NovelToon NovelToon

Maira : Suamiku Menikahi Pembantuku

Prolog

Sebuah pernikahan adalah ikatan yang paling kuat diantara berbagai hubungan yang lain bagi dua insan yang saling mencintai.

Begitu pula yang Maira dan Agam rasakan. Keduanya saling mencintai sejak masih duduk di bangku SMU. Berlatar belakang yang sama membuat mereka bisa saling mengerti satu sama lain.

Ya, mereka berdua bukanlah seorang putra atau putri dari keluarga berada, tapi mereka memiliki banyak mimpi yang sama.

Selepas lulus SMU, mereka kuliah di tempat yang sama hingga akhirnya takdir pernikahan telah berhasil menyatukan mereka berdua. Cinta yang tadinya hanya bisa saling mengagumi, kini telah berubah menjadi saling memiliki satu sama lain.

Masih selalu teringat di dalam ingatan Maira, bagaimana lelaki yang kini menjadi suaminya itu datang melamarnya secara resmi bersama dengan keluarga besarnya.

Masih terasa jelas aura kebahagiaan tatkala ia melihat dekorasi di hari pernikahannya kala itu. Tidak cukup meriah layaknya pernikahan putra putri seorang sultan, tapi bagi Maira semua itu sangatlah berkesan. Bahkan aroma wangi melati khas pengantin masih tercium sampai hari ini.

Maira merasa ia adalah wanita yang paling beruntung saat akhirnya Agam Hermawan meminangnya dan mengikatnya dalam sebuah janji suci dihadapan penghulu yang diucapkan lelaki itu dalam sebuah tarikan nafas sore itu.

Terdengar begitu merdu di telinganya hingga membuat getaran di dalam lubuk hatinya. Ia benar-benar mendengarkan dengan seksama kata demi kata yang terucap dari bibir Agam yang juga nampak bergetar.

Hari itu begitu sakral, begitu terasa khidmad baginya.

Gema suara saksi yang menyerukan kata "sah," terkadang masih membuat seorang Maira tersenyum-senyum sendiri dalam lamunannya.

Bagaimana tidak, Agam adalah siswa berprestasi saat SMU. Lelaki itu juga sangat cerdas dan juga berkharisma. Semakin matang usianya, semakin kuat pula aura yang terpancar darinya.

Meski ia bukan terlahir dari keluarga yang kaya raya, namun pesona seorang Agam tidak bisa diremehkan begitu saja. Buktinya tak sedikit wanita yang berusaha mendekatinya, dari kalangan berada maupun dari kalangan yang sama dengannya. Tapi sayangnya tak ada satupun dari mereka yang berhasil mengalihkan Agam dari Maira, si gadis yang dikenal lemah lembut namun memiliki sikap tegas.

Gadis yang juga digilai banyak sekali lelaki sejak masih SMU karena parasnya yang ayu dan pembawaannya yang anggun.

Namun pada akhirnya, takdir dari Sang Pencipta lah yang berkuasa menentukan segalanya.

Maira dan Agam telah berbahagia membina rumah tangga mereka. Bahkan meski keduanya sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka, hal itu sama sekali tak pernah mengurangi keharmonisan hubungan keduanya selama dua tahun menikah.

Meski belum dikaruniai keturunan namun keduanya tak pernah sekalipun mempermasalahkannya.

Selalu bahagia dan banyak tersenyum, begitulah kesan yang di dapat oleh teman-teman Maira dan Agam. Hingga tak sedikit dari temannya itu yang seolah iri akan kehidupan mereka.

Namun siapa sangka, badai kehidupan akhirnya datang juga menghampiri biduk rumah tangga yang baru seumur jagung itu.

Baik Agam maupun Maira tak pernah menyangka, bahkan tak ada satupun dari mereka yang menginginkannya.

Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Di inginkan atau tidak, Agam telah terjebak dan tidak bisa lari ataupun menghindar dari sebuah kesalahan yang tak ia sengaja sama sekali.

Mengorbankan sebuah nyawa tak berdosa sangatlah tidak mungkin. Maira dan ia bukanlah orang yang cukup tega melakukannya.

Tapi memilih bertanggung jawab juga sangat menyakiti hati Maira, orang yang sangat ia cintai dan ia jaga perasaannya.

Dan inilah awal kisah mereka bermula.

Perbincangan Pagi

"Pagi, Mas!" sapa Maira yang saat itu baru saja sampai di meja makan.

Ia meletakkan tasnya dan menghambur memeluk lelaki yang sangat ia cintai dan hormati itu.

Ya, dialah Agam Hermawan, suami yang sangat ia kagumi karena wibawanya serta kecerdasannya.

"Pagi, Sayang!" balas Agam setelah menyambut pelukan hangat istrinya.

Ia menghirup aroma yang baru saja menyeruak dari tubuh istrinya yang sudah siap dengan pakaian kerjanya.

"Kenapa?" Alis Maira berkerut melihat ekspresi suaminya yang baru saja membuka matanya setelah menikmati aroma istrinya. Lelaki itu tampak tersenyum-senyum sendiri.

"Jika sekertaris bos secantik dan sewangi ini setiap hari, aku jadi khawatir kalau bos dikantormu akan jatuh hati padamu."

Agam meraih pinggang istrinya yang masih berdiri dihadapannya dan menariknya hingga istrinya terduduk di pangkuannya.

Terkadang ia begitu khawatir akan hal ini. Ya, Maira sangat cantik dimatanya. Jika mengingat wanita ini adalah idola di sekolah dan di kampus, kadang Agam merasakan kekhawatiran tersendiri di dalam hatinya.

Terlebih lagi sekarang istrinya adalah seorang sekertaris dari sebuah perusahaan dimana bosnya adalah pria yang terhitung masih sangat muda disana.

"Kamu bicara apa sih, Mas? Aku selama ini kerja secara profesional. Lagipula aku sudah punya suami, aku tahu batasan-batasan, Mas. Dan aku juga tidak berada di ruangan pak Hardi sepanjang hari. Aku punya ruangan sendiri, dan aku juga punya asisten di sana yang selalu bersamaku. Jadi aku terhitung cukup jarang juga berinteraksi hanya berdua dengan pak Hardi. Jika hanya urusan kecil, aku selalu mengandalkan asistenku. Saat menghadiri meeting atau hal lainnya, asistenku juga selalu ku ikut sertakan."

Maira mengerucutkan bibirnya. Hampir setiap pagi saat akan berangkat ke kantor, ia selalu dicemburui dan dikhawatirkan berlebihan oleh suaminya.

Ya, jujur saja ia senang awalnya. Karena ia melihat banyak cinta dari kekhawatiran suaminya. Tapi semakin kesini ia cukup lelah juga jika harus menjelaskan hal yang sama setiap harinya.

"Muah ...."

Satu kecupan pagi mendarat dengan singkat di bibir Maira yang masih mancung kedepan. Agam lalu membenamkan wajahnya di perpotongan leher istrinya dan memeluknya dengan erat.

"Maafkan aku. Aku hanya takut kehilangan mu, Sayang. Kau tahu dari dulu aku selalu takut akan hal itu. Sainganku terlalu banyak, kau sangat cantik dan berharga. Pintar dan juga memiliki sikap yang tegas, namun tidak mengurangi kelembutan mu sebagai wanita. Kau sangat istimewa di mataku, sejak dulu sampai hari ini."

Puas mengutarakan isi hatinya, lelaki itupun meleraikan pelukannya.

Agam menatap mata Maira dengan penuh arti. Selama ini, meski Maira tidak pernah macam-macam namun ketakutan itu selalu datang menghantuinya setiap waktu. Entah kenapa, ia sangat menggilai sosok istrinya itu.

"Harus berapa kali lagi, Maira jelaskan? Mas tahu betul, aku orang yang seperti apa, bukan?"

Maira menghela nafas panjang dan bangkit dari pangkuan suaminya. Ia lalu menarik kursi dan mendaratkan tubuhnya disana. Memulai aktifitas paginya dengan menyiapkan sarapan praktis dan sederhana.

Maira meraih kotak tempat dimana ia biasa menyimpan roti, mengambilnya selembar lalu mengoleskannya dengan selai nanas kesukaan suaminya kemudian mengambil selembar lagi dan menyatukannya dengan yang tadi. Ia lalu meletakkannya diatas piring suaminya.

Masih sibuk dengan aktifitasnya, Maira mengambil lagi selembar roti dan ia olesi dengan selai yang sama. Namun baru saja ia mengoleskan sepucuk selai diatas roti itu, suaminya memegang tangannya guna menghentikan aktifitas istrinya.

"Ada apa, Mas?" tanya Maira seraya mengerutkan dahinya karena heran.

"Cukup, Sayang! Aku makan satu tangkup ini saja."

"Kenapa? Mas, sakit?" Tangan Maira meletakkan roti yang tadi dipegangnya dan langsung menempelkan punggung tangannya pada dahi suaminya. Biasanya Agam akan minta dua bahkan kadang tiga tangkup roti isi selai, tapi kali ini pria itu bahkan tiba-tiba terlihat kurang bersemangat.

"Tidak panas," ujar Maira dengan ekspresi bingungnya.

"Siapa yang bilang sakit? Aku hanya sedang tidak berselera makan, Sayang."

"Ada apa sih, Mas? Tidak biasanya, Mas Agam seperti ini?"

Mendengar kecemasan istrinya, Agam pun menghela nafasnya lalu mulai menatap serius pada istrinya. Ia menggenggam tangan lembut dan lentik milik Maira.

"Sayang, apa tidak sebaiknya kau berhenti bekerja saja?" tanya Agam yang terdengar serius.

"Kenapa, Mas?" tanya Maira tidak mengerti.

"Bukankah saat ini kita sudah cukup mapan, Sayang? Apakah tidak sebaiknya kau fokus dirumah saja?"

Untuk sesaat Maira terdiam dan menunduk. Ia sadar, selama dua tahun ini ia tidak menjalankan perannya dengan baik sebagai seorang istri. Ia masih sibuk bekerja bahkan kadang hingga larut malam. Tapi semua ini kan juga untuk kebaikan mereka.

Sejak awal berkomitmen mereka berdua sudah sepakat akan membangun ekonomi keluarga kecil mereka baru fokus untuk program hamil dan lain-lain. Termasuk fokus pada semua urusan di dalam rumah.

"Mas ... aku pun juga berpikir demikian. Tapi kan, Mas tau sendiri tanggungan kita masih cukup banyak juga. Jika aku berhenti sekarang, maka bukan tidak mungkin tabungan kita juga akan terus berkurang bahkan mungkin akan habis. Rumah kita belum lunas, orang tua kita juga masih mengandalkan kita."

"Maafkan aku, Maira. Seharusnya akulah yang bertanggung jawab untuk semua ini."

Agam segera memeluk istrinya. Ia merasa sangat bersalah sekali karena telah mengatakan hal ini.

Tapi bukan tanpa alasan ia mengatakannya. Terkadang ia ingin sekali melihat istrinya memasak di dapur dan merasakan masakannya. Ia ingin sekali merasakan sarapan yang dimasak langsung oleh istrinya. Entah bagaimana rasanya mencium aroma wangi masakan saat matanya masih enggan terbuka di pagi hari.

Bagaimana rasanya saat ia pulang malam dan istrinya sudah menyiapkan makan malam di meja makan dengan penuh cinta. Menyiapkan air mandi dan mengobrol tentang hal romantis atau hal lain selain pekerjaan mereka.

Tapi Agam cukup tau diri, ia bukanlah orang kaya yang bisa memberikan fasilitas rumah dan lainnya pada istrinya.

Bahkan Maira lah yang berperan banyak dalam mewujudkan rumah impian mereka, karena di awal pernikahan justru wanita itulah yang lebih mapan dan lebih bagus karirnya dibandingkan dirinya.

"Kita hanya perlu bersabar sebentar lagi, Mas." Maira melepaskan pelukan suaminya.

Ia pun juga ingin sekali mengambil perannya sebagai istri yang baik, yang selalu ada dirumah dan selalu bisa menyambut suaminya saat pulang dari kantor. Ia ingin sekali bisa memanjakan suaminya dengan hidangan yang bisa ia buat setiap hari.

Tapi lagi-lagi ia harus bersabar, ia ingin masa depannya bersama anak-anaknya terjamin. Ia tidak ingin anak-anaknya akan mengalami hal yang pernah ia dan suaminya rasakan sejak dulu. Hidup dalam keterbatasan dan serba kesusahan. Bahkan untuk urusan pendidikan sekalipun.

Kantor

"Ya sudah, kita sarapan dulu ya, Mas." Maira mencoba tersenyum pada suaminya untuk menetralkan suasana. Ia lalu menyodorkan secangkir teh yang sudah hampir habis uap panasnya.

Agam mengangguk seraya membalas senyum istrinya dan menerima minuman yang ada dihadapannya. Nampak banyak sekali rasa bersalah dari sorot matanya.

"Kalau begitu cepat habiskan sarapannya! Aku akan mengantarmu pagi ini," ujar Agam tulus.

Terkejut mendengar ucapan suaminya, Maira pun meletakkan kembali roti yang baru saja ia ambil.

"Memangnya Mas Agam nggak sibuk? Mas kan baru aja naik jadi Manager?" Maira mengingatkan suaminya. Ia tidak ingin hal yang sudah dengan susah payah diraih oleh suaminya menjadi kacau hanya gara-gara hal sepele. Seperti terlambat datang misalnya.

Agam tersenyum kecut menanggapi istrinya. Ada benarnya juga, tapi ia merasa tidak berguna sekali menjadi suami. Hanya mengantarkan istrinya saja ia tidak punya waktu. Tidak berdaya dengan keadaan.

"Kau benar juga. Maafkan Mas, ya! Lain kali kita berangkat lebih pagi agar aku bisa mengantarmu sesekali," ujarnya seraya mengusap rambut Maira.

"Nggak apa-apa, Mas. Tapi kalau berangkat lebih pagi, apa Mas nggak ngantuk?"

"Kita usahakan bersama, ya?"

Maira lalu mengangguk cepat dan tersenyum. Entah rencana itu akan terlaksana atau tidak, mengingat suaminya susah sekali bangun lebih awal.

"Semoga saja tahun depan kita sudah tidak sama-sama sibuk lagi dan punya waktu yang lebih banyak untuk bersama," hibur Maira.

Keduanya lalu sama-sama tersenyum dan menyibukkan diri dengan aktifitas sarapan pagi masing-masing.

Tak butuh waktu lama, hanya kurang dari lima belas menit keduanya sudah selesai.

Maira menengok arloji berwarna perak yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Untuk sesaat ia terlihat mencebik.

Kenapa waktu cepat sekali berputar, gumamnya.

"Mas, kalau gitu aku berangkat dulu, ya?" pamitnya lalu berdiri dari tempat duduknya dan merapikan pakaiannya.

Ia hampir lupa meminum tehnya. Tangannya lalu menyambar cangkir berwarna putih itu dan meneguknya hingga habis.

Agam pun juga demikian, lelaki itu juga terlihat merapikan pakaiannya lalu meraih tas kerja serta kunci mobilnya.

"Hati-hati, Sayang," ujar Agam setelah istrinya mencium tangannya. Ia lalu memberikan sebuah kecupan hangat di kening wanita itu dan mengusap pipinya dengan penuh cinta.

"Mas Agam juga, ya!" Maira lalu tersenyum dan membalas memberi kecupan lembut di pipi suaminya kemudian bergegas pergi.

Agam menatap kepergian istrinya dengan tatapan hampa. Ia memang sangat bahagia bisa memiliki Maira nya secara utuh sebagai pasangan hidupnya. Bisa melihatnya setiap hari dan juga menemaninya tidur setip malam. Tapi ... rasanya begitu kosong, seperti saat ini. Rutinitas hariannya hanyalah seperti ini.

Hanya di pagi dan malam hari mereka bisa bercengkerama, selebihnya mereka harus pandai menggunakan waktu untuk beristirahat sebelum bergelut dengan aktifitas mereka di keesokan harinya.

Dengan gontai Agam menyambar jasnya lalu berjalan malas kearah depan. Membuka pintu dengan tidak bersemangat.

Ia menatap sekeliling halaman rumahnya, melihat taman kecil yang sempat ia buat bersama istrinya. Namun bunga-bunga itu nampak sudah layu tak terawat. Rumputnya juga tak terlihat hijau.

Agam menghela nafasnya lalu berjalan menghampiri mobilnya. Mobil yang diberikan oleh istrinya saat ulang tahunnya tahun lalu. Bukan mobil yang teramat bagus, tapi juga tidak jelek.

Agam tersenyum menertawakan dirinya. Secara materi hari ini ia dan istrinya bisa dibilang sangat cukup. Tapi ada kehampaan tersendiri dalam kehidupan mereka. Tapi meski begitu, cintanya pada istrinya sangatlah besar.

Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Agam pun mulai menyalakan mesin mobilnya dan membawanya turun ke jalan raya.

******

"Hai, Ra!" panggil Nisa, salah satu sahabatnya di kantor.

"Hai, Nis," balasnya tak bersemangat.

"Ada apa? Ada masalah sama pak Hardi, ya? Pasti kena marah, iya kan?" tanya Nisa seraya berbisik sambil menengok ke sekelilingnya untuk memastikan keadaan.

Nisa adalah resepsionis di kantor itu, ia bersahabat dengan Maira sudah cukup lama. Dia juga adalah tempat dimana Maira biasa menceritakan segala permasalahannya.

"Sssttt! Apaan sih? Jangan sembarangan bicara! Nanti kalau ada yang dengar kita bisa kena masalah. Membicarakan bos adalah sebuah kesalahan."

Nisa buru-buru menutup mulutnya dan kembali melihat ke sekeliling.

"Terus kenapa sih? Kok tumben banget kamu nggak semangat kayak gini?" desak Nisa seraya berbisik sambil terus mengikuti sahabatnya yang berjalan menuju lift.

"Nanti aku ceritain, ya. Sekarang aku banyak kerjaan. Asistenku tidak bisa masuk hari ini." Maira lalu memisahkan diri dan masuk kedalam lift menuju ke lantai dimana ruangannya berada.

Sementara Nisa yang terlihat kesal hanya bisa menghentakkan kakinya melihat pintu lift itu menutup.

Pagi itu Maira bergelut dengan berbagai berkas yang menumpuk diatas mejanya. Ia juga harus menyiapkan segala sesuatu untuk meeting bosnya hari ini.

Pak Hardi adalah orang yang begitu disiplin dan tegas. Ia juga memiliki sifat perfeksionis sehingga kadang Maira dibuat susah karenanya.

Sepanjang pagi hingga siang aktifitas yang dijalaninya sebagai seorang sekertaris begitu menyita pikiran dan tenaganya. Tapi beruntung karena atasannya hari ini sangat baik moodnya. Sehingga tidak banyak protes disana sini.

Setelah menyelesaikan tugasnya, akhirnya Maira bisa bernafas lega dan beristirahat tepat saat makan siang.

Ia segera turun kebawah, menjemput sahabatnya yang selalu setia menanti di meja resepsionisnya.

"Ada apa lagi?" serbu Nisa saat Maira sampai. Pasalnya sahabatnya itu terlihat menghela nafas panjang.

"Nggak ada apa-apa, cuma ngerasa capek aja. Banyak banget kerjaan aku hari ini."

"Ya udah kalau gitu waktunya kita ngantin, eh ngafe aja gimana?" tawar Nisa.

Maira menggeleng tak bersemangat. "Kantin aja lah. Habis ini aku masih banyak kerjaan."

"Ya udah deh."

Setelah itu mereka berjalan beriringan menuju kantin karyawan yang ada di bagian belakang lantai dasar gedung itu.

"Tadi kamu bilang mau cerita? Cerita apa?" tanya Nisa setelah mereka selesai memesan makanan dan duduk di salah satu meja yang ada dipojok.

Maira menatap sahabatnya dan menarik nafas dalam-dalam sebelum memulai ceritanya.

"Mas Agam, lagi-lagi minta aku buat berhenti kerja, Nis."

"Kenapa lagi emangnya?"

"Mungkin karena rumah nggak ada yang urus, atau mungkin mas Agam ngerasa kesepian. Jujur aku kasian lihatnya, tapi gimana lagi? Tanggungan kami masih banyak banget, mas Agam kan jadi manajer juga barusan aja."

"Ya, kalau masalah rumah kan kalian bisa cari pembantu buat urus. Kalau masalah kebersamaan, sesekali lah cuti bareng terus liburan deh. Kalian kan juga udah bukan orang susah lagi sekarang. Rumah udah ada, kendaraan ada, gaji masing-masing juga lumayan kan? Kalau masalah orang tua, kalian ngirimnya jangan berupa uang jatah dong. Bikinin mereka usaha kecil-kecilan biar mereka punya penghasilan sendiri dan gak bergantung pada kalian," usul Nisa.

Ia lalu meminum minuman yang baru saja disajikan di hadapannya sambil melihat reaksi sahabatnya yang masih terlihat berpikir.

***

Sepulangnya dari kantor, Maira terus memikirkan ucapan sahabatnya. Tidak tahu kenapa, tak terpikir juga olehnya untuk mencari pembantu selama ini. Mengingat selama ini juga rumah baik-baik saja meski jarang-jarang dibersihkan. Toh mereka juga hanya tinggal berdua saja. Rasanya tidak perlu menyewa asisten rumah tangga.

Namun begitu, tanpa Maira sadari kesibukannya kini semakin bertambah. Belum lagi urusan rumah yang menjadi tanggung jawabnya. Tidak terasa waktunya semakin banyak tersita untuk pekerjaannya. Wajar jika suaminya merasa sedikit terabaikan saat ini.

Di tengah perjalanan saat ia berada di dalam taxi yang ia tumpangi, Maira terus mencari informasi tentang penyedia jasa asisten rumah tangga. Baik dari media sosial maupun dari web resmi yang ia temui di laman pencarian.

Ada beberapa nama PT yang cukup menarik perhatiannya, dan memang terlihat seperti penyedia layanan yang profesional. Maira tertarik melihatnya. Ia yakin jika mengambil dari sebuah jasa penyedia ART, pasti orangnya sudah terlatih dan profesional.

Baiklah, nanti aku ngomong dulu sama mas Agam. Mudah-mudahan dia setuju untuk menyewa pembantu, gumam Maira sesaat sebelum taxi yang ia tumpangi berhenti di depan gerbang rumahnya.

"Sudah sampai, Neng." Sopir taxi itu menoleh setelah menghentikan mobilnya dengan sempurna.

"Iya, Pak. Terimakasih, ya." Maira memberikan selembar uang pada pengemudi yang kebetulan memang sudah langganan baginya. Ya, sopir taxi ini memang selalu standby di dekat area perkantoran tempatnya bekerja.

"Sama-sama, Neng. Kalau perlu bantuan, Bapak siap membantu." Sopir yang memiliki nama pak Didin itu berbasa-basi.

Tapi tiba-tiba Maira teringat akan niatnya tentang mencari seorang asisten rumah tangga. Ia lalu menghentikan aktifitasnya yang hendak membuka pintu mobil. Terlihat berfikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mencoba bertanya pada pengemudi taksi itu.

"Oh iya ... Maira ingat, Pak. Gini, Maira lagi berniat buat cari asisten rumah tangga. Belum pasti sih, cuma kalau Pak Didin tau tempat penyedia jasa layanan kayak gitu, tolong kabari Maira ya, Pak!" pintanya dengan tatapan yang sedikit berharap.

"Oh ... pembantu? Neng butuh berapa? Bapak punya banyak kenalan orang baik, Neng. Kebetulan juga, anak dari teman Bapak dikampung ada yang sedang nyari kerjaan. Cuma Bapak bilang, suruh sabar. Di kota besar kayak gini, susah juga nyari majikan yang baik dan nggak semena-mena sama orang kecil. Biar nggak kejadian kayak di TV-TV itu, Neng. Kasian kalau lihat ada pembantu dipukuli atau dilecehkan sama majikan." Pak Didin menjelaskan dengan sopan dan terlihat prihatin pada kalimat terakhirnya.

Sementara Maira terlihat manggut-manggut mendengarnya. Ia sedikit mempertimbangkan. Pak Didin adalah orang yang baik dan jujur, Maira pun beranggapan jika orang-orang disekitar pak Didin pasti juga demikian. Apalagi berasal dari kampung, biasanya orangnya rajin, sopan dan bisa diandalkan.

"Ya udah, gini aja deh, Pak. Maira kan belum bilang sama suami Maira tentang hal ini. Dengan kata lain, ini baru niatan Maira aja. Nanti kalau suami Maira udah setuju, Maira kabarin Pak Didin aja, gimana?" tanya Maira memberi tawaran.

"Baiklah, Neng kalau gitu. Bapak sih terserah sama Neng Maira aja. Kan Eneng yang butuh. Tapi Bapak jamin kok, Neng. Anak teman Bapak ini adalah gadis yang baik dan rajin sekali. Anaknya juga sopan, Neng. Bapak bilang gini karena Bapak udah kenal dekat dengan keluarganya, sama anaknya juga." Pak Didin mengangguk menyetujui tawaran dari penumpangnya sekaligus memberi sedikit penjelasan untuk meyakinkannya.

Maira terlihat tersenyum dan merasa yakin.

"Ya sudah, Pak. Terimakasih banyak, ya. Semoga aja mas Agam setuju, dan ini bisa jadi jalan rezeki buat anak temennya Pak Didin." Maira mengulas senyumnya sebelum akhirnya turun dari mobil taxi yang mengantarnya itu.

"Sama-sama, Neng. Oh ya kembaliannya belum diambil, ini!" seru Pak Didin seraya menunjukkan uang kembalian yang belum sempat diambil oleh penumpangnya yang sudah terlihat mulai menjauh dan membuka gerbang rumahnya.

Sementara orang yang dimaksud kini sedang menoleh dan tersenyum. "Ambil aja, Pak! Buat tambah-tambah."

Pak Didin pun mengangguk sopan dan menangkupkan kedua tangannya sebagai tanda terimakasih sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya untuk menjemput penumpang selanjutnya.

Maira pun kemudian masuk ke dalam rumahnya. Ia membersihkan dirinya dikamar mandi, lalu turun dan memeriksa isi kulkas.

Ia berniat membuat sesuatu untuk menyambut suaminya pulang dari kantor malam ini. Jarang-jarang ia bisa pulang lebih awal seperti ini, jadi ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Ya ampun, kenapa nggak ada apa-apa sih? Apa aku seburuk ini jadi seorang istri, sampai isi kulkas habis aja aku nggak ingat. Menepuk keningnya.

Maira menutup pintu kulkas dan menengok jam dinding yang tergantung di dapur.

Masih jam segini, mas Agam pulangnya juga masih lama. Apa aku pergi ke supermarket aja, ya? gumamnya.

Ia lalu naik ke atas dan mengambil ponsel serta dompetnya. Dengan segera ia menekan nomor tukang ojek yang biasa mangkal di depan komplek perumahannya.

Sembari menunggu ojek itu datang menjemput, Maira bergegas mencuci beras dan memasukkannya ke dalam magic com.

Pulang dari kantor nanti suaminya pasti lapar, jadi ia memutuskan untuk masak makanan berat untuk makan malam hari ini.

Tak berselang lama ada panggilan masuk di ponselnya, yang ternyata adalah tukang ojek yang ia pesan tadi.

Maira tak menjawabnya tapi langsung bergegas keluar rumah. Rumah yang tidak terlalu besar ini tidak memerlukan waktu yang lama bagi penghuninya untuk keluar dari dalamnya.

"Ke supermarket, ya Bang!" perintahnya setelah memakai helm dan naik ke atas motor tukang ojek itu.

Tidak perlu berbasa-basi, tukang ojek itu langsung meluncur menuju tempat yang dimaksud. Tempat yang sebenarnya tidak begitu jauh dari komplek perumahan Maira.

Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit untuk sampai disana.

"Tunggu ya, Bang!" pinta Maira setelah sampai. Ia bergegas melepas helm dan segera masuk ke dalam supermarket. Memilih beberapa sayuran dan mengambil beberapa daging dan ayam yang sudah dikemas. Ia juga membeli beberapa bumbu yang diperlukan. Termasuk bumbu instan juga. Ya, ia memang bisa masak tapi juga bukanlah orang yang pandai betul berkutat di dapur, jadi bumbu instan pasti akan sangat membantu dan memudahkannya.

Setelah membayar di kasir, Maira pun keluar dengan menenteng dua kantong plastik belanjaan. Ia tersenyum dan masih bersemangat untuk segera pulang dan mengeksekusi belanjaan yang baru saja ia beli. Melupakan rasa lelahnya setelah bekerja demi suami tercintanya.

Sepanjang perjalanan pulang, ia tak hentinya mengulas senyumnya. Membayangkan menyiapkan makan malam yang bisa dibilang spesial karena ia jarang sekali bisa menyiapkannya. Senyumnya semakin mengembang tatkala bayangan suaminya yang tersenyum tengah melintas jelas dimatanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!