Pertengahan hari dari awal bulan pertama, terlihat suasana yang tidak biasa di Alas Roban, ada pertemuan keluarga yang sudah Tiga tahun ini tidak pernah terjadi.
Tubagus Wiraguna dan Nyai Ambarukmo menyambangi Alas Roban tempat dimana Wiratama beserta keluarganya berada, mereka di sambut langsung oleh Wiratama dan Putri Retno Ningsih
Ada yang sangat berbeda dari penampilan yang di tunjukan Putri Retno Ningsih.
Ia kini di tidak di balut dengan pakaian yang mewah dan selalu menjaga sikap layaknya seorang Putri Panglima Utama Mataram.
Istri dari Wiratama tersebut kini mengenakan pakaian ringkas layaknya seorang pendekar wanita, sederhana dan sangat bersahaja. Senyumnya selalu mengembang di bibir menandakan kebahagian selalu bersamanya.
"Aissh...Kakang Wiraguna! lama tidak bersua, angin apa yang membuatmu datang ke hutan kami?" Wiratama dan Putri Retno menyambut kedatangan Tubagus Wiraguna dan Nyai Ambarukmo.
Wiratama kemudian memeluk saudara seperguruannya dengan hangat dan membawa ke pendopo mereka di tengah-tengah Hutan Alas Roban.
Makanan-makanan tersaji, percakapan yang hangat terdengar dari mulut mereka menandakan kerinduan yang mereka alami.
"Gusti Putri, kami menyampaikan salam kerinduan dari Gusti Panglima Utama kami, beliau selalu berharap kedatanganmu untuk membesuknya!"
Putri Retno Ningsih menganggukan kepala dan tersenyum, "Kerinduan romo pasti tidak akan ada habisnya, baru saja dua purnama yang lalu kami mengunjungi beliau bersama Kangmas Wiratama, sayang kami tidak menjumpaimu Ki Sampang!"
"Oh..ya, mohon maaf Gusti Putri, saat itu aku sedang bertugas ke daerah Kertosono sehingga tidak dapat menjumpaimu dengan Dimas Wiratama."
"Tidak mengapa Ki Sampang, kami memaklumi tugas-tugasmu sebagai pimpinan dari Pasukan Bayangan sangatlah tidak mudah!"
Setelah mereka bercakap lama melepas kerinduan, keesok harinya Wiratama menanyakan maksud dan tujuan dari Ki Sampang mengunjunginya, "Kakang, jika aku tidak keliru, pastinya ada tujuan lain selain kalian ingin melepas kerinduan kepada kami?"
"Ha..Ha..Ha, batinmu sekarang lebih lunuwih Dimas! weru sadurunge winarah!" apakah tebakanmu bisa di lanjutkan Dimas?" Tubagus Wiraguna alias Ki Sampang tersenyum penuh arti.
Wiratamapun membalas dengan senyuman, "tidak Kakang, kau harus menyatakannya secara gamblang, aku tidak seperti yang kau kira bisa mengetahui apa yang akan terjadi!"
"Dimas Wira, seperti yang telah kau ketahui, Kerajaan Mataram sekarang ini adalah sebuah kerajaan besar, Susuhunan berniat memperluas wilayahnya ke daerah Priangan, tetapi engkaupun tahu, aku berasal dari mana, tidak mungkin aku berdiam diri sedangkan tanah air yang ku cintai akan menjadi daerah kekuasaan kerajaan yang lain!"
Wiratama mendengarkan dengan penuh antusias dan tidak mengatakan apapun, karena ia tahu, posisi Ki Sampang atau Tubagus Wiraguna dalam situasi dilema.
"Aku meminta izin kepadamu Dimas, untuk meminta pertolongan Wirayudha menyampaikan hal ini kepada para pimpinan yang berada di Priangan, sementara aku tetap tinggal di Mataram, berusaha mencegah peperangan ini supaya tidak terjadi!"
"Dimas Wira, saat ini Mataram benar-benar telah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pajang dan sudah menguasai Demak, Pasuruan, Tuban dan Madiun dan masih berusaha untuk menguasai daerah lebih ke timur seperti Madura dan Surabaya. Untuk menguasai daerah Priangan sepertinya masih membutuhkan waktu yang lebih lama lagi, tetapi semuanya pasti akan terjadi!"
"Hmm...Maafkan aku Kakang, aku sendiripun telah berlepas diri dari segala kehidupan politik kerajaan dan tidak ingin mencampurinya lagi!" Wiratama berusaha berpikir keras dalam menimbang keputusan, apakah mengizinkan Wirayudha atau tidak untuk memenuhi permintaan dari Tubagus Wiraguna.
Setelah merenung sekian lama, akhirnya Wiratama mengajukan pertanyaan "Kakang, apakah kau tidak merasa keliru meminta Wirayudha yang akan melaksanakan tugas ini? Wirayudha masih seorang pemuda yang belum dewasa dan belum mempunyai pengalaman! apa yang menjadi alasanmu Kakang?"
"Dimas, Aku mengenalmu bukan baru kemarin sore, pastinya kau mengetahui niatku pasti jauh dari muslihat, dan aku sudah menganggap putramu seperti putraku sendiri, Sebelumnya aku tidak pernah berpikir sejauh ini, tetapi hari-hariku kemarin merasa terganggu dan cemas, ketika aku melakukan Pati geni selama sepekan, aku mendapatkan petunjuk akan terjadi Konflik antara Sumedang larang dengan Kesultanan Cirebon, aku tidak mengetahui dengan pasti apa yang menjadi penyebabnya."
"Sedikit yang aku ketahui, mungkin ini ada hubungannya dengan Pangeran Geusan Ulun yang pernah tinggal di kerajaan Pajang untuk menuntut ilmu!"
Wiratama mendengarkan seluruh keterangan dari Tubagus Wiraguna dan menjadi pendengar yang setia. Setelah Ki Sampang selesai bercerita akhirnya Wiratama berbicara menanggapi, "Kakang, aku tidak ingin Putraku terlibat dalam kecamuk permasalahan pemerintahan! apalagi ini menyangkut Kerajaan di luar daerah kita!"
"Aku juga merasa yakin Kakang! Panembahan Ratu yang memimpin Kesultanan Cirebon saat ini adalah seorang waskita, beliau pasti akan bisa menyelesaikannya dengan bijak jika ada kekacauan yang terjadi!"
"Benar Dimas, aku tidak meminta Wirayudha untuk ikut campur terlalu jauh, hanya sebagai pengingat kepada orang-orang yang berada di daerah Priangan agar mereka waspada terhadap peristiwa yang akan terjadi!"
"Kakang, aku mengerti maksudmu, Wirayudha tidak secara langsung menjadi duta kepada pemerintahan di sana, Kau hanya ingin menunjukan kepada kaum persilatan di Tatar Sunda agar tidak meremehkan kemampuan orang-orang tengah seperti kita, dengan sendirinya mereka akan waspada dan selanjutnya meningkatkan kemampuan olah kanuragan dan olah yudha mereka, bukan begitu Kakang?"
Ki Sampang menganggukan kepala tanda menyetujui apa yang di utarakan oleh Wiratama, "Tidak percuma kau pernah menjadi seorang Senopati Dimas! pemikiranmu hebat dan sangat jauh ke depan."
Sebelum mereka melanjutkan pembicaraan, Nini Sangga Geni masuk ke ruangan, "Maaf aku baru datang dan menguping pembicaraan kalian!"
Ki Sampang dan Nyai Ambarukmo bangun menyambut kehadiran Nini Sangga Geni, "Ah...Nini senang sekali kami bisa menjumpaimu, bergabunglah bersama kami!" terdengar suara Nyai Ambarukmo yang sedari tadi diam tidak mencampuri pembicaraan antara Ki Sampang dan Wiratama.
"He...He..He, Nyai sepertinya kau jenuh hanya menjadi pendengar pembicaraan kaum laki-laki tadi, marilah kita mencari tempat lain untuk kita berbincang!" Nini Sangga Geni mengajak Nyai Ambarukmo dan Putri Retno untuk keluar.
Ki Sampang hanya menggelengkan kepala melihat itu semua, "aku kira kau akan bergabung bersama kami melanjutkan pembicaraan tadi Nini!"
"Tidak Ki Sampang, yang harus kau ajak bergabung seharusnya Wirayudha! sebentar lagi mungkin ia akan menyusul kesini!"
"Baiklah Nini, kau nanti harus bergabung bersama jika sudah ada kesepakatan di antara pembicaraan kami!"
Kemudian Tiga wanita berbeda generasi tadi keluar untuk mencari tempat untuk bersua mereka.
Tidak lama kemudian terlihat pemuda dengan postur tinggi berambut panjang yang terkepang kuda berjalan mendekat, "Salam Hormat Aki beserta Nyai, Semoga kesehatan dan keselamatan selalu menaungi kalian berdua, paras rupawan itu menjura memberi hormat kepada Ki Sampang dan Nyai Ambarukmo.
Paras Wirayudha memang rupawan, tingginya melebihi Wiratama, sorot mata tajam dan garis wajahnya yang kuat membuatnya terlihat gagah, rambut panjang yang hitam hanya ia ikat di belakang dengan sederhana, itupun tanpa tali atau kain, hanya terikat dengan jalinan rambut dari sisi kanan dan kirinya.
Wajah pemuda itu terlihat tenang menandakan telah tertempa oleh segala macam rintangan dalam kehidupannya.
Ki Sampang yang berdiri menatapnya saja merasa terpana, "Wirayudha, darah Mataram membuatmu terlihat gagah, tetapi darah Priangan membuatmu menjadi rupawan, aaish...berapa puluh anak gadis yang akan jatuh cinta padamu nanti!"
Wirayudha hanya tersenyum mendapat sanjungan dari Ki Sampang.
Nyai Ambarukmo yang tadi sudah mau beranjak pergi karena ajakan Nini Sangga Geni dan Putri Retno, berdiri mematung saat melihat dan mendengar sapaan Wirayudha.
"Hei..Anakku, benar apa yang di katakan Kakang Wiraguna, kau sangat rupawan, aku yang uzur saja terpesona olehmu!" Nyai Ambarukmo ikut menyanjung paras Wirayudha.
"Ah..Nyai, kau jadinya ikut-ikutan seperti Ki Sampang menggodaku, berhentilah menggodaku!"
"Ternyata kau belum terbiasa dengan sanjungan, berkelanalah kau nanti keluar dari Alas Roban, kau baru akan tahu, banyak gadis-gadis akan memberikan senyuman kepadamu, Hik...Hik..Hik!" setelah bertegur sapa dengan Wirayudha akhirnya Nyai Ambarukmo kemudian benar-benar beranjak dari pendopo mengikuti langkah Nini Sangga Geni.
Wirayudha pun akhirnya duduk begabung bersama Ki Sampang dan ayahnya, mereka mengulang kembali pembicaraan tujuan dari Ki Sampang datang ke Alas Roban
"Begitulah Wira, aku telah bicara banyak dengan ayahmu, berharap pertolongan darimu untuk mencegah sesuatu yang akan terjadi nanti, memang dalam wangsit yang ku dapat, peperangan di wilayah tatar sunda tetap akan berkobar, tetapi menurutku kita tidak harus berpangku tangan dan tidak berbuat apapun, ini adalah misi pribadiku bukan tugas dari kerajaan Mataram, bagaimanakah menurutmu?"
Wiratama kemudian menambahkan "Aku tahu Ngger, sebenarnya kau mempunyai ikatan batin dengan tatar sunda, karena kau pun terlahir di sana, selain kau melaksanakan permintaan Ki Sampang, menurutku di sana adalah negeri yang damai dan sesuai jika kau ingin menambah pengalaman dan ilmu, baik itu ilmu pengetahuan ataupun ilmu Kanuragan."
Wirayudha termenung saat mendengar penuturan ayahnya, pikirannya kembali melayang ke masa lalu. Masa kanak-kanak di daerah tataran sunda, tepatnya di pedukuhan Jalaksana.
Terbayang wajah Saraswati ibunya, pelukannya hangat, tutur katanya lembut dan belaiannya sangat membuai, sehingga ia mudah terlelap jika dalam pelukan, setiap rengekannya tidak membuat ibunya marah, kelelahan akibat meracik obat setiap pagi sampai siang tidak menjadikan ibunya lalai dalam merawatnya.
Wirayudha semakin tenggelam dalam lamunan, kelembutan tangan ibunya serasa masih membelai kulit wajah dan rambutnya.
"Wira!....Sebuah teguran halus keluar dari Wiratama di tujukan kepada Wirayudha.
"Akh..Iya Romo, maaf...Aa...aku teringat Ibunda Saraswati!"
"Wira, saat ini kau telah menjadi pemuda kebanggaan romo, romo berharap kau bisa semakin dewasa dan tidak mudah hanyut ke dalam kedukaan, mengingat masa lalu bukan untuk di sesali kemudian terbenam dalam duka nestapa, tetapi pengalaman masa lalu seharusnya bisa untuk menjadi bekalmu saat menatap masa depan, untuk itu romo putuskan, kau memang harus mengelana untuk menempa dirimu agar menjadi laki-laki sejati!"
"Baik romo, aku patuh terhadap perintah romo! suara Wirayudha terdengar tanpa ragu.
Ki Sampang menatap dan mendengarkan pembicaraan ayah dan anak tersebut, hatinya ikut merasa tergetar dan kagum, melihat jiwa-jiwa Ksatria nampak di depannya.
Kakang Wiraguna, aku minta kepadamu! sebelum putraku berangkat, berikanlah bekal pengetahuan yang cukup untuk dirinya!"
"Baik Dimas, aku mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada kalian berdua karena telah memenuhi permohonanku!" Ki Sampang berdiri dan menjura dalam-dalam kepada mereka berdua.
Keesok harinya Wirayudha mulai di bekali dengan segala pengetahuan tentang Tanah Sunda, mulai dari budaya, sikap perilaku penduduk dan sistem pemerintahan yang berlaku di sana.
Hampir sepekan Ki Sampang menjelaskan itu semua, sampai dengan Kanuragan ataupun senjata yang banyak di gunakanpun oleh umumnya para pendekar tanah sunda semua di jelaskan oleh Ki Sampang.
"Wira, pengetahuan ini memang seharusnya kau perlu tahu, jangan kau anggap semua ini hanya sekedar untuk persiapan menghadapi aral rintangan di sana, tetapi lebih dari itu semua, dengan pengerahuan ini, aku berharap kau dapat mengenal dan mencintai tanah kelahiranmu, karena darahmu pun sebagaian adalah darah Priangan, mohon kau dapat memahami semua yang ku jelaskan kepadamu!"
"Aku memahaminya Ki, karena aku juga sadar, aku tidak bisa di pisahkan dengan tanah kelahiran dari orangtuaku yang berasal dari tatar sunda!"
"Wira, tujuanmu nanti adalah Sumedang Larang, karena sebenarnya kerajaan Sumedang Laranglah yang banyak mewarisi semua kandega dari tahta Kerajaan Padjajaran di banding kerajaan lain yang berdiri di sana, kau di sana nanti hanya perlu menjadi seorang yang rendah hati tetapi tidak sampai mengorbankan harga dirimu, karena dari auramu aku yakin kau masih garis keturunan salah satu Ksatria Padjajaran."
"Untuk membuatmu semakin yakin, cobalah menyelidiki dari mana garis keturunan Ibumu, karena aku sangsi terhadap cerita dari ayahmu yang mengatakan, jika ibumu hanya putri seorang tabib di Jalaksana."
"Terimakasih Ki, sudah memberikan pengetahuan yang sangat penting untuk perjalanan kehidupanku nanti ke depan."
"Tidak perlu kau merasa sungkan Wira! ini sudah menjadi kewajibanku selaku yang mempunyai kepentingan!"
Malam semakin larut, cuaca dingin menyelimuti Alas Roban, membuat semua tertidur semakin lelap, tetapi tidak untuk Ki Sampang dan Wirayudha. Esok pagi adalah waktunya Wirayudha untuk berangkat.
Malam itu keduanya masih terlibat obrolan yang semakin serius, saat Rembulan akan mulai tergelincir, Ki Sampang mengeluarkan sepasang Mustika yang berbentuk batu yang memancarkan cahaya putih, "Wira, aku tidak meragukan kemampuan Kanuraganmu, tetapi izinkan aku memberikan sebuah bekal benda pusaka yaitu "Mustika Macan Kembar", setelah Mustika ini ada padamu, akan ada khodam Macan putih yang akan selalu mendampingimu berkelana, jika nanti kau berhadapan dengan salah satu pewaris ilmu Macan Lodaya, kau tidak perlu takut, karena jika Macan kembar putih menampakan wujudnya, kau akan di anggap sebagai salah satu saudara dari mereka! bersiaplah Wira!"
Wirayudha kemudian bersiap dengan duduk bersila, matanya terpejam dengan kedua tangan barpangku di kedua kakinya yang bersila.
Ki Sampang mengeluarkan Mustika Macan Kembar, Mantera Aji mulai terdengar sayup-sayup, sepasang batu Mustika semakin kuat cahayanya. "Grrrh.....Grrhhhh...Terdengar geraman suara Harimau, sepasang Macan kembar menampakan wujudnya di depan Wirayudha.
"Hiaath...Deshh...Deshhh!" dari kedua tangan Ki Sampang melesat dua cahaya menuju dada Wirayudha..."Heeegh!"
Tubuh Wirayudha terdorong ke belakang satu depa, terlihat cahaya itu masuk ke dalam dadanya, semakin lama cahaya itu semakin redup bersama hilangnya kedua ekor Harimau putih yang tadi berdiri di depan Wirayudha.
"Bukalah matamu Wira! kini kau telah bersatu dengan Aji Macan kembar, yang setiap saat akan datang saat di butuhkan.
Wirayudha membuka kedua kelopak matanya, "terimakasih Ki!"
Pedukuhan Jalaksana sudah kembali normal pasca peristiwa perampokan yang terjadi sekian tahun yang lalu, rumah-rumah penduduk berjajar sangat apik dan bagus, Kuwu Brodin memimpin Pedukuhan itu dengan bijaksana.
Hampir seluruh penduduknya sudah melupakan peristiwa naas yang pernah menimpa mereka, kegiatan di sawah dan huma membuat mereka sibuk dengan sendirinya.
Kuwu Brodin sedang duduk di kursi malas yang terbuat dari rotan, tatapannya terarah ke pohon beringin besar yang berada di halaman balirung dukuh, tempat dia mengumpulkan para warga jika ada yang perlu di sampaikan.
Di tempat duduk itulah Lima tahun yang lalu Kuwu Brodin kedatangan seorang tamu yang mengaku Raden Genta Buana, seorang perwira dari kerajaan Sumedang Larang, yang sebelumnya seorang Kandega di kerajaan Padjajaran, mencari Resi Sangkan Urip dan putrinya Saraswati.
Perwira kerajaan Sumedang Larang itu mengaku bahwa Resi Sangkan Urip adalah ayahnya, dan Saraswati adalah adiknya. Karena kemelut yang terjadi di Padjajaran akhirnya mereka terpisah karena ayahnya tidak mau mengabdi kepada kerajaan Sumedang Larang, sedangkan dirinya beralih menjadi seorang Perwira dari Kerajaan Sumedang Larang.
Dengan merunut kisahnya, akhirnya Kuwu Brodin bercerita bahwa memang ada seorang Tabib yang mempunyai putri bernama Saraswati, kebetulan putri tersebut di nikahi oleh Kuwu terdahulu yaitu Kuwu Wiratama.
Dalam ceritanya Kuwu Brodin pun menjelaskan kejadian di Jalaksana, tentang perampokan dan terbunuhnya orang tua dari Nyi Kuwu Saraswati. Grojokan Sewu adalah tempat yang kemudian di sebutkan oleh Kuwu Brodin tentang Nyai Kuwu mereka yang sekarang berada bersama putranya Wirayudha dengan di dampingi oleh seorang perempuan sepuh.
Akhirnya Raden Genta Buana meninggalkan Pedukuhan Jalaksana dengan rasa kecewa dan berjanji akan menemui adik dan keponakannya di Grojokan Sewu, entah mereka bertemu atau tidak, Kuwu Brodin tidak mengetahuinya sampai sekarang, karena sudah sekian tahun terlewati Raden Genta Buana tidak pernah menemuinya kembali.
Kuwu Brodin pun berdiri dan berniat melanjutkan kegiatannya untuk menyambangi para penduduk yang berada di sawah mereka, tetapi langkahnya tertahan ketika melihat putri semata wayangnya berlari menghampirinya, "Kanjeng Rama, matahari sudah dari tadi membakar kulit kami, kenapa Kanjeng Rama hanya duduk terdiam bermalas-malasan di sini?"
"Ah...Lastri, ramamu ini bukan seorang pemalas, hanya saja hari ini rama sedang ingin merenung dan mengenang peristiwa dulu yang pernah terjadi di sini!"
"Peristiwa apakah itu rama?" Sulastri duduk di samping Kuwu Brodin yang duduk kembali di kursi malasnya.
"Lastri...Apakah kau lupa dengan peristiwa mengerikan yang dulu terjadi di pedukuhan kita, ketika kau masih kanak-kanak? apakah kau masih ingat teman sepermainanmu putra dari Akuwu kita sebelum rama?"
"Aku masih ingat peristiwa itu rama! tetapi aku sudah lupa dengan putra dari Kuwu Wiratama yang sering di ceritakan oleh rama!"
"Akhir-akhir ini aku selalu mengingatnya Lastri, aku tidak tahu bagaimanakah nasib mereka sekarang?"
Lastri yang telah tumbuh menjadi gadis cantik, kembali merangkul bahu ayahnya, "Rama yang harus kau lakukan saat ini hanyalah berdo'a, semoga saja mereka mendapatkan keselamatan dari peristiwa dulu, dan sekarang masih hidup walaupun berada jauh dari kita!"
"Iya Lastri, rama tidak pernah lupa mendo'akan mereka, ayolah kau ikut dengan rama menemani para petani itu yang sudah mulai menebar benih padi!"
Kemudian keduanya berjalan melewati pematang-pematang sawah yang kiri dan kanannya teraliri air dari mata air kaki Gunung Ciremai.
Terlihat seorang pemuda yang berpakaian rapih dan tampan, dengan senyum yang di buat-buat menghampiri mereka, "Sampurasun Ki Kuwu dan Neng Lastri, apakah kalian sedang melihat pemandangan hijaunya pepohonan dan bukit-bukit yang di sana?"
Kuwu Brodin mengenali pemuda itu, anak dari seorang Juragan Karta, salah satu Juragan padi yang paling kaya di pedukuhan Jalaksana. "Rampes Pranata, apa yang sedang kau lakukan di sini?"
"Aku sedang mengajari para petani cara menanam benih yang benar Ki Kuwu! seperti yang kau lihat Ki, panen kami paling banyak di antara mereka yang mempunyai sawah, itu karena aku selalu membimbing mereka cara menanam padi yang baik!" Pranata menjelaskan kepada Kuwu Brodin, tetapi tatapannya melirik ke arah Sulastri yang berada di samping Kuwu Brodin. Kata-katanya sengaja di tinggikan untuk menarik hati Sulastri.
"Apakah kau benar-benar mengajari mereka Kang? aku lihat cara mencakul saja kau tidak becus!" jawaban Sulastri terdengar pedas menyindirnya.
"Ha...Ha..Ha..Benar kata anakku Pranata, bagaimana engkau mau mengajari mereka, sedangkan untuk turun ke sawah yang penuh lumpur saja kau terlihat jijik!"
Sulastri berjalan mendahului ayahnya, dan tubuhnya sengaja mendorong Pranata ke arah sawah yang sedang di tanami benih.
"Aah...Ahh...Brussh!" tubuh Pranata terdorong jatuh masuk ke dalam lumpur, karena ia tidak mengira Sulastri akan mendorongnya.
"Hik...Hik..Hik, kau lanjutkanlah mengajari mereka cara menanam benih Kang!"
Sulastri dan ayahnya segera berlalu meninggalkan Pranata yang sedang bersungut-sungut karena kesal.
"Lastri, sepertinya anak Juragan Karta itu tertarik padamu! ku lihat ia seorang pemuda yang baik! apakah kau tidak tertarik dengannya?"
"Ah..Rama, Kang Pranata seorang pemuda yang sangat pemalas, sehari-hari kerjanya mengganggu anak gadis, kalau tidak ia mengisi waktunya dengan menyambung Ayam aduan!"
"Eh...Ternyata kau hapal dengan kegiatan sehari-hari Pranata, itu tandanya kau memberi perhatian yang lebih kepadanya Lastri..Ha..Ha...Ha!"
"Ih..Rama, kau sangat suka menggodaku, buat apa juga kau menjodoh-jodohkanku dengannya? aku tidak mau!"
"Kenapa tidak rama saja yang mencari jodoh? lagi pula rama sudah lama hidup tanpa pendamping!"
"Eeh...kau malah balas menggodaku Lastri!" Kuwu Brodin tersenyum ketika putrinya merajuk dan menggodanya.
Tidak terasa keduanya telah sampai di jalan besar, jalan yang banyak di lalui kereta kuda menuju ke arah Luragung, dan arah kebalikan menuju Cirebon.
Kemudian keduanya mendengar derap kaki kuda yang yang sangat keras dari arah bawah, debu-debu mengepul terlihat di atasnya, pertanda kuda-kuda itu di pacu dengan sangat kencang.
Sebelum kuda-kuda itu nampak, terlihat seorang wanita yang berpakaian pendekar berlari mendekati mereka, pakaiannya compang-camping dan penuh luka, "Bruuugh!"...terjatuh tepat di depan mereka.
"Aakh...Kisanak, tolonglah aku!" setelah berkata demikian, wanita itu jatuh tidak sadarkan diri.
Kuwu Brodin segera membawanya ke tepi jalan, agar tidak tertabrak oleh rombongan berkuda yang mulai terlihat olehnya.
"Hieewwkkkhh....terdengar suara ringkikan kuda yang di paksa berhenti oleh pemiliknya, sedangkan pemilik tiga kuda yang di belakangnya mengikuti menarik tali pelana kudanya masing-masing.
"Hei Kisanak, serahkan wanita itu, dia adalah buruan kami sejak semalam!"
Kuwu Brodin dengan tenang menyahut bentakan dari si penunggang kuda yang berada paling depan, "Maaf tuan! ini adalah daerah tanggung jawab kami, silahkan tuan-tuan turun dan menjelaskan terlebih dahulu apa yang terjadi!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!