjadi dimas, yang
harusnya kalau sudah bisa seperti dimas, lala mau mungkin padanya, tapi lala
setia.
“Apa sih
ma, kenapa dibahas lagi.”
Bastian sudah
biasa mendengar mamanya mengocehkan hal yang sama, tapi bastian hanya
menanggapinya dengan santai.
“Kau
juga butuh pendamping hidup bas. Mama juga butuh menantu, butuh cucu yang lucu
yang banyak kalau perlu.”
Selalu
dengan alasan yang sama, kata mamanya dia iri pada teman-temannya yang pamer
menantu, yang pamer cucu, cerita tentang menantu mereka, cerita tetang cucu
mereka.
“cari
saja yang baik, gak usah muluk-muluk. Atau kamu telpon tania, balikan sama dia,
dia kan baik.”
Tania,
nama yang sudah lama tak dia dengar. Nama yang paling membuatnya merasa menjadi
orang jahat. Batian tak sebaik dan tak sesempurna yang kalian kira.
“Jangan
bahas tania, ma.”
Sudah,
bastian tak mau lagi bahas itu. Bastian memilih pergi untuk meeting.
Meninggalkan mamanya yang hanya bisa menatap kecewa bastian, yang masih belum
juga membuka hatinya pada wanita lain.
**
“Taraa....”
Seorang
anak peremuan, berambut pendek memakai pakaian seragam sma, berlari, memanggil
nama sahabatnya itu, tara. Dia berlari merangkul sahabatnya itu.
“Hai
bin, sehat?”
Tara
melirik sahabat yang meangkulnya. Namanya sabrina, anak orang kaya pindahanan
dari jogja. Kenapa jadi sahabat? Karena sejak pertama kali datang ke sekolah,
duduk disamping tara yang gak banyak teman, paling takut sama tara, yang dicap
gak baik. Tapi setelah tau cerita hidup tara, sabrina tau kalau tara anak yang
baik. Tulang punggung keluarga.
“Sehat
lah, gak lihat makin hari makin seger dan cantik gini.” Dengan gaya centilnya
sabria mengibaskan rambut pendeknya.
“Iya
percaya, makin cantik.”
“Tar,
tapi aku belum ngerjain tugas, contekin ya. Gara-gara m gue semalem ngerjain
gue, nyebelin banget tuh om ganteng gue.”
Sabrina
mengingat kejadian semalam, bukan gara-gara omnya sih, tapi ya melibatkan
omnya. Sabrina yang centil, suka make up dan digilai cowok sekolah itu ingin belajar
menjaga diri, diajari si omnya bela diri. Dikit-dikit, tapi malah badan sakit
semua, tidur belum ngerain tugas.
“Iya
tenang aja. Buat lo apa sih.”
Mereka
segera masuk ke ruang kelasya, tara mengeluarkan buku tugasnya dan
memberikannya pada sabrina. Sabrina langsung menyalin jawaban tara, yang bisa
dibilang cukup pintar, dia sering rangking dua atau tiga, walau tak pernah
rangking satu di kelas. Sementara sabrina menyalin, tara masih memikirkan keadaan
rumahnya, keluarganya.
-
Beberapa
orang datang ke rumah sederhananya, mereka menggebrak pintu rumahnya ketika
tara sedang sarapan.
“Bayar
utang!”
Kata salah
satu dari mereka yang membantk ibu tara yang membukakan pintu.
“Iya
nanti saya bayar juragan. Tapi saya belum punya uang.”
“Tar,
udah nih.”
Sabrina
menepuk pundak sahabatnya yang melamun itu. Sabrina butuh beberapa kali untuk
menepuk tara dan membuat sahabatnya tersadar dari lamunannya.
“Hah,
iya bi.”
Tara
sering memanggil sabrina dengan panggilan bi, Bina. Dari pada omnya yang sering
emanggil Bri, atau bahkan menyebutkan nama bang rakyar indonesia, B.R.I. Lalu
dengan tawa omnya yang paling suka menggoda bina, keponakannya dari jogja.
-
Bisa
nebak omnya sabrina yang dari jogja.
Bagaimana
kisah selanjutkany,
Bagaimana
mereka bertemu? Dan akhirnya terikat satu sama lain, kenapa?
Sampai ketemu
di eps selanjutnya.
-
Hai ini
udah pernah aku postnya, niatnya mau lanjut bagian bastian dulu.
Mama bastian ngambek, gak mau ngomong sama Bastian karena Bastian juga gak mau merespon apapun soal permintaan mamanya cucu. Gimana mau punya cucu, Batian punya cewek aja enggak.
"Pagi ma,"
Bastian menyapa sang mama yang sibuk menyiapkan makan malam. Bastian mengecup pipi sang mama.
"Gak usah deket-deket sama mama, gak usah ngomong sama mama."
Kata mama bastian yang merajuk. Dia hanya mengambilkan makanan untuk bastian dan diam. Bastian hanta tersenyum, walau marah padanya masih saja dimemperhatikannya.
"Ma, udah dong jangan ngambek. Bastian kan gak punya pacar, gimana mau kasih cucu cepet kalau gitu."
"Ya gak mau tau, bad. Cari cewek gitu loh!"
Bahkan sang mama meninggalkan Bastian ke kamar, meninggalkan bastian di ruang makan sendirian.
"Bas,"
Tapi kemudian kembali, bukan untuk menrmani Bastian makan malam, tapi untuk meminta Bastian menelpon Sabrina. Karena sekolah di jakarta, Sabrina dititipkan orang tuanya pada Bastian dan mamanya, dia juga anak cewek, mama Bastian gak mau Sabrina kenapa-napa.
"Jam segini belum pulang, telpon ya bas. Cari dimana adek kamu?"
Kata mama bastian, yang bahkan sudah menganggap Sabrina seperti anak perempuannya. Bastian pun sudah menganggap sabrina sebagai adiknya sendiri.
bastian melirik jam dindin besar di rumahnya, jam makan malam di rumahnya itu sekitar delapan lebih, biasanya sabrina akan mengabari, tapi ini tidak? Bastian menganbil telponnya dan mencari nomer sabrina, Bastian mencoba menelpob sabrina bebera kali.
"Selamat malammm..."
Baru akan menelpon lagi, suara cempreng sabrina sudah memekik telinga bastian, memenuhi ruang makan itu. Bastian menoleh kearah belakang, dimana adik sepupunya itu dari sekolah baru pulang. Kemana? dia ingin sekali memarahi dan menceramahi sabrina habis-habisan.
"B.R.I looo...."
Baru membuka mulut, ingin memarahi adik sepupy tersayangnya, Bastian melihat Sabrina tidak datang sendirian, sabrina membawa seorang teman perempuan, wajahnya seperti tak asing dengan teman Sabrina.
"Malam om, maaf ya telat. Habis tadi banyak tugas, jadi sekalian kerja kelompok."
Sabrina langsung mendekati Bastian dan cengir-cengir didepan Bastian. Bastian hanya diam, gak enak kalau mau memarahi sabrina didepan temannya.
"Udah makan?"
Tanya bastian yang dijawab gelengan oleh sabrina. Bastian menpersilakan Sabrina dan temannya, untuk makan malam dulu. Sabrina meminta izin pada Bastian, kalau Tara akan menginap malam ini, karena sabrina harus belajar untuk persiapan ujian lusa.
"Dua malam berturut-turut, atau sampai ujian selesai ya om, izin temen Sabrina mau nginep disini. Sekali belajar bareng."
kata sabrina disela-sela makan malam, tara hanya diam. Tara ingat dimana dia melihat laki-laki didepannya, omnya Sabrina. Di rumah sakit ketika mendonorkan darah untuk seorang ibu hamil yang baru melahirkan kah? Tara tak yakin, yang disebutnya belum bisa move on dari wanita itu, Tara mencoba mengingatnya, lala. Namanya lala dan didepannya...
"Ta, kenalin ini om gue yang paling ganteng, keren, kece, suka ngasih gue duit jajan yang banyak."
Setelah makan malam selesai, sabrina malah baru mengenalkannya. Tara hanya tersenyum, dan mengulurkan tangan, perlu kah, menatap kaku laki-laki didepannya. Seumur-umur tara belum pernah berhadapan langsung, dekat dengan seorang laki-laki, mengulurkan tangan dan kenalan. Tidak. Untuk apa.
"Tara, om.."
Tara tak yakin, tapi dia melirik sabrina yang ada disampingnya, haruskah dia juga memanggil omnya Sabrina dengan panggilan om juga. Tapi sudah terucap.
"Bastian."
Bastian menjabat tangan tara yang sudah terulur didepannya. Bastian juga menatap tara lekat, bastian ingat dimana pernah melihat gadis didepannya, temannya Sabrina ini, yang mendonorkan darah untuk lala.
Ahh, dunia sempit sekali.
Setelah pengenalan singkat, Sabrina dan Tara langsung izin ke kamar Sabrina. Tara akan menggunakan pakaian sabrina, karena sabrina tak membiarkan tara pulang untuk mengambil beberapa pakaian.
"Om, tante mana? gak ikut makan malam?"
Sabrina baru sadar, dia tak melihat tante cantiknya dimeja makan tadi. Setelah sabrina ganti baju, sabrina turun untuk mengambil minuman dan cemilan untuk teman belajar. Tapi sabrina sama sekali tak melihat tantenya.
"Iya Bi,"
Bastian ada didepan ruang tv, masih dengan laptop dan pekerjaannya, sesekali dia juga melirik kamar sang mama yang ada di kamar utama dibawah, mamanya sering sakit, jadi dokter bilang jangan terlu sering naik tangga. Tapi mamanya tak juga keluar.
"Tumben bener panggilnya."
Sabrina senang, bastian memanggil namanya dengan benar, bukan mengejeknya, B.R.I. Tapi kalau sudah seperti ini pasti keadaannya serius.
"Emm, tante emangnya kenapa om?"
Tanya Sabrina, tak jadi mengambil minum malah duduk disamping omnya, lupa kalau di kamarnya ada yang ditinggal sendiri.
"Bujukin sana buat makan. Soalnya mama minta cucu masak ke om."
Kata bastian dengan prihatian. Tapi yang diceritakan malah tertawa terbahak-bahak. Membuat bastian sedikit kesal, kenapa?
"ihhh... ketawain aja tross..."
"minta cucu, cewek aja gak punya. Hahaa.... kasian banget tante, gimana om mau wujudin permintaan tante coba."
"Sabrina bujuk dulu lah."
Sabrina bergegas, dia langsung ke kamar tantenya. Untung ada Sabrina, kalau soal membujuk mamanya lebih luluh pada sabrina, karena memang mamanya selalu bilang sudah ingin punya menantu.
Tok tokk..
Sabrina mengetuk pintu kamar sang tante, tapi tak ada balasan. Beberapa kali sabrina mengetuk lagi, akhirnya dibuka oleh sang tante. Mama bastian melirik untuk memastikan bastian tak ada disekitar sabrina kan.
"Masuk, Na."
Kata mama bastian menarik sabrina untuk langsung masuk. Sabrina pun hanya masuk menuruti tantenya. Di dalam sabrina berusaha membujuk tantenya, tapi gak om dan mamanya si om, keduanya sama-sama keras kepala.
"udah biarin, biar dia tau rasa. Biar tante sakit dan langsung deh mau nikah dan bikinin cucu."
Sabrina tertegun. Sabrina juga bingung mau bilang apa, sepertinya ini sangat serius.
"sabrina coba bilang ke om bastian ya tante. Tante jangan ngambek-ngambek, tante kalau gak mau makan, sakit gimana?"
Sabrina keluar untuk menemui bastian, dia mengatakan apa yang tantenya katakan. Bastian makin khawatir, gimana secepat itu. Sabrina punya ide gila, hanya untuk malam ini, sabrina melirik kamarnya diatas, ada seorang wanita yang mungkin bisa menolong omnya,
"Tara, om..."
Kata sabrina pada bastian. Bastian makin tak tau dengan apa yang tara maksud. Tara mengatakan rencananya, jadi hanya untuk malam ini, sabrina akan meminta tara untuk pura-pura jadi kekasig bastian, setidaknya hanya untuk tantenya supaya mau makan dulu.
"Gilak lo B.R.I. Gak ada!"
tolak bastian, bastian dapat membayangkan apa yang akan tara katakan, pasti juga menolak.
"Gak akan om, Tara itu baikk bangett.. sayang sama orang tua, apalagi ibu. Orang tua wanita, Tara cuma tinggal punya ibu, dia gak akan pernah tega nolak permintaan seorang ibu. Ini kan demi tante,"
Bastian terkesan dengan ucapan sabrina, benarkah anak sma yang ada di kamar sabrina sebaik itu? sesayang itu pada mamanya? akhirnya bastian mengangguk, hanya demi mamanya mau makan karena mamanya juga punya sakit maag angkut, tak boleh telat makan.
"Ok. Coba."
Sabrina menarik tangan omnya untuk ikut ke kamar atas. Bastian tak yakin, tapi untuk mamanya harus dicoba. Sabrina membuka pintu, tara yang ada didalam menyanbut sabrina dengan baik, tapi langsung canggung melihat sabrina membawa omnya ke kamar.
"Ta, kita mau minta tolong." kata sabrina yang dilirik kebingungan oleh tara.
"Tolong apa, Bi. Kalau bisa aku tolong, aku tolongin."
"Bisa banget."
Tara tak yakin dengan apa pernintaan Sabrina, tapi rencananya kan hanya untuk malam ini, jadi tak masalah. Tara turun dengan membawa makan malam yang kembali dihangatkan oleg pembantu di rumah itu, Tara mengetuk pintu kamar mama bastian dengan ragu. Tuk tukk... beberapa kali.
"Ma, makan malam dulu nanti mama sakit. Inget maag mama." teriak bastian dari luar.
"Gak usah sok perduli Bas, kamu cuma perduli sama masa lalu kamu kan, yang gak bisa kamu lupakan."
Sabrina hampir tertawa, manisnya kalau kedua orang ini bertengkar, karena terlu terbiasa saja, selalu berdua, dekat, bukan hanya sebagai mama dan anak, tapi manis seperti teman, sahabat, sampai kekasih, ya seperti ini bertengkarnya.
"Ta, coba." Kata sabrina meminta tara untuk mencoba bersuara.
"Tante, saya tara. Saya..."
Tara tak yakin, harus kah berbohong dan menyebutnya kekasih bastian. Sebelum melanjutkan ucapannya, tara melirik sabrina. Sabrina terlihat memohon pada tara.
"Saya pacarnya bastian."
Yang dari dalam mencoba mencerna suara lembut dari luar sana. Bastian dan Sabrina juga menunggu respon mamanya bastian.
"Ma, katanya mau ketemu kan sama pacar bastian. Bastian minta maaf gak pernah bilang sama mama," kata bastian dengan lantang.
Krekkk...
Pintunya langsung terbuka lebar. Mama bastian menatap wanita asing yang ada didepan pintu, dia langsung menarik tara masuk ke kamarnya.
"Ma,"
ketika bastian akan masuk, mamanya malah menutup pintu dengan kasar. Mau apa mama mengajak tara masuk ke kamarnya, kalau ketahuan, mamanya bakalan tambah marah, mungkin bisa balik ke jogja dan gak mau ketemu bastian lagi.
Arghh...
Bastian hanya bisa menunggu sementara Tara masuk ke kamar mamanya, entah apa yang mereka lakukan didalam sana.
"Bi, ketuk pintunya, pengen tau nih mereka ngapain didalam sana?" Kata Bastian menyuruh Sabrina, kalau dia yang ketuk, belum tentu mamanya mau membukakan pintu.
"Hih... sukanya nyuruh orang aja. Dasar." Sabrina nyengir pada Bastian. Sabrina pun mengetuk pintu kamar mama bastian.
"Tante, bina juga mau masuk dong." kata bina terus mengetuk pintu.
Krekkkk...
Perlahan pintunya terbuka, bukan mama bastian yang membukakan pintu, tapi Tara, tara yang jadinya menatap aneh dan canggung bastian, disamping Sabrina.
"Kata mama, boleh masuk." Tara mempersilakan keduanya.
Hah?
Sabrina dan Bastian langsung melongo, saling melempar tatapn tak percaya, mama? Tara memanggil mama bastian dengan panggilan mama? kenapa? bagaimana bisa? Bastian dan Sabrina pun akhirnya masuk.
Mama bastian kali ini tersenyum menyambut bastian, beliau duduk ditengah ranjang, dengan makanan yang sedikit sudah berkurang.
"Sayang, sini." Kata mama bastian, melambaikan tangan memanggil tara kembali, untuk duduk disampingnya.
"Iya, ma." Tara pun kembali duduk disekat mama bastian. Sabrina disisinya yang lain, dan bastian hanya berdiri mengamati, apa yang terjadi beberapa menit didalam, kenapa jadi seperti ini.
"Mama mau disuapin lagi?" Tanya tara pada mama bastian.
"Iya," jawab mama bastian, dengan anggukan dan senyuman melirik bastian. Bastian lega, mamanya baru kali ini terlihat sangat bahagia, hanya dengan dia membawa kekasih? itu pun palsu.
Tara kembali menyuapi mama bastian, sampai habis, hingga membantu menghabiskan minuman dan juga obat yang disimpan di laci. Bastian masih diam mengamati, bagaimana bisa dekat secepat ini, hanya beberapa menit.
"Tante, Bina juga iri mau panggil mama.." kata Sabrina merengek setelah beberapa kali diam mengamati dan terus mendengar Tara memanggilnya mama.
"Biat Bina punya mama juga disini. Bina jadi kangen mama Bina di Jogja." Sabrina hampir menangis mengatakannya, mama Bastian langsung menarik sabrina kedalam pelukannya.
"Iya, boleh banget. Nana sendiri kan yang katanya gak enak kalau panggil tante mama dulu."
"Sekarang mau, iri sama Tara." Sabrina menunjuk sabahatnya itu.
"Nana, kenal Tara." Nana adalah nama panggilan kesayangan mama bastian pada Sabrina.
"Iya, Tara itu sahabat Nana, mama." Sabrina tersenyum sudah memanggil tantenya dengan panggilan mama.
"Bagus kalau begitu, Tian, langsung ya nikah."
"Hah?" Bastian kaget bukan main, matanya melotot sempurna. Tara juga tak kalah kaget, rencananya kan cuma semalam ini, untuk membujuk mama bastian makan, tapi ini malah disuruh menikah.
"Kan Tara masih sekolah ma, nanti sama kayak..."
Bastian mendapatkan solusinya, karena sabrina sudah mengatakan kalau tara sahabatnya, otomatis harusnya mama bastian tau posisi tara, yang seumuran dan masih sekolah seperti Sabrina.
"Nanti gangu sekolahnya ma."
Bastian ingin menyebutkan nama lala, bagaimana dia menikah diusia muda, masih sekolah, hingga insiden hamil dan keguguran, semuanya menggangu sekolah.
"Ini semester akhir kan, sayang?" mama bastian beralih pada Tara yang masih terkejut dengan keadaan yang kini dia alami, mama bastian membuat lamunan tara buyar ketika tangan lembut mama bastian mengusap kepala tara.
"Iya, ma."
Bastian juga luluh sebenarnya, melihat dan mendengar bagaimana interaksi mamanya dan tara, bagaimana manisnya dan lembutnya tara memanggil mamanya dengan panggilan mama.
"Ya udah setelah selesai sekolah, setelah lulus. Kan kalau kuliah boleh dong udah nikah. Banyak kok yang kuliah tapi sedang hamil." kata mama bastian, malah sampai kemana-mana pembicaraannya.
Tara dan bastian makin melongo mendengarnya, mamanya sampai membicarakan keadaan tara yang bisa hamil saat kuliah. Oh tidak, tara masih harus bekerja keras dan mungkin tidak akan kuliah, ingin tapi tak mungkin karena keadaan keluarganya.
"Kamu mau kan sayang?" tanya mama bastian pada tara. Tara bingung harus jawab apa, gak mungkin jawab gak mau, tapi ya emang sebenarnya gak mau. Tapi kalau mama bastian ngambek dan gak mau makan, sakit, gimana?
"Kita bicarain lain waktu ya ma, udah malem. Waktunya tidur." bastian memotong pembicaraan, dia menunjuk jam di kamaf sang mama. Jam mewah, bersepi dengan ukuran dan berwarna emas. Seperti kesukaan mamanya, emas.
"Tara tidur disini ya, sama mama. Sabrina juga."
"Iya." Sabrina yang membantu tara untuk mengambil keputusan. Sabrina memberikan isyarat agar tara menyetujui permintaan mama omnya itu.
"Iya ma." Tara pun tak bisa menolaknya.
"Cowok hush sana. Cepet nikah, biar bisa tidur bareng."
Uhukk...
Tara yang tak makan apap-apapun sampai tersendak mendengar ucapan mama bastian. Bastian hanya berdehem dan pergi dari sana, meninggalkan tiga cewek-cewek itu. Mahluk paling ribet di dunia ini.
-
Ke esokan harinya bahkan Tara membantu memasak di dapur, dengan mama bastian, banyak sekali yang diajarkan oleh mama bastian, dari mulai masakan bastian, hal yang tak dia suka dan semuanya sambil memasak. Sementara karena hari ini hari libur, di kamar mamanya bastian, sabrina masih tidur pulas, bersembunyi dibalik selimut, hal yang selalu sabrina lakukan ketika libur. Tidur panjang..
"kalian sudah berapa lama pacaran, kenal dimana?" tanya mama bastian disela-sela nemasak.
Tara yang sedang memotong beberapa sayur terkejut setelah mendengar ucapan mama bastian.
"satu tahun ma,"
suara dari belakang tara dan mama bastian. Itu bastian, yang untung datang diwaktu yang tepat. Bastian langsung menjawabnya. Mama bastian menoleh kebelakang, menatap kesal anaknya itu.
"mama itu tanya ke calon menantu mama, bukan anak mama yang suka boong dan bikin kesel." protes mama bastian melirii kesal anaknya.
"Kenalin mama ke orang tua kamu ya, Tara. Mama mau lamar kamu langsung."
Crushh...
Tara yang kembali dikejutkan dengan ucapan mama bastian, tak sengaja menggores tangannya sendiri yang sejak tadi sedang memotong sayuran.
"aahh..." Tara memekik kesakitan.
Bastian yang melihatnya refleks menarik tangan tara, untuk memeriksanya, mencuci sedikit jari tara yang terluka. Bastian juga langsung mengambil kotak p3K.
Tara tak yakin dengan sikap ini, tadi keduanya hanya pura-pura, kenapa bastian seperhatian dan semanis itu, khawatirkah dia?
"Tahan dikit."
sebenarnya tara paling takut darah, tapi detik ini, tara malah terfokus melihat bastian. Tara menunduk, kepalanya kumat kalau lihat darah, sedikit kliyengan. Donor darah aja, gak berani liat darahnya diambil.
"Saya mau duduk dulu." kata tara menunduk, perutnya juga terasa geli, mual, seperti ada yang menggelitiki, tapi rasanya tak nyaman.
Bastian langsung menarik kursi, tara pun duduk dan tertunduk disana.
"Tara kenapa?" sabrina yang baru bangun langsung ke dapur untuk mengambil air minum awalnya, tapi malah melihat sahabatnya seperti itu. Tara menunjukan tangannya yang terluka. Sabrina mengangguk.
"Tara takut darah, om. Kepalanya suka kliyengan, badannya suka lemes tiba-tiba, untung gak pingsan." kata sabrina menjelaskan.
Mama bastian yang merasa bersalah, mungkin karena dia, jadi membuatkan teh hangat. Dia memberikannya pada bastian.
"diminumin dulu bas," Kata sang mama menyuruh bastian.
"Ta, minum dulu."
Ini kali pertama, menatap dekat mata seorang pria dewasa, yang sebenarnya adalah kriteria yang tara suka, dengan umur matang pasti pemikiran matang, juga didepannya, laki-laki yang mapan, impiannya, menikah dengan laki-laki yang mapan untuk menjamin hidup keluarganya yang serba ke kurangan, pas-pasan. Matrekah Tara?
Bastian membantu Tara untuk meminum tehnya. Bastian tak henti menatapnya, memperhatikannya. Tau apa yang bastian pikirkan, mungkin ini rasa yang dimas rasakan, yang dimas miliki pada lala, gadis sma yang dia nikahi. Bastian benar-benar teronsesi menjadi dimas dan Tara, lalanya. Pemikiran Bastian masih belum berubah, lala. Andai bastian Dimas, lebih tua dari lala, lala pasti lebih mencintainya sejak dulu.
"Manis banget sih, na, mereka berdua. Nikahin ahh nanti setelah lulus." kata mama bastian mendekati sabrina. Sabrina melongo, nih dua orang disuruh cuma saling ngaku pacaran tapi kenapa malah kebablasan romantis dengan tantenya.
'Salah sendiri bikin mamanya baper, tanggung disuruh nikah kalian?'batin Bina.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!